***Hana mematikan sambungan telepon tanpa peduli bagaimana reaksi Kevin di seberang sana. Pria yang selama ini menjadi adik Kenan meskipun beda rahim itu tertegun, menatap layar ponselnya dengan jantung yang berdebar hebat.Mama ....Wanita paruh baya yang sudah rela membesarnya tanpa peduli seberapa sakit luka yang ia terima mengingat siapa diri Kevin sebenarnya.Kedua mata Kevin memanas. Bayangan masa lalu berkelebatan di depan mata. Tidak salah jika dulu Kenan terlihat sangat membencinya karena Kevin hadir dengan memberikan luka. Dia lahir dari wanita lain Sang Papa dan memaksa Bu Wira untuk merawatnya saat dua pasangan penebar luka itu meninggal bersamaan.Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia menyambar kunci di atas meja dan berlari sampai lupa mengunci pintu, hanya menutupnya asal-asalan saja.Di dalam mobil, berkali-kali ia menekan nomor Anita tapi berujung dengan pengabaian. Kevin menyesal. Sangat menyesal sudah menyakiti hati istrinya demi masa lalu yang kelabu. Bukankah suda
***"Mas ...."Anita bergumam lirih ketika melihat Kevin menggendong Hana ala bridal keluar dari ruangan jenazah. Di depannya, di depan ruangan yang berisikan mayat Kenan, sosok Anita berdiri sambil memeluk lengan Pak Fajar dengan erat."Hana pingsan," jelas Kevin sambil menatap kedua mata istrinya. "Kenan ... Kenan ada di dalam," ucap Kevin tak sampai hati mengatakan kalau saudaranya meninggal. Lidahnya kelu, bahkan otaknya belum bisa berpikir jernih untuk saat ini.Anita menatap ruangan yang dingin itu dengan mata bergetar. Meskipun Kevin hanya mengatakan jika Kenan berada di dalam, tentu saja otak semua orang akan langsung paham jika Kenan hanyalah tinggal raga tanpa nyawa. Seketika hati Anita terasa begitu nyeri. Akankah rumah tangganya berakhir di Rumah Sakit?Apa Kevin lebih memilih menikahi Hana dan melepas istrinya begitu saja?Anita menangis dalam diam. Hanya air mata yang mengalir tanpa ada isak yang terdengar. Melihat tubuh putrinya yang menegang, Pak Fajar mengusap lengan
***"Jaga bicaramu, Hana!"Tangan Bapak terlihat bergetar setelah menampar pipi Hana dengan cukup keras."Semua yang terjadi sudah menjadi Takdir Allah, tidak baik kamu berbicara seperti itu sementara saat ini saja kamu hidup dari belas kasihan Tuhanmu," tegur Bapak. "Kecewa boleh, Nak, tapi jaga emosimu. Sadar siapa yang sedang kamu hardik, hah?"Hana memegang pipinya dan mengusap-usap lembut bekas tamparan Bapak. Sakit di pipinya tidak seberapa sakit daripada kehilangan Kenan untuk selama-lamanya."Jenazah Kenan biar aku yang urus, sepertinya lebih baik kamu disini saja, Han," ucap Kevin memecah keheningan setelah Bapak menyadarkan sikap putrinya."Kenapa melarang aku datang ke pemakaman? Kau pikir kau siapa, Kev?" tanya Hana sengit. "Aku akan mengantarkan calon suamiku sampai ke tempat peristirahatannya yang terakhir!"Kevin menghela napas panjang. Pun dengan Emak dan Bapak, mau tidak mau mereka menyetujui keputusan Hana karena memang ada baiknya wanita itu datang ke pemakaman agar
***"Jangan bicara seperti itu, Hana," bisik Yu Tikah menegang. "Jaga emosimu!"Hana bergeming. Masih ditatapnya jenazah yang berkulit pucat dengan kedua mata tertutup rapat. Siapa sangka ... menjelang pernikahan Kenan justru meninggalkannya untuk selama-lamanya."Kematian adalah takdir, kita hanyalah pemeran di dunia ini, Han, jangan sampai kecintaan kamu pada makhluk membuatmu