“Setelah peristiwa di mall barusan, sepertinya bukan hanya mereka. Polisi juga pasti akan mencarimu. Itu dugaanku.”
“Kurasa tidak.”
“Kenapa?”
“Dua orang itu bukan hanya jago secara otot. Otak mereka pun cukup cerdas untuk mematikan seluruh CCTV di seluruh interior dan exterior gedung, sebelum memulai aksi pembunuhan atas diriku. Jadi untuk soal yang satu itu, aku aman. Musuhku hanya tetap dari para anak buah Nikolai yang dendam padaku.”
“Dendam? Menurutku motifnya tidak sesederhana itu.” Dimas menggeleng mantap. “Kurasa Nikolai belum mati dan ia mencarimu.”
Kini Maia yang ganti menggeleng kepala. “Tak mungkin.“
“Kau tidak memantau perkembangan berita selanjutnya? Mayatnya tidak ditemukan, Maia!“
“Namun aku yakin ia tewas,” kata Maia bersikukuh. “Seluruh
Di antara kerumunan dan keriuhan sekitar lokasi, seorang pria lain muncul. Mengenakan jaket kulit coklat yang buram termakan waktu, ia hanya melihat-lihat keadaan di sekitar tempat tersebut. Wajah Kaukasian yang ia miliki tidak dapat tertutupi panjang rambut, kumis dan cambangnya yang jauh dari rapi. Kendati tidak banyak bertanya, ia dapat mendengar dari ucapan-ucapan orang sekelilingnya tentang apa yang terjadi.“Penyerangan bersenjata. Gila! Bagaimana bisa terjadi?“ terdengar seseorang berkomentar.Pria itu melirik. Dengan ujung matanya ia menangkap pembicaraan antara dua orang polisi yang berdiri tidak jauh dari posisinya.“Entahlah.““Sudah kau dapatkan data mengenai pelakunya?““Belum. Dua orang pelakunya tak sadarkan diri. Dalam hari ini mungkin baru bisa ku dapatkan.““Siapa sebetulnya yang mereka tuju?““Entah.““Kau tidak mendapatkan informasi sama sekali? Ayolah, kau setengah jam tiba disini lebih cepat dari aku!““Kau tidak akan percaya kalau kukatakan bahwa pelakunya adala
Menghadapi ajal yang sudah pasti menjemput, apa yang perlu dilakukan seorang manusia dalam keadaan seperti itu? Ketika detik waktu menjadi begitu berarti, Dimas hanya ingin bersama wanita itu dan pekerjaan yang ia miliki memungkinkan itu terjadi karena ia bisa melakukan pekerjaan secara daring. Tak inginnya ia jauh dari Maia mungkin memberi kesan cengeng, rapuh. Tapi Dimas tak peduli karena Maia sudah bukan lagi menjadi orang lain bagi dirinya. Bagi hidupnya. Ia membutuhkan dan sangat mendambakan wanita itu. Pun puterinya. Kegalauan yang sama, yang mungkin lebih berat, dialami oleh Maia. Mencoba bersikap wajar dan seolah tak ada apa-apa, ia melanjutkan hidup. Bagi Maia, waktu yang tersisa ia ingin perlakukan dengan sebaik mungkin. Terputus dari kehidupan masa lalu, hanya ada segelintir orang di dunia ini yang begitu menaruh harap dan cinta padanya. Hanya pada merekalah ia kini berfokus dan mendedikasikan hidupnya. Ia pun pada akhirnyaa luluh terhadap Dimas. Atas pria yang tetap me
“Kamu suka gaunku?” tanya Maia sambil terus membaca. Dimas gelagapan. Ia tak menyangka bahwa dalam serius membaca ternyata Maia tahu apa yang Dimas lakukan ketika menatapi dirinya. Tak mau terlihat bahwa ia terciduk, ia buru-buru membantah. “Aku tidak melihati gaunmu.” “Jangan bohong.” “Aku melihati pemandangan alam. Wajahmu.” “Alasan.” “Hei, aku pria normal.” Maia tertawa kecil. “Sudah lama aku tidak mendengar joke-joke seperti itu.” “Ketika aku mengatakan bahwa aku melihati pemandangan alam yakni wajahmu, itu serius. Dan ketika aku mengatakan aku pria normal, itu jelas bukan joke.” “Apa yang kamu mau tunjukan dengan koran ini?” tanya Maia sambil mengembalikan koran ke tangan Dimas. “Aku ingin menikmati waktu bersamamu.” Maia tidak segera menjawab. Ia sudah menduga itu jadi alasan mengapa Dimas mendatangi unitnya. “Boleh?”
