Sean menghubungi pak Sadin melalui telepon selulernya. Ia meminta agar pihak rumah sakit merahasiakan ruang rawat Darul. Tentu saja itu bukan hal yang sulit untuknya. Sean tidak ingin Zia ketakutan lagi seperti tadi. Lelaki itu juga meminta bantuan pak Sadin untuk mencari tahu tentang Resa. Semantara Zia yang berada di dalam mobil terus memandangi Sean yang sedang berbicara dengan telepon dari kaca depannya. Hatinya makin tersentuh dengan perhatian Sean. Jika bukan karena lelaki itu, mungkin ia terpaksa harus berhadapan dengan ibunya. Satu hal yang harus ia syukuri saat tahu kalau dirinya tinggal di mansionnya Sean selama kontrak menulisnya, ia bisa terhindar dari kejaran Resa. Selama ini Zia selalu berpindah-pindah tempat tinggal menghindari kejaran Resa. “Apa yang kamu takutkan dari lelaki itu, Zia?” gadis itu bertanya pada dirinya sendiri, kemudian ia menundukkan pandangannya. Ya, tak seharusnya ia terus menghindari dan ketakutan pada Sean. Bukankah dulu lelaki itu berbuat baik
Zia hanya bisa bertanya-tanya dalam hatinya tentang sikap Sean yang kini terlihat acuh. Ingin rasanya ia memulai pembicaraan setelah mobil yang dikemudikan Sean keluar dari tempat parkir, tetapi ia tak tahu harus berkata apa. Akhirnya ia memilih memandangi tepi jalanan untuk mengalihkan suasana hatinya. Sementara Sean hanya bisa tersenyum tipis tanpa menoleh ke arah Zia. Ia bisa merasakan gadis di sampingnya memasang wajah bosan dan penasaran. Zia bahkan menopang kepalanya dengan tangan kirinya yang berpangku pada laci pintu sampingnya. Sesekali Sean dapat mendengar gadis itu menghembuskan napas panjang. “Kamu tidak ingin bertanya?” Sean memancing perbincangan Zia. “Bertanya apa?” jawab Zia dengan nada malas, bahkan ia tak menoleh pada Sean. Zia masih setia dengan posisi semula, menopang kepalanya dan memandangi trotoar jalan yang dipenuhi para pedagang kaki lima. Sean mengerutkan dahinya. “Tentang kejadian tadi?” pancingnya. Zia refleks menoleh. Seketika ia teringat dengan ayahny
“Coba cari lagi yang benar, Tuan!” pinta Zia sedikit panik. Sean kembali merogoh saku celana depan dan belakangnya, sementara Zia merogoh saku jaket Sean yang melekat pada tubuhnya. Kedua saling bertukar pandang. Sean menggelengkan kepalanya, isyarat tak menemukan apapun. Zia menggigit bibir bawahnya lalu ikut menggelengkan kepalanya, isyarat kalau ia juga tak menemukan dompet Sean dalam jaketnya. Perlahan keduanya menoleh pada pedagang cakwe. Mereka langsung disambut senyuman intimidasi dari pedagang tersebut. Tentu saja pedagang tersebut tak mau tahu masalah yang dihadapi Sean dan Zia. Ia hanya tahu dagangan yang sudah mereka makan dan yang berada di tangan Zia harus segera dibayar. Zia lalu menoleh pada Sean dengan tatapan merasa bersalah. “Tuan, mungkin tertinggal di mobil?” tanya Zia mencoba tenang. Sean terdiam, mencoba mengingatnya. Tiba-tiba kedua bola matanya membulat sempurna. Ia ingat kalau sebelumnya bertabrakan dengan beberapa pria sebaya dengannya saat berdesak-desak
“Gadis kecil, kamu bawa ponsel ‘kan?” tanya Sean dengan tatapan penuh harap. Wajah Zia langsung berseri. Benar ia melupakan ponselnya. Tangannya kembali merogoh tote bag-nya dan mengeluarkan ponsel miliknya. Ralat! Itu ponsel milik Sean yang diberikan padanya selama kontrak kerja.“Saya pinjam dulu, yah!” ucap Sean setelah menerima ponsel Zia.Sean langsung menghubungi pak Sadin melalui ponsel Zia. Benar, hanya pak Sadin lah yang bisa menyelamatkan dirinya dan Zia. Sejujurnya Sean juga merasa bersalah. Lelaki itu sudah melihat wajah ceria Zia saat mengajaknya ke pasar malam, tetapi harus sirna karena sebuah kemalangan yang tak terduga. Akhirnya kekhawatiran Sean berakhir. Pak Sadin berhasil dihubungi dan langsung bergegas menuju tempat mereka berada. Sean mengukir senyuman pada Zia, hingga wajah Zia langsung berubah lega.“Tunggu sebentar, Pak. Saya pasti akan membayar dagangannya,” ucap Sean pada pedagang itu dan ditanggapi tatapan acuh.Sean lalu menoleh pada Zia yang kini memilih
