“Ah!” Hana merebahkan punggungnya dengan kasar ke sandaran sofa empuk itu. “Kalaupun aku memaafkannya, itu nggak akan mengubah keadaan.”Alex tak mengalihkan pandangannya dari wajah Hana. “Hana, aku mengenalmu dengan baik. Dan aku tahu Kamu bukan jenis orang yang menyimpan dendam untuk masalahmu sendiri. Atau ini karena ... Hans?”Seketika Hana mengepalkan tangan. Sedangkan, Andro menegakan punggung ketika mendengar nama itu disebut.“Hana?” tegur Alex ketika gadis itu tak kunjung bicara.Hana menoleh dan menatap tak berkedip selama beberapa saat tepat di mata Alex. “Menurutmu?”“Ah ....” Alex mendesah napas dalam. “Aku mengerti.”“Alex, saat ini masalah yang paling penting adalah menemukan ayah. Selain itu, aku nggak mau memikirkannya,” ucap Hana tegas.Alex mengangguk pelan. “Kalau begitu masalah yang lain aku anggap selesai,” balas Alex tanpa ragu.Andro menyahut setuju. Lalu, tak lama kemudian mereka berdua meninggalkan Hana sendiri.Setelah kepergian dua temannya, Hana mengedarka
“Zan, para pengunjung adalah orang-orang penting yang juga pemeganga saham Teta Tech Corporation. Apa Kamu nggak khawatir jika mereka menganggap Victory ini salah kelola?” Melanie duduk di sofa tunggal yang ada di samping Zan.Zan diam, sedangkan pendapat itu direspon oleh Max dengan tawa sinis.“Melanie, meskipun Victory terkait dengan Teta Tech, tapi klub ini sepenuhnya ada dalam pengelolaanku. Siapa di antara pengunjung yang berani menghujatku sebagai si salah kelola.” Max menunjukkan telunjukanya dari tangan yang sedang memegang gelas.Melanie mengedikan bahu. “Kalau begitu, bisakah dijelaskan kenapa klub dengan pengelolaan top ini bisa mati lampu.”“Itu karena kesalahan teknis,” sahut Zan dengan cepat.Dan dengan cepat juga Max menoleh ke arah Zan, ia ternganga tak percaya dengan apa yang didengarnya karena ia yakin lampu mati itu berkaitan dengan penggerudukan yang dilakukan oleh gadis bernama Hana itu. “Zan!”“Ah ... Max.” Zan sedikit menelengkan kepala seraya menatap penuh art
“Uhh ...!” Hana menarik napas dalam. Dan sesak dalam dadanya tak terasa berkurang begitu ia mengembuskannya pelan-pelan.Mobil pick up yang dikendarainya berhenti di tepi jalan layang yang lengang.“Aku ingin segera turun, tapi seolah kaki ini tertanam di tanah,” gumam Hana hampir-hampir tanpa suara. Ia ingin mengadukan apa yang ia rasakan itu, tapi ia nggak tahu harus bicara dengan siapa.Lalu, ia menoleh dan menatap ke perempatan jalan yang berada di bawah jalan raya itu. Perempatan jalan itu juga terlihat lengang. Hanya satu dua mobil dan kendaraan bermotor lain yang melintas di sana.“Aku harus menghadapi ini. Ini yang harus kulakukan untuk menyelesaikan apa yang terjadi di masa laluku.” Dan akhirnya, Hana memaksakan diri untuk turun dari mobil.Lalu, ia berdiri di tepi jalan layang itu dan memandang ke arah titik tengah perempatan.“Ugh!” Seketika kaki-kakinya terasa lemah seolah semua otot-ototnya tiba-tiba tercerabut. Dan ia pun duduk menggelesot.Hana memejamkan mata karena su
“Tolong!” teriak Hana kencang. Ia nggak mempedulikan bahwa orang-orang yang berada di sekitarnya adalah orang-orang yang hendak melukainya. Penyerang-penyerang itu menghentikan serangannya begitu mengetahui apa yang terjadi pada Hans. Beberapa di antara mereka hendak menyerang Hana, tapi di saat yang sama dari arah kanan jalan terdengar suara sirine. “Bubar!” komando salah satu dari mereka. Dan para pengejar itu berlari meninggalkan Hana dan Hans di perempatan itu. “Hans!” Hana berulang kali memanggil Hans yang tak memejamkan mata. “Bertahanlah! Aku akan mencari pertolongan!” Tapi, Hans bergeming. Ia tetap diam dan memejamkan mata. Lalu, Hana menoleh ke arah asal suara sirine yang makin mendekat. “Hans! Pertolongan datang! Itu ambulance!” Hana berteriak seolah Hans mendengarnya. Hana beranjak dan berlari mencegat ambulance. Ia berdiri di tengah jalan seraya melambai-lambaikan kedua tangan. “Tolong teman saya!” Ambulance itu berhenti dan segera mengangkut tubuh Hans ke dalam mob
