"Ini untukmu, karena kau selalu membantuku." Tania memberikan bunga lily pada pelayannya sebagai hadiah natal. Menunggu ketika pagi tiba, di saat bunga-bunga mulai bermekaran. Wanita itu memetik banyak bunga dari taman untuk diberikan kepada semua orang.Melihat Sera yang menuruni tangga, Tania langsung menghampirinya. Tangannya memegang satu tangkai bunga yang memang disiapkan untuk wanita itu."Hadiah natal untukmu." Tania mengulurkan bunga anggrek bulan untuk diberikan pada Sera. "Aku tidak memiliki uang untuk membeli kado natal yang mahal. Jadi hanya bunga ini yang bisa aku berikan.""Ya ampun, bukankah aku sudah mengatakannya sebelumnya? Kau tidak perlu memberikanku hadiah seperti ini," ucap Sera, tapi tetap menerima bunga pemberian Tania."Bunga itu memiliki makna kebaikan dan kelembutan. Jadi aku memberikannya padamu.""Aaa terima kasih," ujar Sera dengan senyum lebar. Tania bahkan memberikan bunga dengan makna di dalamnya. Sera jadi terharu. "Kau tidak memberi Xander juga?" ta
Tania menghentikan kunyahannya. Menatap Xander yang memegang tangannya dengan pipi menggembung. "Tuan?" ucapnya setelah sedikit kesulitan menelan makanan di mulutnya. Terlalu terkejut dengan kehadiran lelaki itu yang tiba-tiba."Kau keluyuran lagi tanpa memberitahu terlebih dahulu," ucap Xander dengan kalimat panjang. Tatapan lelaki itu datar seperti menyimpan kekesalan."Dia–""Aku tidak berbicara padamu," potong Xander saat Jonathan bersuara. Meliriknya sesaat sebelum kembali menatap Tania."Aku sudah memberitahu Sera. Kau tidak ada di rumah, jadi aku tidak bisa meminta izin padamu," jawab Tania dengan kepala menunduk."Aku sudah memberikanmu ponsel bukan? Masih tidak bisa cara memakainya?"Tania mengangguk. "Tapi kau tidak memberiku nomor ponselmu. Karena itu aku tidak bisa menghubungimu," ucapnya dengan nada semakin lama semakin pelan. Ia meringis. Tania tidak mungkin meminta nomor telepon Xander bukan jika tidak lelaki itu sendiri yang memberikannya? Xander mengatupkan bibirnya.
Tania memasuki pintu utama mansion, dan suara berisik dari dalam langsung saja terdengar. Ia mendongak untuk melihat asal suara yang sepertinya berasal dari lantai dua."Kau sudah pulang?!" Sera muncul di balkon lantai dua. Kemudian turun untuk menghampiri Tania. "Bagaimana kencan mu dengan Jonathan?" tanyanya setelah sampai di bawah. Wanita itu menaik-turunkan alisnya.Tania melambaikan tangannya cepat sambil menggeleng. "Kami tidak berkencan.""Lalu apa jika tidak berkencan? Dia bahkan memberikanmu hadiah. Aku rasa dia menyukaimu," ucap Sera sambil melirik paper bag dan boneka yang dibawa Tania. "Jangan seperti itu," kata Tania dengan nada merengek. Ia tidak suka digoda seperti ini, karena memang tidak ada hubungan apa-apa antara dirinya dengan Jonathan. Lelaki itu mungkin tidak akan suka jika dihubung-hubungkan dengan Tania.Sera terkekeh. "Baiklah, baiklah. Tapi di mana Jonathan? Dia langsung pulang setelah mengantarmu?" tanyanya. Ia menatap ke arah pintu untuk melihat keberadaan
