Mona meremas roknya saat mengikuti Arka menuju kendaraan roda empat. Melangkah pelan-pelan takut Arka berhenti mendadak, membuat kedua bertabrakan. Membayangkan saja Mona sudah bergidik ngeri, saat manik mata yang memandang tajam bak elang hendak menerkam mangsa.
"Mas, aku ke sekolah pakai sepeda saja ya," cicit Mona dengan suara pelan, ia berdiri di dekat pintu mobil."Ayo cepat masuk! Jangan belajar membantah." Arka langsung menghadiahi tatapan tajam yang membuat Mona menciut lalu menurut.Mereka hanya diam saat diperjalanan, Arka fokus ke jalanan. Mona duduk dengan gelisah, takut hal mengerikan terjadi padanya lagi. Arka langsung memarkirkan mobil saat sampai, menyuruh turun adik ipar, tak lupa memberikan uang."Makasih, Mas," kata Mona lalu hendak menutup pintu tapi dilarang Arka."Nanti sepulang sekolah ada yang menjemputmu, turuti saja ucapan dia, itu Mas yang nyuruh. Jangan membantah!" perintah Arka hanya dibalas anggukan Mona, lal"Kamu harus turuti ucapanku!" perintah Arka sudah memberikan wewenang saat melajukan mobil menuju tempat di mana pertemuan berada."Iya, Mas. Memang kita mau bertemu siapa?" tanya Mona memberanikan diri bertanya."Setelah sampai kamu juga akan tau," balas Arka tidak memberikan jawaban pasti.Lima puluh tiga menit perjalan akhirnya tiba sampai tujuan. Arka lekas keluar lalu membukakan pintu untuk Mona. Wanita itu dengan gugup menggenggam jemari kakak ipar dan mulai berjalan beriringan."Jangan menunduk! kamu harus tegak dan menatap ke depan. Jangan mempermalukan Mas dengan menunduk seperti itu," tegur Arka saat melihat Mona terus melihat ke bawah."Iya Mas, maaff," kata Mona lalu mendongak melihat ke depan berusaha bersikap seperti kakak iparnya."Bagusss!" puji Arka tersenyum melihat Mona menurut."Mahhhh," panggil Arka lalu mendudukkan Mona di kursi sebelahnya."Kaa," sambut wanita paruh baya itu lalu melirik s
"Bawa seragam sekolahmu saja, sama yang penting kaya buku dan lain-lainnya," kata Arka menyembukan kepala ke jendela melihat Mona yang masih duduk di kursi."Heyyyy, kenapa kamu diam aja. Ayo turun! dan rapikan yang penting, seperti seragam sekolah." Mata mereka langsung bersitatap, tatapan tajam itu membuat Mona menciut lalu lekas keluar mobil."Cepat rapikan yang penting ke koper, kita akan pindah ke apartemen dulu," ujar Arka menjelaskan, Mona langsung mengangguk mengerti."Memang kenapa kita pindah ke apartemen, Mas?" tanya Mona penasaran saat sudah selesai dan memasukan koper ke bagasi."Mau renovasi rumah," balas Arka lalu fokus mengemudi kendaraan roda empat."Mau diapakan lagi? bukannya rumah itu sudah bagus," seloroh Mona membenarkan duduknya agar nyaman."Rumah itu jadi jelek karena pernah ditinggalkan oleh Kakakmu," sinis Arka melirik sekilas Mona lalu fokus lagi ke jalanan.Mona memilih diam tak menyahuti ka
"Mass, ada di sini?" cicit Mona pelan, memegang handuk agar tidak lepas."Hmmmm." Arka hanya menyahuti dengan deheman, tatapannya masih menuju ke Mona membuat wanita itu waspada."Makasih udah diizinin mandi di sini, Mona ke kamar dulu ya," tutur Mona melangkah menuju pintu tetapi benda itu terkunci."Emmmm, Mas. Kuncinya mana? Mas pasti lupa malah dikunci," pinta Mona dengan suara pelan, ia berbalik dan menyodorkan tangannya."Ngapain keluar, di sini aja," kata Arka datar duduk di sisi ranjang menatap Mona tanpa berkedip.Mona terus memegang erat handuk agar tak terlepas. Ruangan yang ini terasa menjadi pengap, apalagi tatapan sang kakak ipar. Perlahan ia menggeleng, merasa terancam di bilik tersebut."Enggak, Mas. Mona mau ke kamar Mona saja," cicit perempuan itu pelan, ia sangat takut peristiwa itu terjadi lagi walau dia sudah menduganya.Arka terkekeh lalu bangkit dan mendekati Mona. "Kamu kenapa? takut sama Mas," s
