"Bi, apakah ini tidak terlalu berlebihan?" Ela masih tidak terlalu yakin akan penampilannya sendiri."Tenanglah, Nona Ela. Meski tidak pernah berdandan sebelumnya, saya pastikan Anda akan terlihat berbeda dengan sentuhan saya," ucap bibi Gwen dengan begitu percaya diri.Wanita paruh baya keturunan Korea itu terlihat begitu telaten dalam memoles setiap sudut wajah Ela yang tak pernah tersentuh make up sedikit pun sebelumnya.Hingga beberapa saat kemudian. Bibi Gwen menaruh alat tempurnya seraya menghela nafas panjang. "Huh ... selesai," ucapnya lega.Sementara Ela masih diam tak bergeming. Wajahnya terasa kaku seperti ada lem yang menempel di seluruh wajahnya.Entah berapa lapis bedak yang digunakan bibi Gwen untuk memoles wajahnya."Lihatlah ke cermin, Nona. Anda sekarang terlihat lebih segar," ucap bibi Gwen dengan penuh percaya diri.Mendengar kalimat itu, sontak membuat Ela menoleh ke arah cermin rias di sisi sampingnya.Dahi Ela berkerut, dengan kedua alis menyatu. Menatap pantula
Wanita cantik dengan rambut bergelombang di ujungnya membuat tampilan itu menjadi lebih menarik.Bibi Gwen seketika menggelengkan kepalanya cepat. Menepis segala kekaguman yang memenuhi otaknya. Ia tak ingin terlalu lama mengulur waktu, yang pada akhirnya akan membuat Matthew lebih kesal lagi."Anda tidak sempat sarapan, Nona. Ini Bibi bawakan bekal untuk Anda. Jangan lupa dimakan jika ada waktu senggang," ucap bibi Gwen seraya mengulurkan kotak bekal berwarna merah jambu.'Seperti anak kecil yang ingin pergi ke sekolah saja' Begitu pikir Ela. Ada rasa hangat yang menyeruak masuk begitu saja ke dalam hatinya. Seperti perhatian kecil yang selalu ia impikan sejak lama.Namun tak ingin membuat sang ayah terlalu lama menunggu. Ela akhirnya menerima kotak bekal itu, sebelum mencium punggung tangan bibi Gwen seraya berpamitan pergi, "Ela pergi dulu, ya, Bi. Assalamualaikum.""Wa-waalaikumsallam," jawab bibi Gwen terbata saat Ela telah melangkah jauh dari tempatnya semula.Tubuhnya mendadak
Kini Ela yang telah masuk ke dalam ruangan pribadi miliknya nampak tertegun. Manik hitamnya menelusuri setiap inci dari ruangan itu.Desain elegan dan corak dindingnya seolah sengaja dibuat serasi. Bahkan nama lengkapnya tertulis di atas meja tempatnya akan memulai tugas barunya."Aku tidak pernah mengira hidupku akan berubah drastis hanya dalam satu malam," gumam Ela memegangi papan namanya.Hingga suara ketukan pintu membuat hatinya terhenyak kaget. Sontak hal itu membuat tatapan Ela tertuju pada daun pintu yang mulai bergerak.Tok! Tok! Tok!Detik berikutnya, pintu mulai terbuka perlahan tanpa menunggu Ela mempersilakan seseorang dari balik pintu itu untuk masuk.Lancang sekali, bahkan seorang karyawan perusahaan bisa bersikap selancang itu. Perlukah Ela memberinya sedikit pelajaran?"Bu Gabriela, saya membutuhkan tanda tangan untuk berkas-berkas saya," ucap salah seorang wanita yang tiba-tiba masuk tanpa sedikit pun kalimat permisi. Menghampiri Ela yang masih berdiri di depan meja
