"Si Penguasa Tua!" jawab si kakek. lsgi-lagi wajah Mayleen berubah bingung, benar-benar merasa tidak tahu apalagi yang harus dia lakukan dengan si kakek asing. Mayleen berkata lagi, "Kakek jika nanti lapar, bisa menghubungi pihak hotel untuk memesan makanan, Ini menunya di sini. Nanti makanan akan diantar ke kamar kakek!" "Apa kakek mengerti?" tanya Mayleen. Si Penguasa Tua hanya mengangukan kepala sambil tersenyum puas melihat kamarnya yang luas. Mayleen berlata lagi. "Nah sekarang aku akan pergi ke kamarku ya!" "Mengapa tidak tidur di sini saja?" tanya si Penguasa Tua. "Ha ha ha... Kakek, kau ini sedang bercanda ya. Mana boleh kita tidur satu kamar!" imbuh Mayleen yang berpikir jelas tidak bisa sekamar dengan pria asing apalagi belum satu hari berkenalan. Dengan perlahan Mayleen menjelaskan. "Perusahaan sudah mengatur kamar untukku, jadi akan sia-sia jika aku tidak menidurinya!" Si Penguasa Tua pun menganggukan kepalanya. Mayleen pun pergi meninggalkan Si Penguasa
Mayleen menarik napas dalam-dalam lalu mulai bercertia dengan alaminya, semua rasa dihatinya dia keluarkan. Mulai dari awal mengapa dia bisa terpisah dengan kakaknya. Matanya sedikit memerah ketika menyelesaikan ceritanya. "Karena itu kau mau menolongku. karena kau tahu bagaimana rasanya kesepian?" tanya Si Penguasa Tua, Mayleen mengangguk seraya mengusap air matanya yang hampir saja terjatuh. Dia pun berdiri lalu berkata lagi, "Kakek, aku disini hanya beberapa hari saja. Jika Kakek sudah mengingat tempat tinggal kakek maka aku akan mengantar kakek pulang. Jika belum, dengan sangat terpaksa aku akan pergi melapor ke polisi dan menitipkan Kakek di sana, demi keamanan kakek!" Si penguasa Tua hanya diam saja, sembari memakan makan malamnya. Mayleen pun pergi meninggalkan kamar kakek asing itu. Merasa hari ini benar-benar lelah dan pusing bukan kepalang. Dia pun membuka laci dan mengambil toples kecil yang berisi garam. Garam Epsom, atau magnesium sulfat, telah lama digunakan untuk
"Mati jadi hantu pun, kau tetap milikku!" imbuh William lagi. Gerakan tangan Mayleen terhenti lalu dia berkata, "Itu artinya kau sangat mencintaiku ya!" William terdiam sesaat, lalu berkata, "Jangan bodoh! Kau hanyalah boneka-ku, yang jika saatnya aku buang, meski pria lain ada yang menginginkanmu. Maka mereka juga tidak akan berani mendekat dan menyentuhmu. Karena kau adalah 'bekas' milik-ku!" Barang kepunyaannya meski sudah tidak dia pakai lagi, mana boleh dimiliki oleh orang lain. William lebiih memilih menghancurkannya. Mayleen melepaskan handuk basahnya, lalu mulai membesihkan luka di tangan suaminya itu. Pada saat ini asisten William datang membawa dokter bersamanya. Melihat itu, Maka Mayleen pun langsung berdiri dan mempersilakan dokter untuk mengobati tangan William. Mayleen mundur perlahan, wajahnya masih terlihat pucat pasi ketika tadi melihat darah mengalir jatuh dengan jarak yang sangat dekat dengan wajahnya. Napas Mayleen pun masih sedikit tersengal. Ingin menjel
