Zera masih terpaku di tempatnya, napasnya terengah-engah melihat sosok Marko yang berdiri di ambang pintu dengan pistol yang masih berasap. Tubuh Aria tergeletak di lantai, darah terus mengalir, sementara Dante berdiri di samping Zera dengan rahang mengeras, matanya tajam menatap Marko.Marko melangkah masuk dengan langkah penuh percaya diri, pistolnya tergantung di tangan seperti ancaman yang tenang namun mematikan. "Aku tak mengira harus turun tangan sendiri," katanya dengan nada santai, seolah apa yang baru saja terjadi hanyalah bagian kecil dari rencana besarnya.Dante menggeram pelan. "Apa yang kau inginkan, Marko?"Marko tersenyum tipis. "Kau tahu apa yang kuinginkan, Dante. Kendali. Dan Zera adalah kunci untuk itu."Zera mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. "Apa maksudmu? Aku tidak ada hubungannya dengan ini semua."Marko menatap Zera dengan pandangan yang seolah menembus batinnya. "Justru karena kau tidak tahu apa-apa, itulah yang membuatmu sangat
Ledakan yang mengguncang ruangan hanya menjadi awal dari kekacauan yang lebih besar. Debu memenuhi udara, membuat Zera batuk-batuk sambil mencoba mencari pijakan di tengah reruntuhan. Dante segera mendekatinya, meraih lengannya dengan kuat agar ia tidak terjatuh.“Zera, ikut aku!” Dante menariknya ke belakang, memimpin Zera keluar dari pusat ledakan.Sementara itu, Leo dan pria berjubah hitam saling berhadapan di tengah-tengah kepulan debu. Tatapan Leo tajam, siap untuk bertindak, tapi pria berjubah itu justru tersenyum tipis, seolah-olah dia sudah memprediksi semua yang terjadi.“Apa yang kau inginkan darinya?” Leo akhirnya bertanya dengan nada yang tenang namun penuh ancaman.Pria berjubah itu hanya terkekeh pelan. “Ini bukan soal apa yang kuinginkan darinya. Ini tentang apa yang dia bawa... dan siapa dia sebenarnya.”Zera yang mendengar percakapan itu merasa bulu kuduknya merinding. ‘Apa yang kubawa?’ pikirnya dalam hati. Dia tak pernah merasa memiliki sesuatu yang penting, apalagi
Zera menatap sosok Marko yang berdiri dengan angkuhnya di balik reruntuhan. Jantungnya berdetak kencang, rasa takut yang lama terkubur kini muncul kembali. Marko, pria yang pernah ia kenal begitu baik, kini terlihat lebih mengerikan, lebih gelap, dan lebih berbahaya dari sebelumnya. Sorot matanya penuh tuntutan, seolah mengklaim Zera sebagai miliknya, seperti sebuah barang yang tak bisa ia lepaskan.Dante bergerak cepat, berdiri di depan Zera, melindunginya dengan tubuhnya yang tegap. "Kau tidak akan menyentuhnya, Marko," suaranya terdengar dingin, tajam seperti pedang yang siap menusuk.Marko tertawa kecil, tidak terpengaruh sedikit pun oleh ancaman Dante. "Dante, kau seharusnya tahu, pertarungan ini sudah dimulai bahkan sebelum kau menyadarinya. Zera... sudah seharusnya bersama aku. Itu takdirnya."Zera menggelengkan kepalanya dengan keras, perasaan takut dan amarah bercampur aduk dalam dirinya. "Aku bukan milik siapa pun! Dan aku pasti bukan milikmu, Marko!"Namun, senyuman licik y