"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Sela dengan bibir bergetar halus.Pertanyaan itu sontak membuat Ela menatapnya setelah menaruh kembali telepon kabel di meja kerjanya."Apa kamu tuli? Tidakkah kamu mendengar maksudku dengan begitu jelas, Nona Sela?" cibir Ela yang hanya asal menebak nama panggilan itu.'Di-dia bahkan tahu namaku? Padahal aku belum bekerja di sini saat dia hilang dulu'Bulu kuduk yang berada di tengkuknya mendadak meremang. Tak tahu mengapa, hawa dingin dan suasana mencekam mulai menyelimuti dirinya saat Ela menyebut nama itu.Detik berikutnya, sebuah ketukan pintu kembali terdengar dari luar ruangan.Tok! Tok! Tok!"Masuk!" sahut Ela tanpa sedikit pun menatap ke arah daun pintu. Nampaknya dirinya sudah mengetahui siapa yang akan datang.Tak lama, daun pintu mulai terbuka. Masuklah dua orang pria bertubuh besar dengan balutan seragam hitam khas security.Sebenarnya beberapa menit yang lalu Ela sempat diam-diam menekan tombol darurat untuk meminta bantuan. Sebab it
"Baiklah, sebab suasana hati saya yang hari ini sedang baik, saya akan memberi kalian bertiga kesempatan ke dua. Dengan catatan, turun jabatan menjadi Office Boy. Jika dalam waktu satu tahun kinerja dan tata krama kalian bagus, maka saya akan mengembalikan jabatan kalian seperti semula," jelas Ela kemudian dengan ketegasan tanpa sedikit pun keraguan.Sontak hal itu membuat ketiganya terperangah dengan mata membulat sempurna. "O-office Boy?""Terserah, jika tidak mau kalian bisa segera angkat kaki dari perusahaan ini," ucap Ela acuh tak acuh dan hendak melangkah pergi. Namun langkah itu tertahan oleh tangan yang tiba-tiba memeluk kakinya."Tunggu, Bu Gabriela! Saya bersedia!" ucap salah satu dari security yang diikuti oleh security lainnya. "Saya juga bersedia."Namun tidak begitu dengan Sela. Wajah wanita itu seketika terasa panas. Gejolak amarah mendadak memenuhi hatinya. Hingga membuat kedua tangannya kembali mengepal kuat."Tidak bisa! Jangan mentang-mentang kamu Anak dari pemilik
Krukk ....Ela tertegun sejenak. Sesekali matanya melirik ke arah Deo. Barang kali pria itu mendengar bunyi perutnya yang keroncongan."Ayo makan, aku lapar," ucap Deo berinisiatif.Ela tahu, sebenarnya pria itu mendengar suara perutnya yang berontak beberapa saat yang lalu.'Ah, malunya aku ....'Ela mengigit bibir bawahnya menahan malu dan rasa lapar yang mulai bergejolak dalam perut, sebab tak sempat memakan apa pun di rumah. Untungnya, bibi Gwen sempat memberinya bekal untuk dibawa."Ayo!" ucap Deo mengulangi ajakannya, saat tak kunjung mendapati persetujuan dari Ela.Sontak hati Ela terhenyak kaget. Dan segera mendorong gagang kursi roda keluar dari dalam ruangan, dan berbelok ke arah kiri.Namun langkah Ela seketika terhenti sesaat setelah beberapa langkah keluar melewati pintu ruangannya.'Tunggu dulu! Aku tidak tahu Tuan Deo akan mengajakku makan di mana. Kenapa tanganku spontan mendorong kursinya keluar?'Ela merasa kebingungan dengan tangannya yang kembali tak dapat dikendal
Tak berselang lama. Wanita paruh baya yang bekerja sebagai salah satu penjaga kantin perusahaan itu kembali membawa nampan besar. Berjalan cepat menuju ke arah Ela yang tengah memperhatikannya dari jauh."Silakan, Nyonya Gabriela dan Tuan Deo," ucapnya ramah, seraya memindahkan makanan yang berada di atas nampan ke meja makan.Ela sedikit mengerinyitkan dahi. Menatap bingung pada makanan yang tersaji di depannya.Namun alih-alih bertanya saat menyadari ekspresi wajah Ela, ibu-ibu penjaga kantin sontak berlalu pergi tanpa berpamitan.'Benar seperti dugaanku sebelumnya. Wanita itu hanya mencari muka saat melihat Tuan Deo bersamaku' Batin Ela.Deo terdiam sejenak. Menatap Ela yang tengah duduk berhadapan dengannya, hanya berdiam diri seraya mengamati semangkuk bakso hangat yang tersaji.Tak berselang lama, wanita penjaga kantin kembali membawa semangkuk kecil irisan jeruk. Berjalan setengah berlari menghampiri dengan tergesa-gesa."Maaf, Nyonya, saya hampir melupakan jeruk nipis favorit
