***"Biar aku antar kamu pulang," ucap Kevin pada Anita yang berusaha berdiri dengan bantuan Hana.Anita mengangguk lemah. Dia merapikan baju yang dia kenakan dan keluar dari kamar beriringan dengan Hana yang sigap sekali memegang tangan Anita."Yakin mau pulang aja, Nit? Nggak nunggu besok pagi atau sampai kamu tenang?"Anita menggeleng, "Ibu dan Ayah bisa membunuhku jika aku tidak pulang ke rumah, Mbak. Aku juga tidak terbiasa menginap di rumah orang lain," sahut Anita sendu.Hana mengangguk paham. Dia mengusap lengan Anita-- wanita yang beberapa hari lalu sudah membuat hatinya terluka dengan banyak kata-kata keji yang sudah dia lontarkan."Kamu yakin bisa mengatasi ini?" tanya Hana lagi."Jangan ikut campur urusan orang! Ini adalah privasi Anita, biarkan dia sendiri yang menanggung akibat dari semua perbuatannya. Lagipula suruh siapa gadis berumur dua puluh dua tahun tidur dengan lelaki lain, jangan menangis kalau sudah hamil begini, hadapi!"Kedua mata Anita berkaca-kaca mendengar
***Yasmin terkulai di lantai setelah mendengar kabar kehamilan putrinya yang baru berusia dua puluh dua tahun. Usia yang masih begitu muda baginya.Fajar kelabakan. Tanpa dikomando, Kevin membopong tubuh Yasmin dan menidurkannya di atas sofa. Anita beranjak mengambil minyak angin dan membalurkannya ke sisi kanan dan kiri pelipis Sang Ibu.Fajar mengusap wajahnya kasar. Kemarahan pada Anita belum tuntas dia keluarkan tapi kini harus terhambat dengan Yasmin yang sedang pingsan."Kamu berhutang penjelasan pada Bapak, Nit. Suruh lelaki itu pulang dan datang besok untuk menikahimu!"Kedua mata Anita membulat lebar. Kevin membuang muka, dia berdiri dan mengulurkan tangan hendak mencium punggung tangan Fajar. Tanpa menoleh, Fajar memberikan tangannya dan Kevin pamit untuk pulang tanpa menunggu Yasmin sadar."Besok saya akan datang, Pak," ucap Kevin tegas. "Segera kabari aku kalau Ibumu sudah sadar," sambungnya dengan menatap kedua mata Anita yang mengembun."Tunggu!" Kevin menghentikan lang
***Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Anita, Kevin berkutat dengan pikirannya sendiri. Entah mengapa dia justru mengakui kehamilan Anita padahal jelas-jelas calon bayi itu bukan benihnya. Berulang kali pria tampan itu mendesah berat mengingat tentang keberanian yang sempat ia ucapkan di depan kedua orang tua Anita. Bagaimana caranya mengatakan hal ini pada Bu Wira? Bagaimana menjelaskan kepada Kenan dan Sang Ibu tentang kesanggupannya menikahi wanita yang tengah mengandung anak dari pria lain?Bagaimana jika mereka menolak keinginan Kevin untuk bertanggung jawab atas perbuatan yang tidak ia lakukan, sementara Ari, pria yang sudah menghamili Anita terkesan menolak untuk bertanggung jawab.Sesampainya di rumah, tepat saat jam makan malam. Kevin mengurungkan niat untuk segera masuk ke dalam kamar dan memilih bergabung di meja makan bersama Kenan dan Bu Wira."Kenapa malam sekali, darimana?" selidik Kenan tak acuh."Besok