Di sinilah aku sekarang. Di kamarku bersama dengan bu Maura, dan adik kembar Gaza, Lashira, dan Liora. Eh, kalau dipikir-pikir, kok aku dan Gaza sama-sama punya adik kembar, ya. Jangan-jangan, anak kami nanti juga kembar, secara kami sama-sama berasal dari keluarga yang punya gen anak kembar.
"Udah, selesai!" sorak Liora setelah dia selesai meriasku. Riasannya cukup bagus, dengan Korean look make up seperti request dariku. Melihat di cermin, aku terlihat cantik. Ya, meskipun nggak pake make-up juga cantik, sih, hehe.
"Wow! Cantik banget, sih, kakak iparkuuu," puji Lashira dengan begitu antusiasnya. Dia kemudian mengambil ponselnya yang sedari tadi tergeletak di ranjang, lalu mulai memotretku. "Ini kalau dikirim ke kak Gaza, pasti dia bakal liatin terus tanpa kedip."
"Ngapain dikirim ke kak Gaza segala? Orang sebentar lagi dia juga bakal liat orangnya langsung," ujar Liora.
"Ya
"Gaza lepasin, deh, nggak enak kalau ada yang lihat," ucapku yang merasa tak nyaman. Bukan tak nyaman dipeluk, tapi takut ketahuan sama yang lain, nanti diledekin, lagi, kan malu!"Biarin. Toh, kita sudah menjadi suami istri. Wajar kan, jika seperti ini?" ucap Gaza dengan santainya, tanpa menghiraukan perkataanku. Justru pelukannya kini semakin erat."Tapi, tetep aja nggak enak kalau ada yang liat. Nanti kalau diledekin gimana?" Memang kebiasaan di keluarga besarku tuh, suka meledek pasangan pengantin baru yang lagi mesra-mesraan."Ya, nggak papa. Pasangan pengantin baru, kan, memang sasaran empuk untuk jadi bahan ledekan."Ish! Dasar suami bandel!Baru nikah aja, dia sudah nggak mau dengerin omonganku, gimana kalau usia pernikahannya sudah lama?Aku membalikkan tubuh menjadi menghadap ke arahnya. Grogi jangan
"Tadi janjinya cuma sebentar aja, kan ketemunya? Terus, kenapa sekarang malah minta nego perjanjian?"Gaza menggenggam kedua tanganku. "Jujur, aku keberatan dengan syarat tadi siang, untuk tidak sekamar sama kamu. Tapi, daripada kamu nggak mau menikah sama aku, terpaksa aku iyakan.""Ya, udah, kalau gitu, tepati dong, syarat perjanjiannya," kataku."Tadi siang aku tidak berjanji, lho. Cuma mengiyakan saja."Huh! Si*l*n!"Oke. Tapi, kamu tadi janji cuma sebentar ketemunya, kan?"Gaza menghela napas, lalu melepaskan genggaman tangan. Dia menyugar rambutnya seperti sedang frustasi. Duh, aku jadi kasian."Kalau aku ingkar janji bagaimana? Aku beneran tidak bisa berjauhan sama kamu, Alula."Dasar mas suami! Segitu bucinnya ya, sama aku?Melihat matanya yang sendu, membuatku semakin tidak tega. Dia mungkin nggak bisa tidur karena ini bukan di rumahnya, atau di apartemennya. Maklu
Dari KUA, kita diberi surat keterangan bahwa pernikahan belum dicatat oleh negara. Surat itu yang nantinya akan diajukan ke pengadilan agama sebagai syarat pengajuan isbat nikah. Cukup rumit juga, ya, ternyata.Ini semua gara-gara Gaza. Coba kalau dia nggak maksa nikah siri dulu, pasti nggak akan ribet ngurusin ini itu. Kalau langsung nikah resmi kan gampang, cukup daftar ke KUA aja beres, nggak perlu ke pengadilan agama segala.Sepulang dari KUA, aku langsung menghubungi om Ardi, dan kerabat-kerabat lain yang kemarin menjadi saksi nikah. Gaza memaksa hari ini juga harus ke pengadilan agama, dan mereka semua harus ikut.Selesai mendaftar di pengadilan agama, kami langsung dipanggil ke ruangan sidang untuk melakukan isbat nikah. Sebelumnya aku mengira kalau proses ini akan memakan waktu berhari-hari, tapi ternyata langsung dipanggil untuk sidang. Entahlah, mungkin uang yang berbicara. Secara Gaza cukup m
