47“Hei, kenapa tidak ada yang memberitahuku kalau Vivi sakit?” protes lelaki berkuncir saat memasuki ruangan rawat Davina dengan buket boneka dan berlembar-lembar uang kertas berwarna merah yang menghiasinya.Lelaki itu langsung menuju ranjang pasien dan menyerahkan buketnya ke arah gadis kecil yang tengah memainkan boneka cantik pemberian Abyasa.“Selamat sore cantik, Vivi sakit apa? Kenapa Papa Mahes ndak tahu Vivi sakit?”Elsa memutar bola mata mendengar ucapan pemuda yang kini berjongkok di sisi ranjang karena kursi di sana diduduki Abyasa.Sementara lelaki bercambang, sengaja tidak mau beranjak dari sana dan malah melipat tangan di dada.“Om Eca, bukan Papa. Papanya Vivi Papa Aby.”Jawaban Davina yang tegas tapi cadel, membuat Abyasa nyaris terbahak. Pun dengan Elsa yang geli mendengarnya.“Kok Om Eca? Papa Mahes, Sayang.” Mahesa protes dengan wajah sedih dan bibir yang dibuat maju.“Om Eca!” tegas Davina lagi tidak mau dibantah. “Bukan Papa.”“Ok, ok tapi jangan Om Eca, dong. O
48Abyasa mematikan sambungan telepon dan mengatakan jika si peneleponlah yang memutus sendiri teleponnya. Kemudian menonaktifkan dan menaruh lagi benda itu di tempat semula. Tentu saja ia tidak suka Adrian menelepon Elsa. Mau apa lagi?Tadi siang ia memang sudah meminta pengacara mengurus agar Adrian bisa dibebaskan. Semua ia lakukan karena Elsa, tidak lebih. Padahal bila menurutkan kata hati, ia ingin agar laki-laki itu selamanya mendekam di penjara. Selain efek jera, tentu saja agar saingannya berkurang satu.Entahlah, kenapa Elsa menjadi sangat menarik setelah menjadi janda. Padahal dulu saat masih gadis, ia hanya gadis tengil petakilan yang membuat siapa pun ilfeel walaupun hanya berdekatan dengannya. Kini, wanita itu menjelma menjadi wanita yang sangat menarik di matanya walaupun tetap imut dan menggemaskan.Kini, ia harus bersaing dengan mantan kakak ipar Elsa, juga sang adik yang terus saja menggoda wanita itu dengan tidak tahu malu. Belum lagi laki-laki lain yang mungkin Abya
49Elsa bergegas membuka pintu ruang kerja Abyasa, dan matanya langsung membola begitu disuguhi pemandangan di dalam sana. Entah sejak kapan mejanya berpindah ke sana, tepat di depan meja sang bos. Hanya saja miliknya berada di pojok yang bila seseorang membuka pintu tidak akan melihatnya jika tidak masuk ke dalam ruangan.Apa-apaan ini? Bahkan meja kerjanya berada di dalam ruangan yang sama dengan Abyasa. Bukankah itu artinya perutnya akan semakin mual karena terus disuguhi wajah itu?Sudah di rumah bertemu, di penjalanan sama-sama, dan kini?Elsa berbalik kasar berniat protes. Namun ….“Protes sekali, hari pernikahan aku majukan,” ujar Abyasa seraya berjalan melewati tubuh Elsa yang terpaksa menepi.Bibir Elsa yang sudah terbuka pun akirnya menutup kembali. Hanya matanya yang mengerjap cepat seperti orang cacingan. Untuk sementara waktu ia hanya mematung di ambang pintu dengan tatapan tak percaya tertuju wajah yang pagi ini sebenarnya terlihat segar dengan cambang yang baru dicukur.
