“Ada apa?”
“Radit menunda bulan madunya ke bali. Padahal aku sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk menjebaknya!” jawabku dengan kesal.
Paman menghentikan mobil dengan tiba-tiba.
“Kenapa berhenti?” menatap wajah paman yang terlihat kesal.
“Apa kamu masih mencintainya? Kau masih cemburu hingga sampai mengikuti bulan madu mereka? Buka matamu lebar-lebar,Putri! Radit itu sudah ....”
“Paman salah paham. Aku sudah tidak mencinta Radit. Aku hanya ingin melihat Radit malu karena tak membawa uang sepeserpun. Aku sudah merencanakan untuk mencuri dompetnya saat sudah di villa nanti. Supaya dia mati kutu. Bahkan anak buahku sudah berada di sana. Aku sendiri juga sudah membeli tiket dan booking hotel di sana. Dan bisa-bisa uang yang ada di rekening Radit habis sebelum aku sempat mengambilnya. Bagaimana aku tidak kesal coba?!” memukul kaca mobil dengan kesal.
“Kenapa kau ti
Mata Radit menatapku dengan tajam. Sorot mata yang penuh amarah seolah siap menyerangku. Aku harus waspada.Sayangnya, aku salah fokus. Ternyata Radit tidak akan memukulku, tetapi kasir. Dia menendang Nia dan berhasil merebut amplop yang berisi uang hasil penjualan yang sudah beberapa hari belum di setor ke bank. Sial. Radit berhasil mengelabuiku.Aku tak boleh tinggal diam.“Security! Tangkap Radit dan bawa ke hadapanku! Semuanya kejar dia jangan sampai lolos!” aku berteriak kepada seluruh karyawan. Bahkan aku sampai lupa kalau sedang banyak pelanggan yang berbelanja. Radit benar-benar membuat kekacauan.Aku segera meminta maaf kepada para pelanggan. Lalu menuju ruang pribadiku dan menanti si biang erok di sana. Awas saja, aku akan membuat perhitungan dengannya.“””Aku duduk di kursi kebesaran. Sudah lebih dari dua puluh menit anak buahku belum juga berhasil membawa Radit ke hadapanku. Sesulit it
“Radit! Hubungi keluargamu, dan suruh mereka ke sini sekarang juga!” aku memberikan ponselku kepada Radit.“Apa ... maumu?”“Kau akan tahu setelah mereka datang! Cepat hubungi keluargamu sekarang!” jawabku dengan ketus.“Aku ... tidak ... mau! Kau pikir mudah mengancamku, Hach?!” jawab Radit dengan songong. Dengan keadaan seperti ini saja, dia masih menyombongkan diri di hadapanku.“Baiklah! Kalau memang itu pilihanmu!” ucapku sambil menarik ponsel kembali dan meletakkan di atas meja. Benar-benar bermental baja. Sudah berada di antara hidup dan mati, masih saja berani tawar menawar.“Dani! Kembalikan Radit ke pos pasar! Terserah kepada warga! Kalau mereka mau membakar Radit, bakar saja! Aku tidak peduli! Akan kusiapkan bensinnya!” ucapku sembari menaikkan sudut bibir.Aku akan menantang sampai di mana keberanian pria menyebalkan itu. Apa dia sudah sia
“Kau pasti pelakunya! Kurangajar sekali, kamu, Putri! Aku akan membalasmu!” kembali ibu menamparku. Dan kali ini aku takkan diam begitu saja. Aku membalasnya dengan dua kali tamparan, seperti apa yang dilakukannya kepadaku. Aku tak peduli dia lebih tua dariku dan pernah menjadi orang yang kuhormati setelah ibu. Apa yang orang lakukan kepadaku, akan kubalas dengan perlakuan yang sama.“Beraninya kau menamparku, anak sialan!”“Kau yang beraninya menamparku, Mak lampir!”“Kurangajar! Kau memanggilku apa? bilang sekali!” titahnya kepadaku dengan geram.“Mak lampir! Kenapa?!” aku berkacak pinggang di hadapannya.“Kau ....”“Cukup!” aku menahan tangannya saat kembali hendak memukulku. Malas rasanya berurusan dengan orang yang tak penting sepertimu! Kau ingin tahu’kan kenapa anakmu seperti ini?!” aku menghentakkan tangannya dengan keras. Ta
