Renty mulai melaksanakan dendamnya.
Dengan pengaruh yang dimiliki dan tentu dengan disertai sedikit rayuan terhadap Sanjay memang tidak sulit bagi Renty untuk memancing Rania balik ke Jakarta untuk urusan satu atau dua hari. Rania sudah menerima emal undangan dari Sanjay walau ia sendiri tak mengerti secara jelas meeting apa lagi yang harus ia hadapi. Sebetulnya ia sudah menyarankan agar pertemuan dilakukan secara daring namun usulan itu ditolak.
Agak sulit mengharapkan dukungan dari para manajer lain yang diundang. Mereka sepertinya mencari selamat dengan hanya mengiyakan undangan itu tanpa mempertanyakan maksud dan tujuan secara jelas.
Ya sudah. Mau bagaimana lagi, pikirnya. Undangan untuk rapat logistik telah disebar dan mau tak mau ia harus kembali ke Jakarta.
*
“Jadi itulah masalah kakakmu ini, James. Aku butuh kamu untuk jelasin. Ini gak mungkin aku laku
James mengangguk. “Tolong jangan salahpahmi aku. Tapi setahu aku kesalahpahaman perlu dibereskan sebelum bergerak liar dan tak terkendali.”“Apa salahnya dengan aku lihat lingerie di sana?”“Salahnya ialah kenapa kamu begitu kepo sampai harus buka-buka laci segala? Dan laci itu ada di dalam kamar. Sebuah tempat yang jelas-jelas amat privacy. Kamu nggak kepikir itu bukan tindakan yang sopan karena tidak meminta izin lebih dulu?”“OK, mungkin aku kurang tata krama. Sori.”“Ini bukan soal tata krama.”“Lantas apa kalo bukan soal tata krama?”“Masalah tata krama itu hanya soal lebih kecil. Ada yang lebih serius dari soal tata krama...” James berhenti sesaat. Ia merasa perlu mengumpulkan energi sebelum masuk ke topik paling berat.“Yes?”“Menurut kakakku, sejak saat itu hubungan kamu dengan kakakku jadi..
Kekuatan takdir memang tak bisa dilawan manusia. Ia terjadi begitu saja tanpa bisa diprediksi atau diduga. Desa dimana Mama Lidya tinggal dan berada, gempar. Ada sebuah rumah yang dihuni sepasang lansia yang di pagi hari sebelum matahari muncul saja sudah ramai dikerubungi banyak sekali orang.Saat masih sedikit gelap, Mama Rania melintas di tempat itu. Sebuah rute yang bertahun-tahun telah ia lewati di pagi hari untuk kepentingan berbelanja di sebuah pasar yang jaraknya tak sampai satu kilometer di sana. Mama Lidya sudah sangat mengenal jalan di sana. Lubang-lubangnya pun ia tahu dimana lokasinya, kedalamannya, lebar menganga-nya seperti apa, dan lain-lain. Ia juga tahu setiap rumah yang ia lewati, para penghuninya, hewan peliharaan di tiap rumah, siapa yang suka berolahraga pagi, dan sebagainya.Tak terkecuali ia juga familiar dengan rumah keluarga pak Karto yang tinggal di sana bersama isterinya. Sama-sama uzur namun cukup sehat, mereka b
Pak Karto dan isterinya menjadi orang-orang berikut yang menyadari peristiwa luar biasa itu. Tangisan bayi di depan rumah membuat mereka datang menemui Lidya. Dalam ketakjuban yang besar mereka mengkonfirmasikan bahwa bayi itu bukan milik mereka. Pun bukan milik kerabatnya. Dengan demikian, bayi malang itu memang dibuang oleh seseorang.“Kalo itu kamu yang temukan, berarti itu takdirmu,” kata isteri pak Karto. “Kamu ditakdirkan untuk menghidupi bayi ini.”*Sudah dua bulan ini Roweena merasa galau luar biasa. Ia dimutasi kerja dari Jakarta ke bagian inventory di Cibinong, di pinggiran Jakarta. Tak heran ketika wanita itu diminta untuk menjemput Rania di bandara, tugas itu ditanggapi dengan penuh semangat. Sejak bertemu di pintu keluar sampai perjalanan mereka sudah bicara banyak hal. Tak hanya mengobrol soal pekerjaan namun juga ia berakrab-akrab serta melepas rindu ber
