"Loh, kok, dadakan?" Almira memasang raut bingung serta terkejut secara bersamaan. Kabar yang diberikan Sandra mengenai rumah kontrakan yang baru saja didapatkan cukup mengejutkan istri dari Sandi itu. Menatap ke arah Sandi sekilas yang tersenyum samar padanya, Sandra lantas menatap Almira kembali, lalu memberi alasan yang sekiranya masuk akal. "Gak dadakan juga, sih, Al. Kebetulan dari hari pertama aku mau ke sini, aku udah nyari-nyari info soal kontrakan. Eh, dan kebetulan gak lama nunggu kabarnya. Tiga hari yang lalu langsung ditelepon sama yang punya." Di tempatnya duduk, Sandi tidak banyak memberikan komentar. Berpura-pura sibuk dengan Macbook-nya. Tetapi, panggilan dari Almira membuat Sandi terpaksa mengalihkan tatapannya."Mas." "Ya?" Sandi meletakkan benda persegi itu ke meja kaca di depannya, lalu mulai memfokuskan perhatian pada istrinya yang nampak ingin melontarkan pertanyaan. Kedua tangannya terlipat di dada, sambil bersandar di sandaran sofa."Kamu ... gimana?" tanya
Tatapan Sandi masih terpaku pada cincin yang ada di genggaman tangan istrinya. Bagaimana dia akan menjawab pertanyaan Almira mengenai cincin tersebut? Bagaimana caranya agar Almira tidak curiga jika dia mengatakan yang sebenarnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus berputar di kepala Sandi. Mulutnya seakan sangat berat hanya sekadar untuk mengucap. Sampai pada akhirnya, Almira kembali menegur Sandi. "Mas? Mas Sandi?" Almira mengguncang lengan Sandi yang sontak terhenyak, dan mengerjap bingung. "I-iya, Al?" Barulah tatapan Sandi beralih pada sang istri yang berdiri di sisi ranjang. Keningnya mengerut dalam, mendapati raut Almira yang penasaran. "Mas malah ngelamun." Bibir Almira mengerucut seraya menarik tangannya, dan ikut duduk di tepi ranjang. Almira menghela napas panjang, kemudian berkata lagi, "Kayaknya Mas syok liat cincin ini. Apa mungkin ..." "Al." Sandi buru-buru memotong ucapan Almira, yang dia yakini jika istrinya itu tengah menaruh curiga. Dia lantas bangkit, dan du
Hari ini Almira sengaja mengosongkan jadwalnya karena ingin memberi kejutan untuk suaminya— Sandi. Rencananya, dia akan berkunjung ke kantor suaminya itu tanpa memberitahu terlebih dahulu. Sekali-kali memberi kejutan tidak masalah, bukan? pikir Almira. Sebelum ke kantor Sandi, Almira juga sudah memasak menu makan siang. Dua menu yang baru saja dia pelajari dari channel You-Toube, dan ingin Sandi yang mencicipi. Selesai masak dan menyiapkan segala sesuatunya, Almira bergegas mandi. Memakai pakaian terbaiknya serta berdandan cantik.Bila diingat-ingat lagi, Almira jarang sekali datang ke perusahaan sang suami. Mungkin bisa dihitung dengan jari. Kesibukanlah yang membuat Almira tak pernah menyempatkan waktu ke sana. "Mas Sandi pasti kaget karena aku tiba-tiba dateng ke kantornya." Lipstik warna nude pink telah terpulas sempurna di bibir Almira. Selanjutnya, blush on warna peach dia bubuhkan di tulang pipi kanan dan kiri menggunakan kuas. Almira terlihat sangat cantik, mengenakan denim
