Zoya yang telah ditinggalkan oleh semua orang mulai sibuk menekan layar ponselnya. Masalah tak terduga yang dibuat Mas Jaya hari ini membuat Zoya seketika kehilangan ide untuk menjalankan tugas dari Sheila. Jika setelah penculikan ini Fiona menghilang lagi, keluarga Adiguna pasti akan menjadi sasaran. Lagipula, Igor juga pasti akan lebih mengawasi Fiona. Dia tidak mau mengambil resiko. "Halo," sapa Zoya pada orang di seberang begitu sambungan telepon terhubung. [Ada apa?] "Sheila, sepertinya aku tidak bisa menculik Fiona. Ada kejadian tidak terduga. Entah kenapa, Mas Jaya tiba-tiba ngide buat nyulik Fiona. Untuk saat ini, aku tidak berani mengambil resiko" lapor Zoya dengan hati-hati. " ... "Sheila tidak menjawab. Dan Zoya hanya bisa menggigit sudut bibir bawahnya dengan keras. Dia tidak sabar menunggu respon dari orang di seberangnya. [Dasar bodoh! Gak berguna!] Sheila memaki dari seberang. Tanpa banyak basa-basi berikutnya, pihak lain langsung menutup sambungan telepon denga
Hari demi hari berlalu terasa begitu lambat. Untuk sementara waktu, tidak ada hal yang istimewa terjadi pada keluarga Adiguna. Meski masih banyak orang yang berbicara buruk mengenai Jaya dan keluarganya, tapi keluarga Adiguna masih menjalani hari-hari seperti biasa. Di balkon kamarnya, Jaya mematikan puntung rokoknya yang kesekian. Dia lalu menghembuskan nafas panjang. Setelah berhari-hari memikirkan dengan baik wejangan Fiona, dia merasa bahwa semua ucapan mantan istrinya itu terdengar masuk akal. Hidupnya memang terlalu berantakan akhir-akhir ini. Apalagi setelah mendapat vonis mandul dari dokter, emosinya bahkan menjadi lebih buruk. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Segalanya sudah berjalan di luar kendalinya. Tok tok tok! "Mas, waktunya makan malam!" suara Zoya terdengar menyapa dari luar. " ... "Tok tok tok! "Mas?""Aku tahu. Kamu bisa pergi," balas Jaya dengan malas. " ... "Jaya menatap ke arah pintu kamarnya yang tertutup rapat. Meski tidak ada lagi suara dari luar, tap
"Jaya! Jangan bicara omong kosong dong!" jerit Ibu Marni. Saking kagetnya, wanita parah baya itu bahkan sampai melompat dari tempat duduknya. "Jaya tidak bicara omong kosong, Bu!" timpal Jaya sendu. Dia tidak sekalipun mengalihkan perhatiannya dari televisi yang kali ini mulai menayangkan acara sinetron. Sangat jelas sekali bahwa perhatiannya tidak ada pada acara yang sedang diputar di televisi. Bagaimana tidak, saat ini harga dirinya dipertaruhkan! Lain Ibu Marni, lain pula dengan Zoya. Kejujuran yang baru saja disampaikan oleh suaminya ditanggapi Zoya dengan getar ketakutan. Ingatannya seketika terlempar ke belakang, pada rencana pura-pura hamil serta kegugurannya. Tidak heran jika Mas Jaya berubah dingin padanya! "Zoya, bagaimana kalau kita bercerai saja?" ucap Mas Jaya berujar dengan lirih. Masih tanpa menoleh ke arah lawan bicara. "Mas!" pekik Zoya seketika. "Karena aku mandul, anak siapa yang kamu kandung tempo hari?" tanya Mas Jaya lesu. "Anak Mas Fadli?" Kali ini Jaya
