Yayang Kumala12 Februari 1991Anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan pengusaha Mebeul Surabaya. Berambisi tinggi untuk menjadi bisnis woman terkemuka. Pernah menggeluti dunia modeling selama lebih dari tiga tahun, dari keunggulan fisik dan parasnya itulah Yayang lebih mudah mengenal para pengusaha dan kolega dari kalangan atas. Pernah dijodohkan dengan Wisnu, sebelum berakhir menjadi istri Hendri, setelah mengaku dihamili padahal anak yang dikandung bukan darah daging Hendri. "Ck, ck, ck ... definisi menantu meresahkan yang sesungguhnya. Ternyata ambisi si Kuyang bener-bener tinggi sampe-sampe celakain Kalina, dan ngiket Hendri dengan anak yang nggak jelas asal-usulnya. Harus kuakui dia cukup cerdas mengambil hati beberapa anggota keluarga ini. Dengan kehadiran Thea, bahkan setelah Hendri tiada, statusnya tetap menantu terhormat Keluarga Wijaya."Kamila tepuk tangan heboh dan menggeleng-gelengkan kepala setelah tahu fakta tentang ular berbisa yang ada di sekelilingnya. Di d
Kamila turun dari mobil, dan menatap dengan mata memicing mobil yang terparkir di depan butik milik Kalina. "Mobil merah ini kayak yang nggak asing, punya siapa, ya--ohiya mobil si lakor," pekik Kamila ketika sadar. Buru-buru Kamila berlari kecil masuk ke dalam. Setelah sampai, benar saja. Perempuan cantik bergaun putih itu sudah ada di dalam sedang melihat-lihat koleksi pakaian yang terpajang. "Ekhmm, permisi!" sapa Kamila pada Yuna dan manager butiknya. "Loh, Ibu. Akhirnya datang juga," seru sang manager bernama Neli. "Hai, Nel. Maaf, baru sempet mampir. Sibuk soalnya," sahut Kamila kikuk. "Hehe. Iya, nggak apa-apa, Bu. Nanti kita ngobrol lagi, ya. Kebetulan Neli mau nyerahin laporan bulanan.""Oke, siap." Kamila mengedipkan mata sejenak, lalu beralih pada Yuba. "Em, badewei, eniwei, baswei. Ada apa gerangan artis Ikan Terbang fenomenal menyambangi butik kumuh ini?" cibir Kamila pada Yuna dengan satire-nya. "Oh, iya. Neli belum sempet kasih tahu ibu. Bu Yuna, kan salah satu p
Semua orang yang memadati aula sontak menoleh pada objek yang sama. Kamila yang baru saja jadi pusat perhatian hanya bisa membungkukkan badan, dan tersenyum pada hadirin sekalian. Kalimat sarkasme yang dia lontarkan pada Yayang jelas membuat semua orang tercengang, mengingat sosok istri Wisnu yang selama ini tak pernah menghadiri berbagai undangan perusahaan, tiba-tiba datang dengan sangat percaya diri di hadapan para tamu perusahaan. Yayang menuduk dengan kedua tangan yang terkepal di atas paha. Mati-matian dia menyembunyikan wajah di antara juntaian poni rambut pendeknya. Dia bangkit perlahan dan langsung berjalan cepat duduk di sisi paling kanan, dekat dengan para pemegang saham yang datang sendirian. Kamila mengempaskan bokongnya, selepas kepergian Yayang. Dia menoleh ke arah Wisnu, lalu tersenyum penuh kemenangan. "Kenapa kamu nggak bilang kalau acara yang dimaksud itu resmi begini? Tau sendiri, zaman sekarang banyak ulet gatel yang cari kesempatan dalam kesempitan. Nempelin l
