Mas Rendra yang meminta izin memejamkan matanya untuk sentuhan tanganku.Lelaki gagah yang tidak pernah memaksakan kehendaknya sendiri ini, seolah ingin mengingat bagaimana jemariku terasa di pipinya.Di dalam kamar yang baru kami tiduri lagi, dinding bisu yang katanya memiliki mata seolah bisa melihat bagaimana mas Rendra membiarkan jemariku meraba.Dan udara terasa berubah saat mas Rendra membuka matanya, meraih tanganku yang lalu ia kecupi tanpa kata.Seolah ia ingin berkenalan dengan tiap inci tubuhku yang memalingkan wajah saat Mas Rendra melepas kancing piyamanya satu-persatu, menunjukkan tubuh bagian atasnya setelah ia menjatuhkan atasan piyamanya sembarangan."Kenapa?" tanya pria yang suaranya terdengar makin berat dengan tatapan yang membuatku menelan ludahku sendiri."Runi." panggil lelaki gagah yang sentuhan jemarinya membuat pipiku terasa panas. Menjalar ke seluruh tubuh bahkan ujung jempolku yang tak lagi beralas."Entahlah...," jawabku yang benar-benar merasa tidak bias
Bara yang sengaja disulut akhirnya padam, perlahan meninggalkan tubuh kami yang nafasnya mulai teratur meski panas masih merajai.Bermanik-manik keringat berganti dengan senyum juga pelukan hangat diikuti kecupan ringan yang meninggalkan gelitik hangat."Kamu baik-baik saja?" ucap pria yang mendekapku sambil merapikan anak rambutku yang menempel di dahi.Aku hanya mengangguk lalu menempelkan pelipis pada dada bidang mas Rendra yang degubnya masih menyisakan debar keras.Tapi, tatapan Mas Rendra begitu lembut saat mata kami bertemu.Selembut usapan tangannya saat menyentuh bekas luka diantara dadaku lalu turun pada perut.Aku bisa melihat tak hanya bibir mas Rendra saja yang tersenyum tapi juga matanya."Anak-anak ayah, kalian baik-baik saja kan?"Terkadang, wajah cinta begitu sederhana, bukan?Aku hanya cukup membuka mata dan memperhatikan.Mencintai seseorang ... bagai mana rasanya?Aku pernah mempertanyakan kalimat itu pada diri.Dan kurasa, kini aku tahu jawaban dari tanya itu.Mun
****Saat duniaku dijungkir-balikkan dengan cara yang begitu menyakitkan. Menyerah bukan pilihan.Karena tangan kecil yang menyadarkan diri bahwa apa yang terjadi padaku bukan sekedar mimpi, hanya memiliki diriku.Tuhan... apa aku harus menyalahkanmu?*****Zras....Suara hujan bak buaian pengantar tidur membuat bocah perempuan yang matanya rapat terpejam, bergerak..Tapi, rasa kantuk luar biasa yang belum pernah ia rasakan, kembali membuat matanya terpejam.Meski hanya beberapa saat, karena ia merasa tidak nyaman dengan kasur yang terasa berbeda.Tidak lagi empuk, apalagi hangat.Justru keras dan terasa dingin. Seolah es menyentuh punggungnya yang terbaring.Satu...Dua...Tiga...Belum juga hitungan lima, matanya yang terbuka langsung melihat bocah lain yang lebih kecil terlelap di atas sofa. Begitu lelap namun nampak mengunyah dalam tidur.Mungkin sedang bermimpi makan ikan goreng kesukaan.Gambaran mimpi sang adik mampu ia bayangkan membuat bibir bocah perempuan itu tersenyum. Ta
JDAR!Gema petir menggelegar. Membuat dua orang paruh baya yang masih dikuasai kaget makin terkejut.Untung laju kendaraan mereka pelan jika tidak, "...." Rasanya wanita yang wajahnya jadi kehilangan rona itu bisa melihat tubuh menggigil di depan kendaraanya tergeletak di jalan dengan bersimbah darah.Sampai sang suami turun, tak perduli pada hujan yang membasahi pakaian."Eyang?""Kamu tunggu di dalam, Le."Meski