Mayleen pun mendekat, "Bantu aku ke dalam!" imbuhnya sambil menunjuk ke arah kamar mandi. Tidak ingin membuat suaminya marah, Mayleen pun menyibak selimut seraya memapah William masuk ke kamar mandi. Mayleen bertanya kepada suaminya itu, "Apa ingin mandi?" "Menurutmu?" tanya William. Mayleen pun segera membukakan kancing kemeja suaminya itu, Tangannya sedikit gemetar, selama mereka menikah, berdekatan seperti ini, dalam damai hening adalah sesuatu yang langka. Pada dasarnya mereka menikah karena dendam dan benci. Mayleen pun menanggalkan kemeja itu pelan-pelan, berhati-hati agar tidak mengenai luka di telapak tangan suaminya itu. "Apa masih sakit?" tanya istrinya itu sambil meniup-niup luka di tangan William. Puncak kepala Mayleen berada tepat di bawah hidung William. Wajahnya memerah ketika mencium wangi dari rambut istrinya itu. "Apa mau mandi air hangat?" tanya Mayleen. "Eum!" jawab William sambil sedikit menahan napas. "Aku siapkan air panasnya!" imbuh Mayleen lagi de
"Tentu saja untukmu!" jawab Xue'er. Melihat bagaimana temannya ini hidup tertindas, maka Xue'er berpikir jika temannya ini pasti sudah lama tidak berdandan dengan cantik. Mayleen pun tertawa dan berkata, "Kau yang jadi model, kenapa aku harus juga ikut berdandan?" "Jika aku terlihat cantik, maka kau juga harus terlihat cantik!" imbuh Xue'er lagi. Mayleen pun tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mereka pun tiba di butik designer kenalan Xue'er. "Mana orangnya?" tanya Hobbit. "Aku ingin kau merubahnya menjadi peri bumi untuk malam ini!" pinta Xue'er sambil mendorong Mayleen. Hobbit berjalan mengitari Mayleen, "Eum... sepertinya tidak sulit! Ayo cantik silakan ikuti aku!" Xue'er mengangguk, pada akhirnya Mayleen pun mengikuti langkah Hobbit yang berkata kepada mereka. "Aku memiliki baju yang kebetulan cocok untukmu!" Sambil menunggu Mayleen Fitting, Kak Yuze menyodorkan kontrak yang telah William tanda tangani. "Nah, tinggal kau yang bubuhkan tanda tangan!" Ketika mellihat, ta
"JiKa kau mau membantu, aku akan memberikanmu hadiah!" imbuh Mayleen yang sudah kehabisan cara untuk membujuk suaminya itu. "Hadiah?" gumam pelan William tanpa menggerakan bibirnya. "Bukankah kau menyukai tubuhku!" Imbuh Mayleen sambil bernjijit, berbisik ke telinga William. TIba-tiba saja wajah orang nomor satu di Grup Gu itu,terlihat memerah. Maykeen teringat waktu itu William sedang dalam keadaan mabuk, menggauli Mayleen, spontan berkata, "Tubuhmu, canduku!" kali ini Mayleen pun mengulang perkataan suaminya waktu itu, demi membujuk William agar mau menolongnya. "Bagaimana?" tanya Mayleen lagi dengan nada sedikit menggoda. Merasa ditantang, maka William balik berbisik ke daun telinga Mayleen. "Pakai gaun tidur terindahmu, aku akan pastikan kau tidak akan bisa tidur." "Bantu aku menemukan Xue'er!" jawab Mayleen. "Sepakat!" Imbuh William sambil mengencangkann rangkulan tangannya di pinggang istrinya itu. Mereka berdua pun berjalan kembali, menuntaskan peragaan busana yang
Wajah jong-il pun langsung lebam merah dan menjadi sedikit berubah bentuknya. Kedua pengawal diluar berhasil menumbangkan dua penjaga jong-il. Berhasil membuat si psikopat tidak sadarkan diri, barulah asisten He berhenti menghajar pria itu. Asisten He segera melepaskan ikatan Xue'er yang terlihat sudah kehilangan kesadarannya. Ikatan berhasil terlepas, jas yang dipakai pun dilepas untuk menutupi baju Xue'er yang sudah setengah terkoyak. "Ke rumah sakit!" imbuh asisten He kepada dua pengawalnya. Pada saat ini, Mayleen tengah terpulas di sofa. Tiba-tiba saja dia terbangun karena merasa ada sesuatu yang menimpa wajahnya. "Pakai itu!" imbuh William yang baru saja melemparkan jas panjangnya. Mayleen pun sigap langsung bangun dan memakai jas panjang itu, menutupi tubuhnya yang masih memakai gaun peri bumi. Melihat sepertinya pasangan sepatunya tidak bisa dia pakai untuk ke rumah sakit, dia pun secara asal mengambil sandal hotel lalu mengejar langkah suaminya itu. "Apa dia sudah d