Sepanjang malam, Zoya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Meski Mas Jaya mengatakan tidak akan menceraikannya untuk saat ini, tapi masih ada kemungkinan hal itu akan terjadi di lain waktu. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, tapi Zoya belum juga bisa memejamkan mata barang sedetik pun. Tubuhnya yang penat berbolak-balik dari kiri ke kanan dengan tidak tenang. Hingga suara derit ranjang kayu itu beberapa kali memecah kesunyian kamar yang gelap. Kata-kata mertuanya beberapa jam lalu berputar ulang dalam benak Zoya. "Kamu jangan ke-GR-an, saya tidak sedang membela kamu. Bukan berarti saya juga takut dengan ancamanmu! Saya hanya ingin beristirahat dari masalah yang kalian timbulkan satu per satu!" dengus Ibu Marni memberi peringatan pada Zoya sebelum masuk ke dalam kamarnya. "Lagipula, Agung juga sudah meninggal, mau kamu tunjukkan pada siapa ancaman itu?" ucap Ibu Marni dengan lirih sebelum pintu kamarnya kembali tertutup dari dalam. " ... ""Nak, Ibu tidak bisa tidur karena
Lain Zoya, lain pula dengan Fiona. Di siang hari yang terik ini, sebuah pesan dari orang tak terduga mengganggu rencana makan siangnya dengan Freya. [Ini ibunya Igor. Bisa kita bicara?]Adalah isi pesan yang Fiona terima. Sebaris kalimat ini sukses membuat jantung Fiona berdebar dengan kencang. Untuk waktu yang lama, dia bahkan hanya terbengong menatap layar ponsel yang perlahan berubah gelap. "Kamu kenapa?" tanya Freya tatkala melihat Fiona yang tiba-tiba membisu."Ah?"Dengung Fiona seraya menatap Freya dengan pandangan kosong. "Kemu kenapa tiba-tiba bengong?" tanya Freya sekali lagi. Fiona mengerjapkan matanya beberapa kali. "Aku diajak ketemuan sama ibunya Igor," jawab Fiona dengan hambar. Dia memiliki firasat buruk tentang ini. "Kapan?""Sekarang ini," jawab Fiona seraya meringis. "Muka kamu jelek banget. Gak suka ketemu Ibunya Igor?" tanya Freya. Bibir Fiona meringkuk membentuk garis datar. Hanya dari gelagat ini saja, Freya sudah menemukan jawabannya. "Emang kenapa? Ibu
Deg, 'Sialan, ini suaranya Mas Fadli!' geram Fiona di dalam hati. Jantung yang semula berdetak normal di dadanya berubah rikuh. Tubuhnya seketika diselimuti keringat dingin. Aliran darah di dalam tubuhnya juga serasa membeku. Dan segala kemungkinan buruk mulai tersebar di dalam benaknya. Kegalauan yang sempat dia rasakan setelah pertemuan dengan ibunya Igor pun langsung dilempar ke belakang kepala. Beruntung saat ini Fiona sedang dalam posisi membelakangi Mas Fadli, dia jadi memiliki waktu untuk menenangkan diri sesuai dengan saran Max tempo hari. Tarik nafas, Hembuskan, Tarik nafas, Hembuskan, Ketika Fiona sudah mulai bisa merasakan darahnya kembali mengalir dengan lancar, dia bergegas meraih ponsel dari dalam tasnya. Digerakkannya jari-jari tangan dengan cepat di atas layar. [Nau, aku ketemu Mas Fadli,][Di cafe XXX,][Kalau terjadi apa-apa sama aku, kamu tolong selamatin aku, ya!]Fiona tidak menunggu balasan dari Naura sebelum memasukkan kembali benda pipih itu kembali ke
[Nau, aku aman!]Fiona mengirim sepenggal pesan itu pada sahabatnya setelah dia berpisah dengan Mas Fadli. Akan tetapi, baru saja Fiona berhasil menghela nafas lega, sebuah mobil tak dikenal secara tiba-tiba menghalangi jalannya. Hal ini membuat Fiona terpaksa menginjak rem dengan keras hingga tubuhnya sedikit terpental ke depan. "Apa-apaan sih tuh orang!" dumel Fiona sembari menekan klakson mobilnya dengan keras. Tak lama kemudian, seseorang dari dalam mobil itu keluar. Dan alangkah terkejutnya Fiona ketika yang dia lihat adalah sosok Zoya bersama dengan Sheila keluar dari dalam mobil itu. "Tsk. Gak ada habisnya berurusan sama mereka!" dumel Fiona dengan dahi berkerut dalam. Alisnya bahkan hampir menyatu. "Si Sheila juga apa-apaan sih, aku kayaknya gak punya salah apa-apa deh sama dia!" ujar Fiona menggerutu sendiri. Sejak pertemuannya dengan Mas Fadli baru saja, sinyal waspada dalam benak Fiona yang sempat redup kembali menyala terang. Ditambah lagi adanya pengalaman diculik ol