“Kembali ke soal tadi,” Dimas menyambung sambil mulai mengunyah cake pesanannya. “Aku mengkhawatirkanmu, dan aku ingin berbagi beban hidupmu untuk kita hadapi bersama. Kenapa harus menanggung masalahmu seorang diri?” “Kamu tahu itu berbahaya.” “Karena aku tidak bisa bela diri?” “Bukan itu.” “Tidak bisa menembak?” “Bukan.” “Lantas?” “Karena.... kamu... kamu kan tidak pernah dilatih secara militer.” “Tentu saja aku pernah.” “Kapan?” “Saat sekolah aku ikut Pramuka.” Maia tersedak. Dalam tawa, ia dengan gemas memukul pundak Dimas yang dengan cekatan ditangkis Dimas. Mobil yang Dimas kendarai mulai melambat seiring tibanya mereka di bagian jalan yang padat. “Kau tahu Dimas, dalam keadaan gemas aku bisa memukul lebih keras.” “Pukullah.” “Aku tidak mungkin memukulmu. Kamu tahu itu.” “Kenapa tidak mungkin memukulk
Si pengojek yang ditanyai hanya menatap Maia dengan terpana dan mulut terbuka. Mungkin pikirnya, mimpi apa dia semalam sehingga mendapat calon penumpang secantik ini. Dengan rambut sebahu, celana jins denim yang dipadu kemeja long sleeve biru kotak-kotak Maia memang terlihat macho tanpa menghilangkan sedikit pun kefemininan dirinya.“Aku pinjam. Nggak sampe satu jam.”Si pengojek tersadar dari rasa terpana. “Mbak, aku pinjemin gratis juga gapapa koq. Mau aku anterin? Hehe...”‘Nggak usah,” Maia melesakkan semua uang di tangannya ke dalam kantong jaket yang dikenakan orang itu.Orang itu masih tergagap ketika dengan ragu turun dari jok motor yang diduduki. Ia baru mengucap lagi beberapa kata ketika Maia duduk di atas motor dan menghentak pedal dengan keras. Suara bising dari knalpot racing yang terpasang membuat ucapan orang itu jadi tak terdengar.Deti
Kata-kata yang ia lontarkan memang sangat standar. Tapi ada hal yang membuat Dimas penasaran. Orang itu adalah seorang berpangkat tinggi. Kombes alias Komisaris Besar Nicko namanya. Dimas agak heran karena jika kasus yang melibatkan calon isterinya sampai melibatkan seorang berpangkat tinggi seperti itu, tidakkah berarti apa yang dihadapi adalah kasus yang serius?Ini membuat Dimas lantas menceritakan lebih banyak. Menurutnya masih ada satu penjahat lagi yang tersisa. Dimas tidak merasa perlu untuk menyebutkan bahwa orang itu memburu seseorang dan orang itu adalah kekasihnya. Alasannya, jika itu disampaikan akan membuat urusan lebih panjang. Polisi jadi akan mengetahui bahwa ada korelasi antara penjahat tadi dengan dirinya.Diam tentang keberadaan Maia sepertinya menjadi jalan terbaik untuk saat ini.*Kejar-kejaran memang tengah terjadi antara Maia dengan si penjahat pert
Ia berusaha meraih senjata yang ada dalam ras ransel. Namun itu jelas tidak mudah karena ia berada dalam sebuah modul yang bergerak, tidak imbang, tidak konstan. Saat ia baru saja hendak meraih senjata, Maia yang melihat melalui kaca spion akan melakukan manuver sedemikian rupa yang membuat ia mau tak mau harus memegang setang dengan kedua tangan yang otomatis menunda usahanya mempersenjatai diri.Maia benar-benar pandai memanfaatkan situasi. Ia tidak pernah lagi membawa motor melaju dalam ruang terbuka. Ia tahu tindakan itu akan membuat lawannya akan meraih senjata dari dalam tas dan jika itu terjadi, dengan cepat ia akan melumpuhkan Maia. Saat itu melihat sebuah gedung bertingkat yang masih setengah jadi di balik rerimbuhan pohon, ia lantas memacu motornya menuju ke tempat itu. Ia harus menjalankan motor dengan zig-zag melewati pembatas jalan, rambu-rambu, onggokan kerikil dan aneka material, sampai kemudian tiba di kompleks perkantoran tadi.