Deru napas Zia berpacu cepat, ia kembali memasang meringis. Bisikan Sean membuat bulu kuduknya berdiri. Haruskah ia mengaku mencuri uangnya Sean? Sebenarnya ia tahu kalau Sean pasti menyadarinya, tetapi ia tak punya keberanian untuk mengakuinya“Kenapa? Kamu masih tak mau mengakuinya, Gadis Kecil?” bisik Sean lagi hingga membuat tubuhnya makin merinding.“Baiklah kalau begitu, aku mengaku kalau dulu mencuri uangmu, Tuan. Tapi, sekarang kan uangmu hilang karena kecerobohanku bukan aku yang mencurinya,” sahut Zia pasrah. Nadanya sedikit bergetar. Ya, ia tak bisa selamanya bersikap pura-pura tak terjadi apapun di antara mereka berdua. Zia memilih pasrah dan memang seharusnya ia bersikap seperti itu, ‘kan? Sean tersenyum puas, akhirnya gadis kecilnya bisa menurut padanya. “Tapi tetap saja kamu yang membuat aku kehilangan uangku lagi,” tekan Sean makin mengencangkan kuncian, ia makin memeluk erat tubuh Zia dari belakang.Zia terbatuk. Ia terkejut Sean seolah menuntut tanggung jawabnya da
“Saya baik-baik saja, Pak Sadin,” ucap Sean langsung diakhiri senyuman lebarnya.Pak Sadin menghela napas panjang. Tatapan khawatirnya berkuran setelah melihat senyuman Sean. Kemudian ia menoleh pada gadis kecilnya Sean.“Kenapa dengan Nona Zia? Apakah terjadi sesuatu dengan Nona Zia?” tanya pak Sadin dengan tatapan cemas.Sontak saja Zia langsung menaikkan pandangannya. Zia tak menyangka pak Sadin mengkhawatirkan dirinya juga. “A—aku tidak apa-apa,” sahutnya gagap.“Kami tidak apa-apa, Pak Sadin. Hanya ada insiden kecil di sini. Bisakan pak Sadin membantu saya?” sela Sean langsung, hingga atensi pak Sadin langsung tertuju padanya.“Apa itu, Tuan?” tanya pak Sadin langsung.Sean tersenyum tipis sebentar. “Tolong bayarin cakwe di pedagang itu! Sepertinya saya kecopetan, jadinya saya tidak bisa membayarnya,” jelasnya seraya mempertahankan senyuman tipisnya.Tanpa bertanya, pak Sadin langsung menghampiri pedagang tadi dan menanyakan total yang harus dibayarkan Sean. Wajah pedagang itu te
“Seharusnya Tuan Sean bisa lebih hati-hati dan hindari tempat-tempat tidak penting seperti ini. Sekarang ‘kan Tuan kehilangan dompet dan ponselnya karena tempat-tempat seperti ini tidak aman buat Tuan Sean! Kalau sudah begini, pasti akan membutuhkan waktu yang lama untuk mengurus semua surat kehilangan. Terus isi ponsel Tuan Sean, pasti banyak yang penting di sana,” cerocos pak Sadin menyambung ocehannya, tanpa memperdulikan isyarat Sean yang memintanya untuk diam.Ya, sejak pak Sadin bersuara, Sean terus memberikan isyarat dengan tangannya meminta pak Sadin berhenti. Sean bahkan berusaha meraih mulutnya pak Sadin, tetapi tangan lelaki tua itu langsung menepis tangannya. Sean akhirnya berdesis keras saat pak Sadin hendak membuka mulutnya.Pak Sadin baru mengerti isyarat dari Sean, saat lelaki itu selesai mendesis dan melirik pada Zia. Tentu saja wajah Zia merah padam. Lelaki tua berkacamata itu memasang wajah bersalah dan tersenyum penuh penyesalan.Tanpa izin, tangan Zia menyambar c