ingin menolak, Rendra menurut. Ekor matanya mengikuti langkah sang eyang yang tubuhnya langsung basah di sapa hujan begitu keluar."Kamu tidak apa-apa, Ndok?"Yang ditanya tidak menjawab. Membuat wanita paruh baya yang tubuhnya langsung kuyup itu melirik sang suami yang juga menggeleng. Nampaknya mendapat respon sama dari bocah perempuan yang arah munculnya ia tatap.Hanya ada gelap, ia bahkan tak melihat adanya kelip lampu yang bisa membuatnya yakin ada perkampungan."Rumahmu di mana, Ndok?"Rasa penasaran yang memenuhi diri membuat tangannya terjulur, "kamu datang dari man
Kehebohan.Itu adalah kalimat yang paling mudah untuk menggambarkan suasana rumah sakit yang dipenuhi petugas polisi."Bisa jadi mereka berdua korban penculikan."Celetukan itu makin membuat keriuhan. Apalagi, bocah perempuan yang lukanya harus dijahit, tidak mengatakan apapun saat ditanyai.Mulutnya begitu rapat tertutup dengan pandangan yang seharusnya mampu dimaklumi.Tapi, beberapa petugas dengan memaksa bertanya. Mengatakan apa saja yang ingin mereka ketahui. Sampai sepasang pasutri yang bisa melihat jadi setaknyaman apa bocah perempuan itu, meminta petugas-petugas yang datang berhenti."Jangankan menjawab, mengatakan siapa namanya saja tidak." Petugas polisi yang menarik nafas dalam, melirik sepasang pasutri yang duduk dengan pandangan tidak tenang. Apalagi setelah mendengar apa saja kemungkinan-kemungkinan yang tercetus dalam otak untuk apa yang sudah terjadi pada bocah perempuan yang makin bisu, tidak ingin mengeluarkan kalimat apapun!"Apa Ibu dan Bapak benar-benar tidak tahu
"Meracuni istrinya lalu bunuh diri, betapa terkutuknya perbuatan Efendy.""Anak-anak mereka bahkan belum ditemukan setelah satu Minggu berlalu.""Menurut sumber yang enggan namanya di sebutkan, mengatakan memang sikap Efendy berubah setelah istrinya jatuh sakit.""Rumah tempat kejadian perkara masih ramai didatangi. Bahkan garis polisi yang terpasang tidak dihiraukan.""Sungguh terkutuk. Semoga ia terbakar di neraka."MATI SETELAH MENGHABISI SELURUH ANGGOTA KELUARGA! Judul artikel yang sama bahkan memenuhi surat-surat kabar. Foto lelaki yang tubuhnya sudah dikuburkan bersama sang istri dipampang begitu jelas.Alamat rumah yang seharunya dirahasiakan jadi sasaran orang-orang penasaran yang nampaknya tidak bisa memberi sedikit empati.Spekulasi berkembang bak bola liar berkat tulisan dan ucapan para pencari warta yang menimbulkan opini menyudutkan Efendy, lelaki yang mati itu.Publik dibuat gempar atas apa yang terjadi. Orang-orang yang tinggal di pelosok bahkan begitu tertarik untuk t
"Liat gak?""Gak liat aku.""Kalian gimana?""Nihil.""Coba cek ada lubang yang buat ngintip gak?""Tapi mereka beneran disini kan?""Tenang aja, informanku gak mungkin salah."Derap kaki yang nampaknya tak ingin pergi terdengar dari tiap penjuru pekarangan yang biasanya ramai dengan celoteh dan tawa bocah-bocah yang katanya kurang beruntung."Ui?"Bocah lelaki yang nampaknya tahu sang kakak sedang tak merasa baik menjulurkan tangan.Jemari kecilnya menyentuh pipi bocah perempuan yang bisa mendengar seramai apa rumah baru yang sudah mereka tinggali selama satu Minggu.Dari jendela kamar, ia bisa melihat orang-orang berseliweran dengan mata dipenuhi binar, tertawa. Bercengkrama, pun, mencari seolah pintu terlarang untuk mereka masuki."Ui, Ui."Bahkan, bocah lelaki yang tubuh kecilnya dipangku menunjuk jendela. Membuat sang kakak menoleh setelah melihat bayangan seseorang mengintip dari kaca.Perempuan dengan mikrofon di tangan pupilnya membesar saat matanya yang seakan meyakinkan siap
