Lelaki itu mengucapkan salam dengan hormat dan seketika semua orang yang hadir di rumah Anisa terdiam dan menatapnya keheranan. Pak Jaka segera berdiri dan menuju ke arah pintu depan seraya memandang pemuda tegap itu dengan serius. "Siapa nama Mas? Kenapa mencari anak saya?""Saya ...""Bang, tunggu, Bang!" Amelia tampak berlari dari mobil menyusul lelaki dan menyapa pak Jaka. "Om, assalamualaikum. Lailanya ada?" Pak Jaka mengerutkan dahi nya. "Oh, kamu kan Amelia. Duduk dulu, Om panggil kan Laila dulu ya."Pak Jaka lalu kembali ke dalam rumahnya meninggal Amelia dan lelaki berpenampilan parlente itu di ruang tamu bersama keluarga dokter Marzuki dan tamu lain. "Ya Om, terimakasih."Amelia lalu masuk ke dalam rumah Laila dan ikut duduk di hadapan Anisa dan Fatih. Mereka bersalaman sekilas. Anisa memperhatikan Amelia dengan seksama. "Apa kamu temannya Laila?""Ya mbak. Saya teman sebangku nya Laila. Nama saya Amelia. Nama mbak, Anisa kan?" tanya Amelia tersenyum. "Lho, kamu kok t
'Duh, meskipun aku sungkan dan malu pada Amelia dan kakaknya, tapi aku tetap harus duduk di kursi depan, namanya juga numpang, aku harus menurut pada yang punya mobil kan?' batin Laila. "Hm, baiklah. Aku duduk di depan ya."Laila pun duduk dengan tenang dan mobil pun melaju membelah jalan raya. Laila berusaha untuk tetap fokus menatap ke arah jalan raya. Berbeda dengan Amelia yang langsung merebahkan diri dan meluruskan kaki di jok tengah. Amelia pun menggunakan bantal yang dibawa nya dan dengan mudah nya tertidur lelap. Laila hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat Amelia yang sudah tertidur lelap. Sedangkan lelaki di samping nya, tampak fokus mengemudi. Suasana hening sejenak. Laila dan Azzam sibuk dengan pikiran masing-masing. "Apa kamu mau mendengarkan musik?" tanya Azzam melirik dengan santai ke arah Laila. "Boleh, kak. Agar tidak sepi.""Kamu mau lagu yang mana?" tanya Azzam. Tangan nya mulai mera ba dashboard mobil nya. "Hm, yang penting yang bagus dan penu
"Bu, Laila dan Amelia lolos seleksi ujian mata pelajaran!" seru Laila dengan riang saat dia menelepon ibunya. "Oh, ya benarkah? Wah, Alhamdulillah!""Iya bu! Laila bisa kuliah di sini. Sekarang Laila akan berangkat ke kampus karena ada psikotes dan tes kesehatan. Jadi nanti setelah psikotes dan tes kesehatan lulus, besok bisa daftar ulang."Laila menjeda kalimatnya, tidak enak untuk mengatakan pada sang ibu kalimat selanjutnya. "Bu, tentang daftar ulang, apa boleh Laila pakai dari uang yang ada di ATM yang Laila pegang?" tanya Laila dengan nada lirih. "Tentu saja. Kamu bisa pakai uang yang ada di ATM kamu untuk semua kebutuhan kamu. Kalau pengen jajan atau beli baju, kamu juga bisa pakai ATM dari ibu. Kalau habis, kamu bilang saja. Nanti bapak kamu yang akan mengirim uangnya.""Huhuhu, terima kasih, Bu. Maaf karena telah merepotkan bapak dan ibu," ucap Laila dengan mata berkaca-kaca. "Hei, kamu ini kenapa sih, La? Membiayai anak kan sudah kewajiban orang tua. Kamu tidak usah sungk
