"Mas Farrel masih ingat, dengan mimpiku waktu itu?" tanya Bintang yang membuat Farrel mengangguk cepat. "Ingat, Pak," jawab Farrel sambil mengangguk.Sementara itu, Vio, dan Dino yang belum mengerti dengan apa yang mereka bicarakan, memilih menjadi pendengar. Begitu pun dengan salah satu anggota kepolisian yang memintai keterangan ketiga pemuda tersebut.Bintang memang sempat bercerita pada temannya itu jika berapa bulan tinggal di Desa Karanglor, sering mendengar adanya hal yang menurutnya tidak masuk akal. Sementara temannya yang memang asli penduduk kota ini, dia justru tidak merasa heran dengan apa yang diceritakan oleh Bintang. Laki-laki yang tengah menyimak pembicaraan Bintang dan Farrel itu, memang sering mendengar jika pesugihan di lingkungan pedesaan bukan lagi hal yang aneh walaupun sangat sulit dibuktikan. Menurutnya, para pelaku pencari pesugihan itu sangat rapi dalam menjalankan aktivitas mistisnya."Apalagi mereka mendapati Mas Farrel memergokinya saat ada yang melempar
Laki-laki itu pun memilih pergi menuju ke arah motornya yang terparkir, dengan disertai senyuman miring sekilas. Dia membayangkan, akan ada aliran uang ke dalam rekeningnya jika rencana itu berjalan dengan mulus.Dan semua itu hanya bermodalkan sebuah kelicikan.Teringat beberapa hari yang lalu, saat dirinya hampir dihajar Farrel, ketika kepergok melemparkan bungkusan berisi beras kuning ke pekarangan rumah Bintang. Flashback...Setelah membuat sang bos marah karena hampir saja dirinya tertangkap basah oleh Farrel, Trisno berjalan gontai keluar dari halaman rumah bergaya joglo yang luas tersebut. Pikirannya buntu karena terancam kembali menjadi pengangguran. Dia melajukan motornya seolah tak pernah terjadi apa pun. Namun, tiba-tiba sebuah mobil menghadang laju motornya yang membuat motor laki-laki itu berhenti mendadak. Laki-laki itu mengernyitkan dahi ketika mendengar suara tak asing dari belakang kemudi. "Tris, sini sebentar!" panggil wanita muda berparas cantik itu. "Kamu habis
Seperti biasa jika ada suatu peristiwa yang terjadi maka hal itu, akan dijadikan bahan pembicaraan hangat. Tak terkecuali, berita meninggalnya Hasan yang notabene adalah teman baiknya Farrel ketika keduanya sama-sama masih kecil.Mereka dengan antusias membicarakan kematian Hasan yang diyakini memang dibius terlebih dahulu sebelum dibunuh. Ada yang mendapatkan bocoran berita jika orang yang membunuh Hasan adalah orang yang tahu betul akan pemuda tersebut.Lagi dan lagi dugaan diarahkan ke Farrel walaupun pada saat kejadian pemuda ganteng berambut biru itu tengah berada di tempat latihan. Dan itu juga disaksikan oleh teman-teman juga anak didik Farrel."Bisa jadi kan, dia nyuruh orang buat habisin Hasan? Orang pintar kan begitu, nggak mungkin mengotori tangan sendiri untuk membuat dosa.""Tahu dari mana, Kang?" tanya temannya dengan tatapan mata curiga."Ya ... kan di berita TV begitu, Lek. Polisi menjelaskan, kalau dugaan sementara orang dekat.""Iya, kita tunggu saja hasilnya gimana!"