Mayleen pun mengikuti langkah si kepala pelayan. Dua pelayan wanita tengah menunggu di dalam. "Nyonya silakan ikuti kami dulu!" imbuh mereka. Mayleen lagi-lagi hanya bisa patuh, Kedua pelayan itu membawanya ke kamar yang lain terlebih dulu. "Kami akan membantu nyonya untuk mandi!" imbuh salah satu pelayan wanita. "Membantuku mandi, aku bisa mandi sendiri!" imbuh Mayleen. "Nyonya, kami mohon jangan mempersulit pekerjaan kami. Ini adalah perintah dari Tuan!" imbuh si pelayan wanita itu lagi. Mayleen bergeming, pada akhirnya, patuh pada pengaturan dari suaminya itu. Sementara itu, di kamar utama. Nampak William sedang menyesap anggur putih. Dia berdiri di depan jendela kamar utama yang tinggi besar, memandang keluar tapi ingatannya jatuh pada rupa Mayleen ketika memakai gaun peri bumi. William beberapa kali menelan salivanya dan mengambil napas panjang. Di kamar yang lainnya, Mayleen baru saja selesai mandi. "Nyonya, Tuan meminta ini dipakai!" imbuh pelayan yang tadi baru sa
Li Jancent berjalan perlahan keluar dari markas geng Bamboo, merasa seolah beban berat yang selama ini menghimpitnya mulai terangkat. Udara malam terasa lebih segar, dan untuk pertama kalinya, dia bisa merasakan harapan untuk masa depan yang berbeda. Namun, di balik rasa lega itu, ada juga kekhawatiran yang terus menghantui pikirannya.Apakah dia benar-benar bisa melepaskan dirinya dari kehidupan kelam yang selama ini ia jalani? Dan lebih dari itu, apakah ia bisa membangun hubungan yang tulus dengan Niu Nuan, wanita yang ia jaga lebih karena janji daripada cinta?Keesokan harinya, suasana di rumah sakit terasa tegang namun penuh harapan. Li Jancent duduk di ruang tunggu, memandang jam di dinding yang seolah bergerak begitu lambat. Operasi transplantasi kornea Niu Nuan sedang berlangsung, dan meski ia berusaha tetap tenang, kegelisahannya tak bisa disembunyikan. Pikirannya melayang ke masa depan, membayangkan saat Niu Nuan membuka matanya dan bisa melihat dunia dengan jelas, bisa melih
Hari Ini Li Jancent berdiri di sudut kamar rumah sakit, memandang Niu Nuan yang duduk di ranjang dengan raut wajah sedikit gugup. Hubungan mereka masih terasa canggung meski ia selalu berusaha memperlakukannya dengan baik. Dia tahu bahwa perasaannya pada Niu Nuan bukanlah cinta, melainkan sebuah bentuk tanggung jawab dan janji yang pernah ia buat pada Fang Fang—wanita yang baru saja wafat, yang dulu adalah bagian penting dalam hidupnya.Li Jancent berdiri dengan tatapan kosong. Ia tersenyum kecil, meski terlihat ada keraguan di matanya. Namun, dia berusaha menenangkan Niu Nuan.” Aku tahu, ini pasti berat untukmu," katanya lembut.Niu Nuan mengangguk pelan, mencoba memberikan senyum yang tulus meskipun sulit. Li jancent pun berkata lagi "Kau tidak perlu sungkan. Aku di sini karena aku ingin memastikan semuanya berjalan dengan baik untukmu."Suasana di antara mereka kembali hening. Niu Nuan tahu bahwa Li Jancent selalu ada di sampingnya, namun ia juga merasakan jarak yang tidak kasat ma
