16“Bagaimana, Sa? Apa tawaran pak Abyasa kamu terima?”Elsa mengerjap mengingat pertanyaan sang ibu tadi sore. Masih di depan Abyasa dan Mahesa sebelum keduanya pulang.Abyasa menawari bekerja di kantornya. Entahlah, kenapa lelaki itu begitu gigih membantu dirinya dan keluarga. Padahal sikapnya pada lelaki itu jauh dari kata manis. Bahkan kebencian selalu kentara dari sikapnya. Namun, Abyasa seolah tidak kenal kata menyerah.Terkadang Elsa heran, terbuat dari apa hati lelaki itu. Walaupun selalu disuguhi sikap tidak ramah bahkan cenderung ketus, masih saja berbuat baik. Bahkan kini menawarinya pekerjaan.Elsa mendesah resah. Kemudian menatap wajah Davina yang sudah tertidur pulas di sampingnya setelah sebelumnya rewel.Terhitung setelah Abyasa dan Mahesa pulang, Davina yang mungkin belum terbiasa dengan rumah baru mulai rewel. Anak itu terus menangis meminta pulang ke rumah mereka.Davina yang terbiasa dengan rumah besar dan hidup nyaman di rumah peninggalan sang ayah, sepertinya tid
16“Siapa yang mengambil, Vivi?” tanya Abyasa ikut panik karena Elsa terus menangis. Kini, mereka dalam perjalanan menuju rumah kontrakan wanita itu.“Apa mantan ibu mertuamu lagi?” cecar lelaki di balik kemudi tidak sabar karena Elsa terus saja menangis.Abyasa memukul handle stir. Wajahnya memerah. Walaupun Elsa tidak mau berterus terang, ia yakin jika pelaku yang membawa Davina adalah mantan ibu mertua Elsa.Abyasa menyesali sesuatu. Namun, untuk saat ini tidak mungkin menyampaikan sesuatu itu karena akan membuat Elsa semakin sedih. Ia berjanji dalam hati akan membantu menyelesaikan masalah ini sampai tuntas. Sampai Elsa tidak harus lagi bertemankan kesedihan.Sungguh, hati Abyasa tidak tega melihat Elsa terus saja berteman dengan air mata dan kesedihan. Sudah cukup ia memberi derita dulu, kini rasanya ingin menebusnya agar wanita itu tak lagi akrab dengan tangis dan air mata.Elsa masih menangis di sampingnya seraya menutup wajah dengan kedua tangan dan Abyasa tidak tahu bagaimana
17Elsa berlari begitu keluar mobil. Di tujunya pagar rumah yang terkunci rapat, lalu menekan bell dengan tidak sabar. Bukan hanya itu, ia juga berteriak mengucap salam sembari memanggil sang ibu mertua.Abyasa yang menyusul, membantu menekan bell di tembok pagar berulang kali. Ia juga sama berteriak memanggil siapa pun yang mungkin berada di dalam rumah.Sayangnya, setelah beberapa lama mereka berusaha memanggil, tidak seorang pun keluar dari bangunan berhalaman luas dan asri itu. Rumah memang tampak sepi seolah tak berpenghuni.Elsa masih berusaha memanggil seseorang di sana dengan mengetuk-ngetukkan besi pengait pintu pagar saat Abyasa menghentikkan usahanya.“Sepertinya percuma, Dek. Tidak ada siapa pun yang keluar. Mungkin memang tidak ada orang di dalam,” ujaranya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman. Bahkan sebrang jalan ia pindai barangkali ada yang bisa ditanya. Namun, tidak terlihat siapa pun yang bisa dimintai bantuan.Tanpa mempedulikan ucapan Abyasa, Elsa ma
