***"Terima kasih sudah berusaha menjaga Mama dengan baik," ungkap Bu Wira haru. Kevin melepaskan pelukan, dia terkekeh mendengar ucapan terima kasih yang terlontar dari bibir wanita yang teramat dia cintai dalam hidup."Harusnya Kevin yang berterima kasih, Ma. Tanpa Mama, mungkin aku sudah berada di panti asuhan sejak dulu.""Kamu berhak bahagia, Nak. Kamu ... juga Kenan adalah harta Mama yang tidak ternilai harganya."Kenan lagi-lagi membuang muka. Hatinya terenyuh melihat kasih sayang yang Kevin berikan untuknya juga Sang Mama. Tapi tentu saja pria itu masih memilih bungkam, terlalu gengsi baginya untuk mengakui betapa Kevin adalah saudara yang baik."Mama dan Kenan cukup tau kalau aku pernah menyimpan rasa untuk Hana, tapi setelah melihat Kenan dan Hana yang nampak bahagia, aku paham bagaimana caranya mundur dengan teratur. Mama tidak perlu khawatir aku akan menghancurkan kebahagiaan Kenan. Itu tidak akan pernah terjadi!"Bu Wira mengangguk paham. Dia menepuk-nepuk lengan Kenan se
***Setelah pertikaian yang terjadi antara Kenan dan Kevin, dua pria yang usianya tidak terpaut jauh itu memilih saling bungkam satu sama lain. Bu Wira hanya bisa mengelus dadanya berkali-kali karena ia berpikir mungkin dua putranya membutuhkan waktu untuk saling memahami.Kevin keluar dari kamar dan berpamitan untuk pergi. Ia mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Pikirannya yang kusut membuat pria dengan dua lesung pipit itu memutari jalanan kota Surabaya yang padat merayap di hari Minggu.Hatinya benar-benar terasa nyeri setelah Kenan mencecarnya tadi. Kevin kira, dia bisa menyimpan cintanya seorang diri, tapi ternyata ... perasaan itu mudah sekali terendus setelah mereka kembali dipertemukan.Lelaki dengan rahang tegas itu menepikan motornya di sebuah rumah makan sederhana di pinggiran jalan. Dia masuk dan memesan minuman hangat sembari mengotak-atik ponselnya dalam genggaman.Ting ....Satu pesan mendarat sempurna di ponselnya. Senyum getir kembali ia lontarkan ketika membaca
***"Da-- darah?" gumam Hana lirih dengan menutup mulut menggunakan satu tangan."Ya Allah! Keluar darah, itu Mbak Risa berdarah!""Bantu! Ayo, kita bantu!"Depan kontrakan Hana seketika ramai dan ricuh. Beberapa tetangga membantu Risa berdiri dan duduk di salah satu kursi yang terletak di teras. Dengan cepat Hana menekan nomor Ari karena kebetulan tidak ada orang yang bisa dimintai bantuan disini. "Ha-- halo ...Mbak Risa pendarahan, Mas. Kamu bisa ke tempatku sekarang?"Ari terkekeh, "Jangan membuat alasan, Hana. Aku tau kamu hanya ingin bertemu denganku kan?" sahut Ari jumawa. "Lagipula Risa sedang di rumah Mbak Juli, untuk apa dia datang di tempatmu? Atau ... ini hanya akal-akalan kamu saja biar kita bisa bertemu dan membicarakan rencana pernikahan kedua kita?"Hana menghela napas kasar. Ingin rasanya ia mengumpati Ari saat ini juga jika saja otaknya tidak segera mengingat bahwa Risa sedang butuh pertolongan."Gila," hardik Hana sarkas. "Coba saja bicara dengan Mbak Risa, telingak
***Seperginya Bu Heni, Hana bisa bernapas lega karena keributan yang sempat terjadi kini sudah mereda. Beberapa tetangga yang turut menyaksikan perdebatan sengit di depan kontrakan Hana pun mulai membubarkan diri setelah membantu Risa masuk ke dalam mobil Ari.Entah bagaimana kabar wanita itu saat ini. Yang jelas Hana sedikitpun tidak ingin bertanya atau jika tidak ... ia akan kembali disalahkan oleh Risa padahal jelas-jelas pendarahan yang terjadi adalah karena dorongan kuat dari Bu Heni."Apa tidak sebaiknya kamu pulang ke kampung saja, Han?""Betul apa kata Bapak, Hana. Disini terlalu berbahaya buatmu, Nak," timpal Emak."Setidaknya pulang bersama Emak dan Bapak sampai kamu menjadi istri Kenan," kata Bapak cemas. "Bapak yakin keluarga mantan suami kamu tidak akan menyerah begitu saja. Ibarat sudah ketahuan bobrok, Bu Heni kalang kabut mencari mangsa agar bisa menutupi semua aib yang sudah diciptakan anak dan menantunya."Hana nampa
***"Emh ... aku ....""Tolong, Mbak Hana. Bantu aku satu kali ini saja, aku ... aku benar-benar kalut dan ... dan bahkan rumah Mas Ari saja aku tidak tau dimana alamatnya.""Kamu bisa datang sendiri kesana, Nit. Aku kirim alamatnya sekarang juga.""Tapi, Mbak ....""Maaf, Anita. Tapi masalah kalian bukan urusanku. Kalau kamu mau, aku kirim alamat rumah Mas Ari dan silahkan datang sendiri.""Hu ... hu ... hu ..., Tolonglah, Mbak Hana! Aku tidak tau lagi harus minta tolong pada siapa, yang ada justru nanti Mas Ari bisa saja berkilah di depan keluarganya karena aku datang tanpa saksi."Hana menghembuskan napas kasar. Ingin sekali dia membantu Anita ketika membayangkan bagaimana kalutnya wanita muda itu seperti dirinya dulu, tapi sayang ... otaknya meminta untuk berpikir lebih waras kali ini. Bukan tidak mungkin jika keluarga Ari atau justru Risa yang akan menyerangnya jika dia membantu wanita Ari yang lain."Aku mohon ... Mbak ...."Lagi-- Hana meraup udara membiarkan rongga dadanya pen
***"Apa maksud kamu, Han?""Kenapa panik sekali, Mbak Jul? Santai saja, atau jangan-jangan memang ada sesuatu yang kamu sembunyikan selama ini?"Kedua mata Juli membulat. Dia menatap Hana dengan dada naik turun. "Hati-hati kalau ngomong kamu, Han!""Eh, tapi benar juga kata Hana, tadi malam itu justru aku dengar keributan dari rumah Juli. Kayak barang-barang dibanting gitu," ucap tetangga sebelah rumah Juli.Hana mengatupkan bibirnya. Dia tidak menyangka jika ternyata tebakannya tidak meleset. Padahal Hana tidak tau terjadi keributan apa di rumah Juli, yang Hana tau hanyalaj jika Juli adalah istri simpanan Om-om kaya."Jangan ngarang deh, Bu Sastro! Mana ada saya ribut. Saya dan suami itu selalu harmonis!" elak Juli."Tapi beneran tadi malam saya dengar, apalagi Mbak Juli pakai sebut-sebut nama Lidia, duh, jadi ingat serial layangan putus. Kalau dengar nama Lidia itu selalu kesel, apalagi coba kalau bukan tentang pelakor?""Semoga aja Mbak Juli bukan Lidia di serial itu ya, Bu?" "M
***"Han ... mau kemana? Aku antar ya?" Aku menepikan mobil dan mendekati Hana serta kedua orang tuanya yang berdiri di samping jalan raya. Sepertinya mereka hendak mencari angkutan, mungkin mau pulang kampung karena kedua tangan Bapak mertua, eh mantan Bapak mertua menenteng tas besar.Kesempatan emas. Mumpung Risa masih di Rumah Sakit lebih baik aku mendekatkan diri pada Hana. Sukur-sukur jika Emak dan Bapak mau menerimaku lagi."Mak ... Pak," sapaku sambil mencium punggung tangan mereka.Emak hanya mengangguk samar sementara Bapak kulihat membuang mukanya ke arah lain. Jika saja bukan untuk menarik simpati Hana, aku juga tidak sudi mencium punggung tangan mereka. Orang kampung tapi sombong! Apa mereka lupa kalau dulu anaknya itu aku yang ngasih makan?Sabar, Ari ... sabar! Demi mendapatkan Hana kembali aku harus memupuk rasa sabar hingga subur. Hana peluang besar bagiku sekarang. Dengan kembali pada Hana, hidupku pasti kembali tenang dan Risa bisa kembali dengan Mas Adrian. "Aku a
***Aku pulang membawa perasaan kesal dan dongkol. Bertemu Hana di pinggir jalan berharap bisa menarik simpati Emak dan Bapaknya karena aku membawa mobil berwarna merah yang masih mengkilat. Tapi ternyata ... semuanya gagal dan ini semua gara-gara Pak Kenan! Andai tadi dia tidak datang, aku yakin Emak dan Bapak Hana pasti luluh dengan bujuk rayuku. Orang kampung mana sih yang bisa tahan dengan godaan harta. Aku bawa mobil, woi! Mobil! "Mas ...."Langkahku terhenti di ambang pintu. Suara Anita tetiba membuatku muak. Baru saja ingin masuk ke dalam rumah dan menenangkan hati yang sedang kesal, Anita justru sudah berdiri di depanku sambil mengusap-usap perutnya yang rata. Lihat, bahkan Ibu terlihat puas sekali karena ada wanita lain dalam hidupku selain Hana. Aku tau ... ibu pasti akan memaksaku untuk menikahi Anita dan membiarkan Risa bersama Mas Adrian. "Mau apa datang kesini?" tanyaku sambil berlalu meninggalkannya di ambang pintu. Aku harus berbicara dengan Mas Adrian sebelum dia b