Zera terpaku di tempatnya, jantungnya berdegup kencang. Sosok misterius di ambang pintu perlahan melangkah maju, langkahnya tenang namun penuh kekuatan. Setiap langkahnya membuat ruangan seakan semakin menyempit, sementara tatapan dingin dari pria itu tertuju pada semua orang di ruangan, terutama Marko.Azrael, yang selama ini tampak tenang, kini menunjukkan sedikit perubahan dalam raut wajahnya. Dia tahu siapa yang datang. Dante juga terlihat lebih waspada, tangannya mengepal erat seolah bersiap menghadapi situasi terburuk.Marko, yang awalnya penuh dengan kepercayaan diri, kini menatap sosok tersebut dengan campuran keterkejutan dan ketegangan. “Kau…” ucapnya pelan, suaranya terdengar serak, seolah tercekik oleh kehadiran orang ini.Pria itu berhenti di tengah ruangan, tepat di antara Zera dan Marko, memperlihatkan wajahnya yang tajam dengan sorot mata yang mematikan. “Aku sudah terlalu lama membiarkan kalian bermain-main dengan takdirnya,” kata pria itu dingin. “Tapi ini sudah cuku
Saat kesadaran Zera perlahan kembali, kegelapan yang menyelimuti seakan semakin tebal. Suara-suara di sekitarnya terdengar samar, campuran antara bunyi langkah kaki yang bergegas dan bisikan yang tidak jelas. Tubuhnya terasa berat, dan ada rasa dingin yang menjalar dari ujung jemarinya hingga ke seluruh tubuh. Dia mencoba membuka mata, tapi pandangannya buram, cahaya dari suatu tempat jauh hanya seperti kilatan-kilatan di tepi penglihatannya.Perlahan, ia mulai bisa merasakan tanah dingin di bawahnya dan bau debu yang memenuhi udara. Di mana dia sekarang? Apa yang baru saja terjadi?"Zera," sebuah suara yang familiar memanggilnya, kali ini lebih lembut. Itu suara Azrael.Dia berusaha bergerak, tapi setiap bagian tubuhnya terasa nyeri. Tiba-tiba, ingatan tentang ledakan besar dan cahaya terang kembali menghantamnya, menyadarkannya akan situasi yang baru saja terjadi. "Apa… apa yang terjadi?" gumamnya lemah, suaranya hampir tak terdengar.Azrael mendekat, wajahnya terlihat lebih muram d
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Di antara suara mesin medis yang berdenyut lembut, pikiran Zera berlarian, mencoba merangkai potongan-potongan kejadian yang baru saja terjadi. Meskipun tubuhnya terasa lelah, benaknya terus aktif, memikirkan setiap percakapan, setiap tatapan yang diberikan Dante dan Azrael."Ini belum selesai."Kalimat itu terus terngiang dalam benaknya. Apa maksudnya? Zera tahu bahwa apa pun yang baru saja terjadi hanyalah permulaan dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang selama ini tersembunyi di balik senyuman Dante yang tenang, atau dalam sikap protektif Azrael. Dalam keheningan, Zera akhirnya bangkit dari tempat tidurnya, meski tubuhnya masih terasa lemah. Ia tak bisa terus menunggu jawaban datang kepadanya. Ada sesuatu yang harus ia ketahui—sesuatu yang tidak akan terungkap jika ia hanya berdiam diri di ruangan itu.Dengan langkah hati-hati, Zera membuka pintu dan melangkah keluar ke lorong yang sepi. Udara malam terasa dingin, menusuk kulitnya
Ruangan terasa semakin sunyi ketika Zera berdiri diam, menatap Dante yang kini berjarak beberapa langkah darinya. Udara di antara mereka seolah dipenuhi ketegangan yang tak terucapkan. Zera merasakan sesuatu yang berbeda dalam sikap Dante, tatapan matanya yang selalu penuh percaya diri kini membawa beban yang sulit dimengerti."Aku sudah lama menunggumu, Zera," kata Dante pelan, namun dalam suaranya ada ketegasan yang tak bisa diabaikan.Zera tidak menjawab. Napasnya masih terengah setelah apa yang baru saja terjadi, tapi kini pikirannya berkecamuk. Apa maksud Dante menunggu? Mengapa semuanya terasa begitu asing dan penuh teka-teki?“Aku tahu kau banyak bertanya-tanya, tapi ada hal-hal yang harus kau ketahui sekarang,” lanjut Dante. “Kita tidak punya banyak waktu.”Zera merasakan dadanya semakin sesak. Suasana tegang ini membuatnya waspada, namun di saat yang sama, ada keinginan kuat dalam dirinya untuk mendengar apa yang akan Dante sampaikan.Tiba-tiba, sebelum Dante dapat melanjutka