“Ah ... akhirnya.”Melanie berteriak kegirangan ketika melihat laki-laki yang begitu diharapkannya terlihat berjalan ke arah sofanya.“Zan!” Melanie melambaikan tangannya.Veronica yang duduk di sampingnya menghela napas dalam. “Nona Melanie Ann, bukankah sudah jelas kalau Zan akan ke sini?”Melanie melirik sinis. “Nggak usah ngurusin aku!”Veronica geleng-geleng kelapa. “Untung di Victory ini nggak ada wartawan yang bisa masuk. Coba saja ada, pasti penggemarmu pada ilfil.”Melanie mengedikan bahu dengan tak acuh. “Itu kenapa aku nongrong di klub ini, aku bisa berbuat sesuka hati tanpa khawatir dengan apa yang akan keluar di media besok.”“Sini, Zan!” Melanie menarik tangan Zan. Lalu, ia memiringkan kepala dan menatap tajam ke arah Veronica. “Geser!”Lalu, Melanie membuat Zan duduk di tengah-tengah karena mau nggak mau Veronica harus mengalah dengan sedikit bergeser ke tepi sofa.Melanie tersenyum lebar, ia menggandeng lengan Zan dan menyandarkan kepala di bahu Zan.“Aku speechless,”
“Hans.” Akhirnya, Hana membuka mata, ia melayangkan pandangannya ke bawah jalan layang di mana bertahun lalu Hans menemui ajalnya.Ia menangis menuntaskan kesedihannya yang lama terpendam. “Aku nggak bisa mengubah apa pun yang telah terjadi, tapi benar apa yang dikatakan ayah, aku nggak mau membuat kematianmu sia-sia.”Ia mengucapkan itu seolah Hans ada di dekatnya. Lalu, ia mencoba melepaskan rasa bersalah yang selama ini membebaninya.Hana mengembuskan napas panjang untuk membuat dadanya terasa lebih lapang. “Hans, ada hal penting yang harus kulakukan, menemukan ayah. Dan Kamu telah meninggalkan bantuanmu pada Andro dan Alex.”Hana segera meninggalkan jalan layang itu dan kembali ke tempat tinggalnya.***Waktu berlalu. Hana baru saja menyelesaikan robot hexapod. Robot berkaki enam itu bergerak meniru cara jalan laba-laba.“Tring!” Alarm yang terpasang di gerbang depan terdengar, pertanda seseorang baru saja masuk ke dalam halamanan rumah kecil itu.“Alex!” sapa Hana begitu melihat
“Begini ....” Alex mengubah posisi duduknya dengan makin mencondongkan bahunya ke arah Hana. “Majestic memang bangunan kuno, tapi pengamanannya melebihi Victory.”“Melebihi?” Kening Hana berkerut.Alex mengangguk. “Secara teknologi, boleh jadi Majestic kalah dengan Victory, tapi restoran ekslusif itu meletakan keamanan pada program keesklusifannya, juga pada pengecekan per orang.”“Begitu?” Seketika otak Hana berusaha mencari celah dari halangan yang baru ia dengar. “Ah ....” Ia menghempas punggung dengan kasar ketika pikirannya buntu.“Kecuali Kamu bisa datang sebagai tamu undangan VIP dari member tertutup Majestic.” Alex mencetuskan ide.Hana menekan-nekan pelipisnya ketika ide itu makin membuatnya bingung.“Drrt!” Kebingungan Hana disela oleh telepon genggamnya yang bergetar. Satu panggilan masuk terdeteksi.Gadis itu segera melongok layar yang menyala dan melihat sebuah nomor asing tanpa nama. Lalu, setelah sekilas melihat ke arah Alex, ia mengangkat panggilan itu.“Hanasta,” sapa
“Minta Max ke sini!” perintah Zan begitu menekan satu tombol pada interphone yang ada di atas meja kerjanya.“Siap, Bos.” Sahutan patuh dari sekretaris pribadi Zan langsung terdengar.Dan beberapa saat kemudian pintu ruang kerja Zan terbuka. Max masuk dengan tatapan ingin tahu. “Apa yang membuatmu memanggilku, Zan?”“Siapa yang mengizinkan Henry dibawa ke Majestic?!” Suara Zan meninggi.“Ah ...,” desah Max lelah. Ia yang baru saja duduk di kursi yang ada di depan meja kerja menekan-nekan pangkal hidungnya yang mancung. “Jadi, karena itu?”“Ini bukan masalah sepele, Max. Jika kolega kita dari Itali dan pihak lain mengetahui bahwa Henry masih hidup, kita akan dapat masalah,” keluh Zan kesal. Ia nggak dapat menahan kekesalannya.“Aku tahu itu, Max. Tapi-” Max menggaruk-nggaruk kepalanya yang nggak gatal. “Aku nggak mengizinkannya, cuma aku nggak bisa menolaknya, jadi aku membiarkannya untuk pergi sejenak dengan ... ayahnya Melanie Ann.”“Ah ....” Zan, yang sejak semula sama sekali nggak