Luka memanjang terlihat saat perban yang menutupi dibuka dengan hati-hati. 12 jahitan yang menyatukan kulit dan daging tampak mengerikan. Apalagi hal itu ada pada dada bocah perempuan yang baru mengenal dunia selama 6 tahun. Waktu yang begitu singkat untuk merenggut tawa dan binar kehidupan sang bocah.Tapi, dokter Imron mengangguk setelah mengamati dengan cermat bekas sayatan yang dagingnya sudah mulai menyatu."Bagus, tidak ada infeksi."Lelaki dengan sneli yang tangannya mencetak noda pulpen berucap. Tangannya yang berbalut sarung tangan lateks kembali sibuk menutup luka sang bocah perempuan dengan perban baru."Minggu depan mungkin kita bisa melepas jahitanmu."Yang diajak bicara tidak menoleh. Bocah perempuan itu hanya fokus pada sang adik yang juga memperhatikannya.Jemari Santo bahkan meraih-raih seolah ingin cepat digendong.Dan saat pemeriksaan selesai, bocah lelaki itu tersenyum lebar dalam pelukan sang kakak."Ui, Ui."Nampaknya, gemar sekali Santo memanggil lalu menunjuk
Bara yang sengaja disulut akhirnya padam, perlahan meninggalkan tubuh kami yang nafasnya mulai teratur meski panas masih merajai.Bermanik-manik keringat berganti dengan senyum juga pelukan hangat diikuti kecupan ringan yang meninggalkan gelitik hangat."Kamu baik-baik saja?" ucap pria yang mendekapku sambil merapikan anak rambutku yang menempel di dahi.Aku hanya mengangguk lalu menempelkan pelipis pada dada bidang mas Rendra yang degubnya masih menyisakan debar keras.Tapi, tatapan Mas Rendra begitu lembut saat mata kami bertemu.Selembut usapan tangannya saat menyentuh bekas luka diantara dadaku lalu turun pada perut.Aku bisa melihat tak hanya bibir mas Rendra saja yang tersenyum tapi juga matanya."Anak-anak ayah, kalian baik-baik saja kan?"Terkadang, wajah cinta begitu sederhana, bukan?Aku hanya cukup membuka mata dan memperhatikan.Mencintai seseorang ... bagai mana rasanya?Aku pernah mempertanyakan kalimat itu pada diri.Dan kurasa, kini aku tahu jawaban dari tanya itu.Mun
Mas Rendra yang meminta izin memejamkan matanya untuk sentuhan tanganku.Lelaki gagah yang tidak pernah memaksakan kehendaknya sendiri ini, seolah ingin mengingat bagaimana jemariku terasa di pipinya.Di dalam kamar yang baru kami tiduri lagi, dinding bisu yang katanya memiliki mata seolah bisa melihat bagaimana mas Rendra membiarkan jemariku meraba.Dan udara terasa berubah saat mas Rendra membuka matanya, meraih tanganku yang lalu ia kecupi tanpa kata.Seolah ia ingin berkenalan dengan tiap inci tubuhku yang memalingkan wajah saat Mas Rendra melepas kancing piyamanya satu-persatu, menunjukkan tubuh bagian atasnya setelah ia menjatuhkan atasan piyamanya sembarangan."Kenapa?" tanya pria yang suaranya terdengar makin berat dengan tatapan yang membuatku menelan ludahku sendiri."Runi." panggil lelaki gagah yang sentuhan jemarinya membuat pipiku terasa panas. Menjalar ke seluruh tubuh bahkan ujung jempolku yang tak lagi beralas."Entahlah...," jawabku yang benar-benar merasa tidak bias