"Aunty, kapan Mommy dan Daddy pulang?" Alice berbaring tengkurap di ranjang. Memperhatikan Sera yang sedang menulis sesuatu sambil ia bertanya."Besok," jawab Sera. Alice mengangguk. "Aunty, Alice bosan. Ayo kita main," ucapnya sambil menggerak-gerakkan kakinya."Sebentar. Ada yang harus Aunty kerjakan," balas Sera tanpa menoleh pada Alice. Ia sedang memeriksa perkembangan salah satu yayasan yang dipegangnya. Bibir Alice mengerucut. Ia turun dari ranjang untuk menghampiri Xander yang duduk di sofa. "Uncle, ayo main dengan Alice," ajaknya.Xander tidak menjawab. Lelaki itu terlalu fokus dengan laptop di pangkuannya."Uncle!" Alice sedikit berteriak. Merasa kesal karena diabaikan."Uncle sibuk. Main sendiri dulu," jawab Xander pada akhirnya. Ia sepertinya tidak peduli sama sekali dengan kebosanan yang dirasakan keponakannya.Alice menghentakkan kaki. Ia kembali ke Sera karena diabaikan oleh Xander. Bocah itu menarik-narik ujung baju Sera. "Aunty, Alice minta kertas. Mau membuat pesawa
Xander membuka halaman selanjutnya dari buku berjudul Zero to One karya Peter Thiel yang dibacanya. Ia membaca setiap katanya dengan serius. Lelaki itu duduk dengan bersandar di kepala ranjang. Kakinya yang tertutupi selimut diluruskan."X,"Xander mengarahkan bola matanya pada Sera yang memanggilnya. Ia menaikkan alisnya, bertanya."Bisa ambilkan bathrobe ku? Aku lupa membawanya." Sera menunjuk jubah mandi yang ia letakkan di tepi ranjang dengan dagunya. Tubuh wanita itu masih berada di dalam kamar mandi, tertutupi pintu. Hanya kepalanya saja yang dikeluarkan."Keluarlah dan ambil sendiri," jawab Xander. Tidak berniat melakukan apa yang Sera minta. Ia kembali fokus pada buku yang dibacanya."X, cepat ambilkan. Aku kedinginan," pinta Sera dengan nada merengek."Karena itu keluarlah."Sera berdecak. Ia memasukkan kepalanya, lalu menutup pintu kamar mandi dengan keras. Merasa kesal pada Xander.Xander menggelengkan kepala sambil terkekeh. Ia menaruh pembatas buku pada halaman yang terak
"Tangannya jangan usil. Aku sudah mandi," peringat Tania pada Alice yang memainkan air dan dicipratkan padanya. Ia sedang memandikannya, karena bocah itu meminta dimandikan olehnya.Alice tidak mendengarkan perkataan Tania. Ia malah menyalakan shower. Membuat air yang keluar membasahi Tania. Lalu anak itu tertawa cekikikan. Tania menggelengkan kepala. Ingin marah, tapi tidak bisa. Ia hanya mematikan showernya tanpa berniat mengomeli kejahilan Alice."Tania, kenapa kau tidak marah? Kalau dengan Mommy, aku langsung dimarahi," cerita Alice. "Mau aku marahi?" Tanya Tania sambil membilas badan Alice yang sudah ia berikan sabun.Alice menggeleng. "Aku menyukaimu karena kau tidak suka marah-marah. Jadi jangan marah."Tania menahan senyum karena perkataan jujur Alice. Meski anak ini jahil, dan ia juga baru mengenalnya, tapi Tania menyukainya. Ia langsung merasa dekat dengan Alice.Tania tidak lagi merasa bosan saat ada Alice. Ia senang bermain dengan anak itu. Sayang hari ini dia harus pula
Xander keluar setelah Christian membukakan pintu mobil. Ia berjalan masuk ke dalam mansion dan tanpa sengaja melihat Tania di taman. Ia melihatnya memetik bunga yang ada di sana.Xander berdecak. Setiap hari wanita itu berada di tamannya dan memetiki bunga-bunga. Lelaki itu memperhatikannya cukup lama sebelum memanggil Christian karena teringat sesuatu."Iya, Tuan muda?""Aku ingin kau menambah penjagaan di luar mansion. Dan juga, letakkan cctv di sekitar kamarnya," perintah Xander sembari melirik ke arah Tania.Christian sempat mengernyit sebelum kemudian mengangguk patuh.Setelah itu Xander masuk. Sera yang melihat suaminya sudah pulang langsung menghampirinya. Xander menyematkan ciuman di bibirnya, lalu Sera membantunya melepas jasnya dan mengambil alih tas kerjanya. "Ada apa dengan wajahmu?" Sera meletakkan tangannya di pipi Xander sembari mengamati wajah suaminya itu."Kenapa?" tanya Xander balik."Kau seperti sedang memikirkan sesuatu. Apa ada yang sedang kau cemaskan?" Sera me
