Bagaimana kedua orang yang tampak sangat sehat itu kompak masuk rumah sakit dalam waktu yang bersamaan secara mendadak pula. “Mas, berhenti di depan, biar aku saja yang nyetir tangan mas gemeteran,” kata Alisya khawatir. Skill mengemudinya memang masih sangat jauh di bawah Pandu, tapi dengan tangan gemetar dan terburu-buru seperti ini sama saja dengan bunuh diri kalau tetap Pandu yang menyetir belum lagi jalanan pagi ini yang cukup padat. Pandu menurut dan meminggirkan mobilnya, dia meremas kemudi dengan erat dan menghela napas berkali-kali, Alisya tahu sang suami berusaha keras untuk menenangkan diri. Tangan Alisya terulur untuk mengelus bahu sang suami lembut. “Mas tenanglah semua pasti baik-baik saja, katanya. “Aku punya firasat buruk, Al. papa dan opa sangat sehat, kenapa bisa mereka masuk rumah sakit secara bersamaan.” Alisya tahu tentu saja, dia juga menyadari ada yang aneh dengan semua ini, papa mertuanya bahkan san
“Pa, ini sudah keterlaluan dan tidak bisa dibiarkan. Kita harus melakukan sesuatu.” Ruangan besar itu langsung sunyi seketika, bahkan Alisya pun berusaha menghela napas sepelan mungkin. Sejujurnya Alisya setuju dengan pemikiran suaminya yang salah harus dihukum untuk memberikan efek jera, tapi yang membuat wanita itu tak setuju adalah Pandu melakukan itu bukan hanya karena kejadian sekarang saja tapi karena masa lalunya yang begitu kelam. Anak sulung tukang cari perkara, begitulah julukan yang pantas untuk si tante menurut Alisya. Tapi orang-orang ini tentu saja punya pertimbangan lain untuk tidak melakukannya, bagaimanapun darah lebih kental dari pada air. “Tentu saja kita akan melakukan sesuatu, tapi kita tidak bisa mengekspos masalah ini, kamu tahu dengan pasti itu.” Alisya menatap ayah mertuanya yang terlihat begitu lelah. Tentu saja dia sebagai kepala keluarga ini sekarang di saat sang ayah dinyatakan koma, dan belum d
Ini bukan rencananya. Tidak! Bagaimanapun kecewanya dia pada sang ayah dia tidak pernah ingin menyakiti laki-laki tua itu. Tapi kejadian tadi hanya kecelakaan dia tidak bersalah, sang ayah terlalu pilih kasih bahkan rela mengorbankan nyawa untuk anak kesayangannya itu. “Dia tidak bersalah! Dia tidak bersalah! Panji yang salah, adiknya itu sudah memprovokasinya. Dia tidak bersalah!”Kalimat itu berusaha dia dengungkan seperti mantra sepanjang jalan, dengan seluruh tubuh gemetar hebat. Sekarang harus bagaimana? kepada siapa lagi dia harus minta bantuan? Dia tidak sudi diremehkan seperti ini. Ponselnya berbunyi dan dengan satu tangannya Agnes Wardhana meraih benda itu, dari seseorang yang dia tunggu-tunggu kabarnya. “Kami sudah berusaha keras tapi berita tentang nyonya sudah direpost banyak akun jadi kami kesulitan mengendalikannya.” Laporan yang sangat tidak diharapkan lagi dan lagi terjadi. “Bodoh! Apa saja kerja kalian bukankah aku sudah membayar mahal kalian!” teriaknya kesal.