"Saya sungguh berharap, mereka akan menjadi lebih baik setelah keluar dari rumah nyaman yang memberikan kehidupan baru pada mereka, Nona Runi. Tapi, siapa yang bisa menebak manusia bukan?"Meski aku tahu ada sarkasme dalam kalimatnya, aku tidak membalas. Kecuali, "Mama Key, terimakasih banyak."Tidak ada balas yang kudengar.Setidaknya untuk beberapa detik. Karena setelah sunyi, tawa lepas jadi satu-satunya balasan mama Key yang mungkin tidak menyangka aku akan berterimakasih padanya.Rasanya, aku bahkan bisa melihat penggemar kopi itu menghapus air yang tercipta diantara mata pandanya."Senang berbisnis dengan anda, Nona Runi." Ucap mama Key setelah tawanya berhenti juga tarikan nafas beberapa kali."Secara personal saya sungguh menyukai anda. Bukan karena anda selalu membayar lebih. Tapi entahlah... saya sungguh menyukai anda, Nona Runi... uhuk!"Seolah baru sadar dengan kalimat yang ia ucapkan lalu merasa malu sendiri, mama Key terdehem dan kembali berucap, "saya akan memberi anda
Aku tahu pun paham, jika pilihanku yang lengannya sedang mas Rendra usap berpengaruh pada banyak orang, terutama bocah besar yang pipinya sekarang begitu tirus.Bak kulit pembungkus tulang seperti yang bapak katakan.Melihatnya seperti itu setiap hari, tidak mungkin tidak berpengaruh pada jiwa orang tua kami, sepasang pasutri yang mencintai kami seperti anak-anaknya sendiri.Bapak dan ibu, manusia yang membuat adikku tumbuh tanpa merasa berbeda tidak kekurangan apapun, bahkan mendapat cinta tanpa syarat dari keduanya ... 'aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana hati mereka merasa setiap melihat Santo.'Tapi, tidak bisa.Aku tidak mampu menuruti pinta mereka.Egoiskah diriku? Tentu saja. Hanya pembohong yang akan mengatakan tidak.Jadi, Nang, izinkan mbak egois ya.Mas Rendra menoleh padaku yang mendekat makin rapat. "Semua akan baik-baik saja, Runi."Tanpa menoleh aku mengeratkan pelukan pada lelaki yang kembali mengusap lenganku. Menarikku dalam pelukan yang tidak meninggalkan
Meskipun tidak melihat secara langsung bagaimana Lais kecil menjalani kehidupannya, aku bisa membayangkan jadi setidak percaya apa ia pada manusia lain.Dan balas budi.Nyatanya hal itu menjadi ganjalan bagi gadis yang dijual ayahnya seharga ratusan ribu untuk ganti bermain judi.Lais yang hidup dengan mengenal bisa seburuk apa perlakuan seorang ayah pada putri kandungnya sendiri, tidak mungkin tidak memiliki perasaan semacam itu pada adikku, bocah yang nyatanya mampu membuat Lais tertawa dalam kesal, memberi warna pada hari-hari Lais yang begitu mendengarkan tiap ucapan Santo.Tapi, "apa Santo pernah berkata ia menginginkan balasan untuk apa yang ia lakukan untukmu?"Lais yang menatapku hanya diam, sementara sesenggukannya membuat tanganku yang bebas, terjulur. Mengusap pipi basahnya meski percuma karena airmata Lais terus jatuh.Aku yang tahu Lais paham Santo memang tidak menginginkan balasan apapun darinya, menunjukkan senyum. Senyum yang membuat Lais menjatuhkan kepalanya padaku y
Aku yang melihat luka dalam mata mas Rendra berbalik, memeluknya erat.Melihatnya menyalahkan diri, menusukkan rasa perih dalam hatiku yang tahu bagaimana perasaan itu terasa.Aku yang selalu menyalahkan diri atas apa yang terjadi pada Santo paham, setidak nyaman apa jiwaku untuk rasa bersalah yang bercokol nyata dalam diri."Jangan meminta maaf, Mas." Rasanya aku ingin mengatakan kalimat itu begitu keras.Tapi, degup jantung mas Rendra yang bahkan mengatakan kalimat sama seolah mengaburkan suaraku yang justru mengecup mas Rendra yang pipinya kutangkup, lalu menatapi wajahnya yang hari ini memperlihatkan banyak ekspresi.Kaget pada perubahanku yang hatinya merasa lebih ringan, cemburu pada Keiro yang hanya kutemui sendiri, tapi yang paling tidak suka kulihat adalah wajahnya kali ini. Wajah saat mas Rendra menyalahkan diri untuk apa yang sudah terjadi.Nang, kita sungguh beruntung bertemu dengan mas Rendra, bukan?Dan mbak harap, meski hanya sedikit Mas Rendra juga merasa beruntung be