Zera berdiri mematung, mencoba memahami situasi yang begitu cepat berubah. Kegelapan di luar pintu baja terasa semakin mendekat, membawa ancaman yang tak kasatmata. Ruangan di mana mereka berdiri terasa begitu sempit, seakan dinding-dindingnya bergerak perlahan mendekat. Nafasnya tercekat, jantungnya berdetak kencang dalam keheningan yang semakin menyesakkan.“Dante, apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang mengejar kita?” tanyanya, suaranya bergetar namun dipaksakan untuk tetap tenang.Dante tidak langsung menjawab, dia malah berjalan perlahan mengelilingi ruangan, matanya tajam mengamati setiap sudut, seakan mencari sesuatu. “Yang di luar sana bukan sekadar pengejar biasa. Mereka tahu siapa aku… dan sekarang mereka tahu kau ada di sini juga.”Zera merasa ada sesuatu yang disembunyikan, tetapi tekanan situasi ini terlalu berat untuk dipecahkan dalam sekejap. Ia mendekat ke Dante, memaksa dirinya untuk tenang di tengah segala ketidakpastian.“Kalau begitu, katakan padaku, apa yang haru
Zeus melangkah dengan tenang, tatapannya penuh perhatian ketika ia melihat Dante dan Zera berdiri berdekatan. Untuk sesaat, senyum lembut terukir di bibirnya, menyaksikan bagaimana Dante—yang biasanya keras dan dingin—begitu lembut saat berada di samping Zera. Namun, di balik senyum itu, hati Zeus penuh keraguan. Informasi yang baru saja ia dapatkan tentang Zera bisa mengguncang hubungan yang sedang berkembang di antara mereka.Zeus berhenti beberapa langkah dari pasangan itu. Matanya menangkap bayangan kehangatan di antara mereka, dan dia merasa berat untuk mengganggu momen ini. Tapi sebagai tangan kanan Dante, dia tidak bisa berbohong atau menahan informasi yang penting. Dengan napas dalam, dia memutuskan untuk memanggil Dante."Tuan..." suara Zeus pelan, nyaris seperti bisikan, namun cukup untuk membuat Dante menoleh ke arahnya.Dante, yang masih dalam dekapan Zera, menatap Zeus dengan alis yang sedikit terangkat, menyiratkan pertanyaan tanpa perlu kata-kata. Namun, sebelum Dante b
Zeus mendengarkan dengan tenang, angin malam membawa aroma dedaunan yang segar, namun suasana terasa berat. Zera mengusap wajahnya, menatap langit seolah berharap menemukan jawaban di antara bintang-bintang yang tersebar di sana. “Aku merasa... kosong,” gumamnya, suaranya nyaris terserap angin. Zeus tidak segera merespons, membiarkan keheningan mengambil alih untuk sejenak. Ia menunggu, memberikan Zera ruang untuk berbicara lebih banyak jika ia mau. Ketika kata-kata itu tidak datang, Zeus akhirnya bersandar ke belakang, menatap dedaunan yang berayun di atas mereka.“Kosong seperti apa?” tanya Zeus akhirnya, suaranya rendah namun penuh perhatian.Zera menggigit bibirnya, matanya terpaku pada tangan yang kini menggenggam erat tepi bangku kayu. “Seperti... seolah aku kehilangan diriku. Sejak Dante masuk ke hidupku, aku terus berjuang melawan ketakutan. Aku tahu siapa dia. Aku tahu apa yang dia lakukan. Tapi entah kenapa, meski aku ingin menjauh, aku tak bisa...” Matanya mulai berkaca-ka