aku akan menikah, Ma," ucap Kevin tanpa menjawab pertanyaan K
***Ari bangun lebih awal karena ada hal yang ingin dia selesaikan pagi ini di kantor. Kemarin dia mendapat kabar dari salah satu teman dan mengatakan tentang kisruh di kantor akibat ulah Ari yang mengganggu Hana. Mendengar nama Hana selalu saja membuatnya marah dan kesal yang tidak berkesudahan. |Datang ke rumah sekarang juga, Ar! Mas Adrian sudah mengatakan semuanya pada Bapak dan Emak||Kamu janji akan bertanggung jawab, sampai aku mendengar kamu mengejar wanita mandul itu lagi, lihat saja apa yang akan aku lakukan||Balas pesanku, Ari!|Dan masih banyak lagi pesan-pesan yang berisi ancaman dari Risa, namun tetap saja Ari terlihat abai dan segera menghapus semua pesan tanpa membaca keseluruhan."Bapak dan Emak Risa menunggumu," kata Artian, "Kekasihmu sudah Kukembalikan pada kedua orang tuanya, jadi bertanggung jawab lah!""Bukan urusan kamu, Mas!""Terserah! Aku hanya mengingatkan sebelum kedua orang tua Risa datang kemari dan membuat keributan. Jangan bikin malu!"Ari menoleh. M
***Kenan maju, tapi ternyata Kevin lebih dulu melangkah lebar dan meninju rahang Ari dengan kuat.Bugh ... Bugh ... Bugh ...!!!Ari tersungkur dengan sedikit darah yang menghiasi ujung bibirnya. Dia tertawa membuat dada Kevin naik turun dikuasai amarah. Dengan sedikit kesulitan dia berdiri dan berbicara, "Jangan bersikap sok pahlawan! Anita sedang mengandung anakku, bagaimana jadinya jika saudara pemilik Ken's Property menikahi wanita yang sedang mengandung anak orang lain?"Kenan menarik kerah baju Ari dengan kasar. Dia hendak melayangkan tinju namun Fajar mencegah tangan Kenan."Jangan mengotori tangan, Nak. Lelaki brengsek ini biar jadi urusan Bapak."Anita tergugu di samping Ibunya. Dia bahkan menyembunyikan tangis di pelukan Yasmin. Dia enggan mengeluarkan wajah karena rasa malu yang luar biasa. Bahkan Anita sudah mulai pasrah jika keluarga Kevin tiba-tiba membatalkan pernikahan ini."Kemana kamu saat anak saya meminta per
***Kedua kaki Ari terasa lemas. Perlahan dia menoleh dan melihat Risa datang bersama Adrian dan Bapaknya. Ya. Risa datang karena pesan Hana. Hana mengatakan jika Ari akan menggagalkan pernikahan Anita dengan Kevin. Saat itu pula keluarga Risa menuju tempat kejadian."Kenapa diam?" Risa berjalan gontai mendekati Ari yang mati kutu. "Kau ingin bertanggung jawab pada Anita karena merasa kalah, atau merasa kau benar-benar sudah bersalah padanya?""Ris, dengarkan aku!""Apalagi yang harus aku dengarkan, Ar?" pekik Risa membuat beberapa tamu menutup mulutnya panik. "Kamu datang kesini berusaha menggagalkan pernikahan Anita dan dengan gagahnya akan bertanggung jawab sementara aku kau biarkan sendiri dengan kehamilan ini, hah?!""Kamu ada Mas Adrian, Risa!" bentak Ari. "Kamu istri kakakku, aku akan menikahi Anita karena dia sedang hamil anakku, mengertilah!" Suara Ari merendah. Berkali-kali matanya celingukan ke arah para tamu di rumah Anita.