18Walaupun iba dan ikut khawatir, Abyasa tidak bisa berbuat banyak. Ia juga tidak bisa menenangkan wanita itu karena takut salah bicara yang berujung dengan menyakiti hati Elsa, atau membuatnya marah. Alhasil sang lelaki hanya menjalankan mobil dengan tetap tenang dan sesekali bertanya hal penting saja.“Kamu tetap tenang, ya. Kita sama-sama berdoa. Semoga Davina segera berkumpul lagi dengan kita.”“Kita?” Elsa bereaksi keras. Matanya melotot marah. Ia tidak suka ucapan Abyasa. Bahkan di saat seperti ini lelaki itu masih berpikiran tidak masuk akal.Sekejap Abyasa menyesali ucapannya. Tapi ia benar-benar keceplosan. Tujuan menghibur pun berisiko membuat mood wanita itu semakin buruk.“Maaf, maksudku berkumpul lagi denganmu dan kakek-neneknya di rumah. Dan aku juga kangen ingin bertemu dengan gadis lucu itu.” Lagi, Abyasa meralat ucapan agar tidak memperburuk suasana. Setelahnya lelaki itu meniupkan napas sembari tetap fokus menyetir.Selang setengah jam, mereka sampai di rumah yang b
20“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Irma seraya menyodorkan dua cangkir teh hangat. Satu untuk Elsa dan satu lagi untuk Abyasa. Raut cemas tak dapat disembunyikan di wajah wanita paruh baya itu. Ditatapnya Elsa dan Abyasa bergantian.Elsa tidak menjawab. Rasa kaget dan tentu saja shock membuatnya bahkan tidak bisa berbuat dan berpikir apa pun. Ia hanya diam pasrah saat Abyasa memeluk untuk melindunginya, juga saat lelaki itu membopongnya menuju mobil.Elsa benar-benar shock. Bagaimana warga mantan tetangganya begitu beringas melempari mereka dengan telur seolah sangat jijik dengan mereka berdua. Bahkan hingga Abyasa mengantarnya, ia masih saja belum bisa mengatakan apa pun.Kejadian tak terduga itu sudah satu jam berlalu. Elsa bahkan sudah mandi dan berganti pakaian. Pun dengan Abyasa yang kebetulan membawa baju ganti di mobilnya. Ia juga numpang membersihkan badannya di sana dengan jas dan pakaian lainnya ia buang karena noda telur yang teramat banyak.Abyasa menjadi yang paling b
21Elsa semakin mengerutkan kening. Apalagi ini? Kenapa jadi melaporkan Adrian? Elsa menggeleng untuk menghilangkan rasa pusing yang semakin menjadi.“Sudahlah, jangan ikut campur. Jangan buat kepalaku semakin pusing. Aku—”“Aku punya bukti kuat kejahatan Adrian, Kak. Aku sudah mengantonginya, dan aku ingin menunjukkannya di hari pernikahan kalian. Tapi kamu menolak dan keburu membatalkan pernikahan. Ayo kita laporkan saja, agar ibu mertuamu mengembalikan Vivi.”Elsa terdiam untuk beberapa waktu. Ditatapnya wajah serius itu. Ia tidak mengerti, kejahatan apa yang dimaksud Mahesa? Kedua kakak-berdik itu selalu menyinggung kejahatan Adrian. Namun, saat itu ia memang tidak peduli dan tidak ingin percaya karena ia pikir mereka tengah mengada-ngada untuk mengacaukan pernikahannya. Elsa sangat tahu jika Abyasa dan Mahesa tidak suka ia menikah dengan Adrian.Elsa memperhatikan wajah pemuda itu. Tidak ada gurat bercanda atau tanda-tanda ketengilannya sedang kambuh. Namun, baginya sulit memperc
22Elsa berbalik menghadap Adrian, hingga tampak wajah itu memucat. Perlahan wanita berusia dua puluh empat tahun itu mendekat. Tatapannya tak lepas dari wajah sang kakak ipar. Bahkan nyaris tanpa kedip. Rasa tak percaya berbaur dengan kekecewaan mendalam menciptakan tatapan kelam.Bagaiamana tidak? Ia yang sangat memperacayai laki-laki itu tidak pernah terlibat apa pun dengan ibunya, ia yang mempercayakan laki-laki itu untuk menyelesaikan semuanya. Ia yang menganggap jika Adrian sama baiknya dengan mendiang suaminya, kini, semuanya terpatahkan karena sebuah rekaman yang Mahesa perlihatkan.Tatapan itu belum beralih. Bahkan semakin intens dan tajam. Kekecewaan semakin kentara. Bibir Elsa bergetar saat berusaha mengeluarkan suara.“Abang?” ujarnya dengan sangat parau dan nyaris tak terdengar. Wajah itu mendongak dengan jarak lumayan dekat. Tinggi Elsa yang hanya sebatas dada Adrian membuatnya harus menengadah.“Apa ini, Bang? Apa maksudnya ini?” lanjut Elsa dengan menahan mata yang per