Bibir Tania mengerucut melihat sosok yang ada di cermin. Merasa jika itu bukanlah dirinya. Bukan Tania yang bertubuh kurus. Ia merasa tubuhnya semakin lebar saja. Dan perutnya, juga semakin membesar setiap harinya. Terlihat seperti badut. Sama seperti yang pernah dikatakan oleh Alice. Tania menghela napas. Kemudian keluar dari kamar. Duduk-duduk di taman, melihat pemandangan bunga-bunga bermekaran di sana, karena hanya itu pekerjaannya setiap hari, selain makan dan tidur. Membantu para pelayan juga tidak diperbolehkan oleh Sera. Jadi tidak heran jika tubuh Tania semakin 'melar', karena pekerjaannya hanya bermalas-malasan.Tania berjalan ke arah sofa dan duduk di sana, karena kakinya terasa pegal. Ia membungkukkan punggung, berniat memijat kakinya tapi tangannya tidak sampai. Perut besarnya menghalangi."Nona, mau saya pijat kakinya?" Lyla tiba-tiba muncul, karena melihat kesulitan Tania. Menawarkan pijatan pada wanita itu.Karena memang merasa kakinya sangat pegal, Tania mengangguk,
Butuh waktu kurang lebih satu bulan untuk Tania benar-benar pulih dari luka tembak yang dialaminya. Dan selama itu, hanya saat inilah yang paling ditunggu Tania. Bertemu dengan ayah kandungnya.Xander selalu beralasan akan membawanya menemuinya jika kondisinya sudah pulih. Dan baru sekarang dia melakukannya. Tania sempat marah karena Xander dan orang tuanya yang menyembunyikan ini darinya. Meski Tania sendiri yang berkata tidak ingin mengetahui siapa ayah kandungnya. Tapi jika dia memang sudah sangat dekatnya, tapi tetap ingin bertemu."Kau yakin ingin bertemu dengannya?" tanya Xander sembari menggenggam jemari Tania. Berjalan bersama ke tempat di mana Abraham ditahan.Tania mengangguk yakin. "Kau tahu apa yang dia lakukan padamu bukan? Kenapa masih saja ingin bertemu dengannya?" Tania hanya tersenyum menanggapinya."Maaf, tapi Tuan Abraham tidak ingin dikunjungi oleh siapapun." Penjaga tahanan menyampaikan ucapan dari Abraham ketika dia memberitahu ada yang ingin menemuinya.Raut w
"Mommy, di mana Xander?" Tania bertanya pada Angeline yang tengah menyuapinya. Xander tidak berkata akan pergi atau apa padanya. Tapi dia tidak terlihat sejak dua jam lalu. "Xander sedang bersama Lio," jawab Angeline, yang tentu saja berbohong. Lio sedang tidur di ruangan lain. Dijaga oleh babysitter. Sementara Xander pergi keluar. Menemui Abraham di kantor polisi.Angeline mengetuk Abraham yang berani-beraninya mencelakai anaknya sendiri. Lelaki itu memang tidak memiliki perasaan sama sekali. Tapi tidakkah dia sedikit saja merasa kasihan pada darah dagingnya? Dia memang lelaki jahat.Angeline berharap Tanai tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Karena dia pasti akan menyesal nantinya. Menyesal memiliki darah yang sama dengan orang yang berniat membunuhnya. Angeline tidak ingin putrinya tahu."Mommy, sudah." Tania menolak ketika Angeline kembali ingin menyuapkan bubur ke mulutnya."Ya sudah. Ini minumnya." Angeline meletakkan mangkuk berisi bubur yang tinggal beberapa suapan. Lalu