"Wuhu ... Neli! Any body here?" Kamila celingukan sembari berteriak memanggil penghuni butik, setelah masuk ke dalam bangunan dua lantai itu. "Eh, Bu Kalina udah datang. Mari, Bu!" Kepala Neli menyembul dari tangga lantai dua. Kamila langsung berlari kecil menghampirinya. Mereka duduk di sebuah sofa yang berhadapan dengan meja kaca di depan. Terdengar suara mesin jahit dan beberapa pegawai yang tengah beroperasi siang ini. "Nah, ini desain gambar yang aku janjikan tiga bulan lalu." Dengan percaya diri Kamila mengeluarkan beberapa kertas bergambar di atas meja. Neli mengernyitkan dahi. "Ibu yakin? Ini nggak salah, kan?" Neli memeriksa satu per satu gambar yang dibuat Kamila, lalu menggaruk rambut yang tak gatal. "Yakinlah. Wong aku bikinnya semaleman sampe pegel tangan.""I-iya, sih. Tapi, kok gambarnya aneh begini. Maaf, ini konsepnya gimana, ya, Bu?" tanya Neli hati-hati. "Yaelah, Nel. Masa begini aja nggak tahu. Yang ini, nih!" Kamila menyambar selempar gambar. "Ini konsepnya
"Aku harus membuktikannya. Dan mengambil sample DNA mereka. Kalau Thea terbukti anak Pak Dahlan, dan saksi keterlibatan Yayang atas kecelakaan Kalina terbongkar ... modyar, tuh si Kuyang!" Sebelah tangan Kamila mencengkeram pegangan tangga. Tekad kuat baru saja tumbuh dalam hatinya. Dia melanjutkan langkah cepat menaiki tangga menuju kamarnya, tapi sebelum itu tiba-tiba dia teringat akan Bu Dahlia. "Ck, kampret kenapa aku harus peduli, sih?" Kamila mengacak rambut saat sampai di depan kamar Bu Dahlia. "Dahlah, itung-itung memanusiakan manusia, walaupun aku nggak yakin masih ada rasa kemanusiaan di keluarga ini."Ceklek! Pintu terbuka perlahan. Kamila berjalan menghampiri tubuh Bu Dahlia yang masih terbaring lemah sejak kepergian Hendri. Dia melirik makanan dan minuman serta buah yang masih utuh di atas nakas samping pembaringan."Ma, kenapa belum makan?" Kelopak mata Bu Dahlia yang semula tertutup perlahan terbuka. "Su--""Susu?" Kamila mengernyit dahi. Bu Dahlia menggeleng. ".
"Sebentar, biar aku periksa dulu. Suaranya, sih kayak Indra!" Bu Dahlia mengangguk. Dia menatap punggung Kamila yang berlalu. Kamila langsung berlari kecil menuju lift untuk mengefektivitaskan waktu. Tiba di lantai dasar dia sudah melihat beberapa guci pajangan tercecer di lantai dan Indra berteriak-teriak memanggil namanya dengan tubuh sempoyongan."Lu ngapain, Indra? Pake ada acara lempar-lempar guci!" pekik Kamila tepat di hadapan lelaki setengah teler itu. "Mabok, ya?"Indra malah menyeringai, dengan gerakan yang tidak terprediksi tiba-tiba dia menarik keras dress Kamila dengan sekali sentak hingga mengakibatkan empat kancing teratasnya terlepas. Tampaklah dada penuh yang putih mulus itu. "Hehe, ternyata semontok yang gue kira." "Bangsat!"Plak! Kamila menampar keras pipi Indra. "Mulai kurang ajar lu, ya!"Ditampar seperti itu Indra malah cengengesan dan kemudian menahan kedua tangan Kamila dan berusaha mencumbunya dengan memojokkan ke sofa panjang. "Nggak usah muna kakak ipa
"Astaga ... apa yang baru saja terjadi, Kalina?!" Wisnu yang baru saja tiba sangat terkejut melihat kondisi Indra yang sudah babak-belur terkulai di lantai bergerak tak beraturan, sementara Kamila menangkup wajah di sofa. "Tanya aja sendiri sama adik bejat lo, atau langsung cek CCTV!" cetus Kamila sengit. Tanpa bertanya lagi dia langsung berlari ke ruang kendali yang terletak di bagian paling dasar kediaman ini. Beberapa saat kemudian Wisnu kembali tanpa hasil. "Beberapa CCTV mati. Bisa kamu jelaskan secara garis besar?"Kamila menghela napas panjang. Lalu bangkit berdiri menatap Wisnu yang diliputi kebingungan. Saat itulah dia bisa melihat pakaian Kamila yang sudah koyak dengan rambut semrawut, bersama dengan kedua punggung tangan yang memar setelah memukuli Indra seperti orang yang kesetanan. "Sumpah, gue udah bener-bener muak sama keluarga, lo, Nu." Kamila menatap Wisnu dengan nanar. "Lo tahu? Kalian yang katanya keluarga konglomerat, tapi punya kelakuan yang bener-bener nggak