Wajah Laila memucat melihat nama dokter Marzuki muncul di layar ponselnya. Dicubitnya lengan dan pipinya untuk memastikan bahwa yang dia bukan sedang bermimpi atau berhalusinasi. "Aaawww!"Laila mengaduh saat merasa cubitannya sakit. Amelia mendelik melihat nya. "Ada apa sih? Kamu kenapa?"Laila dengan tangan gemetar dan jantung berdebar lebih kencang mengulurkan ponselnya ke arah Amelia. Dan Amelia pun mendelik. "Hah? Kamu dapat jackpot! Angkat teleponnya, La! Buruan angkat! Kesempatan emas ini! Jangan lupa nyalakan loud speaker!" seru Amelia tak kalah bersemangat. Laila memang tidak pernah meminta nomor telepon dokter Marzuki pada sang pemilik atau pun pada bapaknya. Gadis itu tentu saja langsung mengirimkan nomor ponsel dokter Marzuki dari ponsel bapak nya ke ponsel nya tanpa ijin. Karena kalau meminta ijin terlebih dahulu, pasti bapak nya akan menolaknya. Laila segera menekan layar hijau lalu mengaktifkan pengeras suara. "Ha-halo, assalamualaikum," sapa Laila dengan suara se
Laila dan Amelia berpandangan saat dokter Marzuki mengulurkan cup es krim. Amelia paling tahu diantara semua orang yang ada di hotel bahwa Laila ma ti-ma tian menahan diri untuk tidak salto sambil koprol saat ini. Laila nyengir saja sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia lalu mengucapkan terima kasih seraya menerima cup es krim dari tangan dokter Marzuki. "Oh, ya Mas. Tolong dong mundur dulu. Jangan terlalu maju!" ujar Laila dengan mengulurkan tangan kanannya ke arah dokter Marzuki. Dokter Marzuki mengerut kan dahi dan menatap Laila dengan heran. "Memang nya kenapa saya nggak boleh maju, La?""Hm, karena mas Marzuki itu ganteng nya kelewatan," sahut Laila nyengir. Dokter Marzuki tertawa renyah. Laila terpaku. Dalam hati dia merasa heran, apakah es batu di hati dokter Marzuki sudah mulai mencair. "Kamu bisa saja, La.""Mas Marzuki dulu kan yang menggoda saya," sahut Laila tersenyum. Dia mencoba melihat reaksi dokter Marzuki setelah memanggil nya dengan sebutan 'Mas'. "
"Mas Azzam mau ke hotel Astin untuk bertemu dengan ku?""Tentu saja. Ini kan malam Minggu. Aku libur kerja dan sedang tidak ada tugas jaga," sahut Azzam. "Baiklah. Kita ngobrol di lobi atau taman hotel saja. Aku tidak bisa jalan-jalan boncengan sama kamu, Mas. Keluargaku tidak memperbolehkan aku jalan-jalan dengan laki-laki non muhrim.""Oh, baguslah kalau begitu. Kamu bisa menjadi calon istri yang tidak tersentuh laki-laki lain," sahut Azzam membuat Laila mendelik. "Hm, baiklah. Jadi mau ke sini jam berapa?""Sekarang juga bisa. Masih jam delapan malam. Atau kalau kamu belum makan malam, kita makan di restoran saja. Aku akan mentraktir mu, La. Sekalian saja aku ingin ngobrol juga sama bapak dan ibumu, kalau diperbolehkan."'Astaga, mas Azzam ini kenapa justru bilang seperti itu? Apa dia nggak merasa kalau Amelia itu mencintai nya?' batin Laila. "Bapak dan ibu istirahat, Mas. Mungkin sudah tidur. Capek karena banyak tamu sejak siang.""Oh gitu, apa kamu juga capek? Atau jangan-jan
"Semangat Laila! Kamu harus bisa menjadi mak comblang untuk Amelia dan mas Azzam!" gumam Laila bersemangat. Gadis itu langsung menuruni anak tangga hotel dan menuju ke lobi. Prajurit yang baru menjadi tamtama itu melihat kedatangan Laila dengan wajah sumringah."Malam, La. Kamu cantik sekali!" seru Azzam melihat Laila dengan wajah berseri-seri. Laila hanya tersenyum kecil dan mengangguk pada Azzam. Lelaki itu mengulurkan tangannya ke arah Laila. Sejenak gadis itu ragu untuk menjabat tangan Azzam. Akhirnya Laila pun mengulur kan tangannya dan menyalami Azzam. "Apa kamu sudah makan?" tanya Azzam. Laila menggelengkan kepalanya. "Terakhir makan tadi pagi sih. Siang dan malam cuma minum air putih," sahut Laila. Dia memang tipe kalau sedang bahagia tidak pernah merasakan lapar sama sekali. Berbeda dengan saat Laila sedih. Bawaannya langsung selalu ingin makan. "Kamu kenapa nggak makan? Apa sakit? Atau banyak pikiran?" tanya Azzam. Perlahan tangan Azzam terangkat dan hendak menyentuh k