"Itu apa, Sayang?" Gaza yang tadinya duduk di depan laptop, kini sudah berdiri, dan mendekat ke arahku. Melihat tatapan matanya yang kali ini terasa aneh, aku pun mundur. Tak disangka dia terus mendekat, sehingga mau tidak mau, aku pun terus mundur dengan perasaan sedikit ... takut. "Mas, kamu mau apa?" tanyaku cemas. Gaza menaikkan sebelah alisnya, seraya tersenyum miring. "Kenapa? Takut?" "E-enggak!" dustaku seraya terus mundur. "Kamu jangan dekat-dekat, dong!" Bukannya menuruti perkataanku, dia justru terus berjalan mendekat. Sialnya aku yang dari tadi mundur, tiba-tiba terhenti karena menabrak tembok. Dengan sigap, tangan Gaza segera mengunci pergerakanku. Kini jarak wajah kami amatlah dekat. Mungkin kalau diukur pakai penggaris anak sekolah, sekitar dua sampai tiga centi meter, atau bahkan kurang dari itu. Jangan tanyakan bagaimana degub jantung yang dari tadi terus menggila. Meski
Hari ini adalah resepsi pernikahan Liora. Sejak pagi, aku sudah didandani oleh MUA yang disewa untuk merias keluarga Alexander. Karena selepas subuh Lashira mengajakku untuk dirias, alhasil Gaza beberapa kali menghubungiku lewat ponsel. Mungkin dia uring-uringan karena istri cantiknya ini tak kunjung selesai dirias.Seperti kali ini, saat hair stylist menata rambutku, Gaza kembali menelpon. Aku yang sudah merasa tidak enak pada hair stylist, dan orang-orang yang berada di ruangan ini, memutuskan untuk mengabaikan panggilan Gaza."Pasti kak Gaza lagi tuh, yang telfon," tebak Lashira yang duduk di sampingku. Kebetulan dia juga sedang dirias."Iya, nih. Dia lagi." Aku memperlihatkan layar ponsel pada adik dari suamiku itu. "Biarin ajalah. Palingan mau tanya lagi udah selesai atau belum.""Diangkat aja, Kak. Kalau dicuekin, aku yakin nanti kamu bisa dihukum sama dia." Ancaman Lashira membuatku sedikit khawatir. Masa iya, sih, Gaza mau
"Kamu bukannya masih di kampung, La, kok tiba-tiba sudah ada di sini?" tanya Alena."Iya, La, sama pak Gaza, lagi. Kalian ada hubungan apa?" timpal Tere yang seketika membuatku mati kutu.Aku harus jawab apa?"Mmm ... a-aku ...." Duh! Aku bener-bener bingung mau jawab apa."Saya yang undang Alula secara langsung. Maka dari itu Alula ada di sini," ujar Gaza yang membuatku sedikit bisa bernapas lega. Tere mengangguk, sedangkan Alena masih dengan raut curiganya. Sekarang saja dia memicingkan mata ke arahku. "Kalau emang diundang, kok nggak balik ke kost dulu, La?"Mampus!Apa yang aku takutkan kini beneran terjadi. Ini semua akibat dari perbuatan Gaza yang ngebet pengen nikah siri. Ya, meskipun sekarang sudah resmi menikah secara negara, sih."Alula, aku cariin kamu dari tadi, lho," ujar Lashira yang tiba-tiba datang."Oh, hai. Iya, aku nyasar di sini," balasku.