"Aku tidak mau mengotori tanganku. Kamu saja yang lakukan!" celetuk Sheila pada Zoya. "Terserah kamu mau diapakan," sambungnya tatkala melihat tatapan penuh arti yang terpancar dari sepasang netra cemerlang milik Zoya. Plaakkk, Begitu mendapat lampu hijau, Zoya tidak segan-segan melayangkan tangannya ke arah pipi lembut Fiona. Tindakan ini membuat kepala Fiona terlempar sedikit ke kanan. Kerasnya tamparan itu membuat telinga Fiona bahkan berdenging tak nyaman. Fiona sendiri hanya bisa menggeram marah di dalam hati. Dalam hidup ini, Fiona tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari dia akan menerima perlakuan kasar seperti ini. Bahkan sampai berkali-kali! "Jangan salahkan aku karena melakukan ini!" ujar Zoya dengan tidak masuk akal. "Salahkan dirimu sendiri. Kalau saja kamu tidak mengusik rumah tanggaku dengan Mas Jaya, hal ini tidak mungkin akan terjadi!" pungkas Zoya. Fiona otomatis menggulung matanya di tengah rasa panas yang menjalar di pipi kirinya. Mbak Zoya ini memang tida
1 bulan kemudian, Kasus yang menimpa Mas Fadli dan Mbak Zoya akhirnya dilimpahkan ke pengadilan. Dikarenakan bukti itu datangnya dari Fiona, mau tidak mau dia tetap harus hadir sebagai saksi di pengadilan. Ketika hal itu terjadi, dia bisa melihat dengan jelas wajah terkejut keluarga mantan suaminya. "Fiona!" seru mereka dengan terkejut. Walau begitu, Fiona memilih sikap acuh tak acuh. Dia mengikuti seluruh rangkaian persidangan dengan khidmat. Dia juga menjawab pertanyaan dari Jaksa penuntut umum dengan jujur tanpa ada yang dia sembunyikan. "Jadi ini semua ulah kamu? Harusnya dari awal aku membunuhmu!" raung Zoya dengan marah yang membuat dirinya mendapat peringatan dari hakim. Melihat Fiona duduk di kursi saksi membuat Zoya menggeram penuh amarah. Jika pengungkapan bukti sabotase mobil Mas Agung ini diserahkan oleh Paman Rusdi, mungkin Zoya tidak akan semarah ini. Tapi yang melakukannya adalah musuh bebuyutannya. Orang yang sudah Zoya cap sebagai penyebab atas setiap kemalangan
"Jaya! Mas Fadli, Jay!"Ketika Jaya tiba di rumah, hal pertama yang menyambutnya adalah raungan sang kakak yang baru saja sadar dari pingsannya. "Mbak, tenang! Coba ceritakan ada apa?" tanya Jaya berusaha untuk bersikap tenang meski hatinya sendiri sudah gundah gulana. "Mas Fadli, Jay! Mas Fadli!" pekik Mbak Arum dengan histeris. Air mata terus merebak membanjiri pipinya. "Mbak, jelaskan pelan-pelan apa yang terjadi?" tanya Jaya dengan penuh kesabaran. "Mas Fadli ditangkap polisi!" ungkap Arum dari sela-sela sengguk tangisnya. "APA?!" pekik Ibu Marni dengan keras hingga memenuhi ruangan. "Tadi siapa orang yang menghubungi Mbak?" tanya Jaya masih dengan nada tenang meskipun hatinya sudah hancur berantakan. "Namanya Chandra. Pengacara Mas Fadli. Katanya sekarang dia ada di kantor polisi untuk menemani Mas Fadli diinterogasi," jawab Arum dengan tergugu. "Kalau begitu, ayo kita ke kantor polisi," ajak Jaya sembari beranjak dari sofa yang dia duduki. "Ayo! Ayo!" timpal Ibu Marni d