"Apa kamu bilang? Amelia mencintai ku?"Laila menatap ke arah Azzam dan mengangguk mantap. "Benar, Mas. Amelia mencintai mu. Dari dulu, tapi tepatnya sejak kapan, aku tidak tahu. Jadi, saya mohon dengan segala kerendahan hati pada mas Azzam agar mas Azzam lebih memperhatikan Amelia daripada saya."Azzam terdiam dan memejam matanya sejenak lalu membuka matanya. "Ini tidak mungkin.""Tidak mungkin bagaimana maksud nya, Mas? Amelia sudah menceritakan semuanya padaku lho. Masa mas Azzam masih nggak percaya?!""Kamu pasti mengatakan hal ini karena ingin membuatku berhenti mencintai mu kan? Agar kamu bisa bebas bersalah dengan lelaki lain yang kau cintai?""Kalau mas Azzam nggak percaya, aku bisa menelepon Amelia sekarang juga. Kita akan mendengar kan jawaban Amelia karena akan kuaktifkan pengeras suara nya."Laila mulai merogoh saku celananya dan meraih ponsel lalu meletakkannya di meja. Di hadapan Laila dan Azzam. "Bagaimana, Mas? Aku telepon Amelia sekarang ya?" tanya Laila. Azzam be
Tiara mendelik, dia langsung terduduk di ranjang hotel dan memutar ulang video yang menampilkan sosoknya yang sedang marah-marah. "Sial*n! Siapa yang telah merekam dan mempermalukanku? Ini pasti kerjaan bocil genit itu! Bisa-bisa nya mas Marzuki mencintai anak kecil padahal aku masih hidup. Aku tidak terima! Aku akan membalas bocil itu!"Tangan Tiara mengepal. "Tapi apa yang bisa aku lakukan untuk membuat mas Marzuki meninggalkan bocil itu?!"Tiara berdiri lalu mondar mandir di dalam kamar hotelnya, mencari ide untuk membuat Marzuki membenci Laila. Mendadak sebuah ide terlintas di kepalanya. "Ah, betul juga! Kalau wajah Laila menjadi cacat, Mas Marzuki dan Yasmin pasti tidak mau mendekati bocil itu lagi. Dan saat itulah aku akan merebut perhatian mereka. Mereka pasti akan menerima perhatian dariku," desis Tiara dengan penuh keyakinan. Dia lantas membuka internet lalu mencari tahu di online shop tentang barang yang bisa membantu rencananya. ***Laila dengan tangan gemetar mencelupk
Tiara yang sudah mengenal suara di belakang nya menghela nafas dan berbalik ke belakang. "Hai, Mas Rizki. Kamu sampai di sini juga?" tanya Tiara berbasa basi seraya menyedekapkan kedua tangan di depan dadanya. "Tentu saja. Setelah kamu minggat, aku langsung memerintahkan orang untuk mencari keberadaan kamu. Ternyata kamu di sini. Jauh-jauh dari jakarta ke kota terpencil ini hanya untuk mengganggu suami orang. Ck, ck, aku tidak menyangka kalau kamu akan berbuat sesuatu seperti ini. Kamu benar-benar berbakat menjadi pelakor, Ti," sahut Rizki, sang suami. Tiara tergelak. "Pelakor? Hati-hati kalau kamu bicara, Mas! Dia mantan suamiku, jadi aku ...""Memang di masa lalu, dia adalah suami kamu. Tapi saat ini dia kan sudah mempunyai keluarga baru, istri baru, seharusnya kamu tahu diri dan tidak merusak kehidupan rumah tangganya!"Tawa Tiara semakin terdengar keras. "Hahaha! Kamu ini lucu sekali, Mas! Kamu dulu menjadi pebinor dan merebutku dari mas Marzuki sehingga kami bercerai, dan sek
