Almira bangkit perlahan, dengan perasaan marah yang dia coba redam sekuatnya. Rasanya sungguh sangat sakit, bagai dicabik-cabik. Sementara cairan bening tak mau berhenti menetes dari kedua sudut matanya. Dadanya terasa begitu sebah tercekat menahan isak. "Kamu benar-benar laki-laki brengsek, Mas!" Umpatan itu lagi-lagi meluncur dari mulut Almira, dia terduduk sambil mengusap perut buncitnya yang terasa mengencang. "Bisa-bisanya kalian berdua menikamku sedemikian jahat! Apa salahku, Mas? Apa!" Tangisan Almira tertahan, dan rasanya sangat sakit sekali. Kenyataan yang baru saja dia dengar benar-benar meluluhlantakkan segalanya. Kenapa ada orang setega itu? Kenapa Sandi begitu tega menyakitinya? "Al ..." Sandi beranjak, mencoba menjelaskan sekali lagi kepada sang istri. Kakinya melangkah mendekat, tetapi Almira menolaknya. "Jangan dekat! Jangan mendekat! Aku gak mau denger apa pun lagi dari kamu! Pergi! Pergi!" Suara perempuan itu bergetar sambil mengacungkan telunjuk ke arah pintu. "
Pria berbadan gagah itu terlihat baru saja bangkit dari tidurnya, masih mengenakan pakaian yang sama dia duduk bersandar pada kepala ranjang sambil menekan pelipis. Sisa-sisa mabuk semalam pun masih meninggalkan jejak, membuat kepalanya terasa begitu berat. "Kepalaku sakit banget," keluh Sandi, menekan lebih dalam jari-jarinya ke permukaan kulit keningnya yang berdenyut. Setelah beberapa saat sibuk mengurangi denyutan yang menyiksa, Sandi baru menyadari jika dia tidak sedang berada di kamarnya. "Ini ... kamar siapa?" Sambil bertanya-tanya sendiri, pandangannya mengedar ke seluruh ruangan yang didominasi warna gelap. Sampai suara seorang pemuda yang baru saja masuk ke kamar itu mengalihkan perhatian Sandi. "Pak Sandi udah bangun?" Erland mengulas senyum m ke arah sang atasan yang semalam terpaksa dia bawa ke apartemennya. "Erland?" Kening Sandi mengerut sangat dalam, lantas dia pun beranjak dari ranjang hendak berdiri, tetapi Erland buru-buru mencegah. "Duduk aja, Pak. Santai aja.
Tok! Tok!"Masuk," seru Almira pada seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. Perempuan berperut buncit itu baru saja selesai mandi, dan hendak berganti baju. Pintu kamar tersebut terbuka setelah mendapat izin dari sang empunya. "Pagi, Al ..." sapa Mama Laila, tersenyum lalu memasuki kamar sang menantu kesayangan. Di tangannya memegang sebuah nampan berisi menu sarapan dan segelas jus jambu merah. Melihat sang mertua yang repot-repot mendatangi dan membawakan sarapan untuknya, Almira bergegas mendekat. "Ya ampun, Ma. Kenapa Mama repot-repot begini." Meletakkan nampan di atas nakas, Mama Laila kemudian mengusap lengan Almira yang masih berbalut jubah mandi. Dia berkata, "Mama gak repot, kok, Al. Ayo sarapan dulu." Dituntunnya Almira duduk di pinggir ranjang. Almira sangat terharu mendapat kasih sayang dari mertuanya ini. "Ma, Mira malu. Harusnya 'kan Mira yang ngeladenin Mama. Mama itu 'kan mertua Mira," ucap Almira merasa tak enak hati sendiri. Apalagi ketika dia mengingat, bagaiman