Bisma memeluk sang mama erat seolah mereka tidak bertemu selama bertahun-tahun. “Mama kangen sama Bisma,” kata Alisya sambil menciumi pipi montok putranya. Alisya suka sekali dengan wangi tubuh Bisma, wangi tubuh bayi yang khas dan membuatnya tahu kalau dia tidak sendirian di dunia ini, dia punya mahluk kecil darah dagingnya yang harus dia lindungi sekejam apapun dunia tempat mereka berpijak. Anak itu tertawa senang dan balas menciumi wajah mamanya, lalu pandangannya jatuh pada sang ayah yang menatap keduanya dengan senyum di bibir. Anak itu melepaskan pelukan sang ibu dan menatap sang ayah lalu mengulurkan kedua tangannya minta digendong. “Bisma kok gitu sih, mama kan masih kangen,” rajuk Alisya.Seperti tahu kalau sang ibu merajuk, Bisma langsung memeluk ibunya erat dan menciuminya lagi tapi setelah itu menadahkan tangan pada sang ayah lagi membuat laki-laki itu tertawa berderai. “Dia sudah pandai merayu wanita t
Pandu bahkan tidak pulang semalaman, bahkan sampai Alisya sudah rapi siap berangkat kerja, membuatnya dilema antara harus berangkat kerja atau mengambil cuti lagi. “Mbak Alisya tidak ngantor hari ini?” tanya Rani begitu masuk ke dalam rumah utama mendapati Alisya masih dengan baju rumahannya. Gadis itu memang sudah mandi dan berpakaian rapi seperti biasa siap untuk mengasuh Bisma, tapi belum menyiapkan keperluan Bisma dalam tas besar yang selalu dia bawa. Ini memang masih pertengahan bulan dan pekerjaan Alisya tidak terlalu banyak, sebelum cuti dia sudah menyelesaikan semua pekerjaannya sampai minggu depan, dengan catatan tidak ada event dadakan yang akan mereka kerjakan. Sebenarnya baik pimpinan hotel tempatnya bekerja atau bahkan Sasti yang menjadi pimpinan tertinggi tidak masalah jika Alisya tidak masuk hari ini, dia sudah bukan lagi level pekerja yang gajinya dihitung berdasarkan kehadiarannya. Dia seorang profesional dan tentu dia tahu d
Dengan langkah goyah dan tangan gemetar Alisya membuka pintu ruang rawat sang kakek berada. Perkenalannya dengan laki-laki tua itu memang belum lama, tapi sikap laki-laki itu yang apa adanya tanpa kepalsuan membuat Alisya merasa memiliki seorang kakek yang tidak pernah dia rasakan seumur hidupnya. Bagi wanita sebatang kara seperti dirinya memang sangat mudah tersentuh, sereceh itu perasaannya memang. Dan mendapati laki-laki tua itu sekarang koma karena perbuatan anaknya sendiri membuat Alisya sedih, apalagi dia tahu suaminya sebenarnya begitu khawatir pada sang kakek. “Sayang, kamu datang juga akhirnya,” kata Pandu yang langsung berdiri dari duduknya begitu melihat sang istri yang membuka pintu ruangan, laki-laki itu memijit kepalanya yang berat sejenak lalu seolah sadar tak ingin membuat sang istri khawatir dia menampilkan senyum lebar seolah semua baik-baik saja. Alisya menganguk dan menerima uluran tangan sang suami yang berjalan mendekatinya, tangan itu terasa dingin dan waj
Meski berusaha keras untuk tidak mengalaminya lagi, nyatanya takdir Tuhan tak bisa dikendalikan oleh manusia. Alisya memang sudah cukup akrab dengan rasa ini. Pertama ayahnya, lalu ibunya kemudian anaknya. Rasa sesak yang membuatnya seolah ingin ikut bersama mereka, hanya karena dia punya Tuhan dan orang-orang yang menyayanginya juga dia sayangi yang mencegahnya melakukan semua itu. Meski sudah beberapa kali merasakan kehilangan, Alisya tidak pernah terbiasa dengan hal itu. Raungan penuh air mata sampai rintihan memang selalu mewarnai suasana kehilangan seperti ini, tapi baru kali ini dia merasa muak dengan rintihan dan tangisan kehilangan dari wanita yang duduk tak jauh darinya. Raungan itu entah kenapa bagi Alisya seperti tidak tulus sama sekali. Alisya memejamkan matanya sejenak, dia berdoa dalam hati untuk dijauhkan dari prasangka buruk yang akan merusak hatinya, saat ini sedang suasana berduka, sungguh-sungg