***"Lepas!" Ari menghempaskan tangan Adrian dari lengannya. Adrian mendorong tubuh Ari hingga terjerembab di depan rumah Risa. Bagai seorang tersangka, dia diseret oleh Heru untuk memasuki rumah."Gila, Ar. Kamu benar-benar sudah gila!" hardik Adrian dengan mengepalkan kedua tangannya. "Bisa-bisanya kamu datang ke rumah Anita dan membiarkan Risa menanggung kehamilannya seorang diri, hah?!"Heru hendak melayangkan pukulannya, tapi Risa dengan cepat menahan tangan Heru dan menggelengkan kepalanya samar.Melihat sikap Risa, Adrian membuang muka. Tidak dapat dipungkiri, hatinya cemburu melihat kekhawatiran yang terpancar di mata Risa untuk Ari."Aku akan bertanggungjawab, tapi biarkan kuhancurkan keluarga mereka. Kamu ngerti kan, Ris?" tanya Ari mencoba bangkit. Namun Heru dengan sigap menahan bahunya agar tetap terduduk di lantai."Jadi benar apa yang sudah aku katakan tadi, Ar? Kamu merasa kalah pada Pak Kenan dan adiknya?"Ari mendesah. Dia mengusap wajahnya kasar dan mendongak menat
***"Nit, sadar, Nak!" Yasmin menepuk-nepuk pipi Anita dengan lembut. Setelah histeris, Anita tiba-tiba jatuh pingsan membuat semua orang panik."Mantan suami kamu memang brengsek, Han!" umpat Kenan lirih. "Jika saja membunuh tidak mendapat hukuman, sudah kubunuh dia sekarang juga.""Andai saja sejak awal saya tau dia brengsek, Pak. Saya tidak sudi menikah dengannya dan dia tidak akan mendapat sematan mantan suami saya.""Kamu marah?" tanya Kenan melirik ke arah Hana."Tidak!" jawab Hana ketus.Kenan membuang muka dan memilih keluar rumah. Dia meminta semua satpam yang datang agar kembali ke kantor. Tidak lupa, dia menghubungi pengganti Hana sementara, yaitu Mega, untuk mengabarkan pada semua staff jika undangan untuk pernikahan Kevin ditunda. Ada kendala yang tidak bisa Kenan jelaskan."Aku tidak mau menikah, Bu," lirih Anita saat tersadar dari pingsannya.Semua mata saling bersitatap. Bu Wira memeluk tubuh Anita dengan erat laiknya seorang mertua yang begitu menyayangi menantunya."
***"Assalamualaikum, Ma?""Waalaikumsalam, Sayang. Apa kabar?" tanya Bu Wira ramah. "Emak sama Bapak sehat, Hana?""Alhamdulillah. Kami semua sehat, Ma, kabar Mama sendiri bagaimana?""Sehat, Nak. Selalu sehat. Tumben telepon Mama, mau kasih kejutan ya?"Hana menggigit bibirnya gusar. "Ma ....""Ya, katakan, Nak!""Dua minggu lagi aku menikah ... dengan Pak Bima," ucap Hana hati-hati. "Mohon doa restunya.""Alhamdulillah ... serius secepat ini, Hana? Masya Allah, Mama bahagia, Nak! Semoga acara kalian berjalan lancar, kabari Mama dimana acara kalian berlangsung nanti.""Mama okey?""Tentu, Hana. Mama okey, apa yang kamu pikirkan, hah?"Hana menghela napas panjang. Beban yang berada di pundaknya hilang sudah. Rasa bersalah dan tidak tau diri yang dia rasakan selama ini menguap begitu saja saat semua keluarga Kenan memberikan restunya."Terima kasih, Ma. Terima kasih banyak." Hana menangis. Terbayang bagaimana wajah sedih Bu Wira di seberang sana. "Jangan pernah lagi merasa bersalah y
***"Pa ....""Sudah kubilang jangan panggil aku, Pa! Menjijikkan!" hardik Pak Agung. "Mang, bawa mereka berdua keluar, dan jangan pernah biarkan dua wanita mengerikan ini masuk ke dalam rumahku!"Mamang menyeret tangan Melinda dan Nasya secara kasar dan mendorongnya keduanya agar keluar dari dalam rumah dengan sedikit menghempas."Bikin kerjaan aja! Sana pulang!" hardik Mamang. "Gak tau diri banget!"Nasya berkacak pinggang, dadanya membusung dan berteriak lantang. "Kurang aja sekali kamu, hah? Dasar satpam miskin!"Mamang tertawa sumbang. Semakin bersyukur karena Bima tidak jadi menikah dengan wanita seperti Nasya. "Benar kata Pak Agung. Menjijikkan!"Nasya