lupa akan betapa banyak nikmat Tuhan yang sudah tercurah," tegur Yu Tikah dengan suara lirih.Emak di sebelah Hana hanya mampu meremas dadanya. Sakit. Putri satu-satunya tengah menunjukkan keadaan yang tidak baik-baik saja."Bicara memang mudah, Yu, tapi coba jika Yu Tikah ada di posisiku?" Kedua mata Hana menatap wajah Yu Tikah dengan lekat. "Kami sudah berencana akan menikah besok, Yu," lirih Hana.Yu Tikah terkejut. Kabar tentang pernikahan Hana dan Kenan memang belum menyebar karena rencana yang disusun dadakan. Tapi ucapan Hana barusan mampu meluluhlantakkan perasaan Yu Tikah. Wanita yang sudah bertahun-t
***Hana dan kedua orang tuanya masih berada di rumah Bu Wira. Malam ini adalah malam pengajian untuk mendoakan jenazah Kenan yang baru tadi sore dimakamkan.Acara berjalan dengan khidmat. Hana sedari awal hanya mampu menunduk dengan terus membayangkan betapa sesak Kenan sendirian di dalam sana."Semua akan baik-baik saja, Nak. Kehilangan manusia bukan akhir dari hidup kamu," ucap Bapak lembut. "Nomor satukan Tuhan dalam hatimu, jangan terlalu terpuruk karena semua terjadi sesuai TakdirNya. Paham?"Hana mengangguk lemah. Kondisinya mulai tenang meskipun masih saja air mata mengalir tanpa disadari olehnya. "Setelah pengajian malam ini, kita pulang ya, Pak," ajak Hana lirih. Bapak mengangguk setuju meskipun malam-malam mereka harus pulang ke kampung. Semua demi Hana.Acara berlangsung khidmat. Tangis Hana dan Bu Wira masih saling bersahutan apalagi ketika Hana pamit pulang setelah pengajian untuk mendoakan jenazah Kenan usai."Menginap lah, Hana. Apakah setelah Kenan tiada lantas kamu
***"Hana ...."Hana menghentikan langkah tepat di samping mobil milik tetangga yang sudah Bapak sewa. Dia enggan menoleh, hapal sekali dengan suara yang baru saja memanggilnya. "Yang kuat, Nak ....""Han, kami baru dapat kabar tadi sore, turut berdua cita atas kematian Kenan," sela Adrian. Hana menoleh dan mendapati Adrian berdiri di belakangnya sembari merengkuh bahu Bu Heni-- Sang Ibu."Terima kasih," sahut Hana singkat."Kamu baik-baik saja?""Apa perlu aku paparkan di depan semua orang tentang bagaimana perasaanku kali ini?" Suara Hana terdengar dingin dan tidak bersahabat. Adrian paham. Tidak mudah baginya memaafkan semua kesalahan Ibunya yang sudah menciptakan banyak luka pada masa lalu Hana. "Aku mau pamit, kamu bisa langsung masuk ke dalam dan mengatakan belasungkawa pada Mama," imbuh Hana.Adrian mengangguk samar. Hana berbalik dan kembali melangkah hingga tubuhnya masuk ke dalam mobil meninggalkan Adrian dan Sang Ibu menatap sendu dari luar."Maafkan sikap Hana, Dri, Bu H
***"Siapa yang Mas inginkan sebenarnya?""Kamu," jawab Kevin mantap. Anita melengos. Jawaban Kevin membuat jantungnya berdebar hebat, juga hatinya merasakan nyeri teramat sangat. "Hanya kamu, Nit. Mas mencintai kamu, dan ... anak kita ....""Bukan Mbak Hana?""Aku minta maaf. Aku memang bodoh yang terlambat menyadari dan terlalu lama terjebak pada situasi yang lalu. Maafkan aku, Nit ....""Aku butuh kejujuran, Mas," ucap Anita tegas.Kevin mengangguk paham. Dia menggenggam jemari Sang Istri dan berkata, "Ya, aku jujur. Demi Allah, Anita ... aku mencintai kamu dan calon buah hati kita."Anita tergugu. Kevin bangkit dan memeluk istrinya sembari duduk di tepi ranjang. Bahu Anita bergetar hebat. Tidak paham dengan bagaimana seharusnya ia memutuskan sesuatu saat ini karena