50Dada Elsa bergerak turun naik sangat cepat menandakan emosinya benar-benar memuncak. Hidungnya bahkan kembang kempis dengan rona wajah merah padam. Kedua tanduk seolah mencuat dari kepalanya. Elsa siap meledakkan emosinya saat tahu jika dirinya tengah dikerjai.Pantas saja sejak tadi ada yang aneh. Lidah mereka mengecap rasa yang berbeda. Lalu, Abyasa meneguk kopi dari bagian gelas tepat di bekas bibirnya di mana noda lipstick tertinggal di sana. Namun, raut wajahnya yang serius membuatnya tidak berpikir hingga ke sana.Elsa siap meledakkan amarah, saat tiba-tiba teringat sesuatu. Matanya mengerjap mengingat awal-awal pernikahan pertama mereka, Abyasa sangat hobi marah-marah seperti ini. Hal sepele yang bisa diabaikan pun, membuatnya marah dan mengomel. Elsa ingat saat itu, wajah Abyasa yang memang baginya sudah tua, terlihat lebih tua dari usianya akibat sering marah-marah dan emosian. Jidatnya sering berkerut sehingga di matanya saat itu terlihat sangat menakutkan.Dulu, Elsa bah
51“Apa yang anda lakukan ….”Elsa memekik seraya menarik tangannya yang seketika mengalirkan sensasi aneh ke seluruh tubuh. Dadannya mendadak ramai dengan sesuatu meletup-letup. Sementara lututnya terasa lemas. Jika saja sedang berdiri, niscaya kedua kakinya tidak akan sanggup menopang tubuhnya.Elsa gegas melepaskan tangannya dari cekalan Abyasa, kemudian diusapkan ke bajunya seolah dengan begitu jejak yang ditinggalkan bulu-bulu itu akan hilang. Sayangnya sudah terlanjur menyebar ke seluruh tubuh hingga ia dengan terpaksa memaksa tubuhnya agar bisa berdiri dan pergi dari sana.Toilet adalah tujuannya saat ini. Walaupun dengan kaki yang terasa lemas, ia harus ke sana. Mencuci tangan bekas usapan paksa itu dengan sabun sampai bersih hingga tidak ada jejak apa pun yang tersisa di sana. Dan yang terpenting, menormalkan detak jantung yang seolah ingin melompat, juga lutut lemasnya. Mungkin dengan duduk sebentar di toilet, semua bisa kembali normal seolah tidak pernah terjadi apa pun.El
52Abyasa perlahan berdiri setelah bisa menguasai dirinya. Dengan tatapan nanar tak lepas dari wajah tenang itu, sang lelaki berjalan pelan menuju meja Elsa. Tidak ada kata yang keluar lagi mulutnya setelah kata maaf tadi. Maaf, menjadi kata tunggal yang ia lontarkan.Elsa bukan tidak tahu jika Abyasa berjalan ke arahnya. Ia tetap bersikap tenang dengan mengerjakan apa yang ia bisa.Satu yang membuat tenang, tatapan penyesalan lelaki itu yang terakhir ia lihat sebelum menekuri layar komputer, menandakan jika ia tidak akan berbuat macam-macam lagi. Karenanya Elsa tetap tenang di kursinya.Hanya saja, saat tubuh tinggi tegap itu sudah berada tepat di samping mejanya, Elsa dibuat tertegun karena tiba-tiba saja Abyasa menjatuhkan dirinya di lantai dengan lutut sebagai tumpuan. Lelaki itu bersimpuh tepat di samping kaki Elsa yang refleks merapat karena risih. Untung saja ia memakai celana panjang, bukan rok pendek seperti yang dipakai Moza.Ngomong-ngomong, Elsa tak urung kaget dengan aksi