"Maaf, Mbak. Apa wanita dengan rambut sepundak dan mantel hitam baru saja chek in di hotel ini?" Wisnu berdiri di depan meja resepsionis Hotel Melati, saat melihat mobil yang dikendarai Kamila berbelok ke sini. "Mohon maaf, kalau boleh tahu bapak siapanya, ya? Kami tidak bisa memberi tahu informasi lebih lanjut kalau memang tidak ada hubungan berarti," tutur sang resepsionis dengan ramah. "Saya suaminya, Mbak. Nama istri saya Kalina Fathira.""Saya periksa sebentar." Resepsionis tersebut terlihat mulai memeriksa layar komputer di hadapan. Beberapa saat kemudian dia mengangguk pelan setelah memeriksa kedua data diri yang diberikan, dan menemukan kecocokkan. "Kalau begitu silakan, Pak. Beliau ada di lantai 6 kamar nomor 120."Wisnu mengangguk, lalu buru-buru menuju kamar yang dituju. "Kal! Kalina! Tolong biarkan aku masuk. Kita bicara sebentar." Wisnu menggedor-gedor pintu kamar bernomor 120 itu. Namun, tetap tak ada sahutan dan respons dari dalam. "Kal, aku mohon. Maaf, atas segala
"Loh, Papa." "Papa?""Uncle?""Wisnu, sejak kapan kamu berdiri di sana?"Barra yang lebih dulu sadar, berjalan mengampiri, diikuti Thea, Terra, dan terakhir Bu Dahlia. Kamila yang mendengar itu semua sontak langsung menendang Revan, lalu bangkit dan membenahi penampilan yang sejujurnya sudah tak bisa lagi terselamatkan."Wi-Wisnu.""Ma-maaf aku datang tanpa kabar. Soalnya sejak tadi ponselmu tak bisa dihubungi dan aku dengar dari Mama sedang ada acara di sini.""Ng, anu, nggak apa-apa, kok. Silakan duduk, ngobrol-ngobrol sama yang lain dulu. Aku ke atas sebentar, ya." Tanpa menunggu persetujuan dengan gerakan seribu bayangan, Kamila langsung berlari menuju kamar. Dan mengurung diri di sana.***Tok! Tok! Tok!"Mil, boleh aku masuk?" Di depan pintu kamar Kamila, Kalina berdiri. Sudah satu jam sejak pamit ke atas, dia masih belum kembali, hingga Kalina inisiatif menghampiri."Masuk aja, Kal. Nggak dikunci." Teriakan Kamila terdengar dari dalam, perlahan Kalina membuka pintu, lalu meng
"Hatchiiim."Dari arah kamar terdengar suara bersin keras, hingga membuat orang-orang yang akhir pekan ini sedang berkumpul di rumah besar itu terlonjak kaget."Kak, are you, okay?" Kepala Cici menyembul dari arah pintu."Ya, aku nggak apa-apa. Biasanya kalau tiba-tiba bersin kayak gini, pasti ada yang ngomongin," tuturnya sembari melempar selembar tisu yang sudah digunakan ke tempat sampah.Cici manggut-manggut, lalu berjalan menghampiri ke kamar. "Btw tumben rapi banget hari ini, nggak mungkin kalau cuma sekedar reuni keluarga Kak Mila sampai dandan cantik begini. Rambut digerai, pake dress tanpa lengan, heels lima senti.""Sshhh ... hari ini aku ada janji, jadi tolong wakilin jamu aja semua tamu, ya.""Ta--""Mil-- oh my God. Setan apa yang merasukimu hari ini, Mila?" Feri yang baru saja muncul terlihat membekap mulut melihat penampilan Kamila."Diem, lu, Fer. Komen sekali lagi gue gebok.""Nggak, nggak mungkin. Ini pasti bukan Kamila, ini pasti Kamile--hmmpt." Buru-buru Kamila mem
