"Siapa yang becanda, sih? Aku serius."
"Ish!" Refleks Maya menelungkupkan wajahnya ke meja, merasa kepalanya dihantam batu besar. Dia masih belum bisa mencerna semuanya dengan baik.Sandiwara apa yang sedang dan telah dimainkan Angga?Angga mengangkat wajahnya sedikit hanya untuk bertanya. "Bis, guru-guru di sini dipilih langsung sama kepala yayasan 'kan?"Bisma mengangguk. "Iya, May.""Ish!" Maya ingin kembali menghantam wajahnya ke meja, tapi lebih dahulu ditahan Bisma dengan telapak tangannya."Jangan lukai wajahmu, May. Kita sama-sama tahu operasi plastik mahal. Penyok dikit keluar duit banyak." Bisma menasehati dan sukses membuat Maya menegakkan kepala.Bisma memperhatikan Maya dengan saksama. Wanita itu tampak lesu. "Kamu kenapa, sih? Kayaknya lagi banyak masalah."Maya pucat. Tidak ada darah yang mengalir di raganya. Suaranya melemah. "Kamu tahu 'kan rata-rata pendidikan guru di sini S2?"Bisma menganggu lagi. "Iya, tau. Tapi bisa juga sambil nyelesaian S2 kayak Salsa. Kalo aku semalam daftar habis lulus S2, sih."Setelah mengatakan itu, Bisma langsung menyadari sesuatu. Dahinya berkerut dalam. “Eh, May, bukannya kamu masih S1, ya?”Nah, itu dia masalahnya! Pantas dari awal diterima beberapa bulan lalu, Maya merasa tidak masuk akal. Sebenarnya ketika mendaftar, satu kualifikasi tentang melanjutkan kuliah ke jenjang strata dua tidak wanuta itu isi. Waktu di wawancara pun, Maya itu gagap menjawab.Lalu kenapa dia bisa diterima? Sedangkan dia yakin ada banyak pesaing dengan kompetensi mempuni?Maya memejamkan mata. Bertepatan dengan pendaftarannya, memang ada pergantian kepala yayasan. Namun, Maya memilih tidak peduli. Dia mengira hanya sama nama. Siapa sangka, ternyata benar mantannya?Apakah Angga terlibat dalam keberuntungan Maya? Tapi untuk tujuan apa?Sentuhan ringan dibahu membuat Maya terlonjak. Dia hampir tidur panjang dan tidak ingin kembali lagi. Sayang dia malah dibangunkan untuk menghadapi kenyataan.“Kamu kenapa, sih, May? Bahkan sejak kedatangan Pak Angga jadi aneh gini.” Bisma memegang dagunya yang habis dicukur, mengamati Maya. “Hati-hati, loh. Stres bisa bikin mukamu dipenuhi keriput.”“Ish!” Maya bersungut sebal. Diambilnya cermin kecil dari dalam tas, lanjut menekuri setiap inci wajahnya.Bisma tertawa, puas mengerjai wanita yang lima tahun lebih tua darinya itu. “Ya, lagian kamu kelihatan aneh banget, May. Gak biasanya aku liat kamu gini. Paling banter juga gak mood karna hari Senin."Maya diam. Tidak menyahut. Bukannya mencairkan suasana, Bisma malah membuatnya berkali-kali lipat stres.Kerutan adalah masalah serius!Bisma bertanya lagi. Kali ini tidak main-main. "Kamu punya hubungan apa sih sama Pak Angga sampai segitunya, May? Belum lagi 'kan anaknya manggil kamu mama."“Hah? Dira manggil Bu Maya mama?!” Salsa yang diam-diam mendengarkan langsung merapatkan diri kembali ke meja Maya. “Maksudnya apa, Pak Bisma? Kenapa Dira manggil Bu Maya mama? Kok bisa?”Bisma mengendikkan bahu tak tahu."Bu Maya! Jelaskan!" Tajam tatapan Salsa merubah atmosfer Maya menjadi penuh tuntutan.Astaga, Maya rasanya ingin menghilang sekarang untuk mendapat kedamaian. Wanita itu mengembuskan napas kasar. “Aku juga gak tau kenapa Dira malah manggil mama. Waktu ditanyain juga jawabannya gak jelas. Bapaknya juga sama aja.”