Mata Maia membelalak ketika dari ujung tembok nampak moncong senjata dalam keadaan terlipat dan mengarah padanya tanpa terlihat si penembak. Itu adalah senapan mesin cornershot. Sebuah senjata ringan berteknologi tinggi dilengkapi kamera LCD yang memang dirancang untuk dilipat dan dapat digunakan saat si penembak berada di sudut 90 derajat. Dengan demikian si penembak takkan terlihat oleh target korban karena ia cukup melihat dari layar LCD sebelum memicu pelatuk senjata.Lagi-lagi Maia harus berguling dengan tubuh dihujani serpihan beton yang habis ditembaki senjata cornershot. Faktor keberuntungan dan kecepatan bertindak lagi-lagi menyelamatkan nyawanya ketika ia tiba di sebuah pilar besar. Posisi pilar yang dekat dengan tangga ulir langsung dimanfaatkan dengan ia berlari ke lantai mezanine di atasnya. Geraknya yang cepat dan lincah kembali menjadi penyelamat nyawa karena membuat senjata canggih itu tetap saja tak cukup canggih untuk bisa menjangkau t
Veily menyadari sesuatu yang lain lagi. Alex tidak lagi mengenakan kalung akik merah padam. Benda yang dulu diberikan khusus untuk pria itu kini tak ada lagi di lehernya. Sebersit rasa kecewa seketika menyeruak dalam batinnya....Bagi Veily, Alex bukan pria biasa. Ia pernah mendapat perhatian khusus dalam diri Veily yang seiring berjalannya waktu mulai berani menyalakan bara api dalam hatinya. Dan kala Alex menyambut, bara api itu – cinta, tentu saja – makin memuai. Menyalakan rindu, perhatian, dan ketertarikan yang terus bergejolak. Sampai kemudian terjadi sebuah kesalahpahaman yang belakangan ia sesali hingga saat itu. Kesalahpahaman yang membuat tersingkirnya Alex dari lembar hidupnya. Andai bisa membalik waktu, ingin rasanya ia jatuh dalam rengkuhan pria itu. Menumpahkan maaf. Mencurahkan sesalnya yang nyaris tak berujung.Dan kini. Tidak bukan kini - tapi kemarin pagi tepatnya – secara tak terduga
“Sialnya aku tiba di medan pertempuran antara pasukan Jepang dengan tentara sekutu. Aku langsung berada dibawah todongan salah seorang tentara Jepang. Penjelasan bahwa aku dari masa depan tentu saja tidak membuatnya percaya. Ia hampir saja membunuhku sampai kemudian kubuktikan kebenaran ucapanku melalui Jetpack yang kubawa. Tentara Jepang itu, Letnan Hamada namanya, memaksaku untuk memakaikan Jetpack padanya. Di bawah todongan, aku menurut. Aku hanya menge-set agar benda itu terbang naik, melayang di ketinggian tertentu, dan mendarat kembali. Semua tak lebih dari lima menit. Tapi itu memang berdampak signifikan. Dalam gelap malam, dengan mitraliurnya dan dengan sekali pukul ia melumpuhkan sekutu di tempat persembunyian dari udara. Pertempuran berakhir dengan kemenangan di pihak Jepang.”Alex menyimak rangkaian cerita menakjubkan tadi sementara Profesor tetap meneruskan.“Kami kemudian pulang ke barak Jepang yang ternyata me