Berita tentang tertangkapnya Anton menyebar dengan cepat kepada William dan Li Jancent Meskipun mereka semua merasa lega, ada perasaan yang lebih mendalam di hati mereka akhirnya, setelah semua ketegangan dan ancaman yang mereka hadapi, mereka bisa merasa sedikit amanWilliam menatap Li Jancent, matanya berbinar. “Jadi… kita benar-benar bebas sekarang?” imbuhnya sembari berdiri di balkon rumah sakit. Mereka berbicara santai tapi serius.Li Jancent mengangguk sambil tersenyum kecil. “Ya, dia tidak akan kembali lagi. Anton sudah di tangan orang yang tepat, dan dia tidak akan punya kekuatan untuk melawan balik.” Li menghela napas panjang. Seolah-olah beban yang selama ini menekan dirinya perlahan mulai menghilang.Li jancent yang sedang berdiri di sebelah William juga tampak lega, tetapi ada sedikit kecemasan di wajahnya. "Meskipun Anton sudah tertangkap, apakah kita benar-benar aman? Maksudku, dunia ini selalu penuh dengan bahaya yang tak terduga."William menghela napas, menenangkan d
Li Jancent berdiri di koridor rumah sakit, matanya tertuju ke arah ruangan tempat Mayleen berada. Di dalam, William tampak gelisah, berdiri di samping ranjang istrinya yang masih terlihat lemas. Li Jancent tidak pernah melihat adik iparnya begitu panik, begitu cemas. Biasanya William adalah orang yang tenang, selalu penuh perhitungan. Tapi malam ini, semuanya berubah. Tak lama kemudian, william menemui dokter yang baru saja masuk ke ruangan dengan wajah tenang namun penuh arti. "Tuan Gu, kami telah mendapatkan hasil tes Mayleen." William segera menghampiri, wajahnya penuh kekhawatiran. "Apa yang terjadi, Dok? Ada apa dengan istriku?" Dokter itu tersenyum kecil. "Sebenarnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Nyonya Gu baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan dan... ada kabar baik." William mengerutkan kening, mencoba mencerna kata-kata dokter. "Kabar baik? "Ya," jawab dokter sambil melirik berkas di tangannya. "Selamat, Tuan Gu. Istri Anda hamil." Seketika, seluruh dunia William
"Apa sekarang kita harus mundur?" tanya Bear, nadanya tegas tapi menyiratkan rasa takut yang mulai menghantui dirinya. William menatap Li Jancent yang masih memandang Anton dan sosok misterius di sebelahnya. Di matanta, ada kebimbangan yang jelas. “Tidak,” jawab Li dengan dingin, tanpa mengalihkan pandangannya. "Kita tidak bisa mundur sekarang. Jika kita biarkan mereka pergi kali ini, tidak ada yang tahu kapan mereka akan menyerang lagi," imbuh Li Jancent lagi "Tapi kita kehabisan waktu!" William membalas, matanya berkeliaran ke arah ledakan yang masih membara di belakang mereka. Setidaknya mereka merasa lega karena Mayleen dan Niu Nuan sudah aman berada dibawah perlindungan asisten He. Sementara itu, perdebatan pun berlanjut kembali. “Jangan bodoh,” potong Bear, mendekatkan diri ke Li jancent. "Ini bunuh diri! Kita bahkan tidak tahu siapa orang itu. Dia bisa saja lebih berbahaya dari Anton," imbuh Bear berapi-api. Li Jancent hanya mengeraskan rahangnya, berusaha menyusun rencan
“Kita diserang dari dua sisi!” seru William, suaranya terdengar tenang meskipun situasi semakin mencekam.Mayleen menggenggam erat tangan Niu Nuan yang masih pingsan di sebelahnya, sementara Bear dan anggota tim lain bersiap menghadapi serbuan dari musuh yang sudah mulai mendekat.Jendela-jendela van bergetar oleh desingan peluru yang diarahkan ke mobil mereka, untung saja kaca jendela dan bagian mobil lainnya dibuat anti peluru, meski begitu tetap saja menciptakan suasana semakin tak terkendali.“Kita harus keluar dari sini, atau kita akan jadi daging panggang!” teriak Bear sambil mengokang senapan otomatisnya.“Kita tidak bisa melawan mereka di sini,” kata Li Jancent, tatapannya tajam ke arah William. “Apakah ada jalan keluar lain?”William menggertakkan giginya. “Tidak ada yang mudah. Mereka sudah mengepung kita.”Suara desingan itu semakin intens, membuat mereka semua berjongkok dan berlindung. Lalu, dengan cepat dan tak terduga, Li Jancent meraih benda yang sama yang dipakai oleh