"Kenapa harus pindah ke apartemen, sih? Mama lebih seneng, lho, kalau kalian tinggal di sini," ucap mama Maura saat aku, dan Gaza pamitan mau pindah ke apartemen milik Gaza."Kita cuma mau hidup mandiri, Ma," ujar Gaza seraya menggenggam erat tanganku. Kini kami duduk bersisian menghadap kedua orang tua yang menyebabkan adanya suamiku di dunia ini."Tapi mama bakal kesepian kalau kalian pindah. Baru aja mama ngerasain rasanya punya mantu perempuan." Mama Maura seperti tak mengizinkan kami untuk pergi.Papa Abraham yang tadinya duduk sambil bersandar pada kepala sofa, kini duduk tegak, lalu merangkul pundak mama Maura. "Ma, jangan begitulah. Mereka berdua itu pengantin baru. Wajar saja jika ingin hidup mandiri. Lagi pula jarak dari sini ke apartemen Gaza kan nggak jauh. Kita bisa sering saling mengunjungi."Meski dibujuk oleh papa Abraham, namun mama Maura sepertinya masih belu
"Mas, berhenti. Turunin aku di sini aja," pintaku pada Gaza. Spontan Gaza pun menepikan mobil yang tengah dikendarainya."Ada apa, Sayang? Kenapa turun di sini?" Gaza balik bertanya."Ya, biar nggak ada orang kantor yang lihat kalau kita berangkat bareng," jawabku.Jarak dari sini ke kantor sudah lumayan dekat, jadi tidak masalah jika aku harus berjalan kaki sebentar. Ini untuk menghindari gosip yang mungkin akan timbul jika orang-orang kantor melihat aku turun dari mobil Gaza."Memangnya kenapa sih, kalau mereka lihat? Wajarlah, kita kan suami istri.""Ih! Mas gimana sih, kita udah sepakat kalau rahasiain dulu pernikahan kita. Cuma sementara aja, kok," ujarku, "udah, ya, aku turun."Sabuk pengaman segera kulepas. Setelahnya aku membuka pintu mobil, namun gagal."Kok, dikunci sih, Mas? Aku mau turun, lho.""Siapa yang mengizinkan kamu turun di sini?" ujar Gaza tanpa melihat ke ara
Saya ucapkan beribu-ribu terima kasih kepada teman-teman semua yang sudah membaca cerita 'Mantan Jadi Bos' 🙏 Tanpa kalian semua, tentunya cerbung ini tidak akan sampai pada tahap ini🥺 Saya juga meminta maaf apabila banyak narasi atau dialog di cerbung ini yang kurang berkenan di hati teman-teman semua. Semua yang tertulis di cerbung 'Mantan Jadi Bos' adalah fiksi, murni dari imajinasi saya. Apabila ada kesamaan nama, tempat dan lain-lain, sungguh tidak unsur kesengajaan. Sekali lagi saya mohon maaf, dan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk teman-teman semua.🙏🥺😘 Boleh mampir ke cerbung saya yang lain, dan nantikan cerbung baru selanjutnya. Sekian Terima kasih ❤️ Aufa
Netra ini perlahan membuka. Pemandangan yang pertama kulihat adalah plafon berwarna putih. Menoleh ke samping, ada Gaza yang kini tersenyum lembut ke arahku."Kamu sudah siuman, Sayang?" tanyanya lembut sembari mengelus pipiku dengan jemarinya."Ini kok aku bisa di sini, Mas? Di mana sih, ini?" Aku balik bertanya dengan suara serak. Sepertinya aku tidur terlalu lama hingga bangun-bangun suaraku menjadi serak seperti ini."Ini di kamar khusus yang ada di gedung tempat resepsi kita."Masih dengan posisi terbaring, aku melihat ke sekeliling. Ya, baru kuingat ruangan ini adalah ruangan yang digunakan untuk meriasku. Eh, tapi bisa-bisanya aku bangun-bangun udah di sini, ya? Masih kuingat tadi menyalami para tamu undangan. Lha, kok aku tiba-tiba malah di sini? Apa cuma mimpi?"Mas, sebenarnya apa yang terjadi, sih?""Kamu pingsan, Sayang. Tadi setelah menyalami banyak tamu, kamu tiba-tiba pingsan. Mungkin karena