Profesor Senjaya menatap tajam. “Aku ingin benda itu dihancurkan. Kendati perang dingin antara blok barat dan timur tak lagi muncul ke permukaan akan muncul hegemoni lain yang sama membahayakannya. Tak sulit membayangkan bencana macam apa yang terjadi jika sampai Jetpack diproduksi masif di masa ini.”Penjelasan Profesor terdengar masuk akal. Alex berpikir dan menimbang-nimbang sekian lama di tempat duduknya. Gelas berisi minuman jus jeruk yang ia pesan dari tadi sudah lama tandas. Kendati demikian, ia tetap saja mengaduk-aduk gelas yang kini hanya tersisa es batu saja.“OK,” katanya kemudian. Nyaris tanpa suara. “Aku di pihakmu.”Profesor nampak lega.“Namun sebelum kuserahkan padamu, tolong jawab pertanyaan terbesarku. Bagaimana ceritanya benda itu bisa berada di goa Jepang, teronggok bersama barang-barang peninggalan Perang Dunia kedua, sementara Prof send
Pada sepuluh detik pertama Alex masih bisa menahan. Tapi ketika sudah dua puluh detik, wajahnya mulai berubah. Alex mulai meringis ketika cubitan Tessa berlangsung hingga lebih tiga puluh detik.“Ampun,” desisnya.“Nggak!” cetus Tessa galak. Rona kemenangan terpancar di wajahnya melihat Alex yang mulanya sok kuat kini mulai meringis kesakitan.“Ampun.”“Nggak. Bilang dulu seperti tadi kubilang. Ayo, cepetan!”Dalam sengatan nyeri Alex dengan cepat mengingat sesuatu. “I miss youuuu... ouch!”Tessa melepaskan cubitannya. “Koq milih kalimat yang itu dan bukan yang satunya?”Alex tidak menjawab. Saat menarik tangannya kembali tanpa sengaja ia menyentuh ujung botol saus yang terbuka yang langsung mengotori jari-jarinya.“Tuh, kamu sih.”
Seiring kepergian Alex dan seiring pula berjalannya waktu, penyesalan yang sebelumnya menghinggapi Alex, kini mulai menyapa dirinya. Setelah berpikir lebih dalam, perlahan ia mulai menyadari bahwa Alex tidaklah seburuk yang ia sangka.Yang kemudian timbul dalam jiwanya adalah rasa bersalah yang makin kuat menyergap. Melecut hasrat memaafkan dan dimaafkan. Terpuruk dalam sesal, Veily mencoba mencari tahu keberadaan Alex hanya untuk mendapatkan kenyataan bahwa pria itu ternyata pergi tanpa meninggalkan jejak alamat, telepon, atau bahkan kota yang ia tuju.Hari dengan cepat berganti hari dan bahkan berubah hingga hitungan tahun. Namun keberadaan Alex tetap lenyap tak berbekas. Asa yang semula membara, lambat laun padam. Dingin. Hingga kemudian Veily sadar bahwa sudah tiba waktunya untuk memupus kenangan yang sempat terajut.Ia sadar telah mengambil keputusan yang salah. Namun lekas pula ia menyadari bahwa keputusan yang sal
Laporan beban fiskal perusahaan yang menggelayuti pikiran Tessa segera ia buang jauh-jauh dan diabaikan begitu saja ketika Alex hadir di pintu ruang kerjanya siang itu.“Maaf terlambat,” kata Alex sesopan mungkin sesaat setelah diijinkan Tessa untuk duduk di depannya.“Lain kali jangan terlambat dong.”Kendati cukup lantang bentakannya – kalau bisa disebut sebagai sebuah bentakan – Alex merasa bahwa Tessa hanya berpura-pura. Sorot matanya tidak bisa menutup aura rindu ketika melihat kehadiran dirinya.“Iya maaf. Aku janji.”“Sip. Kamu dimaafkan. Tadinya aku kuatir, tahu? Eh ternyata cepat juga kamu bisa nyampe. Kamu ke sini tahu kan untuk apa?”“Tahu.”“Tadinya direncanakan kami di BOM merenc...”“Kalian dibom?”&nbs