"Serius Ndul?" tanya Dino dan Vio bersamaan. Farrel menoleh sebentar pada kedua sahabatnya dan mengangguk lemah. Dino kembali bertanya untuk memastikan pendengarannya. "Jadi, kamu pernah jadi sasaran tumbal?" "Menurut yang dialami Pak Bintang di mimpinya, aku sama Rafli, Nyet." Farrel menjawab lirih."Gila, jahat banget orang, licik. Benar-benar pemuja iblis!" sahut Dino dengan geram. Farrel kembali mengangguk dengan wajah murung.Tiba-tiba ada rasa menyesakkan di dalam dada, mengingat dirinya lolos dari sasaran tumbal pesugihan yang entah dilakukan oleh siapa. Sakit, marah, dan dendam mengingat jika Hasan yang tidak mengetahui apa pun harus menjadi korban. "Aku harus cari tahu orang itu, Nyet," lirihnya. "Aku nggak bisa tenang sampai kapan pun sebelum pemilik pesugihan itu mengakui perbuatannya," ujarnya sembari melangkah menuju ke motornya, diikuti oleh Vio dan Dino."Tapi, bagaimana caranya kita tahu, Ndul?" tanya Vio bingung. Farrel terdiam lalu mendengus kasar. "Temani aku ke
"Pak Bintang, kenapa Bapak malam-malam ada di sini?" Bintang menoleh setelah bisa menguasai diri dari keterkejutannya. Laki-laki itu tersenyum sekilas kemudian menggeleng samar. "Nggak apa-apa kok, Pak Agus, tadi saya pulang kerja terus berhenti di sini," jawabnya ragu sambil kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Tempat ini sangat sepi, Pak, apalagi sejak ditemukan Hasan meninggal di sini. Jadi, masyarakat semakin jarang lewat sini. Mereka lebih suka lewat jalan lain kalau mau ke Desa Karanglor," ucap Agus sambil ikut memperhatikan sekeliling."Iya Pak, kalau saya ya, sudah biasa mau lewat pemakaman sekali pun. Sudah risiko.""Apa ada perkembangan mengenai kasusnya Hasan, Pak?" tanya Agus lagi.Bintang mengangguk sekilas. "Iya Pak, semoga pelakunya itu segera tertangkap," jawabnya.Kemudian Bintang berjongkok di rerumputan, ketika melihat suatu benda. Sementara, Agus mengikuti Bintang dengan pandangannya. "Kancing baju?" gumam Bintang lirih, kemudian mengambil benda kecil itu
Dibandingkan dengan Sigit? Farrel hanya tertawa dalam hati. Seandainya Bu Marni tahu, seperti apa anak yang begitu dibanggakan itu. Maka dia tidak akan membandingkan dirinya dengan Farrel sekalipun.Farrel sadar, dia memang tidak punya pekerjaan tetap. Dicap berandalan, suka mabuk-mabukan, dan hal itu adalah semacam aib jika hidup di lingkungan pedesaan. Sekali lagi, pemuda jangkung berambut nyentrik berwarna biru itu tersenyum miris."Syangnya aku dan Sigit sangat berbeda, Budhe. Aku nggak suka digaji, aku maunya gaji orang. Budhe, ini undangan untuk Sigit, besok lusa ada tahlilan di rumah Pak Aziz. Tolong sampaikan ya Budhe," jawab Farrel dengan sikap tak acuhnya sambil mengulurkan selembar kertas undangan ke arah perempuan paruh baya itu."Yowes, nanti malam kalau dia pulang aku kasihkan Rel.""Terima kasih Budhe, pulang dulu. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Bu Marni sambil mengamati undangan tahlilan tujuh hari Hasan di tangannya."Kasihan ya, masih muda, ganteng. Si Hasa
