Jawaban ini membuat ekspresi Nicky membeku. Dia sulit untuk memercayainya. Kemudian, dia teringat pada ucapan bibi Stanley dan bertanya untuk memastikan, "Kamu ikut acara siang juga?"Livy agak terkejut karena mengira tidak ada yang melihatnya. Kini, dia tidak punya alasan untuk menyembunyikan apa pun lagi. Dia mengangguk. "Ya, tapi aku langsung pergi istirahat setelah siap makan. Aku nggak enak badan.""Kamu sakit?" Hal pertama yang dicemaskan Nicky adalah kesehatan Livy. Namun, setelah tersadar kembali, tatapannya menjadi sedih.Ternyata benar, Livy dan Preston bersama. Nicky awalnya mengira keduanya hanya pacaran. Siapa sangka, ternyata keduanya sudah menikah."Sudah jauh lebih baik," timpal Livy yang menyadari kejanggalan dari sikap Nicky. Dia tidak tahu apa yang janggal, tetapi bisa merasakannya. Apa mungkin Nicky terkejut dengan kabar pernikahannya?"Aku nggak bermaksud merahasiakannya darimu. Tapi, kami memang menutupi pernikahan ini dari semua orang. Semua karyawan di perusahaa
Ternyata itu adalah "ayah terbaiknya".Livy tidak berniat meladeninya, tetapi Rivano maju dan berkata lagi, "Biaya pengobatan di sini seharusnya sangat mahal, 'kan? Aku punya sedikit uang. Aku diam-diam menyimpannya dari Kristin dan Zoey untukmu. Aku bantu kamu bayar biaya operasinya."Sesudah mendengarnya, ekspresi Livy baru berubah. Dia menoleh menatap sosok belakang Rivano yang hendak pergi. Nada bicaranya terdengar tegas saat menyergah, "Kami nggak butuh uangmu! Pergi!""Livy, kenapa kamu sekejam ini sama ayahmu? Kamu putri kandungku. Mana mungkin kuabaikan?" timpal Rivano yang bersikap seolah-olah dirinya adalah ayah yang sangat baik.Namun, tidak peduli bagaimana Rivano berusaha, Livy tidak akan pernah melupakan kekejamannya setelah Helen meninggal, serta kebanggaan pada ekspresi Kristin dan Zoey saat dibawa pulang.Saat ini, Livy tidak ingin meladeni Rivano. Dia sedang mencemaskan keselamatan neneknya.Tiba-tiba, pintu ruang operasi dibuka. Dokter berjalan keluar sambil menatap
Tiga hari kemudian, Livy menyaksikan dengan mata kepala sendiri saat neneknya dikremasi. Ketika menerima guci abu, Livy hanya bisa menunduk dengan bengong. Semua ini terasa seperti mimpi. Namun, fakta menyadarkannya bahwa neneknya memang telah tiada.Preston mengatur semuanya dengan sangat baik, termasuk makam untuk neneknya. Livy dibawa ke pemakaman untuk mengubur neneknya.Pemakaman diadakan dengan sangat sederhana. Tidak ada orang lain, hanya ada Preston dan Livy. Charlene sedang syuting di luar negeri. Sehingga Livy tidak mengabarinya soal masalah ini. Dia tidak ingin Charlene khawatir dan berdampak pada pekerjaannya. Rivano sempat datang untuk berbelasungkawa, tetapi Livy mengusirnya.Saat ini, Livy berlutut di depan makam neneknya. Langit mendung dan mulai gerimis, persis dengan suasana hatinya. Makin deras air mata Livy, makin deras pula hujan yang turun.Preston memayungi Livy sambil menunggunya dengan tenang. Tiba-tiba, ponsel Preston yang berdering memecahkan keheningan.Satu
"Hanya saja, Rivano juga menjenguk temannya yang sakit. Mungkin dia memang cuma ingin menjenguk nenek Livy. Tapi, ini bukan berarti kematian nenek Livy nggak ada kaitan dengannya. Mungkin kebetulan, mungkin juga bukan ...." David menganalisis dengan saksama.Preston mengernyit sambil menatap ke kejauhan. Entah apa yang dia pikirkan. Dia berujar dengan pelan, "Rahasiakan dulu hal ini."....Selama beberapa hari ini, Livy terus tidur. Dia terus bermimpi saat neneknya masih hidup. Setiap kali membuka mata, dia merasa kematian neneknya hanyalah mimpi.Namun, setiap kali Preston menyuapinya makan, Livy akan tersadar dari mimpinya. Neneknya benar-benar sudah tiada.Setelah memastikan semua ini nyata, pikiran Livy menjadi lebih jernih. Dia menyibakkan selimutnya dan berjalan tanpa alas kaki, lalu membuka pintu kamar.Rumah yang luas ini tampak kosong melompong. Matahari telah bersinar terik. Hari ini bukan akhir pekan. Jadi, Preston pasti sudah pergi ke perusahaan.Tina yang menjinjing keranj