"Erland? Bukannya dia temen kuliah kamu dulu ya, Al?" seloroh Mama Rini—ibu kandung Almira yang rupanya masih mengingat wajah Erland, meski sudah bertahun-tahun lamanya. "Iya, Ma," sahut Almira, berusaha tetap tenang meski kini dia menjadi perhatian semua orang di sekitar tak terkecuali Sandi—sang suami. 'Apa? Jadi Erland itu temen kuliah Almira? Seakrab apa mereka dulu, sampai-sampai ibu mertuaku masih mengingatnya.' Sandi membatin gundah seraya melirik pemuda yang berdiri di sampingnya. Jika diperhatikan lebih saksama, sepertinya Erland tengah memerhatikan Almira dengan tatapan penuh arti, pikir Sandi. "Nak Erland, ayo gabung sekalian bareng kami," ajak Pak Kusuma—papanya Almira. "Iya, ayo, Nak," sambung Mama Laila.Erland terkesiap dengan ajakan tersebut, hendak menolak tetapi Almira buru-buru menyahut, "Sekalian sarapan bareng kami, Lan. Biasanya juga gak malu." Almira memasang senyum untuk sahabatnya, dan sengaja melirik Sandi yang terlihat seperti orang bodoh. "Oke, deh. Ka
"Ternyata kamu udah tau semuanya." Almira mengulas senyum hambar. "Ya, kalo aja suamimu gak cerita, aku gak bakal tau, Al. Aku gak bakal tau kalo sahabatku lagi ada masalah sebesar itu," ujar Erland, rautnya tak sekeras tadi, dan tatapannya semakin melembut menatap Almira. Dia menarik tisu dari wadahnya kemudian memberikannya ke Almira. Almira tertegun, menatap Erland kemudian beralih menatap tisu yang disodorkan. "Ambil, Al. Kamu gak mau 'kan kalo air matamu jadi bahan pertanyaan seluruh keluargamu?" ucap Erland. Almira pun segera mengambil dan mengusap air matanya. "Makasih, Lan," ucapnya. "Jangan bilang makasih dulu. Aku mau kamu ceritain dari awal semuanya ke aku, Al. Kamu bisa 'kan?" Tangan Erland terlipat di atas perut. "Erland ..." "Al, paling enggak dengan cerita ke orang lain, beban yang ada di sini sedikit berkurang. Kamu gak akan terlalu sakit menanggungnya sendirian." Telapak tangan kiri Erland menepuk dadanya sendiri sekilas. "Itu keputusanku, Lan. Karena aku gak
Sandi selesai mengepak beberapa pakaian serta kebutuhan lainnya ke dalam koper berukuran cukup besar. Mulai malam ini dia tidak serumah lagi dengan Almira. Keputusannya tersebut dia lakukan tentu demi menjaga mental sang istri yang sedang hamil besar. Emosi Almira yang labil dan masalah yang Sandi timbulkan makin memperuncing hubungan mereka. Sandi sadar jika rumah tangganya bersama dengan Almira tidak akan pernah mungkin bisa kembali utuh. Dia pun harus merelakan salah satu dari dua wanita yang sama-sama tengah berbadan dua itu. Paling tidak, itu adalah jalan satu-satunya agar masalah tersebut terselesaikan. "Mungkin, aku memang egois. Aku sangat bodoh selama ini. Ada baiknya, aku melepas Almira. Aku sudah terlalu banyak menyakitinya." Setelah semua beres, dan Sandi pun sudah membersihkan diri terlebih dahulu. Lantas, dia pun keluar kamar dengan membawa serta koper. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Sambil melangkah, Sandi mengambil ponselnya dari saku celana. Nama pemanggil y