"Bagaimana kabarmu?"Pertanyaan itu Wisnu ajukan sesaat setelah Kamila dan Barra duduk di hadapannya, di ruang Head Teachers."Ba-baik." Entah kenapa afmosfer yang tercipta di antara keduanya terasa kikuk dan canggung. Sementara Barra yang duduk di tengah-tengah mereka malah sibuk memindai ekspresi dari tante dan ayah kandungnya itu."Jantung berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya, telapak tangan dingin, wajah pucat, bicara terbata-bata, terdeteksi salting. Reaksi ini biasa juga disebut dengan gugup." Barra meletakkan tangan di dada Kamila."Astaga Barra." Kamila memelotot sembari menepis tangan bocah tujuh tahun itu.Wisnu terkekeh pelan. "Maaf kalau aku membuat kalian tak nyaman." Lelaki itu sesekali menyentuh hidung dan menggaruk dahi."Gelagat itu menunjukkan kalau Papa yang justru nggak nyaman.""Hei, berhenti sembarangan baca emosi orang!" sentak Kamila kembali mengingatkan."Tapi kakek bilang mengenali ekspresi wajah merupakan cara penting untuk meraba apa yang dirasakan
Tujuh tahun kemudian ...."Bangun, Barra. Ini hari pertama kamu masuk sekolah! Seragam sama semua perlengkapan udah Mimi siapin. Jangan lupa sarapan juga. Ada nasi goreng di atas meja!"Kamila mengguncang tubuh bocah yang menggeliat panjang dalam selimut tebal, di atas ranjang berbentuk mobil-mobilan."Bentar lagi, Mi. Biasa juga sekolah internasional masuknya agak siang. Ini baru jam enam pagi, ya Tuhan.""Buset nih bocah. Siapa juga yang bilang kamu bakal masuk ke sekolah international? Yang ada kamu masuk swasta!"Mendengar kata sekolah swasta bocah berumur tujuh tahun itu langsung terlonjak dari tempatnya."Swasta? Seriously? Kita jauh-jauh pindah ke Jakarta cuma buat daftar di sekolah swasta!""Ya ampun, nih bocah nggak ada bersyukurnya. Udah untung kamu masuk sekolah swasta yang elite. Coba Mimi dulu, udah mah masuk negeri yang ikut program pemerintah, masih kudu bikin surat keterangan tidak mampu, biar nggak perlu bayar SPP lagi. Dah, ah. Buruan mandi! Atau mau langsung Mimi lu
Orang bilang, level tertinggi dari mencintai adalah mengikhlaskan. Entah itu mengikhlaskan dengan yang lain, atau yang lebih menyakitkan mengikhlaskannya pergi ke pangkuan Tuhan. Entah itu cinta antar pasangan, cinta antara anak dan orangtua, maupun cinta antar saudara.Tak ada rencana yang lebih sempurna selain takdir yang telah Tuhan gariskan. Bagaimana dua orang saudara kembar yang sudah berpisah selama lebih dari tiga puluh tahun kembali dipersatukan untuk membalas satu keluarga zalim yang merasa kekuasaan yang dimiliki mampu menutupi seberapa busuknya tingkah laku mereka, sampai lupa bahwa roda kehidupan itu berputar, dan dalam beberapa keyakinan karma itu nyata adanya.Kurang dari setahun, tepatnya delapan bulan, saudara kembar Kamila dan Kalina mampu mengantar kehancuran untuk Keluarga Wijaya. Keluarga konglomerat yang dikenal publik dengan berbagai prestasi, keluarga yang dikenal memiliki toleransi tinggi, serta kerukunan yang patut diacungi. Namun, siapa yang tahu di balik im
Welcome Kalina Fathira Hartono dan Kamila Anindira Hartono.Tulisan besar dari karangan bunga yang khusus dipesan tergantung di lantai dua kediaman keluarga yang bisa dibilang terkaya di Kota Surabaya.Kamila membekap mulut sembari memeluk Dahiyang di pangkuan tangan.Tak pernah terpikir dalam benak Kamila sekalipun bahwa akhirnya dia sampai di posisi ini. Posisi yang selalu ibunya katakan suatu saat akan bisa dia daki. Roda yang selama ini berhenti berputar akhirnya menempatkan dia di sini. Ternyata masa depan yang selalu dia harapkan ekspekstasinya lebih dari yang mampu dia impikan.Orang-orang dengan setelan serba-hitam yang diketahui staf dan beberapa karyawan PT. Poltaris Jaya menyambut mereka. Berjejer di antara kolam pancuran yang membentang sepanjang pelataran. Bu Hilma terlihat berjalan mendorong kursi roda Pak Hari untuk menghampiri mereka. Dua buket bunga terlihat di pangkuannya.Kamila langsung berlari dan berhambur dalam pelukan ayahnya. Di belakang Kalina menyusul dengan