“Cukup! Waktunya sudah habis! Aku menunggu jawaban sekarang juga!” menegakkan kepala dan menatap ke arah Radit dan ibunya. Entah apa yang mereka bicarakan. Kalau hasilnya tak seperti yang aku inginkan, siap-siap saja kau kupenjarakan.“Oke. Aku setuju!” jawab Radit dengan lemah.“Bagus! Artinya kau masih menyayangi nyawamu!”Radit mengambil ponsel dari tangan istrinya. Namun si pelakor menolak untuk memberikannya.‘Tidak! aku tidak mau kau melakukan kebodohan itu! Dia hanya menggertakmu saja, Radit! Kau jangan tertipu oleh wanita itu!” si pelakor menunjukku dengan tidak sopan. Aku berusaha menahan diri untuk tak menanggapinya.“Neva! Apa kau ... lebih memilih aku ... mati?” tanya Radit sembari meringis kesakitan dan memegangi dadanya. Mungkin saja ada pukulan yang meninggalkan luka di sana.“Bukan begitu, Sayang. Tapi bagaimana kehidupan kita selanjutnya?”
“Ibu juga tidak tahu. Tapi kalau dicerna dari kata-kata tak mungkin dijangkau oleh manusia biasa, bisa jadi mereka main dukun. Apalagi ada ikat. Ngikat apa coba?”‘Hach? Mana mungkin, Bu. Radit gak pernah melakukan hal yang mencurigakan selama bersamaku.”“Coba kamu ingat, sebelum kamu keguguran, apa yang dilakukan Radit kepadamu?”Aku berpikir sejenak. Tapi tak ada yang aneh atau apapun yang dilakukan Radit kepadaku.“Seingatku, Radit tidak melakukan apapun,” Jawabku dengan tatapan menerawang.“Apa dia memberikan sesuatu?” tanya ibu penuh selidik.Kembali mencoba untuk mengingat-ingat sesuatu. Tak ada yang mencurigakan. Biasa-biasa saja.Merebahkan tubuh di sofa dan menatap langit-langit. Dan tiba-tiba aku teringat sesuatu. Susu! Ya, Radit selalu memberikan susu sebelum aku tidur. Dan tak berapa lama, perutku mulas.“Bu, Aku ingat!” menyentuh
“Tidak boleh seperti itu, Mbak! Lagipula belum jelas juga’kan mereka pelakunya atau bukan?”“Tapi aku yakin seratus persen merekalah pelakunya! Aku tidak mau terjadi apa-apa lagi dengan putri! Ibunya Radit tadi mengancam putri lagi!”“Benar yang ibumu katakan, Put?” tanya paman kepadaku.“Iya,” jawabku singkat sembari menganggukkan kepala.“Astaghfirulloh hal’adzim, aku benar-benar jadi manusia tidak berguna karena tidak bisa menjagamu dengan baik. Maafkan Paman, Sayang.” Paman memelukku dengan penuh kasih sayang. Aku balas memeluknya erat dan tak ingin melepasnya lagi. Rasanya sangat damai berada dalam pelukannya.Paman melepasku. Dia menarik nafas dan terlihat sedang berpikir sesuatu. Sejenak dia merebahkan tubuhnya pada sofa. Memejamkan mata dan seperti sedang mengingat sesuatu.“Begini saja. Aku punya kenalan seorang yang biasa meruqyah. Dia bisa
Entahlah, aku merasa takut. Apa benar mereka setega itu. Tak ingatkah akan kebaikanku sedikit saja. Kalau saja aku tidak menolongnya menebus surat tanah yang digadaikan kepada lintah darat, keluarga Radit pasti sudah tinggal di jalanan. Kurang apa kebaikanku kepadanya coba. Bener-bener keterlaluan.Awas saja kalau memang terbukti mereka yang menyebabkan aku keguguran. Akan kubuat perhitungan dengan mereka.“Orangnya gak bisa datang sekarang. Dia sudah ada janji. Dua atau tiga hari lagi baru jadwalnya kosong.”“Gak apa-apa. Yang penting wonge iso ngobati,” jawab ibu dengan logat jawanya yang masih kental hingga saat ini.“Ya sudah, aku mau mandi dulu,” ucap paman sembari melirik ke arahku. “Jangan ngalamun Cah Ayu,” ucap Paman sembari menepuk-nepuk bahuku dan berlalu menuju kamarnya.Mataku tak berkedip menatapnya hingga menghilang dari pandangan.“Bu, aku ke kamar dulu, ya!”