Bahkan Pandu tidak bisa menunggu sampai esok hari untuk ke dokter seperti saran istri dari omnya. “Apa mas yakin dokternya masih menerima pasien jam segini?” tanya Alisya dengan ragu.Pandu melirik sebentar pada sang istri lalu menjawab dengan acuh. “Kita lihat saja nanti.” Alisya lupa dia menikahi laki-laki tak biasa yang bisa mewujudkan yang dia inginkan selama itu bisa dibeli dengan uang. Dan membuka tempat praktek pada tengah malam sekalipun akan dilakukan sang dokter bila itu keluarga Wardhana yang meminta. “Baiklah, semoga saja memang masih buka,” kata Alisya lemah.Alisya menyandarkan tubuh lelahnya dengan mata menerawang, perlahan tangan kanannya mengelus lembut perut ratanya. Dia bukannya tidak senang kemungkinan akan hamil lagi, apalagi sang suami yang terlihat sangat bersemangat, dia tidak perlu khawatir akan mengalami masa kehamilan sendiri lagi. Yang dia khawatirkan hanya satu. Bisma. Putranya
“Kamu yakin akan ikut? Apa tidak sebaiknya kamu di rumah saja aku khawatir,” kata Pram untuk kesekian kalinya. Sejak tahu sang istri hamil Pram jadi overprotektif padahal sejak dua minggu yang lalu dokter sudah mengatakan kalau Laras dan bayi dalam kandungannya baik-baik saja, tapi tetap saja tak membuat kekhawatiran Pram surut. “Aku ingin melihat perempuan jahat itu dihukum.” Hari ini memang akan dilakukan sidang kasus pembunuhan ayah Pram yang dilakukan oleh istrinya. Sedangkan untuk Arvin kekasih gelap Clara sudah dijatuhi hukuman seumur dua puluh tahun penjara dengan berbagai tuduhan yang memberatkannya, Pram memang tidak main-main untuk mencari sekecil apapun kesalahan laki-laki itu, apalagi jika ingat hampir saja dia kehilangan istri dan anaknya. Sedangkan keluarga Clara juga tidak luput dari hukuman, meski tak ikut merencanakan tapi mereka tahu dan mendukung rencana Clara melenyapkan suaminya. “Dia tak pantas mendapat perhatianmu sebesar itu, bahkan kalau kita datan
“Jangan bangun dulu.” Laras mengerjapkan matanya, bau desifektan langsung memenuhi penciumannya. “Aku dimana?” tanyanya lemah. “Ini di rumah sakit, kamu mau sesuatu biar aku ambilkan?” Laras menoleh dan menatap laki-laki yang sejak tadi menggenggam erat tangannya, keningnya mengernyit saat melihat sang suami tak seperti biasanya. Wajahnya yang biasanya penuh senyum kini berubah mendung, matanya memerah dan rambut serta bajunya acak-acakan. “Apa yang terjadi?” tanyanya pelan. “Arvin dan Clara sudah ditangkap, dan bukti-bukti sudah diamankan polisi,” kata Pram sambil menunduk dalam membuat Laras salah paham. “Kamu menyesal Clara pelakunya?” Pram langsung mengangkat wajahnya dan menatap Laras dengan pandangan tak terima. “Mana mungkin aku berpikir begitu, aku sudah berusaha keras membongkar kejahatannya sampai...”“Sampai?” “Sampai aku harus membuatmu dan dia dalam bahaya, aku sangat menyesal. Maafkan aku.” Pram menunduk mencium tangan Laras dengan penuh kasih, sampai Laras meny