Kalina terkekeh sesekali saat melihat Kamila yang terlihat begitu bersemangat pagi ini. Di dalam kamar tadi bahkan dia membongkar seisi lemari hanya untuk mencari pakaian terbaik yang bisa digunakan untuk acara hari ini. Menjadi bisnis women atau mengelola bisnis mungkin memang bukan passion Kamila. Namun, penegak hukum, aparat, serta badan inteligen adalah pekerjaan dan kecintaannya.alina tahu, meski tak mengatakannya Kamila pasti sangat ingin kembali. Walapun mustahil untuk kembali menjadi bagian dari BIN, setidaknya dia berharap bisa menjadi salah satu anggota kepolisian tak peduli apa pun tingkatnya."Mil?" Kalina meletakkan tangan di bahu Kamila yang nampak duduk tenang di kursinya menunggu panggilan."Ya?" Kamila menoleh antara gugup dan senang yang membuat Kalina agak tak tega untuk mengungkap kebenarannya. "Sebenarnya ...." Kalina sengaja mengulur-ulur waktu yang membuat dada saudaranya semakin berdegup kencang."Sebenarnya apa, sih, Kal? Buruan deg-degan el--""Kompol Warma
Di atas pusara dengan nisan bertuliskan Zahira P. Putri itu, Kamila dan Kalina duduk bersimpuh. Meletakkan buket bunga di atas gundukan tanah yang sudah lama mengering dan dilindungi tembok marmer berpondasi kokoh.Kamila terlihat menuntun tangan saudara kembarnya untuk menyiram nisan dan sebagian tanah yang terlihat."Halo, Bu. Apa kabar? Sekarang Kamila nggak datang lagi sendiri, ada Kalina juga. Akhirnya, Bu. Kita bisa tumbuh jadi anak kebanggaan ibu. Baik-baik di Surga sana, ya. Salam sayang dan peluk cium dari kami." Kamila tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Merengkuh tubuh Kalina yang sudah lebih dulu terisak di sampingnya."Nggak apa, Kal. Yang penting ibu udah liat semuanya dari atas sana." Kamila meyakinkan saudaranya sembari menyeka air mata Kalina."Bagaimana rasanya pelukan ibu, Mil?" tanya Kalina lirih."Tentu saja lebih hangat dari pelukan ayah dan lebih berkesan daripada pelukan mantan.""Kamila." Kalina mengerucutkan bibir sembari mencubit pelan perut saudaranya."Dah
"Apa-apaan ini? Masa merayakan kemenangan di Rumah Makan Padang?" Kamila menggerutu, sembari berkacak pinggang di depan sebuah rumah makan yang cukup besar di daerah setempat."Dah, terima kenyataan, Nya! Nyonya Kalina sama Pak Revan dah keseringan makan di resto bintang lima." Cici menepuk pundak Kamila, kemudian berlalu ke dalam."Tap-tapi aku juga dah keseringan makan di rumah Makan Padang. Bahkan sampe kolesterol dan mencret-mencret!" Kamila mengerucutkan bibir, menoleh menatap saudara kembarnya dan Revan yang baru saja turun dari dalam mobil."Aku janji, makan malam nanti kamu yang tentukan," sahut Kalina sembari tersenyum simpul."Seriously?" Bola mata bulat itu berbinar penuh harap."Iya. Harus berapa kali kubilang milikku, milikmu juga," tukas Kalina sembari merangkul bahu saudaranya."Resto Lavender, boleh? Ruang VIP yang view-nya macam di pelem-pelem bucin? Aku pernah ke sana, tapi cuma buat denger umpatan sampah para Wijaya Family." Kamila kembali mengerucutkan bibir."Iya