Almira langsung turun dari mobil yang dia bawa sendiri—dari rumah ke kantor Sandi, dan sekarang sudah tiba di rumah lagi. Entah ada hal penting apa yang ingin disampaikan asisten rumahnya, karena memintanya pulang dengan segera."Mbak. Mbak Salma," panggil Almira begitu masuk ke dalam rumah, pada sang asisten yang meneleponnya. "Iya, Bu." Mbak Salma menyahut sambil tergopoh-gopoh menghampiri Almira yang sudah duduk di sofa ruang tamu. Dia baru saja selesai membereskan kamar yang selama ini ditempati oleh Sandra. Almira meletakkan tasnya di meja, "Ada apa, Mbak? Mbak tadi nyuruh saya cepet-cepet pulang. Ada hal penting, ya?" tanyanya. Perempuan kisaran usia empat puluh tahunan itu menatap sang majikan dengan raut gelisah. "Hmm ... Anu, Bu. Hmm ...." Mulutnya seolah berat untuk menjawab pertanyaan Almira. "Anu apa, Mbak. Ngomong aja. Gak usah sungkan sama saya." Almira mengikat rambutnya asal, dan mengambil bantal sofa lalu mendekapnya.Dari gelagat yang ditunjukkan Mbak Salma, enta
"Mas!" Almira tersentak, sepasang maniknya sontak terbuka sempurna. Sejenak dia memindai keberadaannya saat ini. "Ini ... bukan kamarku," gumamnya seraya bangkit dan terduduk di atas ranjang yang bukan miliknya. Almira menghela panjang napasnya dan mengusap wajah. "Aku ketiduran di sini," desahnya. Dia baru ingat kalau sedang berada di kamar tamu dan sampai ketiduran di sana. "Jam berapa sekarang?" Almira lantas mencari-cari ponselnya, tetapi tidak menemukan benda tersebut. Pandangan pun terarah pada jam dinding yang ada di atas kepala. Keningnya mengernyit sangat dalam saat melihat jarum jam yang menunjukkan pukul sembilan malam. "Aku ketiduran lama kayaknya. Udah jam sembilan malem. Mas Sandi ....?" Buru-buru Almira beranjak dari kasur, dan melangkah keluar kamar. Bersamaan dengan Bi Sumi yang melintas hendak membereskan meja makan. "Bi." Almira melangkah ke ruang makan. Bi Sumi menatap sang majikan dengan raut terheran-heran. Dia tahu apa yang hendak dikatakan Almira padanya.
"Ini ... lingerie yang aku beliin di Bali 'kan, Al?" Sandi menatap kain berbahan Lace yang sudah tak berbentuk lagi dari tangan sang istri. Pagi ini Almira berniat memberitahu Sandi perihal perbuatan Sandra. "Iya, Mas." Tatapan Almira nampak datar. Sandi kemudian mengernyit dalam. "Tapi, ini? Bukannya kamu bilang waktu itu ilang, ya? Terus, kok, ini bisa kayak gini bentuknya? Kamu nemuinnya di mana?" Almira menghela panjang. Rautnya semakin kesal. "Waktu itu emang ilang, Mas. Terus, itu yang nemuin Bi Salma." Kaki Almira melangkah ke meja rias, dan mengambil dasi yang sudah dia persiapkan untuk Sandi. "Nemuin di mana?" Sandi meletakkan lingerie itu di atas ranjang, kemudian melangkah mendekati Almira yang akan membantunya memasangkan dasi. Dasi di tangan dililitkan ke kerah kemeja Sandi, Almira lantas menjawab dengan raut yang belum berubah. Dan Sandi bisa melihatnya dengan jelas. "Mas pasti kaget dan gak percaya kalo lingerie itu ada di kamar tamu. Di bawah tempat tidur." Jemari
Apa yang dilihatnya memang benar adanya. Mobil yang terparkir rapi di halaman rumah Sandra adalah milik sang suami. Benak Almira pun jadi bertanya-tanya sendiri, dan merasa penasaran. "Harusnya Mas Sandi udah sampe ke kantor dari tadi," gumam Almira, mengira-ngira perkiraan waktu yang ditempuh Sandi. "Apa ada urusan mendadak, jadi Mas Sandi ke sini?" Keinginan untuk mencari tahu pun makin menjadi. Almira memutuskan masuk diam-diam dan sangat kebetulan sekali pagarnya tidak dikunci. Kesempatan