"Wah, kupikir gak dateng, Al." Senyum Erland mengembang saat melihat sosok cantik berperut buncit itu tiba di hadapan. Semalam dia meminta Almira untuk bertemu di sebuah kafe, karena ingin mengajaknya mengobrol. Erland pun sigap berdiri dan menarik kursi untuk sang sahabat. "Silakan ...." "Makasih." Almira menduduki kursi, kemudian membuka masker yang sedari tadi menutupi sebagian wajah. "Hah, sesek!" Hidungnya terasa lega seketika. Erland kembali duduk, lalu terkekeh mendengar keluhan Almira. "Lagian, pakek masker segala. Kemayu!" Tak terima dibilang 'kemayu—ganjen' Almira meluruskan, "Eh, bumil itu sensitif, tau! Gak boleh sembarangan!" "Hmm, ya ... ya .... Kamu ke sini naik apa?" Erland memaklumi saja. Lantas dia membuka buku menu yang tersedia di meja—membaca urutan nama-nama makanan serta minuman yang tertera mulai dari yang murah sampai mahal. "Aku naik taksi," ucap Almira, lalu mencepol ke atas rambutnya yang semakin memanjang. Semenjak hamil perempuan itu kerapkali merasa
Duduk berdampingan di dalam satu mobil untuk kali pertama setelah berbulan-bulan baru kembali bertemu. Ditambah dengan pernyataan yang lebih mirip sebuah permintaan, membuat seorang perempuan yang tengah berbadan dua itu menjadi sangat canggung. Almira tak pernah menyangka, bila sang sahabat yang sudah berteman dengannya selama bertahun-tahun itu memintanya untuk bercerai dari suaminya. Erland—entah lelaki itu sadar atau terkena sawan dari mana tiba-tiba mengungkapkan niatnya. Apa Erland habis terjatuh, lalu kepalanya terbentur batu? Atau ... apa Erland salah minum obat? Ah, ya ampun ... Kepala Almira rasanya mau pecah memikirkan perkataan Erland waktu di kafe tadi. 'Apa gara-gara kelamaan jomblo, dia jadi kayak gitu? Yang bener aja.' Almira membatin geli. Lalu, diam-diam sudut manik Almira mencuri-curi pandang pada lelaki berjambang tipis serta berkulit sawo matang di sampingnya. Erland sedang fokus menyetir mobil yang dibelinya dari hasil kerja kerasnya selama menjadi arsitek.
—Tuhan itu Maha Adil. Tuhan itu Maha Penyayang—***Setelah melalui serangkaian panjang acara ijab qobul yang dilanjutkan dengan resepsi, kini waktunya untuk semua orang beristirahat. Pernikahan yang digelar cukup sederhana itu dilangsungkan di rumah orang tua Almira. "Aaqil sama Aleena bobok sama suster dulu, ya, malam ini." Mama Rini berkata pada kedua cucunya. Perempuan paruh baya itu juga menganggap Aleena seperti cucunya sendiri. "Kenapa bobok sama Suster, Eyang?" Aleena berceloteh sambil mengunyah. "Iya, Eyang. Kenapa bobok sama suster? Aaqil sama Aleena mau bobok sama Ibu." Aaqil menimpali, melirik sang ibu yang duduk di seberang sofa. "Gak apa-apa 'kan, Bu?" Bocah laki-laki itu lalu berlari menghampiri Almira dan langsung duduk di pangkuan. Almira tentu kebingungan untuk menjawabnya. "Hmm ... Ibu ..." Maniknya melirik Erland yang kebetulan ada di samping papanya. Erland paham dengan situasi sekarang dan langsung tanggap menimpali. "Aaqil sama Aleena kalau mau bobok sama Ib
"Menikah?" Mama Rini nyaris melotot setelah mendengar penuturan Erland barusan. Dia tidak menyangka jika pemuda yang dia kenal sebagai sahabat putrinya itu, ternyata memiliki niat yang sangat baik. Berbeda dengan Mama Rini yang sedikit terkejut, Pak Kusuma justru terlihat tenang dan tak banyak berkomentar. Beliau hanya menghela napas sambil menelisik sepasang manik Erland yang memancarkan ketulusan. Selama ini Pak Kusuma juga diam-diam sudah mengamati sikap dan perilaku sahabat anaknya itu. Kedekatan antara Erland dan Almira memang terlihat sangat tulus. Apalagi, Aaqil yang sepertinya sudah sangat merasa nyaman dengan pemuda sederhana itu. Pak Kusuma cukup salut dengan gaya hidup Erland yang tak pernah menunjukkan siapa dia sebenarnya. Erland tersenyum, lalu mengangguk. "Iya, Tante. Saya harap Tante mau mendukung niat saya ini." "Apa Mira udah tau?" tanya Mama Rini.Erland menggeleng. "Saya belum bicara sama Almira, Tante. Saya memutuskan untuk meminta persetujuan Tante lebih dul