Disebut apa hubunganku dan Keiro?Entahlah.Aku tidak begitu memikirkan hal itu.Dan kurasa, lelaki yang matanya lurus menatap manik mataku pun berpikir hal sama.Apa Keiro memberi warna pada hari-hariku?Mungkin tidak ataukah iya, entahlah.Karena keberadaan Keiro tidak mempengaruhi bagaimana aku menjalani kehidupan monotonku setelah adikku memilih untuk meninggalkan rumah.Keiro hanya membuatku terbiasa dengan kehadirannya.Dan aku yang masih berdiri di tempatku, memperhatikan Keiro menatapi potret-potret dalam figura yang memang sengaja dipamerkan pada mata siapa saja.Sesekali bibir Keiro tersenyum dan mengangguk. Entah apa yang dipikirkan otak pintarnya itu.Sampai ia yang akhirnya sadar sudah tidak sendirian, berpaling dari potret-potret yang lekat ia pandangi lalu berdiri tegak.Senyum yang kuhafal tercetak setelah ia diam beberapa saat. Sementara suara langkahnya memecah kesunyian yang tercipta.Tanpa kata, Keiro yang menghampiriku langsung memeluk.Rasanya, jika aku tidak sed
Ucapanku membuat mas Rendra yang mulutnya terbuka menelan kalimat apapun yang ingin ia ucapkan. Mimpinya pasti sangat tidak menyenangkan tapi, "aku tidak akan pergi kemanapun."Ulangku pada lelaki gagah yang tidak menyukai mimpinya.Aku ingin mati, menyerah pada hidup. Itu adalah kebenaran.Tapi, keinginan yang sudah terlintas dalam diri itu urung kulakukan.Dan rasanya, aku jadi sangat menyesal saat melihat sorot mas Rendra yang begitu terpengaruh dengan mimpi yang ia miliki.Melihatnya, rasanya aku di sadarkan kembali pada siapa diriku.Aku adalah anak yang orang tuanya memilih kematian.Ayah dan ibu yang sudah terkubur, tidak melihat bagaimana aku dan adikku menjalani hidup.Sementara aku dan adikku yang keduanya tinggalkan, harus menjalani kehidupan karena waktu kami terus dan harus berjalan.Santo bisa tertawa pada dunianya karena ia masih terlalu kecil untuk paham pada perubahan dalam hidup kami yang harus berpindah-pindah tempat tinggal. Pun, mampu tertawa karena bagi Santo yan
"Saya sama bapak-bapak itu urusan sayalah, Mbak Runi." Mbak Imah yang menghapus mata basahnya berucap, "saya belanja dulu ya, Mbak, biar dapat yang segar-segar.""Ya, Mbak Im," balasku pada wanita yang keluar dari pintu samping yang belum lama ia masuki.Meninggalkanku yang membuka kulkas lalu mengeluarkan bahan-bahan yang kubutuhkan sebagai pelengkap nasi yang akan kugoreng.Telur, sosis, pokcay, dan aku mengembalikan wortel yang sudah kupegang ke dalam kulkas saat mengingat mas Rendra yang kurasa masih tidur.Aroma bawang putih yang harum langsung memenuhi dapur pun saat bawang merah dan potongan cabe kumasukkan ke dalam wajan berisi minyak dan bawang putih yang sudah menguning.Dua telur kumasukkan lalu ku aduk rata dan setelah bentuknya pas tak terlalu lembek lagi, aku memasukkan sosis kemudian pokcay yang jadi menyusut saat terkena panas wajan.Tidak butuh waktu lama, nasi yang sudah mbak Imah siapkan, kumasukkan bersama sejumput garam dan penyedap rasa yang terbuat dari bubuk ja