Dante berbalik, siap melangkah kembali ke kamar, pikiran masih berputar tentang apa yang baru saja terjadi. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok Zera berdiri di ujung lorong. Wajahnya tampak pucat, matanya memancarkan tatapan yang sulit diartikan. Ada ketakutan, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam—seolah ia tengah berjuang dengan perasaannya sendiri.“Zera...” Dante memanggil lembut, suaranya bergetar sedikit. Ia berharap bisa menghiburnya, memberikan rasa aman setelah semua yang terjadi. Namun, saat ia melangkah mendekat, Zera mundur selangkah, jarak di antara mereka semakin melebar. Dante tidak menyadari betapa mengenaskannya penampilannya. Darah mengalir dari tangannya, membasahi pakaiannya, dan beberapa tetes mengotori rambutnya. Di tengah semua itu, Zera melihat sosok yang pernah ia kagumi, tapi juga sosok yang kini menyebarkan ketakutan dalam hatinya. Mungkin, dia adalah ketua organisasi mafia, namun Zera belum sepenuhnya menyadari betapa berbahayanya Dante seba
Dante berjalan dengan langkah berat menuju ruangan di mana Zera berada. Pikiran tentang apa yang baru saja ia dengar dari Zeus masih berputar-putar di kepalanya. Ia tahu harus segera bicara dengan Zera, tapi setiap kali mencoba merangkai kata, hatinya menjerit ketakutan. Apa yang harus ia katakan? Bagaimana ia bisa mempertanyakan sesuatu yang begitu besar tanpa menghancurkan kepercayaan yang telah mereka bangun?Saat Dante memasuki ruangan, ia melihat Zera duduk di tepi ranjang, terlihat tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tahu Dante membawa beban berat. Seolah membaca gelagat dari wajahnya, Zera menatapnya tanpa kata, senyum tipis tergambar di wajahnya.“Ada yang ingin kau tanyakan, kan?” suaranya lembut, seolah ia sudah siap menerima apapun yang akan keluar dari mulut Dante.Dante mendekat, tapi bibirnya tak kunjung terbuka. Kata-kata yang ingin ia sampaikan tersangkut di tenggorokannya. Bagaimana ia bisa menuduh seseorang yang telah banyak memberiny
Di ruangan kantornya yang remang, Dante duduk di belakang meja besar, memandang tumpukan berkas yang seolah menambah beban pikirannya. Setelah insiden sebelumnya dengan Zera, pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Simbol tato di tubuh Zera masih menjadi misteri yang tak kunjung terpecahkan, dan dia tahu sesuatu yang jauh lebih besar sedang berlangsung di balik layar.Pintu ruangan terbuka pelan, memperlihatkan sosok Gael, tangan kanannya yang selalu bisa diandalkan. Raut wajahnya serius, tanda bahwa dia membawa kabar penting."Dante," Gael memulai dengan suara rendah dan tenang. "Aku punya informasi baru."Dante menegakkan duduknya, sorot matanya mengisyaratkan keseriusan. "Apa yang kau temukan?"Gael mendekat, meletakkan beberapa dokumen di atas meja, dan menarik napas dalam sebelum mulai menjelaskan. "Kami berhasil menemukan beberapa petunjuk terkait simbol tato di tubuh Zera. Ada keterkaitan kuat dengan organisasi yang dulunya dikenal melakukan eksperimen rahasia pada manusia."