23“Ma, aku mau menyerahkan diri ke polisi.”Elsa menatap lelaki yang tengah bicara di telepon. Mata dan telinganya dibuka lebar-lebar takut jika pembicaraan Adrian dengan ibunya di telepon terlewatkan.Awalnya, ia ingin langsung melaporkan perbuatan Adrian. Bukan hanya karena perbuatannya, tapi agar ibunya segera mengembalikan Davina. Namun, Adrian melarangnya. Ia siap mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan menyerahkan diri dan sebelumnya ingin meminta sang ibu agar mengembalikan Davina.Adrian sengaja menelepon Dinar di depan Elsa agar wanita itu percaya, karena terlihat Elsa sudah tidak lagi respect terhadapnya.“Kamu bicara apa Adrian?” terdengar pertanyaan di seberang yang Elsa yakini itu ibu mertuanya. Aneh memang, jika dirinya yang menghubungi nomornya tidak aktif, tetapi saat Adrian yang menelepon, mereka lagsung terhubung. Itu berarti Adrian menghubungi nomor yang lain. Nomor baru atau ibunya memiiki nomor lebih dari satu.“Ma, aku akan mempertanggungjawabkan perbuatanku
138“Ka-mu beneran mau sama dia?” Elsa bertanya ragu dengan telunjuk menunjuk rendah Mahesa. Tatapan sangsi ia lemparkan antara Mahesa dan Nadia berganti-gantian.“Hei, pertanyaanmu itu, Kakak ipar. Memangnya kenapa denganku? Aku ini ganteng, lebih ganteng dari suamimu. Aku juga masih muda, paling tidak lebih muda dari suamimu. Aku juga punya pekerjaan mapan, walaupun tidak lebih tinggi jabatannya dari suamimu. Wanita yang aku pilih akan menjadi wanita yang sangat beruntung karena di luar sana ada banyak wanita yang aku tolak. Lalu, kenapa kalau wanita cantik ini juga memilihku?”Mahesa bertolak pinggang. Terlihat raut tersinggung yang sengaja dibuat-buat. Sejatinya ia tidak bisa marah terhadap Elsa walaupun cintanya berkali-kali ditolak wanita itu. Ia bahkan rela bermusuhan dengan kakaknya sendiri dan menghancurkan nama baiknya sendiri untuk melindungi Elsa. Namun, Mahesa menyadari jika perasaan tidak bisa dipaksakan, sebaik apa pun ia terhadap Elsa, tidak dapat membuat wanita itu ja
137“Vivi mengganggu saja,” omel Elsa pelan seraya menyusupkan wajah di sisi leher Abyasa.Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan panas malam ini saat pintu kamar diketuk dan pengasuh mengantar Davina yang menangis mencari ayah sambungnya. Untung saja mereka telah selesai hingga walaupun lelah dan sedikit terganggu, setidaknya tidak ada lagi yang mengganjal.Abyasa tersenyum. Tangannya mengusap kepala Elsa yang terbenam di salah satu sisi lehernya. Sementara yang sebelah lagi memeluk tubuh Davina yang juga memeluknya. Bahkan cegukan sisa isaknya masih terdengar sesekali.Tadi pengasuh mengantar Davina ke sana dalam kondisi nangis kejer. Mungkin sudah nangis lama akibat dilarang ke kamar orang tuanya.“Sabar, nanti kalau Vivi sudah pulas lagi kita lanjut babak dua, ya.” Abyasa berbisik nakal. Sesuangguhnya ia pun masih ingin mengulang lagi dan lagi. Bayangkan, selama bertahun-tahun hasrat itu terkubur karena trauma mendalam, kini setelah kembali masih harus ditahan.Mengh