Ketika manusia sedang lemah, mereka selalu mencari sandaran. Kebetulan, Preston ada di sisi Livy untuk membantunya. Mungkin, ini hanya efek psikologis. Livy tidak berani berpikir terlalu jauh, apalagi mencintai Preston. Ini karena dia tahu betul bahwa dia bukan istri sah yang sesungguhnya.Kalau bukan karena ada Tina di sini, Livy tidak mungkin memanggil Preston dengan semesra itu. Biasanya, Livy memanggilnya dengan sebutan Pak Preston karena Preston memang atasannya."Sudah baikan?" tanya Preston setelah melepas sepatunya. Kemudian, dia menghampiri Livy.Livy mengangguk. "Sudah. Rencananya aku mau kerja besok.""Nggak usah repot-repot. Yang penting sembuh dulu." Supaya Livy tidak cemas, Preston pun menggodanya, "Lagian, perusahaan tetap beroperasi seperti biasanya tanpa kamu."Livy tahu Preston sedang bercanda dan bukan ingin mengejeknya. Hatinya terasa hangat. Dia bergumam, "Ya sudah. Aku istirahat sehari lagi. Lusa baru kerja."Livy tidak ingin menunda terlalu banyak pekerjaan. Sela
Stanley mengajak teman-temannya untuk makan bersama di Olive Tower. Ketika mereka semua berada di ruang VIP, Nicky keluar untuk menelepon.Usai mendapat informasi ini, Livy segera mengganti pakaian dan meninggalkan apartemen. Dia tidak memberi tahu Preston tentang kepergiannya.Livy hanya berpamitan pada Tina. Dia berkata hendak menemui temannya dan tidak ingin menginterupsi pekerjaan Preston. Dia juga meminta Tina menyampaikan bahwa dirinya akan segera kembali jika Preston mencarinya.Di dalam taksi, Nicky memberi tahu Livy bahwa mereka akan pindah ke Dibiza. Livy lantas meminta sopir untuk mengubah rute. Dibiza adalah nama sebuah kelab terkenal.Livy berpesan pada Nicky untuk merahasiakan kedatangannya. Dia beralasan ingin memberi mereka kejutan.Sebelum mereka sampai, Livy sudah terlebih dahulu tiba di Dibiza. Dia juga sudah menghubungi Charlene sebelumnya.Charlene mengenal Linda, manajer Dibiza. Hubungan akrab keduanya memuluskan rencana Livy.Livy menemui Linda dan memilih bebera
Stanley terpancing. Dia lantas mengikuti wanita itu naik ke kamar di lantai atas. Alhasil, begitu masuk kamar, wanita itu langsung melepas pakaiannya."Tunggu! Kamu ngapain? Bukannya ini hanya pura-pura?" tanya Stanley kaget.Wanita itu tersenyum manis, membuatnya terlihat kian mirip dengan Livy. Dia berkata, "Kak, kamu sudah menolongku. Sebagai gantinya, aku akan menemanimu malam ini. Nggak perlu bayar.""Nggak perlu," tolak Stanley. Meski begitu, dia merasa sangat tergoda.Wanita itu sudah menanggalkan semua pakaiannya. Melihatnya berjalan mendekat, Stanley buru-buru balik badan. Dia tidak berani menatap wanita itu, takut dirinya akan hilang kendali.Wanita itu memeluk Stanley dari belakang, menempelkan tubuh mereka erat-erat dan menggodanya. Stanley tidak tahan godaan. Akhirnya, dia berbalik dan merengkuh wanita itu.Livy yang menyaksikan semua ini dari kamera CCTV mengernyit dan merasa jijik."Sudah kubilang, 'kan? Dia pasti akan terpancing kalau digoda wanita yang mirip denganmu,"