"Berakting? Untuk apa?" tanya Ela yang tidak sepenuhnya mengerti alasan Deo melakukan hal itu."Tentu saja untuk perjodohan ini tetap berlangsung, apa lagi?"Deo menatap wajah Ela yang seketika berubah tanpa ekspresi. Seolah tak menyetujui kalimatnya secara langsung."Tuan Deo. Jadi sekarang saya bisa membuat kesimpulan, jika Anda dan saya sama-sama tidak memiliki perasaan. Lantas, apa alasan kita harus meneruskan perjodohan ini?" ucap Ela datar.Sementara Deo nampak terperangah tak percaya. Pengakuan itu terlalu tiba-tiba. Bagaimana mungkin, Ela yang dulunya selalu menempel padanya sekarang mengaku jika tidak memiliki perasaan terhadapnya? Apakah hilang ingatan juga bisa menghilangkan kesan seseorang dalam hati?"Mustahil. Sedikit pun tak ada perasaan padaku?" tanya Deo memastikan seraya menggeleng pelan. Sementara matanya tak berpaling sedikit pun dari wajah Ela tanpa berkedip.Sontak Ela yang sebelumnya sibuk dengan kotak bekalnya segera menatap wajah Deo penuh keyakinan. Kali ini
"Tidak perlu. Berdebat dengan orang bodoh hanya akan menambah orang bodohnya jadi dua," cibir Ela seraya melengos pergi."Setelah operasinya selesai, Laura akan dipindahkan ke ruang rawat inap selama satu minggu. Seluruh administrasi rumah sakit sudah saya tanggung. Setelah ini jangan cari saya dengan alasan apa pun. Saya sudah tak memiliki hubungan dengan kalian," pungkas Deo sebelum menyusul langkah sang istri meninggalkan rumah sakit. Tak ia hiraukan tatapan tak berdaya dari ayah Laura.****Lima bulan kemudian.Setelah putusan sidang mengenai kasus penculikan dan pembunuhan berencana Pram dan Arsenio, yang kini dihukum penjara seumur hidup, Ela dan Deo pada akhirnya bisa hidup dengan tenang.Bahkan Laura pun tak lagi terdengar kabarnya setelah kejadian hari itu."Kenapa sekarang kita tinggal di sini? Apa Darren tidak kesepian tinggal sendiri?" tanya Ela sesaat setelah memasuki kediamannya."Dari pada dia, aku lebih memikirkan kamu. Kalau ada apa-apa pas aku tidak ada di rumah baga
"Tidak! Tunggu, Tuan Deo! Tolong jangan hiraukan ucapan Istri saya. Dia memang terbiasa berkata tanpa berpikir terlebih dahulu. Tolong, jangan tinggalkan Laura dalam keadaan seperti ini." Ayah Laura berlari ke arah Deo dan bersimpuh di kakinya.Belum sempat Deo menimpali, suara derit pintu ruang rawat yang terbuka membuat seluruh pasang mata menatap ke arahnya.Seorang dokter wanita terlihat muncul dari balik pintu yang kembali ditutup rapat. "Apakah ada keluarga Pasien di sini?""Saya Mamanya, Dok!" Ibu Laura gegas berlari menghampiri dokter."Begini, Bu. Dengan berat hati saya sampaikan bahwa, janin yang dikandung Putri Ibu tak dapat diselamatkan. Saya meminta persetujuan keluarga untuk segera melakukan tindakan operasi pengangkatan janin. Karena jika itu sampai telat dilakukan, nyawa Ibunya pun akan terancam," jelas dokter."Lakukan segera, Dok. Lakukan apa pun agar nyawa Putri saya selamat.""Baik, Bu. Silakan tanda tangani berkas ini setelah Anda melunasi administrasinya." Dokter