pergi dari Kevin sebenarnya bukanlah akhir dari tujuannya. "Tolong maafkan kebodohan Ayah, Sayang. Ayah berjanji, tidak akan ada air mata lagi di pipi Mama kecuali air mata bahagia." Kevin berbisik sambil mengusap-usap
***"Sudah paham cara kerjanya ya, Bu? Tidak terlalu banyak perbedaan karena dulu Bu Hana juga mantan sekretaris kan?"Hana mengangguk mantap. Meskipun hanya lulusan SMA, tapi pengalaman kerja di Perusahaan Kenan tidak bisa disepelekan."Baiklah, meja kerja Ibu ada di depan ruangan Pak Bima.""Oke, Terima kasih, Kris."Wanita bernama Kristal itu mengangguk sambil tersenyum ramah. Perlahan, Hana menyusuri ruangan demi ruangan dan berhenti di salah satu ruangan paling besar. Ruangan yang sempat ia datangi beberapa menit yang lalu. Hana menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Sepatu berhak cukup tinggi membuat derap langkahnya mengalun indah dalam kesunyian."Loh, kok mejanya gak ada?" gumam Hana heran. "Tapi Kristal bilang meja kerjanya ada di depan ruangan Pak Bima."Hana celingukan. Menoleh ke belakang, ke kanan dan kiri berharap Kristal menyusul langkahnya dan mengatakan kalau Hana salah ruangan."Duh, gimana ini? Tapi nama Bos tadi beneran Pak Bima kan?" Hana masih berm
***"Assalamualaikum, Ma?""Waalaikumsalam, Sayang. Apa kabar?" tanya Bu Wira ramah. "Emak sama Bapak sehat, Hana?""Alhamdulillah. Kami semua sehat, Ma, kabar Mama sendiri bagaimana?""Sehat, Nak. Selalu sehat. Tumben telepon Mama, mau kasih kejutan ya?"Hana menggigit bibirnya gusar. "Ma ....""Ya, katakan, Nak!""Dua minggu lagi aku menikah ... dengan Pak Bima," ucap Hana hati-hati. "Mohon doa restunya.""Alhamdulillah ... serius secepat ini, Hana? Masya Allah, Mama bahagia, Nak! Semoga acara kalian berjalan lancar, kabari Mama dimana acara kalian berlangsung nanti.""Mama okey?""Tentu, Hana. Mama okey, apa yang kamu pikirkan, hah?"Hana menghela napas panjang. Beban yang berada di pundaknya hilang sudah. Rasa bersalah dan tidak tau diri yang dia rasakan selama ini menguap begitu saja saat semua keluarga Kenan memberikan restunya."Terima kasih, Ma. Terima kasih banyak." Hana menangis. Terbayang bagaimana wajah sedih Bu Wira di seberang sana. "Jangan pernah lagi merasa bersalah y
***"Pa ....""Sudah kubilang jangan panggil aku, Pa! Menjijikkan!" hardik Pak Agung. "Mang, bawa mereka berdua keluar, dan jangan pernah biarkan dua wanita mengerikan ini masuk ke dalam rumahku!"Mamang menyeret tangan Melinda dan Nasya secara kasar dan mendorongnya keduanya agar keluar dari dalam rumah dengan sedikit menghempas."Bikin kerjaan aja! Sana pulang!" hardik Mamang. "Gak tau diri banget!"Nasya berkacak pinggang, dadanya membusung dan berteriak lantang. "Kurang aja sekali kamu, hah? Dasar satpam miskin!"Mamang tertawa sumbang. Semakin bersyukur karena Bima tidak jadi menikah dengan wanita seperti Nasya. "Benar kata Pak Agung. Menjijikkan!"Nasya dan Melinda di usir secara tidak hormat. Mang Dadang segera menutup pintu pagar dan meludah tepat di depan Mel dan Nasya untuk melampiaskan rasa kesalnya."Sana pergi! Gak punya malu!"Mel menghentak-hentakkan kakinya sementara Nasya menatap rumah Bima dengan bergumam. "Semua gara-gara Satria, Brengsek! Harusnya aku jadi Nyonya B
***"Ternyata benar kata Melinda kalau sekretaris baru kamu itu memang gatel!"Bima berdiri. Napasnya memburu melihat Nasya tiba-tiba masuk ke dalam rumahnya tanpa permisi. "Satpam!" teriak