"Tenang saja, serahkan sisanya padaku," ucap Linda."Terima kasih. Aku traktir kamu makan lain hari," kata Livy sambil buru-buru berjalan pergi.Sayangnya, saat ini kebetulan adalah jam sibuk. Taksi yang dipesan Livy baru akan sampai 1 jam 45 menit lagi. Hal ini membuatnya merasa sangat lesu.Tiba-tiba, Livy menerima pesan di WhatsApp. Pengirimnya adalah Preston.[ Sudah naik taksi? Bagi pelat nomornya. ]Livy terpaksa mengirimkan tangkapan layar dari halaman pemesanan taksi.Preston mengirimkan pesan lagi.[ Aku jemput kamu. ]Livy merasa ragu untuk memberitahukan alamatnya sekarang. Namun, dia lantas sadar bahwa hasil tangkapan layar tadi sudah menunjukkan titik lokasinya. Artinya, Preston tahu bahwa dia berada di Dibiza.Entah apa yang dipikirkan Preston saat tahu dirinya berada di sini. Untungnya, Linda memang bekerja di sini. Jadi, dia masih bisa menjadikan itu sebagai alasan.Livy duduk di sofa lobi, menunggu Preston datang menjemputnya. Tak lama kemudian, dia melihat sekelompok
Livy ragu sejenak. Dia tahu Nicky selalu menganggapnya sebagai teman baik, dan kemungkinan besar telepon semalam telah membuatnya khawatir.Setelah memastikan melalui cermin bahwa luka-lukanya sudah tertutup dengan baik dan tidak terlihat, dia berganti pakaian dan turun ke bawah.Mobil Nicky terparkir di dekat air mancur yang tidak jauh dari rumahnya."Maaf ya, Nicky, semalam aku cuma terlalu tertekan. Maaf kalau aku mengganggumu," kata Livy dengan nada menyesal.Temannya tidak banyak, terutama setelah dia putus dengan Stanley. Livy awalnya berpikir bahwa hubungan mereka juga akan berakhir, tetapi nyatanya, Nicky tetap menjadi temannya."Nggak apa-apa. Orang yang bisa masuk ke Grup Sandiaga pasti orang-orang hebat, jadi wajar kalau merasa tertekan. Tapi, Livy, kamu sudah sangat luar biasa," jawab Nicky sambil memperhatikan Livy dengan saksama.Dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan Livy darinya. Namun, mengingat posisinya sebagai teman biasa, dia merasa tidak punya hak untuk bertanya
"Kalau begitu ... aku istirahat satu hari saja, boleh?" tanya Livy dengan ragu.Meskipun nada bicara Preston terdengar dingin, Livy dapat merasakan kepedulian dalam ucapannya. Hatinya terasa hangat dan dia pun berbicara dengan nada yang lebih lembut, "Sayang, aku benar-benar nggak apa-apa. Aku sangat memedulikan proyek ini dan aku ingin menyelesaikannya.""Kalau begitu, nanti malam aku akan pulang untuk mengganti obatmu. Kalau memang nggak ada masalah besar, baru kamu boleh kembali bekerja," jawab Preston dengan nada datar.Livy menghela napas lega. Saat melihat Preston bersiap untuk pergi, dia buru-buru bertanya, "Lalu ... soal Zoey?""Akan aku urus," jawab Preston sambil melirik jam tangannya, lalu pergi ke kantor tanpa bicara lebih lanjut.Setelah sarapan, Tina masuk ke kamar Livy sambil membawa obat salep. Dia membuka perban yang melilit tubuh Livy. Begitu melihat luka-luka yang terlihat jelas, matanya langsung memerah dan air mata mulai menetes."Dasar bajingan nggak punya hati! B
Margo terdiam sesaat, lalu menggelengkan kepala dengan panik. "Pak Preston, nggak ada yang suruh aku! Aku cuma ... aku cuma lihat Bu Livy sangat cantik, jadi punya niat jahat .... Aku salah, aku benar-benar salah! Aku janji nggak akan berani lagi. Tolong, beri aku kesempatan kali ini!""Masih belum mau bicara jujur?" Bendy yang sudah kehilangan kesabarannya, menendang keras ke arah Margo. "Kalau nggak ada yang bekerja sama denganmu, mana mungkin kamu bisa membawa mobil Keluarga Sandiaga begitu saja?"Margo tersentak. Dia tergagap sambil berusaha menjawab, "Aku ... aku ...."Bugh!Tendangan keras dari Preston menghantam perut Margo dan membuat pria itu mengerang kesakitan. Sebelum dia sempat meminta ampun lagi, Preston berdiri dengan tenang dan melangkah ke arahnya. Dengan sepatu kulit mahalnya, dia menginjak tangan Margo dan memutar-mutar kakinya hingga menghasilkan suara mengerikan seperti tulang retak.Margo menjerit keras, tetapi suara dingin Preston menghentikan semua kata-katanya.