"Kondisimu sudah semakin membaik. Sebentar lagi kau mungkin bisa pulang."Tania menyengir. Menampilkan deretan giginya yang putih bersih. "Aku kasihan melihatnya. Dia menangis saat aku sakit. Jadi aku harus cepat sembuh supaya dia tidak menangis lagi," ucapnya sembari melirik Xander yang berdiri didekat ranjang dengan tangan bersidekap.Xander mendengus. Sementara Tania dan dokter yang tengah memeriksanya tertawa. Tania langsung menghentikan tawanya, karena jahitan di punggungnya. Sementara sang dokter, karena Xander memberikan tatapan tajam padanya."Aku keluar dulu ya. Kau bisa memanggilku jika membutuhkan sesuatu."Tania mengangguk. Lalu mengucapkan terima kasih sebelum dokter itu keluar dari ruangannya."Kau menghancurkan reputasiku, kau tahu?" Xander berkata kesal. Ia memberikan pelototan kecil sebelum mengambil perban di atas nakas.Tania mengernyit, sebelum kemudian terkekeh kecil. "Kau malu ya, Daddy?" godanya. Xander yang terkenal tegas dan garang, menangis. Xander menggeram
Xander melangkah masuk ke dalam ruangan yang ditempati Tania. Istrinya akhirnya dipindahkan ke ruangan lain. Tubuhnya sudah tidak lagi ditempeli dengan berbagai alat penunjang hidup. Dia bahkan sudah membuka matanya sekarang. Tania tengah menatap Xander dengan mata sayunya. Bibir pink alaminya tampak pucat. Sementara bahunya dililit dengan kain kasa. Dengan lemah, wanita itu mencoba tersenyum pada Xander."Xander...."Xander menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak. "Sakit sekali ya?" ucapnya menyerupai bisikan. Meski sudah sadar, Xander tahu Tania tidak baik-baik saja. Dia masih kesakitan. Tania tampak seperti ingin berbicara. Tapi terlalu lemah untuk melakukannya. Satu kata saja sudah cukup sulit.Xander membelai rambut Tania. Menggeleng. "Tidak perlu bicara apa-apa dulu. Tidurlah. Kau butuh banyak istirahat.""Dimana baby Lio? Apa dia tidak mencariku?" tanya Tania dengan nada sangat pelan. Napasnya terengah. Xander harus benar-benar mendengarkan dengan baik. "Hm
Xander membopong tubuh lemah Tania keluar. Berjalan cepat memasuki pelataran rumah sakit. Para dokter dan perawat sudah bersiap. Membawa Tania ke ruang operasi untuk segera ditangani."Maaf, Tuan. Tapi Anda diizinkan untuk ikut masuk."Xander mengepalkan tangan. Menghembuskan napas berat, dia tidak membantah. "Selamatkan istriku apapun yang terjadi," ucapnya sebelum pintu ruangan tertutup.Xander duduk di kursi depan ruangan itu. Tangannya terkepal kuat. Raut emosi menumpuk di wajahnya. Penampilan Xander sudah berantakan. Kemeja putihnya sudah bercampur dengan warna merah. Xander sudah sangat siap membunuh orang.Lelaki itu. Jangan harap Xander akan melepaskannya. Jika sampai Tania kenapa-kenapa, ia pastikan Abraham Denovan akan mendapatkan perlakuan yang setimpal.Xander menoleh ketika mendengar suara derap langkah kaki mendekat. Alex dan Angeline berjalan cepat menghampirinya. Lio berada di gendongan Angeline. Tangisnya terdengar kencang.Xander berdiri dan ingin mengambil putranya
Xander mengeratkan mantel hijau tebal di tubuh Tania, sebelum merangkul pinggangnya dan berjalan bersama keluar mansion."Mommy dan Daddy?" Tania menoleh sekilas ke belakang untuk melihat apakah mereka sudah siap atau belum. Lio juga bersama mereka."Mommy dan Daddy akan menyusul. Kita ke bendara lebih dulu."Tania mengangguk. Xander membukakan pintu mobil, dan Tania masuk ke dalam. Ketika lelaki itu juga akan masuk, Christian datang. Xander menatap Tania. Memberitahukan dengan gerakan bibir sebelum berjalan sedikit menjauh dari mobil. Ada sesuatu yang tidak beres. Terlihat dari ekspresi Christian."Tuan, Abraham menghilang.""Maksudmu?" Xander mengernyit."Posisinya masih bisa dilacak sekitar tiga puluh menit yang lalu. Tapi setelah itu dia menghilang. Dia meninggalkan mansionnya dan pergi entah ke mana," jelas Christian. Xander memang meminta Christian untuk mengawasi Abraham. Setelah dia membuat kejutan besar yang sudah pasti menghancurkan karirnya, Abraham tidak akan tinggal dia