baginya melihat sendiri apa yang dilakukan Sandi di sini.Menutup kembali pagar yang tidak terlalu tinggi itu dengan sangat pelan, Almira lantas melangkah. "Duh, ini kenapa malah makin kenceng debarannya." Telapak tangannya mengusap dada yang sejak tadi terus berdebar. Ketika melintasi mobil Sandi, langkah Almira terhenti. Penasaran yang kian tinggi, menuntun perempuan mungil itu mengintip kaca jendela mobil yang gelap. "Kok, aku baru tau, ya, kalo kacanya diganti yang gelap." Karena merasa u
Meski sepasang kaki itu bergetar hebat, dan langkahnya mengayun perlahan, tetapi Almira tetap mencoba menghampiri sang suami, yang rautnya pucat pasi bagai mayat hidup. Pria yang biasa terlihat berwibawa di hadapan mata Almira, kini tak ubahnya mirip maling yang terpegok. Di sisi Sandi, Sandra justru terlihat santai, seakan-akan hal seperti ini sudah dia nanti-nanti sejak lama..'Hmm bagus. Rupanya dia udah tau sendiri, tanpa aku capek-capek ngasih tau.' Benak Sandra menyeru senang, sambil menaikkan satu sudut bibirnya yang berlapis lipstik warna merah. Hal tersebut menambah gemuruh di dada Almira yang panas. Langkahnya berhenti tepat di depan dua manusia munafik itu. Manik Almira yang memerah menyorot Sandi, kemudian Sandra. Dengan berani dia pun berkata, "Kalian ... selama ini bohongin aku? Kalian ... ternyata pernah punya hubungan di masa lalu? Selamat! Kalian pantes dapet penghargaan sebagai manusia termunafik!" Satu sudut bibir Almira naik, tak ada raut sedih sedikit pun di waj
—Tuhan itu Maha Adil. Tuhan itu Maha Penyayang—***Setelah melalui serangkaian panjang acara ijab qobul yang dilanjutkan dengan resepsi, kini waktunya untuk semua orang beristirahat. Pernikahan yang digelar cukup sederhana itu dilangsungkan di rumah orang tua Almira. "Aaqil sama Aleena bobok sama suster dulu, ya, malam ini." Mama Rini berkata pada kedua cucunya. Perempuan paruh baya itu juga menganggap Aleena seperti cucunya sendiri. "Kenapa bobok sama Suster, Eyang?" Aleena berceloteh sambil mengunyah. "Iya, Eyang. Kenapa bobok sama suster? Aaqil sama Aleena mau bobok sama Ibu." Aaqil menimpali, melirik sang ibu yang duduk di seberang sofa. "Gak apa-apa 'kan, Bu?" Bocah laki-laki itu lalu berlari menghampiri Almira dan langsung duduk di pangkuan. Almira tentu kebingungan untuk menjawabnya. "Hmm ... Ibu ..." Maniknya melirik Erland yang kebetulan ada di samping papanya. Erland paham dengan situasi sekarang dan langsung tanggap menimpali. "Aaqil sama Aleena kalau mau bobok sama Ib
"Menikah?" Mama Rini nyaris melotot setelah mendengar penuturan Erland barusan. Dia tidak menyangka jika pemuda yang dia kenal sebagai sahabat putrinya itu, ternyata memiliki niat yang sangat baik. Berbeda dengan Mama Rini yang sedikit terkejut, Pak Kusuma justru terlihat tenang dan tak banyak berkomentar. Beliau hanya menghela napas sambil menelisik sepasang manik Erland yang memancarkan ketulusan. Selama ini Pak Kusuma juga diam-diam sudah mengamati sikap dan perilaku sahabat anaknya itu. Kedekatan antara Erland dan Almira memang terlihat sangat tulus. Apalagi, Aaqil yang sepertinya sudah sangat merasa nyaman dengan pemuda sederhana itu. Pak Kusuma cukup salut dengan gaya hidup Erland yang tak pernah menunjukkan siapa dia sebenarnya. Erland tersenyum, lalu mengangguk. "Iya, Tante. Saya harap Tante mau mendukung niat saya ini." "Apa Mira udah tau?" tanya Mama Rini.Erland menggeleng. "Saya belum bicara sama Almira, Tante. Saya memutuskan untuk meminta persetujuan Tante lebih dul