dan Melinda di usir secara tidak hormat. Mang Dadang segera menutup pintu pagar dan meludah tepat di depan Mel dan Nasya untuk melampiaskan rasa kesalnya."Sana pergi! Gak punya malu!"Mel menghentak-hentakkan kakinya sementara Nasya menatap rumah Bima dengan bergumam. "Semua gara-gara Satria, Brengsek! Harusnya aku jadi Nyonya B
***"Ternyata benar kata Melinda kalau sekretaris baru kamu itu memang gatel!"Bima berdiri. Napasnya memburu melihat Nasya tiba-tiba masuk ke dalam rumahnya tanpa permisi. "Satpam!" teriak Bima lantang. Mang Dadang berlari tergesa-gesa dan memasuki ruang tamu dengan tatapan bingung. "Loh, Mbak Nasya kok bisa masuk?" "Mamang bagaimana sih, daritadi kemana saja?""Ada Mbak Melinda di depan, dia ngajakin ngobrol, Mas. Saya gak tau kalau ada penyusup ....""Bim, tenang! Duduk!" Pak Agung bangkit. Dia berjalan mendekati Bima dan Nasya yang nampak bersitegang."Silahkan duduk, Nasya," kata Pak Agung formal. Hana dan kedua orang tuanya canggung. Wanita cantik itu merasa jika Nasya adalah orang penting di hidup Bima sebelumnya. Suasana sedang tidak baik-baik saja apalagi wanita di depannya itu sempat menyebut nama Melinda. Tentu saja sekretaris gatal yang dimaksud adalah dirinya. Hana."Kenapa datang-datang marah-marah di rumah kami, Nasya? Ada keperluan apa?""Pa ....""Maaf, saya bukan P
***"Sudah siap?"Hana dan Emak mengangguk berbarengan. "Sudah, Bapak masih di dalam, ganti baju sebentar," sahut Hana malu-malu. Pasalnya Bima sejak tadi tidak membuang pandangan darinya. Bahkan sesekali pria itu tersenyum sambil menatap Hana yang tersipu."Make up-nya terlalu menor ya?"Bima menggeleng. "Sudah pas. Malah makin cantik," puji Bima tulus. "Meskipun tanpa make up juga cantik, tapi kalau begini semakin cantik," imbuhnya.Emak tersenyum simpul. Dia mengusap lengan Hana dan berkata. "Jangan gugup! Kalau mau makan malam sama keluarga pacar memang begini.""Emak apa-apaan sih, pacar ... pacar ... udah tua ini kita," gerutu Hana malu. "Emak lupa kalau aku ini janda, sudah pernah gagal menikah pula.""Itu tidak penting, Hana," sahut Bima menimpali. "Janda, perawan, singel, itu tidak penting. Yang semua orang cari dalam sebuah hubungan adalah kenyamanan dan keterbukaan pada pasangan.""Jangan merasa rendah karena status janda, tidak semua status itu menyandang hal buruk." Emak
***"Kenapa buru-buru ngajakin balik, Han?" tanya Emak ketika mobil mereka mulai keluar dari pelataran rumah sakit. "Emak sama Bapak sudah bersiap bawa baju ganti. Eh, gak jadi menginap. Kenapa?""Canggung, Mak," jawab Hana lirih. "Lagian gak enak sama Pak Bima. Sudah diantarkan gratis, masa dia balik sendiri. Kasihan.""Perhatian sekali," puji Bima sambil tersenyum manis. "Terima kasih sudah memikirkan aku."Hana melengos. Bima selalu saja bisa membuat jantungnya berdebar hebat. "Saya hanya merasa tidak tau diri kalau membiarkan Pak Bima pulang sendirian. Setidaknya kalau pulang sama-sama kan saya jadi gak sungkan-sungkan amat."Emak dan Bapak manggut-manggut paham. "Ya sudah, setidaknya tadi sudah menjenguk. Bagaimana baiknya menurut kamu saja, Emak dan Bapak ngikut."Suasana di dalam mobil mulai hening. Emak dan Bapak tertidur sementara Hana bermain-main dengan ponselnya. "Besok makan malam bersama Papa, kamu siap, Han?"Hana meletakkan ponsel ke dalam tas. Dia menoleh sejenak la
***"Mama habis nangis?" Hana duduk di samping Bu Wira dan bergelayut manja di lengan wanita yang dulu adalah pemilik pemasok sayuran terbesar. Siapa sangka, pertolongan Bu Wira kala itu adalah jalan bertemunya Hana dan Kenan. "Kenapa?"Bu Wira menggeleng. Dia membalas pelukan Hana dari samping dan berbisik. "Dia suka sama kamu