Bintang dan Alisha benar-benar dibuat penasaran dengan ungkapan Pak Haji Imran mengenai tetangga mereka yang diperkirakan memiliki pesugihan. Namun, lelaki paruh baya dengan wajah ramah itu, memilih tidak mengatakan pada mereka berdua untuk saat ini.Karena jika hal itu hanya prasangka Pak Haji Imran semata maka akan menimbulkan fitnah. Pak Haji Imran perlu bukti yang benar-benar kuat untuk membuktikan dan mencegah adanya tumbal-tumbal baru.Dia hanya mengatakan secara samar dan meminta Alisha dan Bintang untuk selalu berhati-hati. "Ada dua orang, Mas, Mbak. Sebenarnya yang satu ini masih belum lama, baru menjalani ritual itu. Dan itu pun karena mendapat komporan dari yang satu ini. Kalau yang satu ini memang sudah lama, dari anaknya masih remaja. Sekarang anak-anaknya sudah mapan," ucapnya. Bintang dan Alisha memperhatikan Pak Haji Imran dengan seksama. Sembari berharap laki-laki di depannya itu kelepasan bicara sehingga setidaknya, mereka berdua tahu biang onar di Desa Karanglor ini
Setelah Alisha dan Bintang pulang maka Pak Haji Imran menyempatkan bertanya pada Farrel mengenai rencananya menjebak tuyul. Pertanyaan itu mewakili Vio yang dari tadi memperhatikan interaksi ayah dan anak tersebut."Apa rencanamu, Rel?" tanya Pak Haji Imran pada sang anak. Sama seperti dirinya yang suka membuat teka-teki maka Farrel juga menanggapi pertanyaan ayahnya itu hanya dengan senyuman."Ya, nanti kita bicarain lagi lah, Pak. Kalau Pak Bintang pindahan pasti Bapak tahu apa rencanaku," jawab Farrel cengengesan."Ya sudah, tapi jangan membuat onar Rel," nasihat Pak Haji lagi yang diangguki oleh sang anak.Farrel tertawa lirih lalu mengangguk. "Nggak onar Pak, tapi sedikit sadis," ucapnya dengan santai.Pak Haji Imran mengelus dada mendengar jawaban sang anak. "Bapak bilang, jangan bikin onar malah akan membuat yang sadis. Kapan kamu tobat sih, Rel, Vio? Kalau Bapak sama ibumu sudah meninggal, bagaimana kalau kamu nggak bisa mendo'akan Bapak sama ibumu? Bagaimana kalau kamu nggak
Sesampai di area pemakaman umum di belakang rumah sakit, Bintang dan ketiga temannya mendapati banyak kerumunan di situ. Mereka sibuk berbincang-bincang membicarakan orang yang tergantung di atas pohon randu. "Tadi sore dia ketemu aku lho, beli bunga buat nyekar, katanya. Terus dia cerita banyak banget. Katanya, dia itu kaya raya di Desa Karanglor. Tapi, kekayaannya dibawa mati istri dan anaknya." Ibu-ibu berdaster batik berceloteh, sedangkan yang lain mendengarkan dengan antusias. "Terus dia jadi miskin, nggak punya apa-apa. Aku tanya makam istri sama anaknya di sebelah mana? Eh, dia malah tertawa. Katanya, bunga itu akan dia bawa pulang nanti, mbuh apa maksudnya, Mbak?" Sang ibu mengakhiri ceritanya ketika mendengar suara sirine mobil ambulance mendekat."Astaghfirullah, Pak Narso. Innalillahi wa innailaihi roji'uun!""Kenal, Bin?" tanya salah seorang temannya pada Bintang.Bintang mengangguk. Dia menatap miris pada tubuh kurus yang sudah tidak bernyawa di atas sana. "Iya, dia tetan
"Mereka yang akan menutup kekacauan itu, Le. Karena sudah membuat perjanjian dengan Iblis Kukus. Para manusia serakah yang durhaka pada Gusti Allah itu sudah membuat banyak kekacauan. Jadi, yang bertanggung jawab ya mereka sendiri."Pak Abdul menatap Bagus sebentar sebelum melanjutkan ucapannya. Bagus lebih memilih diam dan tak bertanya karena dia sebenarnya tidak mengetahui orang-orang tersebut."Maka dari itu, lebih baik mereka menganggap kamu sudah hilang daripada hidupmu sengsara di luar sana. Sebelum waktunya, kamu tidak boleh keluar dari sini karena Bapak punya kepentingan lain denganmu, Le.""Jadi, ini maksudnya Pak Abdul itu? Budhe Sayuti termasuk orang-orang yang menutup kekacauan ini? Ya Allah, musibah apalagi setelah ini?" Tanpa sadar, Farrel bergumam. "Rel, ayo ikut shalat jenazah. Baunya amis banget, Rel." Farrel menoleh pada Danang dan mengangguk pelan. Kedua pemuda itu segera menuju ke ruang tengah di mana Bu Sayuti hendak dishalatkan.Semua orang menutup hidungnya men