****Empat bulan kemudian."Bagaimana perkembangan kasusnya, Sayang?" tanya Ela pada Deo yang baru memasuki kamar, setelah selesai menghadiri sidang kasus kematian Clarissa."Ternyata pelaku adalah teman masa kecil Mama. Dia menyukai Mama sejak lama, tapi Mama tak pernah membalas perasaannya. Hal itu yang memicu pelaku melakukan penganiayaan, saat tak sengaja menjadi Dokter di rumah sakit jiwa tempat Mama dirawat. Dengan bukti-bukti yang telah terkumpul, pada akhirnya Hakim telah memvonis hukuman yang setimpal setelah beberapa kali persidangan," jawab Deo panjang lebar. Pria itu melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya sebelum merebahkan diri di atas tempat tidur."Apa hukumannya?" tanya Ela penasaran seraya berjalan mendekat."Penjara seumur hidup dan denda.""Itu tidak setimpal! Seharusnya orang itu mendapatkan hukuman mati! Kenapa kamu tidak membiarkan aku ikut ke persidangan hari ini?" geram Ela tak terima."Kamu hamil. Lihat perutmu sudah sebesar apa? Aku tidak ingin kesehata
"Rasanya aku sudah tidak ada tenaga untuk berjalan. Tubuhku rasanya lemas sekali."Deo gegas berjalan mendekati sang istri. Tanpa pikir panjang, Deo segera membopong Ela di depan tubuhnya dan membawanya ke luar. "Aku akan menggendongmu, jangan khawatirkan yang lain, yang paling penting kamu harus segera sembuh."Namun sesaat setelah Deo baru sampai di ujung tangga, Laura dengan cepat menghadangnya dengan merentangkan kedua tangan. "Mau ke mana?" ketusnya dengan tatapan mengintimidasi. Namun Deo bersikap acuh. Setelah menatap sengit wajah Laura untuk sekilas, Deo segera melangkah menerobos pertahanan Laura. Namun lagi-lagi Laura menghentikan langkah Deo kembali. "Mau ke mana?" ucapnya mengulangi pertanyaan awal."Minggir, ini tidak ada urusannya denganmu," jawab Deo datar tanpa ekspresi."Tentu ada. Aku adalah Istrimu."Deo yang pada akhirnya kehabisan kesabaran menampakkan kilat amarah dalam tatapannya. "Aku bilang, minggir!" bentak Deo lantang.Laura seketika itu membeku dengan wajah
Dalam balutan pakaian tidur transparan, seluruh bekas merah yang Deo ciptakan terekspos sepenuhnya.Hal tersebut tentunya membuat Laura diam mematung dengan tatapan tak percaya. "I-itu ... kalian benar-benar melakukannya di belakangku?" geram Laura tak terima.Ela lantas mengerinyitkan dahi sejenak. Hingga wanita itu sepenuhnya mengerti jika yang tengah dimaksud Laura adalah bekas cupang di leher dan dadanya. "Maksudmu ini? Mau aku melakukannya di hadapanmu sekarang? Boleh," sindir Ela seraya menunjuk bercak merah di lehernya.Setelah lama bersabar pada akhirnya stok kesabaran Laura pun habis. Wanita itu mendorong tubuh Ela keras hingga membuat Ela berdiri terhuyung dan hampir terjungkal ke belakang. "Minggir! Aku mau bicara dengan Deo!"Namun sayangnya aksi Laura gagal setelah Ela gegas menarik gagang pintu hingga membuat Laura tak bisa memasuki celah yang sempit. "Heh! Kamu yang harusnya minggir! Untuk apa memasuki kamar orang?! Sana, pergi ke kamarmu sendiri!" bentak Ela dengan lan
Ela mengerinyitkan dahi. Merasa geli mendengar kalimat yang baru saja memasuki gendang telinganya."Astaga ... tidakkah kamu merasa sadar diri? Deo menikahimu hanya karena terpaksa. Papamu terus berlutut di bawah kakinya, berharap kamu mendapatkan pengobatan tanpa sedikit pun mengeluarkan uangnya. Dia juga memohon agar Deo tidak langsung menceraikanmu saat itu, bernegosiasi agar kalian bercerai setelah anak yang kamu kandung lahir, agar tak membuat aib di keluarga," jelas Ela panjang lebar.Sontak Laura kembali dibuat mematung. Tak menyangka akan mendapatkan suguhan dari kebusukan ayahnya dari mulut Ela."Itu tidak mungkin! Ini adalah Anak Deo! Tanggung jawabnya.""Cih! Semua orang sudah tahu kebusukanmu dan Arsenio, termasuk aku. Jadi tidak perlu mengungkit aibmu jika kamu masih memiliki rasa malu. Tanpa persetujuan dariku pun, Deo sudah membuangmu dari jauh-jauh hari," pungkas Ela sebelum kembali memasuki ruangan dan menutup pintu kamar dengan keras. Merasa tak ada lagi yang perlu d