“Ada apa, Roni?”“Kami sedang mengikuti Radit dan istrinya. Mereka pergi menggunakan mobil menuju rumah sakit.”“Mobil? Rumah sakit? Siapa yang sakit? Dan mobil siapa?”“Pak Radit sudah membeli mobil kembali.”“Apa?! mobil baru? Dapat duit darimana dia? baru atau ....”“Kelihatannya bukan baru.”“Biarkan saja! Biar sisa uangnya habis dengan cepat! ada keperluan apa mereka ke rumah sakit?”“Mereka mendatangi dokter kandungan. Dan menurut informan yang terpercaya, istrinya hamil.”“Hach?! Hamil. Bukannya baru menikah beberapa hari?”“Tapi itulah informasi yang kami dapatkan.”“Dasar pezina! Oke. Lalu ada temuan apa lagi?”Mobil berhenti di dekat area perkebunan. Dan sekarang mereka sedang berjalan melewati kebun yang tak terlihat ada jalanan bagi orang yang belum pernah datang ke
“Apa aku menolak waktu paman ... mencium bibirku?” aku menyapu bibir paman dengan jemariku, membuat paman memejamkan mata untuk menikmatinya.“Jawab paman?” tanyaku kembali masih dengan menyapu bibir sexynya dengan jemariku.“Tadi kau begitu berani. Kenapa sekarang diam? Hmm?” tanyaku kembali.“Aku ... aku .... ““Sst ... “ Aku menutup mulut paman dengan telunjukku. Menatap wajah tampan di hadapan membuatku tak tahan untuk tak menyentuh bibirnya. Tinggi badanku yang hanya sepundak paman, membuatku harus berjinjit untuk memberikan kecupan tipis pada bibirnya. Cup, satu kecupan sukses mendarat di bibir paman.Tak ada pergerakan. Kami saling diam dengan bibir saling menempel. Perlahan paman menjauhkan bibirnya dariku dan membingkai wajahku dengan telapak tangannya.“Ini rumah sakit. Kita tak boleh melakukan hal yang lebih.” Bisik paman dengan tersenyum. Aku merasakan harum
Wajah paman semakin dekat. Bahkan ujung hidung kami saling bersentuhan. Oh Tuhan, benarkah ini. Apa aku sedang tidak bermimpi. Pria yang sudah menggetarkan hatiku tengah menatapku penuh hasrat.Aku memejamkan mata menandakan dari sebuah kepasrahan. Aku dikejutkan oleh benda kenyal yang menyentuh bibirku membuat jantungku memacu kian cepat. Bibir paman menyapu dengan lembut hingga membuatku terbuai.Entah mendapat dorongan dari mana hingga membuatku membalasnya dengan lebih berani. Sejenak kami saling berpagut dalam balutan rindu.Sayangnya semua keindahan itu harus terhenti karena masuknya perawat yang membawa kursi roda untukku. Kami pun saling melepas pagutan dengan perasaan malu.“Sorry,” ucap paman lirih. Dia menjauh dariku sembari menghapus jejak pada bibirnya yang basah. Lalu menyugar rambutnya dan berdiri membelakangiku. Paman masuk ke dalam toilet. Entah apa yang akan dilakukannya. Aku akan mencari tahu tentang hal itu.“M