Sebulan berlalu perlakukan Arka masib sama, Mona sekarang tengah menatap pantulan di cermin. Hari ini mereka akan berkunjung ke kediaman Ibu Arka, ia menarik dan mengembuskan napas berkali-kali. Suara Arka yang memanggil membuat Mona secepat kilat meraih tas selempang lalu melangkah keluar menemui sang kakak ipar."Ayo cepat! Mama telepon terus nih," ucap Arka menggandeng Mona lebih tepatnya menarik agar jalan wanita itu cepat. Setelah semuanya beres, Arka langsung menancap gas menuju lokasi. Melirik sekilas sang adik ipar yang terlihat tegang. Ia mengembuskan napas perlahan, lalu lengannya terulur mengelus punggung tangan Mona."Tenanglah, Mas akan menjagamu. Hanya Mas yang boleh menyiksa dan membuatmu menangis," ujar Arka membuat Mona menatapnya senyuman itu terukir tetapi sebentar, luntur saat ucapan terakhir Arka."Jangan terlalu berharap, Mon." Mona memberikan nasehat pada dirinya sendiri dalam hati."Ayo turun!" perintah Arka kelua
Setelah kedua sejoli itu tidak terlihat, Hana segera masuk ke kamar wanita yang dianggap calon mertua. Wajah dibuat sebegitu sendu, membuat Adzkia merasa bersalah. Wanita paruh baya tersebut lekas menarik Hana agar duduk disampingnya, mengusap pelan punggung tangan perempuan pilihan Adzkia untuk menjadi pendamping Arka."Sabar ya, Hana. Mama akan lebih berusaha agar kamu bisa menikah dengan Arka," tutur Adzkia pelan menatap perhatian pada calon menantu idamannya.Hana hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Rencana sudah ia susun, menunggu Adzkia mungkin kapan dia akan menyandang gelar Nyonya Arka. Segera bangkit pamit buat mendekati Arka."Mah, Hana turun dulu memberikan kopi buat Mas Arka," ucap Hana lalu melangkah keluar meninggalkan Adzkia."Semoga Hana tidak berbuat nekad," gumam Adzkia lalu membaringkan tubuhnya untuk istirahat.Hana bergegas mengambil secangkir kopi yang ia buat, melangkah mendekati Arka yang menonton televisi. Den
Hari kedua mereka bermalam, ada undangan untuk Adzkia. Sedangkan wanita paruh baya itu belum pulih total, akhirnya ia memiliki ide buat memerintahkan Arka dan Hana. Dengan langka pelan menuju ruang tamu, dia melihat Hana masih berusaha mendekati putranya."Arkaaaa," panggil Adzkia membuat Arka menoleh menatap orang terkasih."Ada apa, Mah?" tanya Arka mengalihkan tatapannya pada sang Mama dan meletakan laptop di meja."Mama boleh minta tolong?" tanya Adzkia seraya duduk di dekat Hana."Tolong apa, Mah?" sahut Arka lalu nada dering ponsel membuat ia meminta izin dulu menerima telepon."Iya, nanti Mas jemput, kamu tunggu dulu ya," pinta Arka lalu tersenyum saat mendengar jawaban Mona, ia lekas memasukan handphone ke saku lalu berjalan mendekati Adzkia."Mah, nanti kita bicara lagi, Mona sudah keluar sekolah. Arka harus menjemputnya," pamit Arka lalu pergi."Ishhh, Arka. Selalu saja mentingkan bocah ingusan itu," keluh