"Aku masih ingin hidup," imbuh Deo semakin menjauhkan piring.Laura membeku. Rasa sesaknya dada semakin terasa, hingga ia hampir tak dapat menahannya."Akhirnya ...." ucap syukur Darren sesaat setelah menyadari kehadiran Ela yang tengah berjalan mendekat. Membawa sebakul nasi di tangannya.Ela meletakkan masakannya di atas meja. Aroma sedap khas masakan rumah menguar memenuhi penjuru ruangan."Nah ... ini baru makanan. Dari jauh saja sudah tercium aroma sedapnya." Darren gegas membalik piring dan mengambil centong nasi. Namun niatnya urung kala Deo menepuk kasar lengannya. "Aku dulu! Di mana sopan santunmu sebagai adik?""Astaga ...." keluh Darren."Sudah-sudah! Masih banyak kok nasinya, jangan berebut!" Ela lantas duduk di samping Deo dan mulai mengisi piring suaminya.Tatapan matanya sekilas tertuju pada Laura yang berdiri mematung di hadapannya. Menatap tak suka dengan kehadiran Ela."Eh? Kenapa masakan Laura utuh? Kamu tidak cicipi? Dia buatnya penuh cinta, loh," ledek Ela pada su
Deo dan Ela yang baru hendak memadu kasih dikejutkan dengan teriakkan gaduh dari luar ruangan."Kak! Istrimu gila! Cepat selamatkan aku!" Suara Darren kembali terdengar untuk yang kedua kalinya.Deo yang hendak memeluk pinggang ramping sang istri pun langsung mengurungkan niatnya.Pria itu memejamkan mata erat menahan kedongkolan dalam hati. Disertai helaan nafas berat yang sekali berhembus begitu kasar. "Astaga Anak ini! Padahal dari brojol sampai sekarang tidak pernah memanggilku Kakak. Ayo lihat! Kemasukan jin apa dia sampai bisa berubah seperti itu." Deo beranjak bangkit dari atas ranjang.Raut wajah sedikit kecewa Ela tunjukkan. Padahal awalnya ia sempat merasa ragu. Namun setelah baru memulai, rasanya ia tak ingin menghentikan aktivitas itu.Keduanya pun kini keluar dari dalam ruangan. Menghampiri sumber suara yang diduga kuat berasal dari ruangan paling pojok di lantai dua."Astaga ...." timpal Deo kala mendapati Laura yang masih memegangi kedua kaki Darren erat.Wanita dengan
Deo dan Ela seketika saling bertukar pandang, sebelum pandangan mata Deo beralih menelisik gerak-gerik istri keduanya. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?"Laura membeku. Wajahnya menoleh, menatap datar ke arah Deo. "Apa matamu sedang rabun jauh? Tidak lihat aku sedang membereskan barang-barangku?"Lantas Deo mengangga. "A-apa?!" Deo beranjak turun dari atas ranjang mendekati Laura yang tengah menyeret koper di depan pintu."Keluar!" bentak Deo melempar kembali beberapa koper dan tas ke luar ruangan.Kilat amarah yang terpancar dari wajah Deo membuat Laura membeku di tempat."Aku bilang keluar!" Deo mengulangi kalimatnya dengan suara yang semakin meninggi. Sedang telunjuknya mengarah ke arah pintu kamar yang masih terbuka lebar.Bentakan keras yang tak pernah Laura dapatkan dari sosok pria yang sama di masa lalu membuat tubuhnya berkali-kali berlonjak kaget."Tapi kenapa? Kenapa dia bisa di sini, sedangkan aku tidak?" tanya Laura kala stok kesabarannya mulai menipis. Menunjuk ke ar