“Wait.” Salsa bertingkah seperti detektif yang menemukan kesimpulan dari suatu perkara. Wanita itu berkacak pinggang. “Apa hubungan Bu Maya sama Pak Angga yang sebenarnya? Kok aku ngerasa kalian akrab? Belum lagi di saat kami nyebutnya Pak Angga, Bu Maya malah bablas manggil Angga doang.”Haruskah Maya memberitahu mereka?Maya bertafakur sebentar. Ya, tampaknya dia harus menjelaskan agar dua orang kepo itu tidak banyak bicara lagi.“Angga itu mantanku,” ucap Maya tanpa beban.Salsa melongo. Bisma refleks menegakkan badan."Kenapa? Kalian gak percaya?”Bisma menggaruk kepalanya yang tak gatal. Pengakuan Maya telah mematikan jantungnya beberapa detik. “May, kamu gak lagi becanda ‘kan?”Maya menggeleng. “Emang aku kelihatan becanda?”Salsa menyenggol Bisma pelan. “Benar, Pak Bis. Bu Maya gak lagi becanda. Tuh ada garis-garis halus di mukanya.”Maya tersedak. Well, Salsa bukan ahli mikro ekspresi. Dia semata-mata ingin mengejek Maya atas pengakuan yang mengejutkan itu.Maya berdecak. “Aku udah bilang 'kan? Ya udah habis ini jangan ditanyain lagi.”Bisma membasahi bibirnya yang mendadak kering. “Kok bisa, May, Pak Angga jadi mantan pacarmu?”Maya diam, lalu tidak sengaja mendapat ide cemerlang. Baru saja hinggap di otaknya. “Itu bakal jadi kisah yang panjang. Kalau mau dengar, sini kasih dulu masing-masing lima puluh ribu.”Tangan Maya mulai menadah bak preman yang meminta jatah.“Yeh!” Salsa mengeluarkan uang dari saku celana bahannya. Berlaku sama dengan yang dilakukan Bisma.“Jangan-jangan Bu Maya putus gara-gara matre, nih!” ucap Salsa ketus. Wanita itu harus rela melepaskan uangnya secara percuma. Tapi kapan lagi mendengar cerita yang bagai drama Korea?“Mana ada matre!” Maya tersenyum senang mendapat hasil jarahan dari Salsa dan Bisma. Sesaat melanjutkan bicaranya. “Aku aja baru tau kalau dia kaya.”“Gak mungkin." Salsa berdalih, "Pak Angga ‘kan udah kaya dari sananya. Keluarganya aja turun temurun mengelola perusahaan."“Ya makanya dengerin dulu!” Maya bersidekap setelah memasukkan uang ke dalam tas jinjingnya. “Dulu Angga gak begitu. Badannya gendut, beda sama yang sekarang. Dia itu anak rantauan dari Jawa. Gak pernah menunjukkan gelagat anak orang kaya. ""Terus?" Bisma menantikan, meski dalam dadanya kini terasa nyeri. Laki-laki itu akhirnya tahu siapa mantan yang telah membuat Maya enggan membuka hati lagi."Aku gak tahu kenapa dia malah memilih Kalimantan buat sekolah, sedangkan orang-orang maunya sekolah di Jawa.""Fasilitasnya paling, Bu, bagusan di sini." Salsa mencari alasan.Maya membantah mentah-mentah. "Heh. Sekolahku itu biasa aja! Lagian kalau dia emang kaya, seharusnya bisa dong sekolah di tempat bagus. Kalau perlu di luar negeri sekalian."Salsa mengangguk setuju. "Iya, sih, Bu. Terus gimana tuh Bu Maya bisa pacaran sama Pak