"Ibu ...."Seorang bocah laki-laki yang sangat tampan berlarian ketika baru saja masuk ke dalam rumahnya. Bocah laki-laki berusia empat tahun itu langsung mencari keberadaan sang ibu. Merasa terpanggil, perempuan berpakaian syar'i yang berada di kamarnya itu pun bergegas menemui sang anak. Perempuan yang sejak empat tahun lalu memutuskan untuk berhijrah dan meninggalkan karier cemerlangnya. "Assalamualaikum ...." ucap Almira saat berpapasan dengan putranya. "Wa'alaikumsalam ...." Sang anak menjawab sambil memasang raut tak berdosa serta senyum yang menggemaskan. "Maaf Ibu, Aaqil lupa ucap salam," cicitnya sambil menarik kedua telinganya sendiri. Melihat tingkah lucu anaknya, Almira tentu urung marah. "Kenapa Aaqil lupa terus, ya? Padahal ibu udah sering loh ingetin Aaqil." Tangan Almira meraih tangan kecil putra satu-satunya yang dia beri nama Aaqil Umais, lalu mengajaknya ke dapur. "Aaqil juga gak tau, ibu. Kenapa Aaqil sering lupa. Lain kali, Aaqil gak bakalan lupa, kok .... Se
Dua bulan berlalu semenjak kejadian mempermalukan Sandi dan Sandra, hidup Almira menjadi lebih tenang. Pasalnya, dia tak lagi harus berpura-pura menjadi istri yang bahagia di hadapan kedua orang tuanya dan mertuanya. Semenjak itu pula, Almira mencoba lebih tegar lagi demi calon buah hati yang sebentar lagi lahir ke dunia. Diperkirakan, Almira akan melahirkan Minggu depan. Segala persiapan pun telah dia lakukan. Namun, ada satu hal yang harus Almira selesaikan terlebih dahulu sebelum dia benar-benar bebas dari pernikahan toxic yang selama bertahun-tahun dia jalani bersama Sandi. Dengan bantuan pengacara, perceraian Almira akhirnya diproses secara kilat. Meskipun dia tengah berbadan dua, Almira tetap meneruskan niatnya tersebut. Dan pada hari ini adalah hari di mana Almira akan melepas statusnya sebagai istri dari Sandi Himawan. Sidang perceraiannya akan dilaksanakan di pengadilan negeri dan akan dihadiri oleh kedua belah pihak. Semuanya akan benar-benar berakhir...tok! tok!"Al, kam
Almira membeku di tempatnya, tepat saat sang ibu mertua beranjak dari duduknya untuk menghampiri Sandi dan Sandra yang baru saja hendak memilih tempat duduk. Perempuan itu masih tak percaya jika Mama Laila akan memergoki secara langsung kelakuan anak laki-lakinya. "Sandi!" Mama Laila menyebut nama sang anak dengan nada cukup tinggi. Seketika dia menjadi pusat perhatian para pengunjung di sana. Semua mata tertuju pada ibu mertua Almira itu. "Mama?" Sandi urung menarik kursi, sebab keterkejutannya yang melihat sang ibu sedang berdiri di hadapan. Apalagi cara menatap Mama Laila yang nampak marah. Kenapa tiba-tiba dia bisa bertemu sang ibu di tempat ini? pikir Sandi. Pun sama halnya dengan Sandra, yang terpaku di tempatnya dengan raut pucat pasi. Perut buncitnya dia usap sekilas seraya melirik Sandi yang tak bergeming di sampingnya. Mama Laila maju selangkah, mendekati Sandi. Keberadaan Sandra di sampingnya membuat perempuan paruh baya itu memasang raut sinis. "Apa-apaan ini, Sandi?