"Mas, tolong aku!" ujar Tiara dengan penuh harap menatap ke arah Marzuki. "Aku mengalami KDRT! Aku kabur dari suamiku! Tolong tampung aku di rumah kamu, Mas!" seru Tiara lagi dengan sangat memelas. Laila mendelik, sebenarnya dalam hatinya sangat ingin mencakar dan menjambak Tiara. Tapi ditahannya karena Laila tidak mau mengotori tangan nya dengan memegang sampah. Wajah Marzuki menegang melihat Tiara yang datang menemui mereka, apalagi di hadapan Yasmin. "Kok kamu bisa kesini?" tanya Marzuki dengan wajah parau. Ditatapnya wajah dan tubuh Tiara yang terdapat lebam-lebam di beberapa tempat. "Mas, kalau enggak di sini, aku harus kemana? Lihatlah luka-luka di tubuhku ini. Aku dipukuli suami ku. Tidakkah kamu kasihan, Mas? Aku hanya punya kamu. Kamu kan tahu kalau orang tuaku meninggal sejak SMA dan aku bisa hidup karena bantuan kamu," ujar Tiara dengan wajah memelas. Baru saja Laila hendak merespon ucapan Tiara saat Marzuki menunjuk wajah Tiara dengan serius. "Kamu tahu bahwa hanya a
Laila terbangun dan merab* ranjang di samping nya."Kok kosong? Mana mas Marzuki ya?" gumam Laila lalu duduk di atas ranjang dan melihat sekeliling kamar."Mungkin masih salat di masjid atau lihat tivi. Hm, ini kan hari Minggu. Puskesmas libur dan hanya on call," ujar Laila lagi. Dia melihat ke arah jam di kamar. "Sudah jam lima nih. Musti mandi dulu sebelum salat."Laila pun bergegas ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar lalu segera membersihkan diri. Setelah mandi dan menunaikan salat subuh, Laila mengering kan rambut nya dengan hair dryer lalu keluar dari kamar. "Mama! Selamat ulang tahun!" seru Yasmin riang begitu Laila membuka pintu kamarnya. Laila yang saat itu sedang mengenakan daster warna kuning merasa sangat bahagia dan terkejut saat melihat kue berbentuk lingkaran mungil yang sedang dipegang oleh Yasmin. Lalu dari arah belakang tampak Marzuki yang sedang mengenakan celemek dan membawa sendok sayur sedang berjalan menuju ke arah Laila dan Yasmin. Sedangkan bi Inah
Laila terbangun saat merasakan dinginnya AC yang menyentuh kulitnya, dengan segera di Laila menarik selimut nya lagi. "Dingin ya?" sapa sebuah suara yang berbisik di telinga Laila. Laila mengangguk manja. Dan Marzuki yang ada di belakang Laila memeluk erat sang istri semakin erat. "Ya sudah. Aku peluk lagi. Atau kamu mau kita mengulang yang semalam?" tanya Marzuki seraya menciumi pundak dan punggung Laila sehingga perempuan itu terkikik geli dan manja. "Mas, geli tahu!" bisik Laila lalu membalikkan badannya ke arah Marzuki. Mereka saling bertatapan di dalam remang cahaya lampu kamar tidur. Laila memandang jam bulat melalui pundak Marzuki yang tertempel di dinding kamar. 'Masih jam satu rupanya.'Marzuki meletakkan tangannya ke pipi Laila dan berbisik merdu. "Kenapa kamu memandang kearah belakang ku? Aku hanya ingin kamu menatap ke arahku, Sayang."Marzuki menangkup wajah Laila lalu mengecup pipi istrinya perlahan. Laila mengalihkan pandangan nya ke arah Marzuki. "Lalu aku harus
"Mama! Papa!" Yasmin melambaikan tangan pada Laila dan Marzuki dari layar ponsel. "Sayang!" Laila memberikan kecup jauh untuk gadis kecil itu."Mama dimana?" tanya Yasmin lagi."Bagaimana ini, Yang? Kita jemput Yasmin di pintu masuk hotel. Daripada nanti dia bertemu dengan Tiara lebih dulu."Marzuki menoleh pada Laila dan terlihat bingung."Baiklah Mas, ayo kita jemput mami dan Yasmin." Laila menarik tangan Marzuki dan mereka berjalan menuju gapura pintu masuk hotel."Mama!"Yasmin berlari dan menghambur memeluk Laila. "Hap!"Laila memeluk Yasmin beberapa lama, lalu melanjutkan langkah menuju papi dan mami kemudian mencium punggung tangan keduanya."Yasmin sudah makan?" tanya Laila sambil mengelus kepala Yasmin perlahan. "Belum, Ma.""Ayo makan dulu ke resto. Restonya bagus dan ada kolam renangnya." Laila berjalan mendahului Marzuki dan orangtuanya menuju ke resto."Yasmin mau makan apa?" tanya Marzuki."Ayam goreng, Pa."Marzuki segera menulis ayam goreng krispi di kertas menu l