Xander sudah sampai di mansion. Ia menghentikan langkah saat berpapasan dengan Alex di lorong lantai empat. Xander melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya."Daddy belum tidur?" tanyanya."Kau berbicara apa dengannya?" Xander mengernyit. Tapi kemudian ia paham maksud pertanyaan Alex. Daddynya pasti sudah tahu semuanya. Xander tidak perlu menjelaskan lagi."Hanya memberi peringatan pada Abraham Denovan," jawab Xander santai.Alex menghela napas berat. "Daddy tahu kau pasti sangat marah dengan apa yang dilakukan laki-laki itu pada Tania. Daddy juga sangat marah saat mengetahuinya," ucapnya. "Tapi kau jangan menjadi gegabah seperti ini."Alex sangat ingin menemui Abraham dan menghajarnya secara langsung ketika ia mengetahui ketika lelaki itu hampir mencelakai putrinya. Tapi Alex tahu ia tidak bisa gegabah."Pamanmu Robert, mengenal Abraham dengan baik. Dia pernah mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Lawannya adalah Abraham." Alex memulai ceritanya. "Abraham orang yang tida
"Apa saja yang kau lakukan di sana?"Tania merengut. "Aku tidak yakin kau tidak tahu. Para bodyguard mu pasti sudah memberitahumu kan?""Benar. Tapi aku ingin mendengarnya sendiri darimu." Dan mengetahui apa yang kau rasakan saat bertemu dengan ayah kandungmu. Lanjutnya dalam hati.Tania dan Angeline baru saja pulang dari acara amal. Meski bodyguard sudah memberitahukan semuanya. Tapi ia ingin Tania sendiri yang memberitahu."Di sana ramai sekali. Banyak orang yang memberikan amal," cerita Tania. Lalu wajahnya yang tampak biasa sebelumnya berubah cemberut. "Tapi karena ada wartawan juga, aku jadi tidak suka.""Kenapa?" Xander memberikan tanggapan. Ia mendongak menatap istrinya."Banyak orang yang jadi pamer tahu. Mereka berlomba memberikan uang paling banyak untuk amal. Lalu menceritakannya di depan kamera. Seharusnya kan tidak boleh seperti itu. Jika memang ikhlas ingin beramal ya beramal saja. Kenapa harus dipamer-pamerkan?"Xander tersenyum melihat bibir Tania yang maju ke depan ke
"Setelah sukses dengan menjadi anggota dewan di Spanyol, Bulgaria, dan Inggris, Abraham Denovan akhirnya kembali negaranya untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden pada pemilihan presiden yang akan datang. Nama lelaki kelahiran 1965 itu begitu cemerlang dalam dunia perpolitikan. Sikap tanggung jawab dalam menjalankan setiap tugasnya tidak bisa diragukan.""Namun, baru-baru ini berhembus kabar miring tentangnya. Belum dipastikan kebenarannya, tapi Abraham Denovan diduga suka bermain dengan perempuan malam, meski telah memiliki seorang istri. Dia juga memiliki seorang anak dari salah satu teman tidurnya itu. Anak itu–""Mommy."Angeline langsung mematikan layar televisi yang menampilkan berita itu ketika Tania memanggil. Wajahnya yang semula datar berganti menjadi senyuman saat Tania berjalan mendekat."Mommy." Tania duduk di sebelah Angeline. "Mommy sedang apa?"Angeline menggeleng. "Mommy melihat berita. Tapi karena tidak menarik, Mommy jadi malas melihatnya," jawabnya. "Di mana Lio