53Elsa gegas mengusap kasar pipinya dengan beberapa lembar tisu. Abyasa melakukan hal sama, tetapi dengan punggung tangan. Lelaki itu menundukkan kepala. Sementara di depan pintu sana, Moza masih mematung dengan setumpuk berkas yang nyaris lepas dari tangannya. Wanita itu tidak tahu apa yang harus ia pikirkan. Sang bos yang ia kenal dingin, tidak pernah tersenyum, dan tegas dalam pekerjaan, tengah bersimpuh di kaki seorang wanita yang di matanya sangat biasa. Tidak ada istimewanya sama sekali.Moza mengerjap berkali-kali setelah menguasai dirinya, kemudian memutar tubuhnya hendak keluar. Namun, Abyasa yang menyadarinya gegas menahan.“Tetap di sana, Moza!” ujar lelaki itu masih di posisi sama. Berlutut di dekat kaki Elsa.Bukan hanya Moza yang heran, tapi Elsa juga dibuat terperangah oleh ucapan Abyasa.“Iya, Pak.” Moza menjawab sembari mengangguk dan memeluk semua berkas yang tadi nyaris terjatuh. Wanita itu siap menerima perintah.“Tetap di sana dan jadilah saksiku!” perintah Abyas
54“Boleh aku bergabung di sini?” tanya Elsa seraya menunjuk kursi kosong di antara tiga wanita itu. Kini, Elsa berdiri di samping meja Moza dan kawan-kawannya yang tidak menyangka wanita itu justru seberani itu mendatangi mereka.Moza dan kedua temannya saling pandang sebelum menatap kaku Elsa yang justru menyunggingkan senyum. Tidak ada raut tersinggung atau tengah kesal terhadap mereka padahal yakin jika wanita berpostur mungil itu mendengar nyinyiran mereka.“Kalau tidak ada yang menjawab di antara kalian, aku artikan mengizinkan,” lanjut Elsa lagi sembari mendudukkan diri di kursi kosong itu. Kemudian menaruh alat-alat makannya di meja. Membukanya, kemudian mulai menyuap lagi.Baru dua suapan makanan itu masuk mulutnya, Elsa mendongak dan mengedarkan pandangan kepada tiga wanita bermake up menor di hadapannya.“Kenapa? Ada apa dengan kalian? Kenapa tidak makan?” tanya Elsa dengan wajah sok polos. Tangannya menunjuk makanan di depan masing-masing yang mendadak diabaikan pemiliknya
138“Ka-mu beneran mau sama dia?” Elsa bertanya ragu dengan telunjuk menunjuk rendah Mahesa. Tatapan sangsi ia lemparkan antara Mahesa dan Nadia berganti-gantian.“Hei, pertanyaanmu itu, Kakak ipar. Memangnya kenapa denganku? Aku ini ganteng, lebih ganteng dari suamimu. Aku juga masih muda, paling tidak lebih muda dari suamimu. Aku juga punya pekerjaan mapan, walaupun tidak lebih tinggi jabatannya dari suamimu. Wanita yang aku pilih akan menjadi wanita yang sangat beruntung karena di luar sana ada banyak wanita yang aku tolak. Lalu, kenapa kalau wanita cantik ini juga memilihku?”Mahesa bertolak pinggang. Terlihat raut tersinggung yang sengaja dibuat-buat. Sejatinya ia tidak bisa marah terhadap Elsa walaupun cintanya berkali-kali ditolak wanita itu. Ia bahkan rela bermusuhan dengan kakaknya sendiri dan menghancurkan nama baiknya sendiri untuk melindungi Elsa. Namun, Mahesa menyadari jika perasaan tidak bisa dipaksakan, sebaik apa pun ia terhadap Elsa, tidak dapat membuat wanita itu ja
137“Vivi mengganggu saja,” omel Elsa pelan seraya menyusupkan wajah di sisi leher Abyasa.Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan panas malam ini saat pintu kamar diketuk dan pengasuh mengantar Davina yang menangis mencari ayah sambungnya. Untung saja mereka telah selesai hingga walaupun lelah dan sedikit terganggu, setidaknya tidak ada lagi yang mengganjal.Abyasa tersenyum. Tangannya mengusap kepala Elsa yang terbenam di salah satu sisi lehernya. Sementara yang sebelah lagi memeluk tubuh Davina yang juga memeluknya. Bahkan cegukan sisa isaknya masih terdengar sesekali.Tadi pengasuh mengantar Davina ke sana dalam kondisi nangis kejer. Mungkin sudah nangis lama akibat dilarang ke kamar orang tuanya.“Sabar, nanti kalau Vivi sudah pulas lagi kita lanjut babak dua, ya.” Abyasa berbisik nakal. Sesuangguhnya ia pun masih ingin mengulang lagi dan lagi. Bayangkan, selama bertahun-tahun hasrat itu terkubur karena trauma mendalam, kini setelah kembali masih harus ditahan.Mengh