Rasanya tubuh ini sudah sehat dan tak perlu obat apapun. Berdekatan dengan paman pasti lebih mujarab dari obat manapun.Tunggu, bukankah paman sedang marah kepadaku. Bagaimana kalau dia menolak untuk menjagaku. Atau dia mau tapi aku dicuekin. Aduuh bagaimana ini. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.“Put! Cepat telpon pamanmu suruh ke sini. Ibu harus berangkat sebentar lag biar bisa lihat jenazah budemu.”“Hah? Aku. Bu?” aku menunjuk ke arah diri sendiri.“Iya. Cepetan!”“Ibu saja! Nih hapenya!” aku menyerahkan ponsel kepada ibu. Tak mungkin aku duluan yang menghubungi paman.“Kamu aja! Cepetan. Ibu mau beres-beres dulu!”Duh Gusti, bagaimana ini. Ibu benar-benar tak mau mengerti perasaanku.“Cepat puuuttt!!”“Iya!”Aku mengusap layar dan membuka aplikasi berwarna hijau dan mencari nomor paman. Rasanya ragu untuk menyentuhnya. Ja
“Oke, Paman tahu. Tapi setidaknya kau masih punya rahim dan bisa hamil. Jangan pernah meremehkan sesuatu yang berhubungan dengan nyawa, Putri!”“Sudahlah, Paman. Aku tak butuh nasehatmu! Yang jelas aku akan memakai jasa pengacara yang hebat untuk memberikan hukuman berat kepada mereka!”“Tapi Put ... ““Tolong, keluar! Aku ingin sendiri!”“Put! Paman seperti tak mengenal dirimu lagi! Hanya karena dendam kau sampai kehiangan jati diri dan juga hati nuranimu! Paman seperti tak mengenalmu lagi!”‘Tolong keluar, Paman! Aku ingin sendiri!” teriakku dengan kesal. Tanpa terasa airmata mengalir deras pada pipiku.“Baiklah! Paman hanya ingin kau menjadi putri yang dulu, yang penuh dengan cinta, kasih sayang. Bukan putri yang memenuhi dadanya dengan api dendam!”“Keluar, Paman! Keluar!!” aku menutup telinga dan tak mau mendengar nasihat apapun dariny
“I ... Iya Mbak Yu. A-ada apa?” tanya Paman degan terbata. Aku tahu kalau dia masih merasa canggung dengan kejadian tadi.“Radit dan keluarganya sekarang di mana?!”“Mereka sudah di bawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.”“Baguslah! Kau harus menghukum mereka seberat-beratnya!” ucap Ibu sembari mengepalakn tangan. Rupanya beliau masih terbakar emosi.“Itu bukan kewenanganku Mbak. Nanti pengadilan yang akan menghakimi mereka!” jawab Paman.“Huuch pokoknya aku mau ketemu sama mereka dan bakal tak uwes-uwes mereka nanti!” ucap ibu dengan gemas. Jelas saja dia tidak terima anaknya diperlakukan seperti ini.“Sudahlah, Mbak. Yang penting sekarang kita fokus untuk pengobatan Putri. Mereka sudah ada yang mengurusi!”“Ya sudah. Mbak mau ngurus administrasi dulu. Kamu tolong tungguin Putri dulu, ya!”‘Iya, Mbak! Tapi gak bisa l
Dan tak lama kemudian terdengar suara Radit menjerit sangat keras. Bukan sekali, tapi berkali-kali. Suara bag big bug tak ada hentinya disertai suara jeritan ibunya Radit. Sepertinya paman sedang memukuli Radit dengan brutal. Syukurlah, paman selalu datang tepat pada waktunya.‘Tangkap mereka semua!” Paman memerintah kepada anak buahnya.Sepertinya terdengar penolakan dari Radit dan ibunya. Bahkan aku mendengar suara Radit yang terus memanggil nama istrinya. Aku yakin wanita itu pasti terluka parah, hingga membuat Radit berteriak histeris.Kemudian, aku merasakan tubuhku sedikit terangkat. Rupanya paman menaruh kepalaku di atas pangkuannya.“Putri! Bangunlah!” Paman menepuk-nepuk pipiku. Dia pasti sangat khawatir. Sebenarnya aku masih sadar dan mendengar semua aktifitas di sekitar. Hanya saja aku merasa seperti tak bertenaga. Bahkan untuk membuka mata saja rasanya tidak sanggup.Aku berusaha tetap bertahan. Namun lamba