Sesampai di kediaman Adzkia, keduanya langsung di hadang oleh sang pemilik. Wanita paruh baya itu melirik jam, lalu beralih menatap Arka. Arka yang ditatap sedemikian rumah akhirnya bertanya."Mama mau bicara'kan tadi?" tanya Arka lalu disuguhi kartu undangan."Ini apa, Mah?" tanya Arka melihat dengan teliti deretan huruf yang dikertas."Kamu gantikan Mama, pergi bersama Hana. Sekarang ajak dia ke salon dan kalian juga harus membeli pakaian," perintah Adzkia tanpa menunggu persetujuan Arka."Mah, Arka belum setuju lho. Mendingan Arka bawa Mona saja," ujar Arka menggenggam lengan Mona yang menunduk sedari tadi."Kamu jangan gila, Ka. Kamu mau mempermalukan Mama dengan membawa dia? bisa-bisa dia dibully oleh mereka, saat Mona tidak tau harus menjawab apa pertanyaaan mereka. kamu tau'kan bagaimana pesta itu," tutur Adzkia membuat Arka terdiam."Di mana Hana? Arka tak punya banyak waktu. Mona cepat taruh tas lo, lo harus ikut," ucap
Pesta itu sangat ramai, Arka sama saja berwajah datar. Tak ada senyuman yang menghiasi bibir, hanya Hana terus nebar senyum dan terus menempel pada Arka. Membuat lelaki itu tak nyaman, dia bersyukur saat diajak berbincang dengan beberapa rekan bisnis nan diperintahkan oleh orang tua mereka untuk datang ke acara ini."Ahhh ayo, siapa yang kuat dan tidak mabuk!" tantang salah satu, semua terus berbincang sampai tak terhitung minum keras mereka teguk.Arka bangkit berjalan dengan sedikit sempoyongan, melangkah keluar membuka bagasi yang memperlihatkan Mona meringkuk disana sambil memendam tangisan. Arka merasa terpancing saat melihat hotpants yang dipakai Mona dan tentop berwarna hitan nan tersingkap memperlihatkan perut rata perempuan tersebut. Dengan cepat mendorong Mona untuk berbaring lagi lalu lekas menutup bergegas mengendarai mobil menuju hotel miliknya yang berada di daerah ini."Mas ... kamu mabuk ya!" pekik Mona saat ditarik paksa agar dia turun dar
Beberapa tahun berlalu, anak perempuan Mona kini beranjak dewasa, ia berusia tujuh belas tahun. Sedangkan putranya sembilan tahun. Sepasang suami istri itu kini menjemput Ghibran."Jangan suka bolos dong, Sayang. Momy pusing selalu dipanggil ke sekolah gara-gara kelakuan kamu," nasihat Mona. Ghibran hanya menganggukan kepala, lelaki itu malah memainkan ponselnya. Arka yang melihat dari kaca geram, ia menghentikan kendaraan roda empat dan menatap kesal ke arah Ghibran. "Ghibran! Kamu denger gak sih kata Momy, kalau dinasihatin itu dengerin! Jangan sambil main handphone," omel Arka. Ghibran yang mendengar omelan Papanya itu langsung memasukan benda pipih tersebut ke saku. Ia segera menundukan kepala kala melihat tatapan tajam Arka. "Ghibran dengerin kok, Dad." Arka yang mendengar sahutan dengan nada malas itu membuat ia geram. Lelaki tersebut turun, lalu membuka pintu belakang. "Ayo turun! Kamu pulang jalan," sentak Arka. Mona yang mendengar itu membulatkan mata, sedangkan Ghibr
Sorenya Dara benar diantarkan pindah oleh Amel, bahkan wanita itu terkejut karena semuanya telah disiapkan. Kini hanya Dara dan Annisa yang berada di kontrakan. Mona telah pergi bersama Gaia, Ghibran di gendongannya, pulang pakai taksi. Annisa merapikan semuanya, sedangkan Dara melihat sekeliling. Kontrakan ini sudah dibiayai beberapa bulan, kalau sudah sembuh dan melakukan operasi lagi. Ia berencana melamar kerja diluar. "Mendingan kamu istirahat aja, lumayan capek juga kan sampai sini," seru Annisa. Perempuan itu kini tengah memasukkan bahan makanan ke dalam kulkas pekerjaan jadi bertambah, Anisa berdoa semoga Dara tidak mengerjainya. Dara menganggu, dia perlahan menuju kamar dan berbaring di ke ranjang. "Ahh ... tempat ini sangat kecil sekali, jauh berbeda sama kediamannya. Tapi ... udah dikasih tempat aja allhamdulillah." Dara berkata dalam hatinya, ia memejamkan mata lalu terlelap. Sedangkan Annisa sibuk memasak dan merapikan barang. Dia mengembuskan napas lalu langsung du