Oleg memasuki boks telepon, memutar nomor, dan mulai berbicara dengan seseorang di ujung sana. Mulutnya sibuk mengunyah permen yang sejak ia di Jakarta menjadi kesukaannya.“Letnan, aku masih belum bisa melacak keberadaan Profesor. Tapi sudah mendapatkan informasi mengenai Alex. Info itu benar.” Jeda sesaat ketika ia mendengar tanggapan dari lawan bicaranya. “Alex tinggal di kamar hotel sejak kemarin. Masalahnya, saat Dimitri dan aku diam-diam memasuki kamar, benda itu tidak ada di sana.”Terdengar suara keras orang memaki di ujung telepon.“Anak muda itu ternyata lebih cerdas daripada yang kita kira. Letnan, perlukah kita lakukan rencana B?”“Belum saatnya menghabisi dia. Kalian tunggu aba-aba dariku. Aku masih punya ide lain.”*Petugas yang bertugas di meja resepsionis mengenali pria muda yang nyaris sebaya dengan dirinya ketika ia kembali muncul di hadapannya.“Selamat pagi,” salamnya mendahului Alex.“Pagi.”“Sdr. Alex kan?”“Aku tersanjung, bapak dengan mudah bisa mengenali aku.
“Hacker, tepatnya. Aku memperbaiki misalnya sistim perbankan yang kacau, seperti transaksi derivatif, pengamanan data cyber, phone banking, dan semacamnya. Yah, itu untuk biaya hidup sehari-hari.”“I see.”“Sekarang langsung ke intinya. Jadi kamu sudah temukan benda itu?”Sadar bahwa tak perlu lagi menutupi, Alex mengangguk. “Jetpack? Ya.”Profesor langsung berbicara lebih serius ke masalahnya.“Kamu sudah tahu cara menerbangkan Jetpack?”“Prof,” Alex tersenyum sinis, “aku belum banyak menyentuhnya. Beberapa hari ini aku dibawa pada situasi yang kukhawatirkan membuatku terkena skizofrenia. Semua gara-gara benda yang mungkin dari masa depan tapi berada pada tumpukan barang rombeng eks zaman revolusi. Kukatakan dari masa depan karena bisa saja ada pabrik yang salah embose ketika menuliskan tanggal produksi pada benda aneh itu. Tidakkah itu hal yan
Ia menyibak selimut lalu duduk di pinggir ranjang. Deru suara pendingan udara yang nyaris tak terdengar di siang hari kini terasa cukup lantang saat malam hari. Sadar dirinya akan sulit lagi melanjutkan tidur, Alex memutuskan untuk bangun dan meminum dua-tiga teguk air mineral dari gelas yang masih tersisa setengahnya.Matanya yang kini terbuka lebar seketika terpaku pada laptop pemberian perusahaan. Ketertarikan yang besar membuatnya kembali membuka laptop, menghidupkannya, dan mencolok perangkat modem.Dalam setengah jam berikutnya, Alex sibuk mengutak-utik perangkat yang membawanya berselancar ke jagat maya. Kendati dirinya merupakan pengguna yang masih sangat baru, dengan kecerdasan yang dimiliki, ternyata tidak sulit untuk dirinya mempelajari mengenai internet, memanfaatkan mesin pencari, dan penggunaan email.Dengan fasilitas mesin pencari, Alex mencoba mencari informasi apa saja. Termasuk Jetpack, tentu saja, yang