Hari ini ibu datang dari kampung bersama kedua adikku, dan om Ardi serta istrinya. Tadinya aku mau menawari mereka untuk menginap saja di apartemenku, tapi kata mama Maura sebaiknya nginep di rumah mama Maura aja yang punya banyak kamar. Maklum, di apartemenku cuma ada dua kamar. Itu pun satu ditempati olehku, dan Gaza. Nggak mungkin kan kalau tamu dari kampung yang jumlahnya lima orang disuruh tidur satu kamar?Karena keluargaku menginap di rumah mertua, alhasil aku, dan Gaza pun diharuskan untuk menginap di rumah megah milik mertuaku ini."Ayo, nambah lagi sarapannya." Mama Maura menawari dengan ramah pada keluargaku. "Jangan sungkan-sungkan, anggap saja rumah sendiri.""Terima kasih Bu Maura. Jadi merepotkan begini," balas ibu."Lho, ya, nggak merepotkan, Jeng. Saya malah senang sekali kedatangan besan."Seusai sarapan, mama Maura mengajak kami semua ke butik untuk fitting gaun pengantin, serta seragam yang akan digunakan
Ketika membuka pintu, aku dibuat terkejut, saat mengetahui siapa orang yang mencariku.Mau ngapain dia ke sini?"Naufal! Ngapain kamu ke sini?" tanyaku yang mungkin terdengar sedikit ketus.Dia yang ditanya dengan nada seperti itu malah tersenyum, dan melangkah lebih dekat ke arahku. "Beberapa waktu lalu aku sempat kirim pesan ke kamu kan, kalau mau nemuin kamu?""Iya, tapi ada urusan apa? Eh, bentar deh, aku panggil temenku dulu, ya. Biar kita nggak cuma berduaan." Tanpa menunggu jawaban Naufal, aku kembali masuk untuk memanggil Alena.Sekarang statusku adalah seorang istri dari Gaza Alexander. Tidak pantas rasanya jika menemui laki-laki lain tanpa didampingi teman. Bisa-bisa nanti timbul fitnah. Ditambah lagi, firasatku sedikit tidak enak karena kedatangan Naufal."Len, ikut gue ke depan, yuk. Temenin gue ngomong sama itu orang," ujarku sambil menarik lengan Alena yang tengah duduk sambil main ponsel."
"Ya, makanya bilang cinta dong. Kamu cinta kan sama aku, Mas?""Tidak."Apa?!Ini aku nggak salah dengar kan?"Mas, maksud kamu apa, coba? Kamu nggak cinta sama aku gitu? Dan ternyata selama ini aku cuma mengira kalau kamu cinta sama aku, tapi nyatanya aku cuma dijadiin bahan mainan kamu, dan pemuas nafsu kamu. Gitu maksudnya, Mas?" Sumpah deh, aku udah nyesek banget ngomong seperti ini.Jika benar seperti itu faktanya, aku benar-benar hancur. Orang yang aku cintai, justru cuma memainkan perasaan ini.Air mata mulai membasahi pipiku. Sakit rasanya, meski ini baru dugaanku saja. Harapanku sih, nggak kayak gitu."Sayang, kok jadi nangis, sih?" Gaza merangkulku. Jarinya dia gunakan untuk menghapus air mata di pipi mulus milik istrinya ini. "Bukan begitu maksudnya, Sayang. Aku kan tadi belum selesai bicara.""Ya, udah selesain ngomongnya, cepetan!" perintahku sambil sesenggukan. "Bene