Setelah mengatakan itu, Mona langsung membuka pintu. Lalu matanya melihat kedua asisten. "Tenang aja, kalian bisa lakuin pekerjaan lagi. Aku mau menyelesaikan urusanku dulu," ucap Mona lembut. Setelah mendapatkan anggukan, Mona langsung menutup pintu lagi. Tatapan itu tajam bak pisau yang baru diasah. Dara yang mendapatkan itu, mendadak nyalinya menciut. "Aku menyayangimu, aku menganggapmu sebagai saudara. Tapi inikah balasanmu, hendak merebut suamiku!" sinis Mona. Mona mencengkram bahu Dara dengan kuat, melampiaskan kekesalannya. Lalu ia mengembuskan napas menetralkan kemarahan dan kekecewaan pada sang teman. "Sudahlah, yang penting Mas Arka gak melirik sedikitpun. Tapi tetap saja! Hati ini hancur gara-gara kamu melakukan hal itu," ungkap Mona. Dara juga ikut menitihkan air mata, ia menepis tangan Mona yang memegang bahunya. Wanita itu langsung mengambil buku dan pulpen di laci lalu menulis sesuatu dan memberikan kepada Mona, kemudian mengempaskan bokong ke ranjang karena kaki
Arka menghela napas kala mendengar dengkuran halus sang istri. Ia memilih tidak ambil pusing dam ikut menjelajah alam mimpi. Sedangkam di kamar Dara, wanita itu terus memikirkan apa yang dikatakan Mona. "Apa dia tau?" Dara bertanda pada dirinya sendiri, karena frustasi menjambak rambut. "Ahh ... ini membuat gue pusing, apa yang harus dilakukan." Wanita itu terus memonolog, ia menjatuhkan tubuh ke kasur. Memikirkan perkataan Mona. Dia sangat frustasi, berkali-kali memukul kasur karena pusing. " Ah ... ini sangat memusingkan, kalau dia tahu kenapa masih bersikap baik." Dara terus bergelut dengan pikirannya tanpa sadar telah lelah karena kelelahan. Waktu berlalu begitu cepat pagi tiba. Kini mereka tengah sarapan bersama, sesekali Dara melirik Mona terlihat wanita itu biasa saja. "Dara Aku ingin ngomong sesuatu sama kamu," lontar Mona. Mendengar perkataan Mona, Dara langsung memandang dia lalu mengangguk sebagai jawaban. "Setelah sarapan, kita bicara di kamar kamu," ucap Mona.
Acara itu akhirnya selesai, yang mendekorasi halaman ini telah pulang. Begitu pula Atha, kini semua tengah beristirahat di ruang tengah."Aku mau nidurin Ghibran dulu, lihat matanya udah berat banget. Tadi berisik jadi dia gak bisa tidur," tutur Mona.Mona bangkit dari duduknya, ia tengah menimang Ghibran. Gaia dan Arka mengangguk mengiyakan. "Mama, Pah, aku juga mau bobo. Ngantuk banget nih," celetuk Gaia.Arka bangkit lalu melangkah mengikuti sang anak."Sini Papa anter," sahut Arka.Gaia menoleh menandang sang Papa. Ia mengeryitkan alis karena merasa aneh dengan tingkah lelaki itu. "Tumben," celetuk Gaia.Mona yang mendengar itu tertawa."Takut kamu iri sama Ghibran, makanya Papa menggantikan Mamamu buat antar putri kecil ini," ujar Arka.Arka berjongkok, ia mengusap kepala Gaia dengan sayang."Apaan sih, Pah. Aku juga ngerti dong, akukan sekarang seorang Kakak," ujar Gaia.Gaia langsung mempautkan bibirnya, ia menatap kesal sang Papa.Sedangkan Mona yang hendak pergi tak jadi, i