Ketika asap mulai mereda, siluet besar seorang pria muncul dari pintu darurat yang sudah terjatuh ke lantai. Li Jancent menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas. “Siapa itu?” gumamnya, tangan masih menggenggam erat pistol yang baru saja dia rebut dari salah satu penjaga.Pria itu melangkah keluar dari asap, wajahnya penuh dengan tekad. Itu adalah salah satu orang William, seorang pria yang dikenal dengan panggilan "Bear." Nama itu bukan tanpa alasan—tubuhnya besar dan kekar seperti seekor beruang, dan di tangannya dia membawa sebuah senapan otomatis.“William, kalian semua baik-baik saja?” teriak Bear sambil berlari mendekat.“Bear!” seru William, senyum lega melintas di wajahnya. “Kau datang tepat waktu.”Bear menatap Li Jancent, Mayleen, dan Niu Nuan yang masih tak sadar dalam gendongan. “Kelihatannya kalian butuh sedikit bantuan.”Anton, yang sebelumnya teralihkan, kini menegakkan tubuhnya kembali, senyum dingin muncul di wajahnya. “Jadi, kalian berpikir bantuan kecil ini bisa
Namun, sebelum Anton bisa mengambil langkah lain, suara keras dari arah pintu masuk membuat semua orang menoleh. Sekelompok pria dengan pakaian seragam taktis lengkap menyerbu masuk, bergerak dengan cepat dan terlatih. Dalam hitungan detik, mereka telah melumpuhkan para penjaga Anton dan mengepung pria itu. “Menyerahlah!” teriak salah satu dari mereka, yang ternyata adalah asisten He. Tim ini adalah bantuan yang sudah dipanggil William sebelumnya. Anton menoleh dengan tatapan marah, tetapi dia tidak punya pilihan lain. Dengan perlahan, dia mengangkat tangannya, menatap dingin ke arah Li Jancent dan kawan-kawannya. "Kalian pikir ini sudah berakhir? Ini baru permulaan." “Diam kau!” seru salah satu anggota tim William sambil memaksa Anton berlutut, lalu memborgol tangannya. Sementara itu, William yang tampak lega dengan kedatangan asisten He, mendekat ke Li Jancent. “Orang-orangku sudah di sini,” ujar William sambil menepuk bahu Li Jancent. “Tapi kita belum selesai. Niu Nuan...
Li Jancent merasakan keringat dingin merembes di tengkuknya saat sekelompok preman itu memenuhi ruangan. Jian berdiri tegar di sampingnya, sorot matanya tajam, tetapi Li Jancent tahu pria itu tidak menyangka situasi ini akan berubah secepat itu.Mayleen tampak panik, matanya melirik ke arah William yang sedang menggenggam erat tangannya. Waktu terasa melambat, dan keheningan menyergap ruangan dalam ketegangan. Pria yang memimpin kelompok itu mendekat, senyum lebar masih menghiasi wajahnya, seolah-olah dia sudah mengantisipasi setiap langkah yang diambil Li Jancent dan kawan-kawannya.Pria itu adalah sosok yang belum mereka pernah lihat di balik layar, seorang pengatur yang kini muncul di depan mereka. “Selamat datang,” pria itu berbicara dengan nada licin. “Kalian datang jauh-jauh untuk menyelesaikan misteri ini, bukan?”Li Jancent merasakan darahnya mendidih, tetapi dia berusaha tetap tenang. “Siapa kau? Apa maumu?”tanyanya, meskipun jauh di dalam hati, dia sudah memiliki dugaan yan