"Mira!" Langkah Almira sontak berhenti, saat seseorang memanggil dan menyentuh pundaknya. Dia menoleh ke belakang. "Mama?" Perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik itu tersenyum kepada menantunya. "Tuh, kan ... Mama gak salah orang. Ternyata beneran kamu, Mira." Almira memeluk Mama mertuanya yang terkenal baik dan sayang padanya. "Ya Allah, Ma. Kok, bisa ketemu di sini, sih ...." Mama Laila membalas dengan hangat pelukan Almira. "Namanya juga udah diatur sama yang di atas, ucapnya sambil mengurai pelukan, dan mengusap perut buncit istri anaknya itu. "kamu ke sini sama siapa, Mir? Sama Sandi, ya?" Pertanyaan mama Laila membuat Almira berpikir keras. Apa tidak masalah—jika dia mengatakan bahwa dirinya pergi ke tempat ini bersama Erland? "Hmm ... Mira ke sini sama—" Tiba-tiba ponsel Almira berdering, kemudian dia buru-buru mengambilnya dari tas selempang bawaannya. "bentar, Ma." Mama Laila mengangguk, menunggu Almira menjawab panggilan telepon tersebut. Nama yang tertera di
Duduk berdampingan di dalam satu mobil untuk kali pertama setelah berbulan-bulan baru kembali bertemu. Ditambah dengan pernyataan yang lebih mirip sebuah permintaan, membuat seorang perempuan yang tengah berbadan dua itu menjadi sangat canggung. Almira tak pernah menyangka, bila sang sahabat yang sudah berteman dengannya selama bertahun-tahun itu memintanya untuk bercerai dari suaminya. Erland—entah lelaki itu sadar atau terkena sawan dari mana tiba-tiba mengungkapkan niatnya. Apa Erland habis terjatuh, lalu kepalanya terbentur batu? Atau ... apa Erland salah minum obat? Ah, ya ampun ... Kepala Almira rasanya mau pecah memikirkan perkataan Erland waktu di kafe tadi. 'Apa gara-gara kelamaan jomblo, dia jadi kayak gitu? Yang bener aja.' Almira membatin geli. Lalu, diam-diam sudut manik Almira mencuri-curi pandang pada lelaki berjambang tipis serta berkulit sawo matang di sampingnya. Erland sedang fokus menyetir mobil yang dibelinya dari hasil kerja kerasnya selama menjadi arsitek.
"Wah, kupikir gak dateng, Al." Senyum Erland mengembang saat melihat sosok cantik berperut buncit itu tiba di hadapan. Semalam dia meminta Almira untuk bertemu di sebuah kafe, karena ingin mengajaknya mengobrol. Erland pun sigap berdiri dan menarik kursi untuk sang sahabat. "Silakan ...." "Makasih." Almira menduduki kursi, kemudian membuka masker yang sedari tadi menutupi sebagian wajah. "Hah, sesek!" Hidungnya terasa lega seketika. Erland kembali duduk, lalu terkekeh mendengar keluhan Almira. "Lagian, pakek masker segala. Kemayu!" Tak terima dibilang 'kemayu—ganjen' Almira meluruskan, "Eh, bumil itu sensitif, tau! Gak boleh sembarangan!" "Hmm, ya ... ya .... Kamu ke sini naik apa?" Erland memaklumi saja. Lantas dia membuka buku menu yang tersedia di meja—membaca urutan nama-nama makanan serta minuman yang tertera mulai dari yang murah sampai mahal. "Aku naik taksi," ucap Almira, lalu mencepol ke atas rambutnya yang semakin memanjang. Semenjak hamil perempuan itu kerapkali merasa
Sandi selesai mengepak beberapa pakaian serta kebutuhan lainnya ke dalam koper berukuran cukup besar. Mulai malam ini dia tidak serumah lagi dengan Almira. Keputusannya tersebut dia lakukan tentu demi menjaga mental sang istri yang sedang hamil besar. Emosi Almira yang labil dan masalah yang Sandi timbulkan makin memperuncing hubungan mereka. Sandi sadar jika rumah tangganya bersama dengan Almira tidak akan pernah mungkin bisa kembali utuh. Dia pun harus merelakan salah satu dari dua wanita yang sama-sama tengah berbadan dua itu. Paling tidak, itu adalah jalan satu-satunya agar masalah tersebut terselesaikan. "Mungkin, aku memang egois. Aku sangat bodoh selama ini. Ada baiknya, aku melepas Almira. Aku sudah terlalu banyak menyakitinya." Setelah semua beres, dan Sandi pun sudah membersihkan diri terlebih dahulu. Lantas, dia pun keluar kamar dengan membawa serta koper. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Sambil melangkah, Sandi mengambil ponselnya dari saku celana. Nama pemanggil y