136“Mas, kasihan ya, Mbak Lina. Dia dicerai saat mengandung hanya gara-gara Bang Adrian cemburu buta.”Malam ini Elsa menyandarkan kepalanya di dada sang suami. Mereka menikmati malam yang mengembuskan udara hangat di balkon kamar. Davina sudah lama terlelap berbantalkan salah satu paha Abyasa. Sementara di sisi lainnya, Elsa menempelinya dengan posesif.Tangan sang wanita sejak tadi tak diam. Terus saja memainkan bulu-bulu yang tumbuh di sepanjang rahang sang suami. Bulu-bulu yang rasanya baru kemarin ia cukur, kini sudah mulai mengintip lagi melalui posri-pori kulit sang suami.Sesuatu yang paling disukainya sejak dulu. Bahkan di hari pertama pernikahan pura-pura mereka, ia tidak tahan untuk tidak menyentuh bagian tubuh Abyasa yang satu itu. Dulu, bahkan Abyasa sampai mengamuk karena kelancangannya.“Bang Adrian memang keterlaluan. Menceraikan setelah sebelumnya menuduh dengan keji. Dipisahkan dari anaknya selama enam tahun memang hukuman yang paling pantas. Karena akhirnya ia meny
135“Maaf, Elsa. Sebenarnya Abang datang ke sini, untuk menyerahkan ini.” Adrian bicara setelah mendapat kesempatan. Tangannya menyodorkan sebuah map di atas meja.Mata Elsa yang masih nyalang, mengikuti gerakkan tangan Adrian hingga pupil matanya terfokus di map yang sangat familier baginya.“Ini milik Vivi, dan selamanya akan menjadi milik Vivi,” ujar Adrian lagi.Elsa mengalihkan pandangan dari map ke wajah lelaki yang sangat berbeda dengan kemarin. Jika kemarin penuh emosi dan meluap-luap. Tidak mau kalah setiap kali berdebat, bahkan terus saja bersitegang dengannya dan Abyasa. Namun kini terlihat sangat tenang dan teduh. Ia bahkan menunggu Elsa selesai meluapkan amarahnya. Ia hanya diam menyimak sampai Elsa lelah sendiri.“Maaf, seharusnya Abang melakukan ini sejak dulu. Seharusnya Abang tidak membiarkan kamu dan Vivi keluar dari rumah kalian. Rumah peninggalan David adalah hak Vivi, hak kamu juga. Tidak seharusnya kalian terlunta-lunta di luar sana sebelum kamu kembali menikah k
134Elsa mengusap sudut bibir Abyasa dengan tisu. Ia baru saja selesai menyuapi pria yang lagi-lagi sikap manjanya berlipat-lipat jika sedang sakit. Namun, tidak apa. Kali ini Elsa melayaninya dengan Ikhlas. Diurusnya lelaki itu dengan segenap hati walaupun ia jadi seperti mengurus dua bayi.Untunglah Davina tidak terlalu rewel. Meski harus mendapat perhatian lebih karena jiwanya masih terguncang atas semua peristiwa yang menimpanya. Namun, Davina termasuk anteng dan tidak banyak menuntut. Lebih sering berbaring memeluk Abyasa bahkan hingga tertidur. Seolah meminta perlindungan, gadis kecil itu sering berteriak jika tengah teringat kejadian kemarin. Dengan memeluk sang ayah sambung, ia seolah merasa tenang.Kebiasaan barunya saat akan tidur adalah memeluk ayah sambungnya itu, Abyasa tidak akan meninggalkannya hingga ia terlelap. Walaupun tubuhnya pun belum sepenuhnya pulih, Abyasa akan merelakan dirinya dan mengutamakan kenyamanan Davina.Keduanya melirik pintu kamar karena seseorang