Radit tahu kemana arah pandanganku. Seketika dia memasang badan untuk istrinya. Dan wanita itu juga bersembunyi di balik tubuh Radit.Rahangku mengeras menahan amarah. Entah apa yang terjadi denganku, sepertinya ada dorongan yang menyuruhku untuk melenyapkan janin yang ada di perut wanita itu. Hati kecilku memngatakan jangan, tapi bisikan itu sangat kuat dan mengalahkan perasaanku sebagai sesama wanita.Aku juga seperti tak bisa mengontrol tubuhku yang terus mendekat ke arah si pelakor yang masih ketakutan.“Berhenti, Putri! Jangan sakiti Neva! Dia tidak bersalah! Kalau kau mau membalas dendam balas saja kepadaku!” seru Radit berusaha menghentikanku. Namun kembali bisikan itu semakin kuat dan tak bisa terbendung.“Kau pikir aku tidak tahu kalau dia juga ikut pergi ke paranormal bersama ibumu! Dan yang lebih membuatku kesal adalah dia mempercantik diri dengan uangku yang kau curi! Dan kini aku ingin melihatmu dan juga ibumu menangis darah
“Berani sekali kau! Rasakan ini!” aku berusaha bangkit untuk menyerang si pelakor. Namun si Radit sialan kembali mendorongku hingga terjatuh.“Jangan berani menyentuh Neva atau kau akan tahu akibatnya!”” seru Radit sembari menunjukku. Jelas saja apa yang dilakukannya membuatku kesal.“Kau pikir aku takut dengan ancamanmu?! Aku ingatkan, Kalian saat ini berada di posisi yang tidak aman. Jadi jangan bertindak bodoh atau kalian menginginkan hukuman yang lebih berat! Pintu gerbang penjara sudah di depan mata dan menanti kalian!” ancamku kepada Radit dan kroni-kroninya. Jelas saja hal ini membuatku makin kesal.“Aku tidak peduli dengan semua omong kosongmu. Sedikit saja kau menyentuh kulit Neva, kau akan menyesal!”“Aku tak takut dengan ancamanmu. Yang sangat membuatku menyesal hanya satu, yaitu pernah menjadi istrimu!”Radit mendengkus kesal. Lalu melangkah ke arah ibunya.Aku ban
“Aaacchh!”Terdengar suara teriakan dari ibunya Radit. Hal itu membuatku penasaran dan ingin melihat apa yang terjadi di dalam sana. Namun saat aku hampir mencapai pintu, paman menarik lenganku dan membawaku untuk menjauh.Dengan kesal aku menepis tangan paman.“lepasin, Paman! Kenapa Paman menahanku?”“Jangan masuk ke sana! Itu bisa membahayakan dirimu! Di dalam sedang terjadi perkelahian!”“Iih, gak apa-apa. Lagian aku’kan cuma mau lihat ibunya Radit menjerit karena apa. Itu saja, kok!”“Kau lihat sendiri, Radit saja tidak berani masuk ke dalam! Dia berpikir untuk menyelamatkan dirinya sendiri! Jadi jangan nekad! Turuti kata-kata Paman!”Lebih baik aku pura-pura menurut saja. Tunggu saat Paman agak lengah, aku akan berlari menuju ke sana. Paman pasti takkan mampu mencegahku.Paman terlihat begitu waspada. Dia terlihat sedang menerima telpon dari seseorang dan m