Teriakan di pagi buta itu, mengagetkan penduduk Desa Mojojati yang berbatasan langsung dengan Desa Karanglor. Mereka berhamburan keluar rumah menuju rumah kontrakan yang beberapa waktu lalu, dihuni pasangan suami istri dari Desa Karanglor.Begitu juga dengan beberapa laki-laki yang tadinya masih enggan beranjak dari teras mushala. Mereka kompak langsung mendekati sumber suara."Ada apa, Lek?""Ada apa, Yu?""To-looong, ada ketiwasan, Pak. Tolong!" teriaknya ketakutan.Kompak pandangan mereka tertuju pada tubuh Bu Sayuti yang masih bernapas lemah, tetapi kondisinya sangat mengenaskan. Mereka juga serempak menutup hidungnya karena bau anyir itu sangat menyengat."Astaghfirullah, ya Allah!" Mereka memekik ngeri.Pemandangan di depan mereka sangat memilukan. Yakni, tubuh Bu Sayuti yang setengah telungkup itu terus bergerak pelan. Mulutnya seperti mengucapkan sesuatu, tetapi tidak jelas. Kedua matanya melotot ke satu arah dengan tatapan ketakutan. Dari kedua payudaranya mengucurkan darah ta
Ketiga temannya yang ingin tahu, ikut melongokkan wajah mereka menatap ke arah rumah Pak Narso. Mereka sama-sama saling pandang dan saling mengangkat bahu tak acuh karena tidak melihat hal yang mencurigakan."Apaan sih, Ndul?" tanya Vio sambil melirik Farrel yang masih serius memperhatikan ke dalam sana. "Huaseuu!" Umpat pemuda berambut agak gondrong setengah biru itu. "Ternyata makhluk sialan itu masih ikut si Tua Bangka itu, rupanya." Farrel berucap lirih."Hah?!" Kompak ketiga sahabatnya terkejut.Rupanya, Farrel masih bisa melihat makhluk kecil yang berupa tuyul itu, sedangkan Vio dan Dino tak bisa melihat lagi. Farrel juga melihat, beberapa makhluk aneh berada di sekitar Pak Narso."Kamu masih bisa melihatnya, Ndul?" Kali ini Dino bersuara.Farrel mengangguk samar tanpa mengalihkan perhatian dari dalam sana, bahkan kedua tangannya terkepal di atas stang motor. Tatapan tajam Farrel mengikuti ke mana pergerakan tuyul itu. Tak lama kemudian, Pak Narso keluar dari rumahnya dan bersia
Alisha memperhatikan foto di dalam liontin kalung kuno itu dengan seksama. Matanya berkaca-kaca. Dia ingat cerita sang ayah dulu, sebelum kakeknya meninggal. Saat itu, Alisha masih duduk di bangku SMA.Alisha menatap ke arah Farrel yang juga masih belum mengerti sepenuhnya dengan apa yang dia alami. "Mas Farrel, bagaimana bisa kalung ini sama Mas Farrel?" tanyanya, mewakili pertanyaan di benak mereka semua.Farrel terdiam dan mengingat tentang semua kebaikan Pak Abdul yang menolongnya dari peristiwa malam itu.Farrel menceritakan semua dengan detail. Semua orang yang berada di ruangan itu, mendengarkan dengan merinding. "Tepat tiga hari tiga malam aku bersama Pak Abdul, lukaku sembuh," ucapnya, ketika Bu Halimah menyibak kaos Farrel yang robek di bagian perut. "Beliau mengobati lukaku setiap pagi dan malam menjelang tidur. Menurut penuturan beliau, Pak Abdul ditangkap oleh segerombolan PKI dan disiksa ketika hendak melarikan diri. Pak Abdul ingin mengobati orang sakit...""Le, Bapak t