"Sayang, teman-teman divisi kamu sedang mengadakan makan siang bersama?" tanya Gaza yang membuat keningku berkerut."Makan siang bersama? Nggak tau, tuh." Aku mengedikkan bahu."Tapi, sepertinya mereka memang sedang makan siang bersama, kok. Coba kamu lihat ke sana."Dengan rasa was-was, aku pun menoleh ke arah yang ditunjukkan Gaza. Dan benar saja, di sana teman-teman satu divisiku sedang makan bareng, dan kompak melihat ke arahku dan Gaza. Pasti sedari tadi mereka memperhatikan adegan suap-suapan tadi.Kembali menoleh ke Gaza, aku segera meminta bantuan melalui kode raut wajah yang sengaja kubuat manja, bermaksud meminta tolong."Apa?" tanya Gaza yang aku yakin dia sambil nahan agar nggak senyum."Bantuin dong," jawabku dengan suara yang kecil. Takut jika mereka mendengar."Bantuin apa? Mau disuapin? Kan dari tadi juga udah disuapin," kata Gaza meledek. Ngerti banget kalau istrinya ini lagi terpoj
Tak terasa sudah satu bulan aku kembali bekerja di kantor, dan selama itu pula rahasia tentang pernikahanku, dan Gaza masih terjaga. Mungkin suatu hari nanti semua orang di kantor akan tahu tentang statusku, karena tidak mungkin juga aku menyembunyikan pernikahan ini selamanya.Untuk pagi ini aku berangkat sendiri, karena Gaza sudah pergi sejak habis subuh tadi bersama papa Abraham. Mereka pergi ke kota sebelah untuk meninjau pembangunan proyek perusahaan.Aku tidak benar-benar berangkat sendirian ke kantor. Maksudnya, untuk hari ini tidak berangkat bersama Gaza karena alasan tadi. Gaza sempat menyuruh Alena untuk menjemputku di apartemen. Katanya sih, nggak tega dan nggak rela kalau aku berangkat naik bus, taksi, atau ojek online. Maklum, suamiku itu agak posesif."Gimana, La, rasanya kembali berangkat kantor bareng gue lagi?" tanya Alena ketika kami berada di parkiran kantor."Seneng, seneng," kataku sambil mengangguk. "Tapi ...
"Guys ... lihat deh, pak Gaza lagi lihat ke arah sini," bisik Gaza, dan spontan membuatku melihat ke arah di mana Gaza berada.Memang Gaza sedang melihat ke arah sini. Tepatnya, dia sedang menatap tajam ke arahku. Mungkinkah dia marah karena aku nggak mau diajak makan siang bersama?"Kalian ada punya salah sama pak Gaza?" celetuk Tere, "kalau gue sih, nggak ada."Spontan Alena, dan Gio saling berpandangan, kemudian keduanya kompak menoleh ke arahku. Dari tatapan mereka berdua, seperti mengisyaratkan bahwa mereka mengasihaniku. Pasti mereka juga berpikir kalau Gaza sedang marah padaku.Gio berdehem. "Ya, nggaklah, Re. Pak Gaza kan baru datang hari ini. Kemarin-kemarin dia kan cuti.""Eh, iya juga, ya. Tapi, kok bisa samaan kayak lo ya, La. Pak Gaza mulai nggak kelihatan di kantor tuh pas lo mulai cuti. Dan sekarang, kalian berangkat lagi di hari yang sama juga. Aneh nggak sih? Atau jangan-jangan lo sama pak Gaza janjian, La?"
"Mas, berhenti. Turunin aku di sini aja," pintaku pada Gaza. Spontan Gaza pun menepikan mobil yang tengah dikendarainya."Ada apa, Sayang? Kenapa turun di sini?" Gaza balik bertanya."Ya, biar nggak ada orang kantor yang lihat kalau kita berangkat bareng," jawabku.Jarak dari sini ke kantor sudah lumayan dekat, jadi tidak masalah jika aku harus berjalan kaki sebentar. Ini untuk menghindari gosip yang mungkin akan timbul jika orang-orang kantor melihat aku turun dari mobil Gaza."Memangnya kenapa sih, kalau mereka lihat? Wajarlah, kita kan suami istri.""Ih! Mas gimana sih, kita udah sepakat kalau rahasiain dulu pernikahan kita. Cuma sementara aja, kok," ujarku, "udah, ya, aku turun."Sabuk pengaman segera kulepas. Setelahnya aku membuka pintu mobil, namun gagal."Kok, dikunci sih, Mas? Aku mau turun, lho.""Siapa yang mengizinkan kamu turun di sini?" ujar Gaza tanpa melihat ke ara