ya?"Pipi Hana bersemu. Air muka wanita itu sudah menjelaskan bagaimana perasaannya di depan Bu Wira. Ada sedikit nyeri, namun Bu Wira lagi-lagi berusaha menguasai diri. Kenan dan Hana memang bukan jodoh. Hana berhak melanjutkan hidupnya sementara Kenan berhak melihat kebahagiaan Hana di alam sana. "Kalau Mama lihat, sepertinya lebih dari suka. Sikapnya seperti Kenan."Hana menoleh dengan cepat. "Mama juga merasakan itu?"Bu Wira mengangguk membenarkan. "Caranya mencuri hati kamu persis seperti cara Kenan waktu itu. Iya kan?"Hana bergeming. Lagi-lagi kesedihan merajai hatinya. "Tapi perasaan ini belum tumbuh, Ma. Aku ....""Tidak perlu terburu-buru, Hana. Mam
***"Ma, dia bukan supir," kata Kevin membuat langkah kaki Bu Wira terhenti. "Hah, bukan? Lalu ...?" Bu Wira menatap bingung pada Kevin dan semua orang yang ada di ruang tamu."Ini Pak Bima, partner bisnisku," jelas Kevin. "Bos Hana."Sorot mata Bu Wira seketika meredup. Senyumnya langsung memudar ketika Kevin mengatakan jika Bima adalah Bos Hana yang baru. Sontak saja ingatannya beralih pada bagaimana dulu Kenan memperlakukan Hana. Sikapnya sama seperti sikap Bima pada Hana saat ini. "B-- Bos?"Suasana yang hangat seketika membeku. Semua orang di ruang tamu sontak saja saling pandang karena air muka Bu Wira yang berubah tidak ramah seperti semula. "Hana ... bekerja?"Hana paham. Sejak awal dia tidak mengatakan jika dia sudah bekerja di Perusahaan lain sementara Perusahaan Kenan pun bisa kapan saja menerimanya dengan pintu terbuka. Wanita cantik itu melangkah mendekat. Dia memeluk Bu Wira dan berkata. "Maaf, Ma.""Kamu bekerja, Nak?" tanya Bu Wira menyelidik. "Dimana?"Belum sempat
***"Pak Bima?" Hana memekik di depan rumah ketika Bima keluar dari mobilnya yang berbeda lagi dari kemarin malam. "Kan saya sudah bilang kalau ....""Pak, Mak ... sudah siap?"Emak dan Bapak memandang Hana dengan tatapan bingung sementara Hana justru jauh lebih bingung lagi."Kalau sudah siap, ayo! Kita langsung ke Rumah Sakit atau ke rumah Kevin dulu?"Segaris senyum terbit di bibir Bapak dan Emak. Keduanya paham jika keberangkatan mereka kali ini adalah dengan diantar oleh Bima. Sementara Hana cemberut karena Bima datang tanpa memberi kabar."Kami naik Bus, Pak. Pak Bima bisa naik Bus?" tanya Hana tak acuh. "Kalau gak bisa, mending gak usah ikut!""Kamu gak lihat aku bawa mobil?" sahut Bima ketus. "Kalau kamu mau naik Bus, ya silahkan! Tapi Bapak sama Emak ikut aku.""Loh, situ siapa kok ngalah-ngalahin anak sendiri?" Hana berkacak pinggang. "Anaknya Emak sama Bapak itu saya, Pak. Kok Bapak yang ngatur sih?!""Kamu gak tau, ini ... calon mantu," kata Bima sembari memainkan kerah ba
***"Sudahlah, Pak, jangan bercanda ke arah sana terus. Saya ...."Hana menggantung ucapannya di udara sementara Bima mengangguk paham dan kembali menikmati hidangan di depannya."Jadi besok kamu gak bisa makan malam bersama Papa?""Saya sudah berjanji pada Anita untuk datang, Pak, bisakah acara makan malamnya ditunda minggu depan? Maaf," kata Hana sungkan. "Keterlaluan sekali saya menolak ajakan orang pertama di Perusahaan, tapi ... saya benar-benar sudah berjanji pada istri Kevin, Pak.""Oke, Hana. Aku paham," sahut Bima tenang. "Jangan khawatir, Papa juga pasti paham. Lagipula kita terlalu dadakan membuat acara."Hana berterima kasih dan kembali mengikuti gerakan Bima menghabiskan makanan di atas meja. Siasana puncak yang semakin lama semakin ramai membuat Hana dan Bima semakin enggan untuk beranjak. Dinginnya puncak tidak lantas membuat keduanya jengah menatap keindahan alam dari atas sambil menikmati minuman hangat. "Kita pulang?" Hana mengangguk setuju. "Sudah terlalu larut, s