“Tunggu, Gadis kecil!” pekik Sean panik saat menyadari Zia hendak membuka pintu mobil seberangnya.Zia terkejut. Sean langsung memasang senyuman canggung menutupi rasa canggungnya. Gadis Kecilnya tidak boleh tahu kalau dirinya ceroboh. Dompet dan ponselnya tidak dicuri, tetapi terjatuh di atas jok tempatnya duduk.Hatinya terus merutuki kebodohannya. Bagaimana bisa, dirinya tak kepikiran kalau dompet dan ponselnya tertinggal di mobil. Ia malah berasumsi ada pencuri hanya karena tempat yang mereka kunjungi sangat ramai. “A--ada apa, Tuan?” tanya Zia kebingungan.Tentu saja Zia bingung. Perintah Sean mengejut dirinya hingga membuat wajah Zia tampak seperti orang linglung. Ia bahkan refleks menjauhkan tangannya dari handle pintu dengan tatapan ketakutan.Mulut Sean menganga sesaat. Ia lalu menoleh ke arah kanan mereka seraya mencari ide untuk mengalihkan perhatian gadis kecilnya. “Ka—kamu tidak ingin membeli sesuatu sebelum kita pulang?” tanya Sean asal.“Tidak ada, Tuan,” jawab Zia ce
Bukan hal yang mudah untuk memancing tuan David menghampiri Resa. Wanita itu bahkan sengaja memilih kembali ke rumah bordil untuk melancarkan aksinya. Tentu saja ia sudah memikirkan segala konsekuensinya.Resa sengaja menyebar rumor kalau dirinya pernah bercinta dengan tuan David hingga diancam oleh Agnes, putrinya tuan David. Untungnya Resa mempunyai bukti pertemuannya dengan Agnes dan kebersamaannya dengan lelaki tua itu, hingga banyak yang percaya dengan rumornya.“Jadi selama ini Mami menghilang karena diancam sama Agnes, anaknya tuan David?” tanya salah satu wanita berpakaian minim seperti dirinya di antara kumpulan wanita lainnya saat menunggu para pengunjung datang.“Mau gimana lagi, aku harus cari aman ‘kan?” jawab Resa memasang wajah sedih.Tiba-tiba fokus para wanita itu berpindah pada laki-laki berpakaian rapi di belakang Resa. Lelaki itu berdehem keras hingga membuat Resa memutar tubuhnya. Wanita itu lantas tersenyum tipis si lelaki itu. Tentu saja, Resa mengenalnya.Tanpa
Resa menerima panggilan telepon dari Nania, temannya yang dulu sama-sama bekerja di rumah bordil. Nania memberi info kalau ia mempunyai informasi tentang tuan David yang menjadi dalang kecelakaan Sean. Tentu saja ia memilih menemuinya, berharap mendapatkan informasi tentang lelaki itu dan membuat tuan David dipenjara.Sebelum Resa menemui Nania, ia mengintai wanita itu dari jauh. Ia harus memastikan kalau dirinya tidak dijebak. Ya, ini bukan kali pertamanya Resa melarikan diri dari rumah bordil, hingga ia tahu betul bagaimana orang-orang yang berada di balik rumah bordil. Para pemilik rumah bordil pastinya tak akan tinggal diam jika karyawannya yang menjajakan tubuhnya melarikan diri.“Kenapa suasananya tampak sepi, yah?” guman Resa saat mengawasi Nania yang berdiri di depan minimarket seberang jalan tempat dirinya berada. Resa terus mengawasi setiap sudutnya hingga ia menemukan keganjalan. Nania terlihat gelisah dan terus melirik ke arah kiri jalan. Resa pun menelusur ke arah terseb
Sean langsung dilarikan ke ruang operasi. Ia terlalu syok hingga jantungnya lemah dan terlalu memaksakan bergerak, membuat tulang rusuknya yang sudah retak bertambah banyak. Dokter memutuskan untuk memasang gips sementara pada tulang rusuknya sampai tulang rusuknya kembali pulih.Akan tetapi pasca operasi, lelaki itu belum menunjukkan tanda-tanda ingin membuka matanya, padahal sudah enam jam berlalu. Tuan Alan hanya bisa termenung memandangi tubuh anak lelakinya yang kini terpasang berbagai alat untuk memantau perkembangannya. Ada rasa bersalah pada dirinya karena sudah membuat Sean bertambah parah, tetapi lelaki tua itu masih tetap pada prinsipnya menjaga anak lelakinya dari Zia.“Tuan Alan, apa tidak sebaiknya membawa nona Zia kemari. Saya yakin sebenarnya tuan Sean sudah sadar, hanya saja ia menanti nona Zia,” saran pak Sadin yang masih mengenakan baju pasien pada tuan Alan.“Jangan sebut nama gadis itu! Sean hanya harus terbiasa hidup tanpa gadis itu! Lagi pula pertemuan mereka si