Otak Laras langsung berputar dengan cepat. Apa laki-laki ini tahu semuanya sejak awal atau baru saja? Tapi tentu saja hal itu tak ada bedanya untuk saat ini, dia tidak sudi tubuhnya disentuh laki-laki menjijikan ini. Sekuat tenaga Laras memberontak tanganya menggapai apa saja yang bisa dia jadikan untuk pertahanan, tapi sialnya ranjang ini hanya diisi bantal dan guling. "Aku makin suka kalau aku agresif seperti ini," kata laki-laki itu terkekeh memuakkan. Laras makin panik, berteriak minta tolong pun tak akan ada gunanya, dia hanya berharap Pram cepat datang sebelum semuanya terlambat. "Aghh!" Laras berhasil menggigit tangan laki-laki itu, mulutnya bahkan bisa merasakan amis darah tapi Laras tak peduli. "Perempuan sialan!" Jambakan dan di rambutnya dan juga tamparan keras itu membuat Laras merasa kepalanya hampir copot tapi dia sama sekali tidak melepas gigitannya, saat itulah kakinya bergerak cepat menendang di antar kedua laki-laki itu dengan keras. Raungan dan m
“Memangnya kamu tidak punya rumah atau apartemen?” tanya Laras memancing Arvin saat mereka makan di restoran hotel. “Tentu saja punya, tapi bukankah lebih baik kita ke hotel.” “Aku tidak terlalu suka di hotel, menurutku banyak mata yang akan melihat kita. Apartemen atau rumah lebih privat menurutku.” “Apa suamimu memberikan apartemen untukmu?” Laras tersenyum dalam hati mendengar pertanyaan laki-laki itu. “Tentu saja,” kata Laras lalu dia berbisik penuh konspirasi. “Mertuaku memberikan rumah dan villa atas namaku tapi aku enggan untuk menerimanya.” Mata laki-laki itu langsung terbelalak. “Kenapa? Apa kurang banyak?” “Bukan tapi aku tidak membutuhkannya, aku lebih suka hidup tenang dengan orang yang benar-benar tulus padaku, dari pada bergelimang harta tapi tukang selingkuh.” Laki-laki itu menggeleng. “Kamu hanya belum beruntung menemukan laki-laki yang cocok untukmu.” “Mungkin saja, aku setelah ini aku akan lebih berhati-hati dalam memilih laki-laki,” kata Laras sam
"Hah kenapa kamu bilang begini?" tanya Laras terkejut menatap chat yang dilakukan Pram dan kekasih Clara. Dalam hal rayu merayu Pram memang jagonya, dia bahkan bisa menyesuaikan diri dan dari chat yang terkirim seperti dari Laras sendiri. Laras yang sebelum ini bahkan menyatakan dirinya tak ingin jatuh cinta tentu saja menjadi bingung saat dia harus berpura-pura menerima pendekatan kekasih Clara. "Aku juga mual jawabnya," jawab Pram kesal. Laras menatap chat di ponselnya lalu menatap Pram lagi. "Kamu nggak belok kan gara-gara kecewa pada Clara?" tanyanya asal bunyi. Pram berdecak kesal tapi dia tak menjawab, dia malah berdiri dan berjalan mendekati istrinya dan mencium wanita itu kuat-kuat. Hubungan mereka memang sudah lebih hangat setelah Pram mengatakan semua rencananya dan tentu saja karena mereka jauh dari Clara jadi mereka tak perlu pura-pura. "Pram kamu merasa nggak sih kalau bukan aku yang deketin dia tapi dia memang sengaja dekati aku?" tanya Laras setelah deng
"Tuan saya berhasil menemukan jejak racun yang sana seperti yang ditemukan dalam tubuh ayah anda." Pram menggenggam erat ponselnya hingga buku-buku jari tangannya memutih, hampir saja dia tak sanggup mengendalikan dirinya andai tidak melihat kalau sekarang ada di keramaian. Rasa bersalah seolah mencekiknya, hampir saja dia tidak bisa bernapas karena rasa itu. Seharusnya dia yang mati, seharusnya dia yang menerima hukuman ini, mungkin ini karma karena banyak mempermainkan gadis-gadis di luar sana, hingga dia buta menganggap mereka semua gadis sebodoh dan senaif mantannya, hingga tak sadar kalau ada ular yang bersiap menggigitnya. Ayahnyalah yang menyelamatkannya, ayahnya yang dia benci selama ini karena lebih memilih kesenangan sendiri dari pada keluarganya, dari pada dia putra satu-satunya. Pram terjebak dalam permainan yang dibuatnya sendiri hingga dia harus kehilangan satu-satunya orang tua yang dia miliki. Saat bertemu dengan Clara untuk pertama kalinya Pram langsung ter