Annisa juga terkejut melihat isi rumah. Ia langsung berlari dan berteriak memanggil penghuni rumah ini."Dewi ... Nyonya Mona, Tuan Arka! Gaia, kalian di mana." Annisa terus berlari mencari semua orang, meninggalkan Dara yang tertatih.Kala sampai di dekat halaman, saat hendak berteriak lagi. Tangannya di tarik seseorang, membuat ia terkejut dan hendak memekik tetapi mulutnya langsung dibekam."Jangan teriak, ini aku," bisik Dewi. Annisa langsung menoleh melirik Dewi, sedangkan wanita itu lekas melepaskan bekamannya. "Kalau nanti aku jantungan gimana!" omel Annisa dengan nada pelan. Dewi meletakan jari telunjuk di bibir, lalu ia menarik Annisa agar mengikutnya bersembunyi. Kala mendengar suara langkah kaki ke arah halaman. Wanita itu mengetik sesuatu di ponselnya dan ditunjukan pada Annisa. [Kita bakal kasih kejutan sama Dara, kita bakal keluar dan teriak suprise gitu. Kami semua udah pada ngumpet pada kalian datang. Isi rumah berantakan itu kami sengaja.] Annisa menganggukkan k
Annisa yang membaca itu langsung berjongkok, ia memegang lengan Dara."Aku mohon, Dara. Jangan buat aku dipecat oleh Tuan Arka, kalau aku gak kerja bagaimana nanti ...." Ucapan Annisa terhenti kala Dara menepis pegangan tangan wanita itu. Terlihat Dara menghela napas lalu mengetik sesuatu. [Berdiri! Kamu membuat aku seperti orang jahat.]Annisa menggeleng kala Dara menyodorkan handphone agar ia membacanya. Dara mengepalkan tangan lalu mengetik sesuatu lagi. [Iya-iya aku gak bakal lapor, ayo cepat bangun! Bikin malu aja.] Setelah membaca ketikan itu, Annisa langsung mengulas senyum. Ia bangkit dan menghapus jejak air mata. "Jangan pulang dulu, Dara. Kita jalan-jalan, udah lama bukan gak jalan-jalan gini," celetuk Annisa. Dara yang mendengar itu memandang Annisa. "Emang gak bosen di rumah terus," lanjut Annisa. Dara mengangguk mengiyakan, ia langsung mengecek saldonya dan mengulas senyum. Bergegas melangkah diikuti Annisa. Wanita itu langsung memesan taksi, Annisa yang melihat i
"Kamu mau coba-coba bohongin aku, ya!" omel Mona pelan.Tangan wanita itu bergerak mencubit pinggang sang suami. Membuat Arka mengaduh, sedangkan Gaia menutup mulut agar tidak menertawakan Papanya. "Aku gak bohongin kamu, kok. Kamu, kan yang ngomong sendiri," sahut Arka. Arka membela dirinya, sedangkan Atha yang melihat adegan itu hanya tersenyum kecil. Ia mengajak Gaia untuk berkeliling dan meninggalkan sepasang suami istri ini. Mona hanya melirik kesal Arka, ia langsung melangkah pergi kala Dewi memanggil. "Iya, Dew. Sebentar," sahut Mona. Kala melangkah pergi, Mona menjulurkan lidah meledek sang suami. Sedangkan Arka hanya tersenyum melihat tingkah istrinya itu."Istriku, istriku. Kenapa semakin kesini semakin menggemaskan sih," gumam Arka.Lelaki itu akhirnya melangkah untuk melihat-lihat keadaan."Semoga Dara sadar deh, dan tau diri. Dia masih aja ngejar-ngejar suami temannya sendiri, padahal Mona begitu baik sama dia," batin Arka berseru.Sedangkan Atha dan Gaia, mereka te
"Ayo Dara," ajak Annisa. Dara yang mendengarnya melengos, ia langsung melangkah meninggalkan Annisa. "Kita mau ke mana kira-kira, Dara?" tanya Annisa. Dara melirik kesal Annisa. Ia menghentikan langkahnya lalu mengetik sesuatu. [Kamu berisik, banget! Kita cari tukang bubur kacang hijau.]Annisa memutarkan bola mata, dan mengangguk. Mereka berjalan menuju tempat yang biasa Dara membeli.Sesampai di sana, keduanya langsung memesan kala sampai."Dara, kamu bawa uang gak? Aku kelupaan bawa dompet nih, soalnya," ucap Annisa. Dara membulatkan matanya kala mendengar ucapan Annisa. Ia langsung mengambil ponsel untuk meminta uang pada Arka. Kala melihat benda pipih itu, bertepatan suara notifikasi pesan masuk.[Aku sudah meminta Mas Arka mengirim uang ke akun dana, kamu. Cek deh,] Wanita tersebut langsung memanyunkan bibirnya, ia lekas mengecek aplikasi yang disebutkan Mona. Terlihat dia menghela napas, dan menaruh ponselnya ke saku."Huh ... padahal tadi kesempatan aku mengirim pesan sa