"Ibu ...."Seorang bocah laki-laki yang sangat tampan berlarian ketika baru saja masuk ke dalam rumahnya. Bocah laki-laki berusia empat tahun itu langsung mencari keberadaan sang ibu. Merasa terpanggil, perempuan berpakaian syar'i yang berada di kamarnya itu pun bergegas menemui sang anak. Perempuan yang sejak empat tahun lalu memutuskan untuk berhijrah dan meninggalkan karier cemerlangnya. "Assalamualaikum ...." ucap Almira saat berpapasan dengan putranya. "Wa'alaikumsalam ...." Sang anak menjawab sambil memasang raut tak berdosa serta senyum yang menggemaskan. "Maaf Ibu, Aaqil lupa ucap salam," cicitnya sambil menarik kedua telinganya sendiri. Melihat tingkah lucu anaknya, Almira tentu urung marah. "Kenapa Aaqil lupa terus, ya? Padahal ibu udah sering loh ingetin Aaqil." Tangan Almira meraih tangan kecil putra satu-satunya yang dia beri nama Aaqil Umais, lalu mengajaknya ke dapur. "Aaqil juga gak tau, ibu. Kenapa Aaqil sering lupa. Lain kali, Aaqil gak bakalan lupa, kok .... Se
Dua bulan berlalu semenjak kejadian mempermalukan Sandi dan Sandra, hidup Almira menjadi lebih tenang. Pasalnya, dia tak lagi harus berpura-pura menjadi istri yang bahagia di hadapan kedua orang tuanya dan mertuanya. Semenjak itu pula, Almira mencoba lebih tegar lagi demi calon buah hati yang sebentar lagi lahir ke dunia. Diperkirakan, Almira akan melahirkan Minggu depan. Segala persiapan pun telah dia lakukan. Namun, ada satu hal yang harus Almira selesaikan terlebih dahulu sebelum dia benar-benar bebas dari pernikahan toxic yang selama bertahun-tahun dia jalani bersama Sandi. Dengan bantuan pengacara, perceraian Almira akhirnya diproses secara kilat. Meskipun dia tengah berbadan dua, Almira tetap meneruskan niatnya tersebut. Dan pada hari ini adalah hari di mana Almira akan melepas statusnya sebagai istri dari Sandi Himawan. Sidang perceraiannya akan dilaksanakan di pengadilan negeri dan akan dihadiri oleh kedua belah pihak. Semuanya akan benar-benar berakhir...tok! tok!"Al, kam
Almira membeku di tempatnya, tepat saat sang ibu mertua beranjak dari duduknya untuk menghampiri Sandi dan Sandra yang baru saja hendak memilih tempat duduk. Perempuan itu masih tak percaya jika Mama Laila akan memergoki secara langsung kelakuan anak laki-lakinya. "Sandi!" Mama Laila menyebut nama sang anak dengan nada cukup tinggi. Seketika dia menjadi pusat perhatian para pengunjung di sana. Semua mata tertuju pada ibu mertua Almira itu. "Mama?" Sandi urung menarik kursi, sebab keterkejutannya yang melihat sang ibu sedang berdiri di hadapan. Apalagi cara menatap Mama Laila yang nampak marah. Kenapa tiba-tiba dia bisa bertemu sang ibu di tempat ini? pikir Sandi. Pun sama halnya dengan Sandra, yang terpaku di tempatnya dengan raut pucat pasi. Perut buncitnya dia usap sekilas seraya melirik Sandi yang tak bergeming di sampingnya. Mama Laila maju selangkah, mendekati Sandi. Keberadaan Sandra di sampingnya membuat perempuan paruh baya itu memasang raut sinis. "Apa-apaan ini, Sandi?