Angga?""Itu, sih, ya ... kayak orang-orang biasanya. Deket. Pacaran. Habis lulus LDR-an karena dia kuliah di Jawa. Semester lima lost contact sampai sekarang. Eh, balik-balik malah bawa anak. Mana manggil mama lagi!"Salsa manggut-manggut sambil memainkan rambutnya yang panjang. “Ah, tau saingannya orang dalam gini gak jadi aku mencalonkan diri sebagai Nyonya Bagaskara."Bisma tak acuh dengan Salsa. Dia cuma menaruh minat pada Maya. “Gimana perasaanmu, May, setelah tahu Pak Angga balik lagi?”"Aku ...." Maya menggantungkan kalimatnya di udara. Sejenak menatap langit-langit atap, lalu mengepalkan tangan penuh emosi. "Angga itu tukang PHP! Katanya kalo aku jagain anaknya bakalan digaji sejam lima ratus ribu!"Salsa memutar bola mata malas. "Kalau urusan duit aja gercep."Maya menyeringai, membenarkan duduk agar lebih nyaman. Wanita itu memberi petuah yang kini menjadi prinsip hidupnya. "Hei, gak ada di dunia ini yang lebih berharga daripada uang.""Jangan-jangan Pak Angga balik lagi karena tahu Bu Maya mengajar di sini." Salsa berhipotesis. "Kayaknya Pak Angga masih naruh harapan sama Bu Maya, deh. Apalagi 'kan status Pak Angga itu duda. Sengaja nyuruh Dira buat manggil Bu Maya mama biar kepincut."Maya merenungi ucapan Salsa.Bisma terus mendengarkan, walaupun sebenarnya enggan.Sekarang Salsa berpihak pada Maya. Tangannya menggebrak meja cukup keras hingga membuat Maya dan Bisma kaget. "Laki-laki model begitu, sih, harus diberi pelajaran, Bu Maya. Datang pas ada perlu doang! Kemarin-kemarin aja menghilang!""Tapi dia kepala yayasan kita." Bisma memperingatkan. "Salah dikit kalian didepak dari sekolah."Maya mati kutu. Benar kata Bisma. Mereka tidak bisa bertindak sembarangan."Terus aku harus gimana???""Ini gila."Maya masih memikirkan bagaimana cara menjalani hari esok. Tidak ada pilihan. Dia tidak ingin berurusan dengan Angga, pun tidak mungkin berhenti bekerja.Wanita itu sampai tidak dapat tidur semalaman. Berusaha keras bersikap tidak peduli, tapi malah berkebalikan. Semakin tidak dipikirkan malah kepikiran.Maya mengusap matanya yang berkedut. Dari berbaring ke kanan, memilih telentang. Film dokumenter seperti diputar di langit-langit atap."Hai, namaku Maya Amalia. Kita satu kelompok." Maya mengulurkan tangan pada laki-laki gemuk yang tengah termenung. Duduk sendirian di sudut.Laki-laki yang tadinya menunduk itu, mendongakkan kepala. Tatapan mereka bertemu, dan dia melupakan kesendiriannya. "Halo. Aku Angga."Maya mengangguk. "Aku tau. Aku liat papan namamu. Kita satu kelompok."Angga mengangguk singkat, lalu menundukkan kepala.Maya duduk di sampingnya, memperhatikan laki-laki itu dengan baik. "Salam kenal, ya."Angga tidak menyahut. Melihat timbal balik yang tidak sesuai me