“Zia, dengarkan Ibu! Lelaki itu sangat mencintai kamu, Ibu yakin dia bisa meyakinkan ayahnya untuk menerima kamu. Apa kamu tega meninggalkan lelaki itu, padahal kamu juga sangat mencintainya, ‘kan?” suara Resa terdengar lembut mencoba meyakinkan Zia.Namun, anak gadisnya menatapnya penuh curiga, padahal ia menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Entah mengapa, Zia tak percaya dengan ekspresi ibunya. Gadis itu lalu tersenyum tipis dan kecut.“Apa ini rencana Ibu juga?” tanya Zia datar membuat Resa sedikit bingung.“Rencana apa?” Resa berbalik tanya.“Ibu berharap aku terus di sisi Sean agar dia terus menjamin kehidupan Ibu? Begitu ‘kan? Ibu sengaja membantu Sean dengan dalih berbagi informasi, padahal dia sangat melindungi dan menjaga keselamatan Ibu, karena dia tahu kamu adalah ibu dari gadis yang dicintainya.” Zia menduga pikiran wanita di hadapannya yang sudah melahirkan dirinya.Resa terkejut. Bibirnya sedikit gemetar dan wajahnya mulai pucat. Zia tersenyum ketir.“Ternyata benar. Ibu b
“Zia, maafkan Ibu, Nak.” Resa menghampiri putrinya yang duduk bersimpuh di depan teras rumah sakit. Air mata Zia mendadak terhenti saat melihat Resa meraih pundaknya dan ikut duduk bersimpuh di hadapannya. Marah, kesal dam emosi menyelimuti dirinya, tetapi gadis itu tengah tak berdaya untuk meluapkan semua rasanya. Tubuhnya bahkan terasa lemas hingga Resa dapat menarik punggungnya ke depan dan memeluknya erat. “Kenapa harus Ibu yang menjadi alasan aku dan paman Sean terpisah,” lirih Zia diikuti air matanya yang makin banjir. “Aku benci kamu, Bu,” ucapnya tanpa sadar. Namun, Zia tak kuasa melawan Resa yang justru makin memeluknya erat. Wanita itu terus terisak dan berulang kali mengucapkan kata maaf. Sementara Zia makin terlihat limpung dan tak bisa berpikir jernih, hingga Resa melepaskan pelukannya dan menatapnya pilu. “Ibu puas ‘kan? Hidupku hancur dan benar-benar hancur, Bu. Baru kali ini aku merasa hidup karena paman Sean, tapi Ibu membuatnya celaka dan aku yang disalahkan, Bu,”
“Tuan Sean dalam bahaya,” seru Alex, anak buahnya Sean setelah mendapatkan telepon dari Sean. “Zaid dan Faris kamu jaga di sini! Sisanya ikut saya!” perintahnya pada anak buahnya yang sudah ia kumpulkan di ruang tengah.Seluruh anak buahnya yang tengah berjaga di rumah tempat Resa berada langsung bergegas sigap. Termasuk Resa yang mendengar suara Alex dari dalam kamarnya langsung bergegas ke luar. Bukan tanpa sebab, ia tahu kalau lelaki itu akan dalam bahaya sebab Resa tahu pasti tuan David tak akan tinggal diam.“Tunggu!” teriak Resa setelah berlari cepat keluar kamar.Alex dan anak buahnya langsung terhenti. Mereka langsung berbalik ke arah Resa. Wanita itu memasang wajah cemas, gelisah dan rasa bersalah.“Aku ikut dengan kalian,” pinta Resa dengan tatapan memohon.“Maaf, Nyonya. Kami tidak ada waktu untuk mengurusi Nyonya,” sahut Alex kesal. Ia merasa Resa membuang waktunya.“Aku tahu pelakunya adalah tuan David. Jadi, aku harus ikut dan membuktikannya sendiri,” seru Resa lantang.