Dokter 91"Insyallah saya lebih baik dalam mengasuhnya daripada sang ibu kandung yang menelantarkannya. Dan jangan coba-coba mendekati suami saya setelah Mbak dengan semena-mena membuangnya. Tolong jangan hadir sebagai orang ketiga diantara kami. Terimakasih atas pengertiannya," kata Laila seraya memandang tajam pada Tiara. Laila melihat tangan Tiara yang putih terkepal di atas meja kafe. "Kalem saja Mbak. Bukankah mbak sudah punya suami juga? Jadi mari kita berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga kita."Tiara menatap tajam ke arah Laila. "Tunggu saja Laila. Saya pastikan kita akan segera bertemu lagi. Bagaimanapun Yasmin itu adalah darah daging saya. Dan saya pastikan Mas Marzuki akan menceraikan kamu!"Tiara mengacungkan telunjuknya ke arah Laila. Dan Laila menurunkan telunjuk Tiara dengan santai. "Oh ya? Baru ingat kalau masih punya darah daging? Kemana saja kamu selama ini saat Yasmin kesepian dan tidak punya teman bermain karena ibunya menghilang?"Kamu yang tidak tahu
"Tiara?" gumam Marzuki kaget.Laila juga tidak kalah kagetnya karena dia ingat betul siapa Tiara itu."Tolong! Ada yang berprofesi dokter di sini? Atau tenaga medis? Perempuan ini dadanya tidak bergerak lagi."'Ya benar! Walaupun aku belum pernah melihat fotonya, tapi aku yakin dia pasti ibunya Yasmin. Garis wajah dan lengkung bibirnya yang sensual sama persis dengan gadis kecil itu. Kenapa dia di sini. Apa mas Marzuki sengaja mengajakku ke sini untuk mencari ibu Yasmin lagi? Tapi perempuan itu butuh tenaga medis untuk menyelamatkan nyawanya. Ya Tuhan, jika mas Marzuki yang melakukan CPR, hatiku tidak ikhlas karena kalau memberikan nafas buatan, bib*r mereka akan langsung bersentuhan. Bagaimana ini?' gumam Laila bingung.Hati Laila berperang antara rasa cemburu dan rasa kemanusiaan. Digenggamnya tangan Marzuki yang berdiri di sebelahnya. Terasa dingin dan tatapan matanya seakan juga menyiratkan kegalauan dan kebimbangan hati.'Mas, apakah masih ada namanya di hatimu?'Laila menghela
Aku tidak ingin kamu hanya menjadi seperti pelangi di langit ku, yang hanya muncul setelah hujan sejenak kemudian meninggalkan pergi.***Beberapa hari setelahnya,"Wah bagus sekali kamar hotel yang kamu pesan, Mas," kata Laila seraya membuka tirai kamar dan memandang keluar. Langsung terlihat kolam renang yang dikelilingi perpaduan rumpun mawar dan pohon palem botol sebagai pagar hidupnya."Kamu suka?" tanya dokter Marzuki memeluk Laila dari belakang. Hembusan napasnya terasa hangat di telinga.Sekarang musim liburan sekolah, dan Marzuki memutuskan untuk mengajak Laila bulan madu di Bali, sedangkan Yasmin ingin menghabiskan liburannya di rumah Ambar dan Iwan. "Suka banget Mas. Makasih ya," sahut Laila lalu membalikkan badan dan mengecup hidung dokter Marzuki dengan lembut."Kamu ..., minta jatah ya?"Pertanyaan Marzuki membuat Laila nyaris tersedak."Apa? Nggak kok! Memang kalau istri mencium suami lebih dahulu berarti minta gituan ya?" tanya Laila manyun tapi tetap mengalungkan ked