Bima lantang. Mang Dadang berlari tergesa-gesa dan memasuki ruang tamu dengan tatapan bingung. "Loh, Mbak Nasya kok bisa masuk?" "Mamang bagaimana sih, daritadi kemana saja?""Ada Mbak Melinda di depan, dia ngajakin ngobrol, Mas. Saya gak tau kalau ada penyusup ....""Bim, tenang! Duduk!" Pak Agung bangkit. Dia berjalan mendekati Bima dan Nasya yang nampak bersitegang."Silahkan duduk, Nasya," kata Pak Agung formal. Hana dan kedua orang tuanya canggung. Wanita cantik itu merasa jika Nasya adalah orang penting di hidup Bima sebelumnya. Suasana sedang tidak baik-baik saja apalagi wanita di depannya itu sempat menyebut nama Melinda. Tentu saja sekretaris gatal yang dimaksud adalah dirinya. Hana."Kenapa datang-datang marah-marah di rumah kami, Nasya? Ada keperluan apa?""Pa ....""Maaf, saya bukan P
***"Sudah siap?"Hana dan Emak mengangguk berbarengan. "Sudah, Bapak masih di dalam, ganti baju sebentar," sahut Hana malu-malu. Pasalnya Bima sejak tadi tidak membuang pandangan darinya. Bahkan sesekali pria itu tersenyum sambil menatap Hana yang tersipu."Make up-nya terlalu menor ya?"Bima menggeleng. "Sudah pas. Malah makin cantik," puji Bima tulus. "Meskipun tanpa make up juga cantik, tapi kalau begini semakin cantik," imbuhnya.Emak tersenyum simpul. Dia mengusap lengan Hana dan berkata. "Jangan gugup! Kalau mau makan malam sama keluarga pacar memang begini.""Emak apa-apaan sih, pacar ... pacar ... udah tua ini kita," gerutu Hana malu. "Emak lupa kalau aku ini janda, sudah pernah gagal menikah pula.""Itu tidak penting, Hana," sahut Bima menimpali. "Janda, perawan, singel, itu tidak penting. Yang semua orang cari dalam sebuah hubungan adalah kenyamanan dan keterbukaan pada pasangan.""Jangan merasa rendah karena status janda, tidak semua status itu menyandang hal buruk." Emak
***"Kenapa buru-buru ngajakin balik, Han?" tanya Emak ketika mobil mereka mulai keluar dari pelataran rumah sakit. "Emak sama Bapak sudah bersiap bawa baju ganti. Eh, gak jadi menginap. Kenapa?""Canggung, Mak," jawab Hana lirih. "Lagian gak enak sama Pak Bima. Sudah diantarkan gratis, masa dia balik sendiri. Kasihan.""Perhatian sekali," puji Bima sambil tersenyum manis. "Terima kasih sudah memikirkan aku."Hana melengos. Bima selalu saja bisa membuat jantungnya berdebar hebat. "Saya hanya merasa tidak tau diri kalau membiarkan Pak Bima pulang sendirian. Setidaknya kalau pulang sama-sama kan saya jadi gak sungkan-sungkan amat."Emak dan Bapak manggut-manggut paham. "Ya sudah, setidaknya tadi sudah menjenguk. Bagaimana baiknya menurut kamu saja, Emak dan Bapak ngikut."Suasana di dalam mobil mulai hening. Emak dan Bapak tertidur sementara Hana bermain-main dengan ponselnya. "Besok makan malam bersama Papa, kamu siap, Han?"Hana meletakkan ponsel ke dalam tas. Dia menoleh sejenak la
***"Mama habis nangis?" Hana duduk di samping Bu Wira dan bergelayut manja di lengan wanita yang dulu adalah pemilik pemasok sayuran terbesar. Siapa sangka, pertolongan Bu Wira kala itu adalah jalan bertemunya Hana dan Kenan. "Kenapa?"Bu Wira menggeleng. Dia membalas pelukan Hana dari samping dan berbisik. "Dia suka sama kamu ya?"Pipi Hana bersemu. Air muka wanita itu sudah menjelaskan bagaimana perasaannya di depan Bu Wira. Ada sedikit nyeri, namun Bu Wira lagi-lagi berusaha menguasai diri. Kenan dan Hana memang bukan jodoh. Hana berhak melanjutkan hidupnya sementara Kenan berhak