“Gue kenal Rania sebagai orang hebat, James. Gue itu begundal. Bajingan dan kakak lu nanamkan nilai-nilai yang bikin gue berarti. Hubungan dengan Papa juga membaik. Sebuah peristiwa yang gak akan terjadi kalo Rania gak ada di antara kami berdua.”James benar-benar plong. Terry benar-benar butuh seorang sahabat. Sebuah sentuhan kecil bernuansa kasih sayang tanpa kesan menggurui rupanya sudah cukup membuatnya terbuka.*“Kita singgah dulu buat makan ya.”Tanpa perlu untuk buru-buru ke tujuan, Roweena mengajak Rania untuk singgah dulu di sebuah restoran kecil di pinggir jalan. “Nggak apa-apa telat nih ke lokasi rapat?”“Nggak apa-apa. Kan gue jadi panitia yang ngurusin akomodasi.”Ya sudah. Usulan itu disetujui oleh Rania karena perutnya memang tadi pagi tidak terisi penuh. Mereka lantas
Obrolan dengan Terry dianggap perlu dilanjutkan. Atas dasar pemikiran itu James lantas mengajak Terry ke sebuah resto cepat saja di sekitar tempat mereka tadi bersepeda. Dan James kebetulan memiliki semacam gift atau karunia atau bakat atau talenta yang membuat Terry menyampaikan seluruh ungkapan isi hati."Waktu sidang skripsi dan Papa nggak hadir, rupanya Mama marah besar sama dia. Aku nggak nyangka kalo marahnya Mama berdampak sangat besar. Untuk pertama kalinya dalam hidup gue, gue ngalamin peristiwa yang nggak terduga. Papa memeluk aku dan minta maaf untuk sikapnya yang cuwek.”Terry memeluk tangan di dada. Matanya menerawang. “Kayak mimpi gue ngeliat Papa yang super dingin ternyata mau dampingin aku saat wisuda.”“Amazing ya. Kita sering sotoy dalam menilai seseorang. Sok tau. Sok mengerti dalam menilai negatifnya seseorang. Sampai kemudian orang itu timbul dengan nilai positifnya yang membu
Rania menerima telpon yang ternyata datang dari petugas hotel. Ia berbicara sebentar sebelum kemudian menutup telpon.“Aku keluar sebentar. Mau ke lobby.”“Ada perlu apa?”“Kata petugas konter ada titipan barang untuk aku.”Renty tersenyum ketika Rania hilang di balik pintu yang tertutup. Rencana yang tersimpan lama di benaknya mulai ia realisassikan saat itu juga. Secepat mungkin ia memeriksa koper yang Rania miliki. Ia melihat dan memperhatikan di beberapa titik. Di sisi kiri, kanan, depan, belakang, atas, bawah. Sampai kemudian ia memutuskan bahwa ada satu sudut di dalam koper yang secara rahasia bisa ia sisipkan sesuatu di dalamnya.*Kasus penemuan bayi di bak sampah semakin menimbulkan sensasi dengan banyaknya masyarakat yang mendatangi rumah Mama Lidya. Mbak Titiek, mbak Noni, dan beberapa tetangga sudah menemaninya dengan setia.
Di sebuah sudut hotel yang sepi, Renty menelpon seseorang.“Dit, lu punya ecstasy atau apa gitu?”“Lho, sebetulnya lu mau nyimeng atau pake ecstasy?”“Gue udah liat kopernya. Sulit kalo mau disisip daun kayak ganja. Jadi gue nyari yang bentuknya lebih praktis. Mungkin shabu atau pil ecstasy. Lu ada kan?”“Gue ada paket shabu.”“Ada berapa paket?”“Lima. Tapi shabu lagi mahal.”“Sialan! Kirim lima-limanya kesini sekarang juga. Lu pikir gue gak sanggup bayar, hah?”“Sebetulnya...”“Ah banyak omong. Lu juga mau ancurin hidup Rania kan? Nah, gue juga mau. Dan kesempatan hanya ada hari ini. Setelah ini gak ada lagi karena Sanjay udah mau didepak.”Ucapan Renty itu benar. Mau tidak mau ia harus pergi sekarang juga sekali pun waktu menunjukkan dini hari.
Dunia pekerjaan umumnya memang seperti itu. Banyak pegawai oportunis. Banyak orang bersifat hipokrit alias munafik. Pegawai oportunis merupakan orang-orang pemanfaat kesempatan ketika ada peluang mendapat tambahan pemasukan atau promosi. Perkara apakah itu terjadi dengan cara menginjak kepala orang lain, mereka tak peduli. Sedangkan pegawai hipokrit adalah mereka yang selalu mengiyakan apa kata atasan walau apa yang diperintahkan sebetulnya sampah atau tak ada gunanya.Perhatiannya kini tertuju pada Renty. Ia heran karena gadis itu berkali-kali terlihat gelisah di tempatnya. Gerak-geriknya seperti mencerminkan ada sesuatu yang salah yang sebentar lagi terjadi. Dari tempat dirinya duduk, posisi Renty hanya dua meter saja. Karena itulah ketika Renty bergerak, pasti akan sangat ketahuan oleh dirinya.‘Apa penyebab kegalauannya?’ tanyanya dalam hati.*Memiliki cucu di usia yang