Ketenangan yang baru saja tercipta terasa rapuh, seolah permukaan tenang air yang menyembunyikan badai besar di bawahnya. Zera masih merasakan detak jantungnya yang berdebar keras, namun pelukan hangat Dante memberinya rasa aman yang pelan-pelan menenangkan dirinya. Dia menyadari bahwa meskipun ketakutan dan kekacauan masih mengintai di balik pikirannya, ada kekuatan dalam kehadiran orang-orang di sekelilingnya.Zeus, yang telah terluka namun tetap berdiri dengan kokoh, memberi Zera dorongan yang tak terucap melalui tatapannya. Zera memandang Dante sejenak, lalu menundukkan kepala, bibirnya bergetar.“Aku tidak tahu bagaimana kalian bisa terus bersikap baik padaku...” gumam Zera lirih, matanya tertuju ke tanah. "Setelah apa yang kulakukan."Dante memeluknya lebih erat sejenak, lalu menatap langsung ke matanya. “Kau tidak sendirian dalam ini, Zera. Kau hanya butuh waktu, dan kami akan ada di sini untukmu, apa pun yang terjadi.”Namun, di balik kata-kata lembut dan pelukan yang menenan
Di tengah keriuhan medan pertempuran, Zera tiba-tiba terhenti, tubuhnya terasa dingin seakan es menyusup ke dalam pembuluh darahnya. Napasnya tersengal, seperti ada sesuatu yang mencekik tenggorokannya. Matanya terbelalak saat pandangannya berputar, tak lagi fokus pada musuh di depannya. Suara-suara keras di sekitarnya mulai memudar, dan yang tersisa hanyalah dengungan pekat di kepalanya.Ingatan-ingatan kelam dari masa lalu yang telah lama dia pendam seolah menyeruak ke permukaan, menghantamnya tanpa ampun.“Zera!” Dante memanggilnya, nadanya penuh peringatan. Namun, Zera tak mampu mendengarnya. Tangannya gemetar, pandangannya liar. Tiba-tiba, tanpa ia sadari, tangannya meraih pistol yang tergantung di pinggangnya. Ia mengangkatnya, gemetar, matanya tak lagi melihat Dante sebagai seseorang yang dikenalnya. Di matanya, yang berdiri di depannya sekarang adalah sosok mengancam, seseorang dari masa lalu yang ingin menghancurkannya.“Jangan dekati aku!” Zera berteriak, suaranya penuh ke
Zera berdiri diam, menatap Dante yang menunggu di depannya. Udara malam terasa dingin, tetapi lebih dingin lagi keheningan yang menyelimuti mereka berdua. Perlahan, Zera menarik napas panjang, seolah mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara.“Ada banyak yang kau tak tahu tentangku, Dante,” ucap Zera dengan suara pelan namun penuh makna. Matanya beralih menatap langit malam yang dipenuhi bintang. “Dan… mungkin tak perlu kau ketahui semuanya.”Dante tetap diam, menunggu Zera melanjutkan, dengan sabar meski rasa ingin tahunya semakin kuat.Zera menggenggam pagar balkon dengan erat, seolah mengambil kekuatan dari dinginnya besi di tangannya. “Aku… bukan hanya seseorang yang dijual oleh keluarganya untuk melunasi utang, bukan hanya seseorang yang tersesat di dunia gelap ini. Aku…” dia terhenti sejenak, menelan ludah, “Aku adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang kelam.”Dante masih mendengarkan tanpa menginterupsi, hanya matanya yang menajam, mencoba menangkap setiap
Dante duduk di samping tempat tidur Zera, menatap wajahnya yang pucat dalam diam. Malam telah berganti menjadi pagi, namun mata Dante tak kunjung terpejam. Dia telah menghabiskan beberapa hari terakhir mencari jawaban tentang Zera, dan meskipun banyak teka-teki yang mulai terkuak, Dante merasa ini bukan saatnya untuk membahasnya.Zera belum sepenuhnya sadar sejak pingsan tiba-tiba di ruang tamu. Dante tahu kondisinya lebih dari sekadar fisik—ada luka yang lebih dalam, yang tidak bisa disembuhkan dengan perawatan medis semata. Maka, ia menyingkirkan segala kekhawatiran dan informasi tentang tato itu, menguburnya sementara demi satu tujuan: melihat Zera pulih.Suara lembut dari angin yang menerpa tirai membuat suasana kamar terasa sunyi dan damai. Dante mengambil tangan Zera yang terkulai di samping tubuhnya, menggenggamnya dengan hati-hati, seolah takut menghancurkan sesuatu yang rapuh. “Zera,” bisiknya, meskipun tahu mungkin Zera tidak akan mendengarnya. “Aku di sini.”Dia tidak meng