melihat kebahagiaan Hana di alam sana. "Kalau Mama lihat, sepertinya lebih dari suka. Sikapnya seperti Kenan."Hana menoleh dengan cepat. "Mama juga merasakan itu?"Bu Wira mengangguk membenarkan. "Caranya mencuri hati kamu persis seperti cara Kenan waktu itu. Iya kan?"Hana bergeming. Lagi-lagi kesedihan merajai hatinya. "Tapi perasaan ini belum tumbuh, Ma. Aku ....""Tidak perlu terburu-buru, Hana. Mam
***"Ma, dia bukan supir," kata Kevin membuat langkah kaki Bu Wira terhenti. "Hah, bukan? Lalu ...?" Bu Wira menatap bingung pada Kevin dan semua orang yang ada di ruang tamu."Ini Pak Bima, partner bisnisku," jelas Kevin. "Bos Hana."Sorot mata Bu Wira seketika meredup. Senyumnya langsung memudar ketika Kevin mengatakan jika Bima adalah Bos Hana yang baru. Sontak saja ingatannya beralih pada bagaimana dulu Kenan memperlakukan Hana. Sikapnya sama seperti sikap Bima pada Hana saat ini. "B-- Bos?"Suasana yang hangat seketika membeku. Semua orang di ruang tamu sontak saja saling pandang karena air muka Bu Wira yang berubah tidak ramah seperti semula. "Hana ... bekerja?"Hana paham. Sejak awal dia tidak mengatakan jika dia sudah bekerja di Perusahaan lain sementara Perusahaan Kenan pun bisa kapan saja menerimanya dengan pintu terbuka. Wanita cantik itu melangkah mendekat. Dia memeluk Bu Wira dan berkata. "Maaf, Ma.""Kamu bekerja, Nak?" tanya Bu Wira menyelidik. "Dimana?"Belum sempat
***"Pak Bima?" Hana memekik di depan rumah ketika Bima keluar dari mobilnya yang berbeda lagi dari kemarin malam. "Kan saya sudah bilang kalau ....""Pak, Mak ... sudah siap?"Emak dan Bapak memandang Hana dengan tatapan bingung sementara Hana justru jauh lebih bingung lagi."Kalau sudah siap, ayo! Kita langsung ke Rumah Sakit atau ke rumah Kevin dulu?"Segaris senyum terbit di bibir Bapak dan Emak. Keduanya paham jika keberangkatan mereka kali ini adalah dengan diantar oleh Bima. Sementara Hana cemberut karena Bima datang tanpa memberi kabar."Kami naik Bus, Pak. Pak Bima bisa naik Bus?" tanya Hana tak acuh. "Kalau gak bisa, mending gak usah ikut!""Kamu gak lihat aku bawa mobil?" sahut Bima ketus. "Kalau kamu mau naik Bus, ya silahkan! Tapi Bapak sama Emak ikut aku.""Loh, situ siapa kok ngalah-ngalahin anak sendiri?" Hana berkacak pinggang. "Anaknya Emak sama Bapak itu saya, Pak. Kok Bapak yang ngatur sih?!""Kamu gak tau, ini ... calon mantu," kata Bima sembari memainkan kerah ba
***"Sudahlah, Pak, jangan bercanda ke arah sana terus. Saya ...."Hana menggantung ucapannya di udara sementara Bima mengangguk paham dan kembali menikmati hidangan di depannya."Jadi besok kamu gak bisa makan malam bersama Papa?""Saya sudah berjanji pada Anita untuk datang, Pak, bisakah acara makan malamnya ditunda minggu depan? Maaf," kata Hana sungkan. "Keterlaluan sekali saya menolak ajakan orang pertama di Perusahaan, tapi ... saya benar-benar sudah berjanji pada istri Kevin, Pak.""Oke, Hana. Aku paham," sahut Bima tenang. "Jangan khawatir, Papa juga pasti paham. Lagipula kita terlalu dadakan membuat acara."Hana berterima kasih dan kembali mengikuti gerakan Bima menghabiskan makanan di atas meja. Siasana puncak yang semakin lama semakin ramai membuat Hana dan Bima semakin enggan untuk beranjak. Dinginnya puncak tidak lantas membuat keduanya jengah menatap keindahan alam dari atas sambil menikmati minuman hangat. "Kita pulang?" Hana mengangguk setuju. "Sudah terlalu larut, s