"Mira!" Langkah Almira sontak berhenti, saat seseorang memanggil dan menyentuh pundaknya. Dia menoleh ke belakang. "Mama?" Perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik itu tersenyum kepada menantunya. "Tuh, kan ... Mama gak salah orang. Ternyata beneran kamu, Mira." Almira memeluk Mama mertuanya yang terkenal baik dan sayang padanya. "Ya Allah, Ma. Kok, bisa ketemu di sini, sih ...." Mama Laila membalas dengan hangat pelukan Almira. "Namanya juga udah diatur sama yang di atas, ucapnya sambil mengurai pelukan, dan mengusap perut buncit istri anaknya itu. "kamu ke sini sama siapa, Mir? Sama Sandi, ya?" Pertanyaan mama Laila membuat Almira berpikir keras. Apa tidak masalah—jika dia mengatakan bahwa dirinya pergi ke tempat ini bersama Erland? "Hmm ... Mira ke sini sama—" Tiba-tiba ponsel Almira berdering, kemudian dia buru-buru mengambilnya dari tas selempang bawaannya. "bentar, Ma." Mama Laila mengangguk, menunggu Almira menjawab panggilan telepon tersebut. Nama yang tertera di
Duduk berdampingan di dalam satu mobil untuk kali pertama setelah berbulan-bulan baru kembali bertemu. Ditambah dengan pernyataan yang lebih mirip sebuah permintaan, membuat seorang perempuan yang tengah berbadan dua itu menjadi sangat canggung. Almira tak pernah menyangka, bila sang sahabat yang sudah berteman dengannya selama bertahun-tahun itu memintanya untuk bercerai dari suaminya. Erland—entah lelaki itu sadar atau terkena sawan dari mana tiba-tiba mengungkapkan niatnya. Apa Erland habis terjatuh, lalu kepalanya terbentur batu? Atau ... apa Erland salah minum obat? Ah, ya ampun ... Kepala Almira rasanya mau pecah memikirkan perkataan Erland waktu di kafe tadi. 'Apa gara-gara kelamaan jomblo, dia jadi kayak gitu? Yang bener aja.' Almira membatin geli. Lalu, diam-diam sudut manik Almira mencuri-curi pandang pada lelaki berjambang tipis serta berkulit sawo matang di sampingnya. Erland sedang fokus menyetir mobil yang dibelinya dari hasil kerja kerasnya selama menjadi arsitek.
"Wah, kupikir gak dateng, Al." Senyum Erland mengembang saat melihat sosok cantik berperut buncit itu tiba di hadapan. Semalam dia meminta Almira untuk bertemu di sebuah kafe, karena ingin mengajaknya mengobrol. Erland pun sigap berdiri dan menarik kursi untuk sang sahabat. "Silakan ...." "Makasih." Almira menduduki kursi, kemudian membuka masker yang sedari tadi menutupi sebagian wajah. "Hah, sesek!" Hidungnya terasa lega seketika. Erland kembali duduk, lalu terkekeh mendengar keluhan Almira. "Lagian, pakek masker segala. Kemayu!" Tak terima dibilang 'kemayu—ganjen' Almira meluruskan, "Eh, bumil itu sensitif, tau! Gak boleh sembarangan!" "Hmm, ya ... ya .... Kamu ke sini naik apa?" Erland memaklumi saja. Lantas dia membuka buku menu yang tersedia di meja—membaca urutan nama-nama makanan serta minuman yang tertera mulai dari yang murah sampai mahal. "Aku naik taksi," ucap Almira, lalu mencepol ke atas rambutnya yang semakin memanjang. Semenjak hamil perempuan itu kerapkali merasa
Sandi selesai mengepak beberapa pakaian serta kebutuhan lainnya ke dalam koper berukuran cukup besar. Mulai malam ini dia tidak serumah lagi dengan Almira. Keputusannya tersebut dia lakukan tentu demi menjaga mental sang istri yang sedang hamil besar. Emosi Almira yang labil dan masalah yang Sandi timbulkan makin memperuncing hubungan mereka. Sandi sadar jika rumah tangganya bersama dengan Almira tidak akan pernah mungkin bisa kembali utuh. Dia pun harus merelakan salah satu dari dua wanita yang sama-sama tengah berbadan dua itu. Paling tidak, itu adalah jalan satu-satunya agar masalah tersebut terselesaikan. "Mungkin, aku memang egois. Aku sangat bodoh selama ini. Ada baiknya, aku melepas Almira. Aku sudah terlalu banyak menyakitinya." Setelah semua beres, dan Sandi pun sudah membersihkan diri terlebih dahulu. Lantas, dia pun keluar kamar dengan membawa serta koper. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Sambil melangkah, Sandi mengambil ponselnya dari saku celana. Nama pemanggil y