Di samping tempat tidur, Livy melihat ponselnya yang hampir rusak total. Layarnya retak dan tulisannya nyaris tidak terlihat jelas. Namun, dengan susah payah, dia berhasil menekan tombol panggil tanpa memastikan nama kontak yang dipilihnya.Dia merasa terlalu putus asa. Mengingat bahwa terakhir kali dia berbicara dengan Charlene, Livy menghubungi nomor itu tanpa berpikir panjang.Setelah telepon tersambung, dari ujung sana terdengar suara angin menderu.Mungkin karena akhirnya menemukan seseorang yang bisa menjadi tempat bersandar, air mata yang telah lama dia tahan kembali mengalir deras. Dengan suara yang serak dan penuh emosi, dia berkata, "Charlene, aku merasa aku telah salah memilih jalan ....""Aku merasa sangat lelah setiap hari. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi. Bisa nggak kamu temani aku besok? Aku cuma butuh waktu sore."Namun, tidak ada suara yang langsung menjawab. Keheningan yang panjang di ujung telepon membuat Livy berpikir bahwa ponselnya sudah terlalu rusak untuk me
Mimpi buruk yang menakutkan perlahan memudar.Di depannya, hanya ada Preston. Tangannya digenggam erat oleh tangan besar Preston, memberikan rasa tenang yang perlahan mengusir rasa takutnya. Suaranya yang dalam dan tegas terdengar di telinganya."Margo sudah aku tangani. Nggak perlu khawatir lagi.""Baik ...." Livy akhirnya merasa sedikit lega. Namun, genggamannya semakin erat, seolah-olah tidak ingin melepas tangan Preston. Dengan suara lemah, dia bertanya, "Siapa yang kusinggung sebenarnya? Kenapa aku harus mengalami ini?"Preston menuangkan segelas air hangat dan menyerahkannya pada Livy. Dengan nada dingin dan berat, dia menjawab, "Bahran. Kamu bertemu dengannya sore tadi, bukan?"Nada bicaranya begitu dingin seperti air dari laut terdalam yang penuh kegelapan, membuat siapa pun yang mendengarnya merasa gentar."Bahran ...." Livy terdiam sesaat. Setelah beberapa detik, dia mengangguk pelan. "Ya, aku bertemu dengannya. Dia menyuruhku mengganti pemasok bahan. Aku menolak. Aku pikir i
"Apa yang mau dimainkan?" Nada bicara Preston tetap sedingin es. Tanpa memberi kesempatan pada Bahran untuk menjawab, dia menambahkan dengan dingin, "Main-main dengan nyawamu, Kak?"Suara penuh amarah itu membuat Bahran tercekat. Dia terdiam sesaat sebelum mencoba menutupi rasa takutnya dengan kemarahan palsu. "Hei, apa maksudmu?"Namun, Preston tidak berniat melanjutkan percakapan. Dia langsung memutuskan telepon tanpa sepatah kata pun.....Setelah menutup telepon, Preston kembali ke kamar. David baru saja selesai memeriksa kondisi Livy dan langsung memberi laporan begitu dia masuk."Semua cuma luka luar, nggak ada yang kena tulang. Setelah diobati dan beristirahat beberapa hari, kondisinya akan membaik," kata David."Baik." Preston menjawab singkat sambil mengarahkan pandangannya pada Livy yang terbaring di tempat tidur. Matanya dipenuhi rasa sakit yang mendalam.Melihat itu, David mendekatinya dan bertanya dengan suara pelan, "Kak Preston, kalau tadi memang sampai terjadi sesuatu y