136“Mas, kasihan ya, Mbak Lina. Dia dicerai saat mengandung hanya gara-gara Bang Adrian cemburu buta.”Malam ini Elsa menyandarkan kepalanya di dada sang suami. Mereka menikmati malam yang mengembuskan udara hangat di balkon kamar. Davina sudah lama terlelap berbantalkan salah satu paha Abyasa. Sementara di sisi lainnya, Elsa menempelinya dengan posesif.Tangan sang wanita sejak tadi tak diam. Terus saja memainkan bulu-bulu yang tumbuh di sepanjang rahang sang suami. Bulu-bulu yang rasanya baru kemarin ia cukur, kini sudah mulai mengintip lagi melalui posri-pori kulit sang suami.Sesuatu yang paling disukainya sejak dulu. Bahkan di hari pertama pernikahan pura-pura mereka, ia tidak tahan untuk tidak menyentuh bagian tubuh Abyasa yang satu itu. Dulu, bahkan Abyasa sampai mengamuk karena kelancangannya.“Bang Adrian memang keterlaluan. Menceraikan setelah sebelumnya menuduh dengan keji. Dipisahkan dari anaknya selama enam tahun memang hukuman yang paling pantas. Karena akhirnya ia meny
135“Maaf, Elsa. Sebenarnya Abang datang ke sini, untuk menyerahkan ini.” Adrian bicara setelah mendapat kesempatan. Tangannya menyodorkan sebuah map di atas meja.Mata Elsa yang masih nyalang, mengikuti gerakkan tangan Adrian hingga pupil matanya terfokus di map yang sangat familier baginya.“Ini milik Vivi, dan selamanya akan menjadi milik Vivi,” ujar Adrian lagi.Elsa mengalihkan pandangan dari map ke wajah lelaki yang sangat berbeda dengan kemarin. Jika kemarin penuh emosi dan meluap-luap. Tidak mau kalah setiap kali berdebat, bahkan terus saja bersitegang dengannya dan Abyasa. Namun kini terlihat sangat tenang dan teduh. Ia bahkan menunggu Elsa selesai meluapkan amarahnya. Ia hanya diam menyimak sampai Elsa lelah sendiri.“Maaf, seharusnya Abang melakukan ini sejak dulu. Seharusnya Abang tidak membiarkan kamu dan Vivi keluar dari rumah kalian. Rumah peninggalan David adalah hak Vivi, hak kamu juga. Tidak seharusnya kalian terlunta-lunta di luar sana sebelum kamu kembali menikah k
134Elsa mengusap sudut bibir Abyasa dengan tisu. Ia baru saja selesai menyuapi pria yang lagi-lagi sikap manjanya berlipat-lipat jika sedang sakit. Namun, tidak apa. Kali ini Elsa melayaninya dengan Ikhlas. Diurusnya lelaki itu dengan segenap hati walaupun ia jadi seperti mengurus dua bayi.Untunglah Davina tidak terlalu rewel. Meski harus mendapat perhatian lebih karena jiwanya masih terguncang atas semua peristiwa yang menimpanya. Namun, Davina termasuk anteng dan tidak banyak menuntut. Lebih sering berbaring memeluk Abyasa bahkan hingga tertidur. Seolah meminta perlindungan, gadis kecil itu sering berteriak jika tengah teringat kejadian kemarin. Dengan memeluk sang ayah sambung, ia seolah merasa tenang.Kebiasaan barunya saat akan tidur adalah memeluk ayah sambungnya itu, Abyasa tidak akan meninggalkannya hingga ia terlelap. Walaupun tubuhnya pun belum sepenuhnya pulih, Abyasa akan merelakan dirinya dan mengutamakan kenyamanan Davina.Keduanya melirik pintu kamar karena seseorang
133Kengerian tercipta saat mobil Porsche putih yang melesat cepat itu akhirnya melanggar tubuh kecil Irma dan menerbangkannya cukup jauh hingga mendarat di sebuah pot bunga besar setelah sebelumnya juga menghantam pohon palm di halaman.Elsa bahkan hanya bisa melebarkan mata dengan kedua tangan menutupi telinganya. Mulutnya tidak dapat mengeluarkan suara sedikit pun saking tidak percaya dengan yang baru saja terjadi di depan matanya.Tubuhnya lemas bagai dilolosi tulangnya, ambruk bersamaan tubuh Irma yang juga mendarat di paving. Elsa tidak tahu lagi apa yang ia rasakan saat ini. Dunia terasa berputar di matanya. Jungkir balik dan melayang-layang. Semua abu-abu dan hampir gelap saat teriakkan nyaring dari suara yang dikenalnya menyapa telinga.“Mama ….”Elsa menggelengkan kepala dengan kuat demi mendengar suara yang sumpah demi apa pun sangat dirindukannya. Segenap kesadaran yang beberapa detik lalu hampir terbang karena tak percaya dengan pandangannya, kini berusaha ia hadirkan lag