"Sepertinya rencana kita harus dipercepat," kata Pram melalui sambungan telepon."Baik tuan kami akan mencari kesempatan malam ini." "Bagus, lakukan sebaik mungkin." "Baik, Tuan. Kami juga punya laporan yang sudah kami kirimkan ke email tuan." "Baik, terima kasih aku tunggu laporan kalian." Pram menutup ponselnya dan kembali bergabung dengan para karyawannya yang sedang makan malam merayakan keberhasilan presentasi yang mereka lakukan tadi. "Mau makan yang lain?" tanya Pram sambil mengelus belakang kepala Laras. "Idih pak Pram bikin kita-kita iri saja," kata salah satu karyawan Pram sambil tertawa. "Kalian bisa saja, kalian juga boleh tambah kalau ingin makan yang lain," katanya ramah. "Beneran, Pak?" "Benar, asal jangan ganggu aku dan istri kami mau jalan-jalan di sini." Pram mengedip pada sang istri yang langsung disambut sorakan para karyawannya, tapi Pram sama sekali tak peduli dengan sengaja dia mengajak Laras berdiri dan mencari tempat duduk di luar cafe dengan pemandan
"Awh panas! apa yang kau lakukan!" Pram melemparkan sendok yang tadinya dia gunakan untuk mencicipi soup buatan Clara. Laki-laki itu berusaha menyeka soup panas yang mengenai kakinya. "Maaf...maafkan aku Pram aku tidak sengaja, itu soup untuk Laras. biar aku bantu untuk-" "Lupakan, lanjutkan saja masakmu," kata Pram yang langsung berlari ke kamarnya, dia menatap sejenak Laras yang berdiri diam dia pintu ruang makan. "Pram, maafkan aku. Aku benar-benar tak sengaja," kata wanita itu mengejar Pram ke kamarnya. "Tante lanjutin masaknya biar aku yang urus Pram," kata Laras mencegah wanita itu masuk ke dalam kamarnya menyusul Pram. Wanita itu menatap Laras tak terima, tapi Laras langsung menutup pintu kamar di depan hidung sang ibu tiri. "Kamu baik-baik saja?" tanya Laras yang bukannya membantu Pram malah duduk di tepi ranjang menikmati kesibukan suaminya. "Malah nonton, ambilin baju ganti kek," kata Laras kesal. "Kenapa marah padaku bukan aku yang menumpahkan soup itu," kata La
Pram terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Berbagai rencana memenuhi pikirannya, dia menatap Laras yang sudah tidur pulas di sampingnya. Semenjak peristiwa di villa waktu itu Pram memang memaksa sang istri untuk tidur satu ranjang dengannya, awalnya memang Laras menolak tapi Pram memang ahli dalam menundukkan wanita berbagai cara dia lakukan dan Laras yang lelah dengan semua perdebatan konyol itu akhirnya menyerah. Kantuk tak lagi menghampirinya, Pram berjalan ke arah balkon kamarnya dan menatap cahaya bulan di atas sana yang bersinar cerah. “Sebenarnya apa yang terjadi, Pa. kenapa semuanya jadi serumit ini?” tanya Pram seolah sang ayah ada di depannya tapi tentu saja hanya desiran angin yang berembus menjawab tanyanya. Pikirannya buntu, dia sudah tahu siapa pelaku pembunuhan ayahnya tapi tentu saja dia tidak bisa gegabah begitu saja, mereka bukan orang-orang kemarin sore yang bisa dia hadapi hanya dengan modal nekad saja.