"Orang gila ... orang gila!" Mereka terus berteriak sambil bernyanyi dan berhamburan menuju ke tepi jalan. "Leee! Gio, Arfan! Pulang!" Ibu-ibu berteriak dari atas jembatan, ketika melihat kelima anak itu berlarian menjauh dari sungai."Buuk! Ada orang gila tidur di sungai, Buk!" balas salah satu di antara mereka sembari menunjuk ke arah sungai."Lha, makanya pulang, nanti kamu digondol orang gila, lho. Pulang, sudah mau Maghrib. Pada mandi sana!" teriak sang ibu memberi perintah. Dengan napas sama-sama terengah, kelimanya berdiri di atas jembatan di samping ibu itu."Itu Buk! Dia mati kayaknya, Buk!" teriak salah seorang sembari mengelap keringat di dahinya yang coklat.Si Ibu ikut menatap ke arah tengah sungai. Memang benar, di sana ada sesosok tubuh tidak bergerak dalam keadaan tidur miring. Lengannya menutupi wajah. "Astaghfirullah, benar. Kalian pulang, Ibuk panggil Pak RT!" titahnya pada mereka. Tetapi, kelimanya masih bergeming di tempat. "Itu ada mobil! Kita minta tolong sam
Sekali lagi, Bagus memperhatikan, dan membandingkan penampilannya sendiri dengan penampilan Pak Abdul. Selama tiga hari tinggal bersama Pak Abdul, Bagus baru menyadari jika Pak Abdul memakai pakaian yang sama. Melihat kebingungan di wajah pemuda tersebut, Pak Abdul mengulurkan tangan mengusap bahu Bagus. "Ini yang ingin Bapak ceritakan, Le. Bapak tidak tahu, takdir apa yang Gusti Allah gariskan sehingga secara kebetulan kamu bertemu dengan Bapak. Malam itu, Bapak tiba-tiba membelokkan langkah Bapak mampir ke pasar. Padahal Bapak selanjutnya tidak membeli apa-apa..," ucapnya terjeda. Bagus menanti cerita laki-laki paruh baya itu dengan sabar. Pak Abdul menarik napas panjang kemudian memejamkan matanya. "Bapak tidak pernah lewat jalan itu karena jalan itu masuk wilayah kekuasaan Iblis Kukus. Bangsa kami tidak ada yang berani sengaja masuk ke sana, begitu juga anak keturunannya Kukus. Mereka tidak berani masuk wilayah kami, kalau mereka melanggar akibatnya fatal. Gunung Kemukus itu ak
Senyum gadis cantik itu sangat menawan. Bagus tertegun melihatnya. Belum pernah dia melihat gadis secantik itu. "Kang, ayamnya Paklek kamu, tarung sama ayamku!" serunya membuyarkan lamunan Bagus.Bagus terkesiap, bukan hanya wajahnya yang sangat cantik. Akan tetapi, suaranya juga sangat merdu. Bagus menoleh kanan kiri, melihat jikalau Pak Abdul sudah kembali. Sepi. Pak Abdul belum menampakkan batang hidungnya. Bagus tersenyum canggung dan melangkah mendekati ayam yang masih bertarung di dekat kaki gadis itu.Sejenak, Bagus melupakan larangan dari Pak Abdul supaya tidak berkenalan dengan gadis tersebut. Dengan gugup, Bagus mengangkat ayam milik Pak Abdul dan membopongnya. Dia mengusap-usap kepala ayam jago yang terluka di beberapa bagian. Sesekali dia melirik ke arah gadis yang masih berdiri di tempatnya. Tentunya, masih menyunggingkan senyum memikat."Kakang, siapa namanya?" tanya gadis tersebut memutus kecanggungan."A-aku? Namaku Bagus," jawab Bagus gugup.Gadis itu mengangguk da
Pemuda itu mengambil tempat duduk di samping laki-laki tersebut. Dia menyunggingkan senyum, ketika laki-laki itu mengambilkan dua potong singkong rebus dan meletakkan di piring seng dengan motif-motif kehijauan."Makan dulu, setelah ini Bapak mau nyari kayu bakar," ucapnya sembari menyodorkan piring ke pangkuan sang pemuda.Pemuda tampan itu mengangguk santun. "Terima kasih ya, Pak. Bapak juga sarapan. Nanti saya ikut cari kayu bakar ya, Pak," ucapnya meminta izin. "Boleh, kalau kamu mau. Tapi, anak kota sepertimu apa nggak takut kena duri? Kulitmu halus dan bersih begitu." Laki-laki itu terkekeh. Diamatinya penampilan pemuda tersebut. "Bagaimana lukamu, masih sakit?" tanyanya kemudian.Sang pemuda menunduk. Menyingkap kaosnya dan meraba bagian perutnya, kemudian tersenyum. "Sudah kering, Pak. Sudah nggak sakit." Dia menjawab dengan senang.Laki-laki di depannya mengangguk kemudian menghela napas panjang. Ada kesedihan tergambar di wajahnya yang mulai keriput.Dia sempat menggeleng sa