133Kengerian tercipta saat mobil Porsche putih yang melesat cepat itu akhirnya melanggar tubuh kecil Irma dan menerbangkannya cukup jauh hingga mendarat di sebuah pot bunga besar setelah sebelumnya juga menghantam pohon palm di halaman.Elsa bahkan hanya bisa melebarkan mata dengan kedua tangan menutupi telinganya. Mulutnya tidak dapat mengeluarkan suara sedikit pun saking tidak percaya dengan yang baru saja terjadi di depan matanya.Tubuhnya lemas bagai dilolosi tulangnya, ambruk bersamaan tubuh Irma yang juga mendarat di paving. Elsa tidak tahu lagi apa yang ia rasakan saat ini. Dunia terasa berputar di matanya. Jungkir balik dan melayang-layang. Semua abu-abu dan hampir gelap saat teriakkan nyaring dari suara yang dikenalnya menyapa telinga.“Mama ….”Elsa menggelengkan kepala dengan kuat demi mendengar suara yang sumpah demi apa pun sangat dirindukannya. Segenap kesadaran yang beberapa detik lalu hampir terbang karena tak percaya dengan pandangannya, kini berusaha ia hadirkan lag
132“Ayo kita kembali ke rumah itu.” Abyasa berusaha bangkit, tapi gegas Elsa menahan. Sang suami masih terlihat kesakitan.“Kamu masih harus istirahat, Mas.” Elsa menggeleng sembari menahan tangan sang suami. Tatapan nanar bercampur haru berpendar di mata basahnya.“Elsa, keselamatan Vivi jauh lebih penting dari kesehatanku. Ayo kita kembali ke sana.”“Tidak, Mas. Kamu istirahat saja dulu, aku yang akan ke sana.”“Kamu?”“Iya. Ada ibu, sopir dan orangnya Pak Sudradjat yang menemani.”Abyasa menggeleng seraya tetap bangkit. “Kita pergi sama-sama. Di sini pun aku tidak akan bisa istirahat. Selain mengkhawarirkan Vivi, aku juga akan mengkhawatirkanmu, Elsa.”Elsa menggigit bibirnya. Sungguh ia tidak tahu apa yang harus dipikirkannya saat ini, tidak tega membiarkan Abyasa harus pergi di saat terluka, tapi juga keselematan Vivi sangat penting. Ia takut terjadi sesuatu dengan anak itu mengingat cerita sang ibu yang menyebut sang anak dikuasai anak majikannya yang autis.Akhirnya walaupun d
131Kening Elsa berkerut dalam, matanya memicing tajam. Ditatapnya tak percaya wanita yang memiliki garis wajah sama dengannya itu. Serius. Tidak terlihat gurat canda atau sedang berbohong.“Apa maksud Ibu? Jangan bercanda, Bu. Jangan membuat kepalaku semakin mendidih. Ibu tahu kan, kalau saat ini aku sedang sangat down.”“Ibu tidak bercanda, Elsa. Ibu memang yang membawa Vivi dari kolam renang kemarin.”Hening. Baik Elsa atau Irma tidak bersuara pasca kalimat Irma yang diucapkan dengan sangat serius barusan. Untuk beberapa lama Elsa larut dalam berbagai perasaan yang tak dapat digambarkan bahkan oleh dirinya sendiri.Apa ia harus percaya dengan kalimat sang ibu barusan? Tapi jika dipikir-pikir, bagaimana ibunya tahu Davina hilang sedangkan mereka baru saja bertemu lagi. Jika memang benar sang ibu melakukannya, kenapa? Apa motifnya?Benar dugaannya, kemuncukan Irma di sini disertai banyak misteri.Perlahan Irma yang sedari tadi hanya menatap kosong ke depan, mengalihkan pandangan ke a
130“Ibu?” Elsa bergumam lirih dengan tatapan memicing tak percaya melihat sosok wanita paruh baya berpostur mungil yang tengah berdebat dengan laki-laki yang seharian ini terus membuntuti dirinya dan Abyasa.Untuk beberapa lama ia mematung di tempatnya. Mencoba mencerna apa yang tengah terjadi hingga saat ia bisa menguasai dirinya, kakinya gegas mendekat.Sebelum Elsa tiba, wanita yang masih berdebat sudah menyadari kehadirannya, hingga ia yang menyongsong.“Elsa ….” Pekiknya seraya menghambur memeluk tubuh Elsa dengan kuat hingga nyaris terseret mundur beberapa langkah.Elsa mengerjap bingung. Sungguh, ia merindukan sang ibu yang sebenarnya sejak kecil mereka tidak hidup bersama dan baru bertemu saat ia menjadi istri David. Namun, entah kenapa saat dipertemukan dalam keadaan seperti ini, ia malah bingung seolah tidak suka bertemu lagi. Baginya, ada banyak misteri di balik pertemuan tak terduga ini.“Elsa, aku yakin jika ibumu ini yang sudah membawa Vivi. Buktinya ia tiba-tiba saja d