Suara yang tidak asing itu masuk ke telinga Livy, membuat matanya yang sudah memerah menjadi lebih berkaca-kaca. Emosi yang lama dia tahan akhirnya menyeruak.Pria yang sedang melakukan kekerasan padanya, Margo, mendadak terdiam. Wajahnya berubah drastis menjadi penuh ketakutan. Dengan suara gemetar, dia berkata, "Pak Preston ...?"Bugh!Sebuah pukulan keras mendarat di wajah Margo, diikuti dengan tendangan brutal yang mengenai bagian bawah tubuhnya. Preston tidak menunjukkan belas kasihan. Tendangan itu membuat Margo terjatuh ke lantai dan merintih kesakitan sambil memegangi tubuhnya."Preston ...." Livy menatap kosong ke arah pria yang semakin dekat dengannya. Suaranya serak dan sulit didengar setelah semua penderitaan yang dia alami. "A ... akhirnya kamu datang ...."Preston segera melepas jasnya dan menyelimutkannya ke tubuh Livy yang gemetar. Saat Livy bersandar di dadanya yang hangat, semua ketahanannya hancur. Air matanya mengalir deras."Aku ... aku pikir kamu nggak akan datang
Sebagai karyawan di departemen sekretaris, Livy tahu bahwa ponselnya tidak boleh dimatikan dalam keadaan apa pun. Lagi pula, dia juga bukan tipe orang yang mematikan ponsel, bahkan saat tidur.Preston berdiri dengan cepat, ekspresinya menjadi semakin dingin. Dia memastikan, "Dia nggak ada di kantor? Apa dia bilang dia lembur di kantor?""Ng-nggak," jawab Tina gugup. "Nyonya cuma bilang akan pulang lebih lambat."Nada Tina semakin penuh kecemasan. "Tuan, biasanya Nyonya nggak pernah seperti ini, tiba-tiba nggak bisa dihubungi. Jangan-jangan dia ...."Kata-kata Tina terputus. Dia buru-buru meludah beberapa kali, mencoba menepis pikiran buruk. "Nggak mungkin, nggak mungkin ada sesuatu yang terjadi pada Nyonya."Namun, Preston tidak lagi mendengarkan. Dengan penuh ketegangan, dia menutup telepon dengan cepat dan segera menghubungi anak buahnya. "Cari tahu di mana Livy! Kalau dalam satu jam kalian nggak menemukannya, kalian nggak perlu kembali lagi!"....Sementara itu, di dalam ruangan sem
Setelah hampir sepanjang hari berkeliling pasar, Livy berhasil mendapatkan gambaran harga dari bahan-bahan yang dibutuhkannya. Setelah data terkumpul, dia berencana untuk pulang, menyusun dokumen, dan mulai merancang kerja sama sesuai kebutuhan.Namun, ada yang aneh. Remis yang dimintanya untuk menjemput pada pukul enam, masih belum muncul meskipun waktu sudah lewat lebih dari setengah jam. Saat hendak menelepon untuk menanyakan keberadaannya, sebuah mobil yang dikenalnya berhenti di depannya.Seorang pria yang mengenakan masker berada di balik kemudi. Matanya tampak sedikit gugup saat menatap Livy, lalu berkata, "Apakah ini Bu Livy? Aku adik Remis. Barusan dia mendadak kena radang usus buntu dan harus dibawa ke rumah sakit. Aku datang untuk mengantar Bu Livy pulang.""Baiklah," jawab Livy tanpa berpikir panjang.Remis yang merupakan sopir Keluarga Sandiaga, selalu siap siaga kapan saja. Livy berpikir, mungkin selama ini dia tidak menjaga pola makan dengan baik, sehingga jatuh sakit.S