Fadli yang berangkat ke kantor ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul 11 pagi tiba-tiba dihadang oleh beberapa rekan kerjanya. Wajah kaku mereka membuat Fadli tiba-tiba merasakan firasat buruk di hatinya. Pikirannya bahkan langsung tertuju pada Zoya, dan ancamannya. Apalagi ketika mengetahui bahwa Jaya ternyata tidak berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya. 'Jangan bilang si Zoya sudah mengatakan tentang hal itu pada polisi!' gumam Fadli dengan panik. "Ada apa ini?" tanya Fadli pura-pura tidak merasakan keanehan dari mereka. Akan tetapi, dia perlahan mulai mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Sayangnya, sebelum Fadli sempat melaksanakan niatnya itu, dia telah lebih dulu dibekuk oleh rekan-rekan sejawatnya. "Sialan! Apa yang kalian lakukan?" maki Fadli dengan berang. Kini tangannya bahkan sudah diborgal yang terasa menginjak harga dirinya. Tanpa menghiraukan protesan dari Fadli, seorang polisi yang menangani kasus Fiona sebelumnya terus menyeret Fadli menuju
Di kediaman Adiguna, "Loh, Fadli? Kamu tidak berangkat kerja?" tanya Ibu Marni ketika melihat menantunya justru duduk dengan khidmat di sofa ruang keluarga. Seperti yang dikatakan Jaya kemarin, dia berpura-pura untuk tidak tahu menahu perihal yang katanya rahasia menantunya ini. Toh, semuanya juga belum terbukti kebenarannya. Bagaimana jika Zoya berbohong? Pun jikalau yang dikatakan Zoya itu benar, mereka bisa mengambil tindakan nanti. Tidak perlu terburu-buru. "Ini sudah jam setengah sembilan loh!" tambah Ibu Marni memperingatkan. "Fadli mau nanya dulu sama Ibu, apa Jaya berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya?" tanya Fadli penuh harap. "Huh! Dia tidak mau mencabut tuntutannya!" balas Ibu Marni seraya mendengus sinis. " ... "Tanpa sadar, geraham Fadli bergemeretak dengan tidak puas. Sayang sekali dia tidak berdaya! "Buk! Fadli mau bertemu dengan Ibu Mastah dulu, boleh?" tanya Fadli meminta izin. Alis Ibu Marni berkedut pelan. "Bertemu Ibu Mastah? Buat apa?" tanya
Pagi-pagi sekali. Jarum jam bahkan masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tapi paman Rusdi sudah menunggu di depan perusahaan tempat Fiona bekerja. Gelagatnya yang mencurigakan membuat seorang satpam perusahaan yang bertugas pagi ini terus menatapnya dengan curiga. "Permisi, Pak!" tegur Paman Rusdi dengan malu-malu. "Ada apa?" tanya satpam itu sedikit ketus. Wajahnya bahkan memberengut jijik. Aroma yang menguar dari tubuh pria gelandangan itu membuatnya ingin segera mengakhiri interaksi ini. "Di dalam sini ada karyawan yang namanya Fiona Larasati 'kan?" tanya paman Rusdi. Gelagatnya yang menurut sang satpam sudah mencurigakan sejak awal, membuat satpam yang bertugas itu semakin mengerutkan kening. Dia tidak mungkin tidak mengenal orang yang disebutkan oleh pria ini. Pasalnya, nama yang disebutkan itu sudah sangat terkenal di perusahaan. Selain karena kedekatannya dengan sang bos perusahaan. Wanita ini juga sering viral lantaran masalah keluarganya. Dan kabar terbaru yang ke
Ibu Mastah bergegas kembali ke kamarnya untuk mencoba menghubungi sang adik kandung melalui nomor yang hanya mereka ketahui sendiri. Tadinya dia berniat mengunjungi ruang keluarga untuk menanyakan tentang kabar putrinya yang tidak juga pulang hingga semalam ini. Siapa yang menduga dia justru mendengar obrolan penting itu. "Halo," sapa Ibu Mastah dengan antusias begitu sambungan telepon mulai terhubung. [Huh! Sekarang kamu baru menghubungiku?!]Ibu Mastah harus menjauhkan ponsel butut di tangannya dari sisi telinga karena kerasnya suara bentakan sang adik dari seberang sana. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Aku dengar dari Jaya dan ibunya kalau kamu memiliki bukti pembunuhan yang dilakukan oleh Fadli. Apa benar?" tanya Ibu Mastah. Rentetan kalimat panjang ini diutarakan dalam satu tarikan nafas tergesa. [ ... ]"Halo, Rusdi?" panggil Ibu Mastah karena sang adik tidak membalas perkataannya. [Jadi mereka sudah tahu!] "Apa?" tanya Ibu Mastah. [Kak, Zoya ada dimana?]Ibu Mastah m