132“Ayo kita kembali ke rumah itu.” Abyasa berusaha bangkit, tapi gegas Elsa menahan. Sang suami masih terlihat kesakitan.“Kamu masih harus istirahat, Mas.” Elsa menggeleng sembari menahan tangan sang suami. Tatapan nanar bercampur haru berpendar di mata basahnya.“Elsa, keselamatan Vivi jauh lebih penting dari kesehatanku. Ayo kita kembali ke sana.”“Tidak, Mas. Kamu istirahat saja dulu, aku yang akan ke sana.”“Kamu?”“Iya. Ada ibu, sopir dan orangnya Pak Sudradjat yang menemani.”Abyasa menggeleng seraya tetap bangkit. “Kita pergi sama-sama. Di sini pun aku tidak akan bisa istirahat. Selain mengkhawarirkan Vivi, aku juga akan mengkhawatirkanmu, Elsa.”Elsa menggigit bibirnya. Sungguh ia tidak tahu apa yang harus dipikirkannya saat ini, tidak tega membiarkan Abyasa harus pergi di saat terluka, tapi juga keselematan Vivi sangat penting. Ia takut terjadi sesuatu dengan anak itu mengingat cerita sang ibu yang menyebut sang anak dikuasai anak majikannya yang autis.Akhirnya walaupun d
131Kening Elsa berkerut dalam, matanya memicing tajam. Ditatapnya tak percaya wanita yang memiliki garis wajah sama dengannya itu. Serius. Tidak terlihat gurat canda atau sedang berbohong.“Apa maksud Ibu? Jangan bercanda, Bu. Jangan membuat kepalaku semakin mendidih. Ibu tahu kan, kalau saat ini aku sedang sangat down.”“Ibu tidak bercanda, Elsa. Ibu memang yang membawa Vivi dari kolam renang kemarin.”Hening. Baik Elsa atau Irma tidak bersuara pasca kalimat Irma yang diucapkan dengan sangat serius barusan. Untuk beberapa lama Elsa larut dalam berbagai perasaan yang tak dapat digambarkan bahkan oleh dirinya sendiri.Apa ia harus percaya dengan kalimat sang ibu barusan? Tapi jika dipikir-pikir, bagaimana ibunya tahu Davina hilang sedangkan mereka baru saja bertemu lagi. Jika memang benar sang ibu melakukannya, kenapa? Apa motifnya?Benar dugaannya, kemuncukan Irma di sini disertai banyak misteri.Perlahan Irma yang sedari tadi hanya menatap kosong ke depan, mengalihkan pandangan ke a
130“Ibu?” Elsa bergumam lirih dengan tatapan memicing tak percaya melihat sosok wanita paruh baya berpostur mungil yang tengah berdebat dengan laki-laki yang seharian ini terus membuntuti dirinya dan Abyasa.Untuk beberapa lama ia mematung di tempatnya. Mencoba mencerna apa yang tengah terjadi hingga saat ia bisa menguasai dirinya, kakinya gegas mendekat.Sebelum Elsa tiba, wanita yang masih berdebat sudah menyadari kehadirannya, hingga ia yang menyongsong.“Elsa ….” Pekiknya seraya menghambur memeluk tubuh Elsa dengan kuat hingga nyaris terseret mundur beberapa langkah.Elsa mengerjap bingung. Sungguh, ia merindukan sang ibu yang sebenarnya sejak kecil mereka tidak hidup bersama dan baru bertemu saat ia menjadi istri David. Namun, entah kenapa saat dipertemukan dalam keadaan seperti ini, ia malah bingung seolah tidak suka bertemu lagi. Baginya, ada banyak misteri di balik pertemuan tak terduga ini.“Elsa, aku yakin jika ibumu ini yang sudah membawa Vivi. Buktinya ia tiba-tiba saja d