“Tuan David, polisi menunggu di luar,” lapor anak buahnya tuan David saat menemuinya di ruang kerja.Baru saja lelaki tua itu menoleh. Istri dan anaknya langsung memasuki ruang kerjanya yang berada di rumah. Wajah mereka tampak cemas dan panik serta ketakutan.“Papi, ada apa ini? Kenapa polisi bilang Papi terlibat dalam kasus pembunuhan dan mafia tanah?” cecar Agnes dengan tatapan tak percaya.Tuan David tak langsung menjawab. Ia lalu menghampiri anak perempuannya dan tersenyum wibawa. Lelaki tua nan gagah itu pun menghapus air matanya lembut.“Sepertinya Papi salah memilih lawan, Sayang. Papi titip Mami, ya! Yang nurut sama Mami dan jadilah anak yang baik! Mulai saat ini Papi sudah tidak lagi bisa melindungimu, Sayang. Maafkan, Papi,” ucapnya lembut diakhiri tetes air mata pilunya.Agnes langsung menghambur pada pelukan ayahnya. Begitu juga dengan istri tuan David, ia menghambur pilu. Puas memeluk anak dan istri tercintanya, tuan David langsung melepaskan pelukan keduanya. “Papi har
“Nona Zia melewatkan sarapannya dan juga wajahnya sembam setelah tuan Alan menemuinya. Maafkan saya Tuan Sean, saya hanya cemas pada nona Zia.” Bi Asti menjelaskan dengan nada berat dan sedih dari balik panggilan telepon.“Tuan Alan? Ayahku datang ke mansion? Kapan ayahku datang?” tanya Sean mencoba tenang.Lelaki tampan itu memastikan ia tak salah menangkap penjelasan bi Asti sembari mengatur napasnya agar tidak panik. Sean menatap jam tangannya. Sebentar lagi memasuki jam istirahat makan siang.“Sekitar 15 menit setelah tuan Sean berangkat kerja. Nona Zia bahkan mengunci pintu kamarnya,” lapor bi Asti makin membuat Sean cemas.
"Aku memintamu baik-baik demi kebaikan Sean, karena aku tahu anak itu tidak akan mau melepaskan kamu, Nona Zia."Air mata Zia mendadak berhenti mendengar ucapan lelaki tua di hadapannya. Ia terlalu syok hingga bukan hanya air mata saja yang terhenti, tetapi napas dan jantungnya terasa berhenti. Zia menatap tak percaya pada tuan Alan.“Aku minta maaf jika harus berkata seperti ini, Nona Zia. Aku tahu kalau aku sangat egois, tetapi hanya Sean lah yang aku miliki. Kamu pasti tahu ‘kan kalau aku sendiri menjebloskan Felicia dan Niko ke penjara. Itu semua karena rasa sayangku pada Sean, jadi aku mohon padamu, Nona Zia!” Tuan Alan menautkan kedua tangannya di depan dada.Lelaki tua itu memohon diikuti air matanya yang menetes. Air mata Zia langsung membanjiri lagi. Ia tak akan tega melihat seorang ayah yang memohon padanya. Zia dilema.“Tuan Alan,” suara Zia parau dan lirih.Sakit hati dan tak tega. Tuan Alan terus menatapnya dengan air matanya yang banjir seperti dirinya. Sesak rasanya, te