Bumi telah diselimuti kegelapan ketika Fiona terbangun dari tidur lelapnya. Hanya lampu dari nakas yang menyala buram yang menerangi kamar sederhana itu. Fiona tidak langsung beranjak dari tempatnya. Kepalanya masih linglung mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi. Akan tetapi, suara yang datang dari luar kamarnya membuat Fiona tidak bisa berbaring lebih lama lagi. Dia perlahan beranjak dari ranjang empuknya, dan menyeret langkahnya untuk keluar dari kamar. "Fiona tidak akan menarik tuntutannya!"Sayup-sayup kalimat itulah yang menyambut Fiona ketika dia membuka pintu kamar. "Fiona sedang tidur!" "Gor," sapa Fiona lirih dengan suara serak khas bangun tidurnya. Igor yang sedang menelepon menyeret pandangannya ke arah sosok Fiona kemudian tersenyum teduh. "Pokoknya Fiona tidak akan menarik tuntutannya!" seru Igor untuk yang terakhir kalinya sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon. "Kamu sudah bangun? Bagaimana keadaan kamu?" tanya Igor seraya beranjak dari sofa yang
"Gak perlu! Ayo pulang!" tolak Ibu Marni dengan tegas. "Jangan dengarkan omong kosongnya!" lanjut Ibu Marni dengan penuh amarah. Dia lalu meraih tangan Jaya dan hendak menyeretnya untuk pergi meninggalkan sang menantu yang terlihat tidak lebih dari orang gila saat ini. "Huh! Anda yang paling tahu apakah yang aku ucapkan ini hanya omong kosong belaka atau tidak!" dengus Zoya santai. " ... "Sambil mendumel dengan suara rendah, Ibu Marni terus melangkah menjauh dari Zoya. "Mas, jika kamu tidak segera membebaskan aku sekarang juga. Aku jamin keluarga kamu tidak akan pernah menemukan ketenangan lagi!" ujar Zoya memberi peringatan. Langkah kaki Jaya spontan berhenti mendengar nada ancaman yang disampaikan oleh Zoya dengan begitu tenang ini. Jaya yakin bahwa siapapun itu orangnya, apabila menghadapi kondisi terpojok pasti akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan diri. Jaya tidak ingin menganggap remeh ancaman sang istri ini. "Kamu pasti mikir kalau aku sama Mas Fadli saling naksir
Pasca insiden penculikan ini, Igor tak sekalipun meninggalkan sisi Fiona. Di tidak mau hal buruk ini terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya pada sang wanita terkasih. "Aku baik-baik saja kok, Gor. Kamu bisa pulang," ujar Fiona begitu mereka tiba di apartemen Fiona setelah kembali dari rumah sakit. "Mulai sekarang, aku akan tinggal di sini!" putus Igor penuh tekad. "Hah?""Aku khawatir hal yang sama seperti ini akan terulang kembali," pungkas Igor. Dia masih memiliki bayang-bayang ketidakberdayaan di dalam benaknya. Kalau sampai dia datang terlambat, apa yang akan terjadi pada Fiona? Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat Igor merasa tidak sanggup! Dan sebenarnya, Fiona juga sedikit dihantui perasaan ketakutan akibat dari pengalaman yang menimpanya kali ini. Namun, posisinya dalam hubungan dengan Igor agak tidak menguntungkan untuk mereka bersama. Belum lagi, dia juga sudah berjanji pada ibunda Igor bahwa hubungan mereka tidak akan sampai pada tahap yang lebih serius t