"Mama ...!"Maya menggeliat tak nyaman. Wanita itu tengah bermimpi seorang anak perempuan memanggilnya mama.Diumur yang sudah kepala tiga, Maya juga ingin menikah dan memiliki anak. Dia iri. Semua kawan-kawannya sudah menikah dan hanya Maya yang tertinggal. Bahkan mantan yang tidak bisa dilupakan Maya pun sudah punya anak sekarang.Bukankah hidup Maya menyedihkan?Tapi dengan datangnya minpi ini dapat membuat sebagian diri Maya senang."Mama ...!"Anak kecil itu kembali memanggil dan Maya tersenyum mendengarnya."Lia!"Sebentar. Suara ini terasa akrab. Maya mengingat-ngingat. Di mana kira-kira dia pernah mendengarnya?"Lia, buka pintunya sekarang."Waduh.Sekarang Maya ingat.Wanita itu tersentak dari tidur. Matanya membelalak sempurna. Bangun secara tiba-tiba membuat jantungnya berdetak keras. Kepalanya juga ikut berdenyut-denyut.Ini hanya mimpi, tapi kenapa terasa nyata?Maya tertawa. Mimpi terkadang bisa sedemikian realistis karena stres. Tidak perlu risau. Maya hanya harus merile
"Aku bisa jelasin." Maya dan Angga turun lebih dahulu. Mereka sedikit menjauh dari mobil agar Dira tidak mendengarnya."Silakan."Maya mengembuskan napas, mencoba meminimalisir gugup yang menciderai seluruh indra. "Aku gak sengaja ngasih Dira camilan itu. Lagian cuma sebungkus, apa artinya, sih?"Angga menatap Maya tajam. "Dia sudah saya didik bahwa makanan seperti itu tidak baik. Dira bukan anak-anak yang mudah percaya sesuatu."Maya ikut menantang tatapan Angga dan semakin memberanikan diri. "Satu bungkus doang sewot banget!""Ya. Tapi membuat candu. Sekali suka camilan-camilan seperti itu akan terus dicoba. Memangnya kamu mau tanggumg jawab?"Maya tidak ingin kalah. Wanita itu berkacak pinggang. "Lagian kamu dulu juga suka makanan begitu! Apalagi keripik kentang rasa jagung manis 'kan?!"Angga tertegun sekaligus menyesali sesuatu dalam hidupnya. Laki-laki itu memegang kedua bahu Maya, menambah keintensan keduanya. Mau tidak mau Maya mendongak untuk menemukan tatapan Angga."Jangan
"Siapa, ya?" Maya menampaki laki-laki berjas polkadot itu. Tangannya menenteng plastik besar."Wow." Salsa berlagak membasahi bibirnya yang bergincu merah menyala. Wanita itu menatap penuh hasrat. "Han!" Dira berteriak riang. Anak kecil itu menghentikan aktivitas menggambarnya.Maya tercengang, mengamati Dira dan laki-laki itu bergantian. "Kamu kenal dia, Dira?"Dira mengangguk. "Han!"Han tersenyum, lalu membungkukkan sedikit badan. "Perkenalkan saya Han Fauzan, asisten Pak Angga. Saya ke sini mau membawakan pesanan yang diminta Pak Angga untuk Bu Maya."Hah? Pesanan apa? Perasaan Maya gak mesan apa-apa.Han menaruh plastik besar di tangannya ke atas meja. Sontak saja Maya dan Salsa menautkan alis heran."Apa isinya Mas Han?" tanya Maya. Han menjelaskan dengan senyumnya yang semakin ramah. "Jajanan sehat untuk Dira dan Bu Maya. Pak Angga tidak mau kalian memakan makanan yang tidak sehat lagi." "Keren, Mas Han," ucap Salsa dengan suara setengah berdesah. Wanita itu kagum, langsung
"Siapa tuh tadi? Kok pulang naik mobil, May?"Sesampainya di kontrakan, Maya malah bertemu dengan Ibu Neneng di halaman. Mata wanita berbadan subur itu memicing melihat kepergiaan mobil yang mengantar Maya.Maya menggigit bibir. Urusan akan menjadi ribet kalau Ibu Neneng ikut campur. Beliau adalah ketua julid di kawasan ini sekaligus pemilik kontrakan Maya.Maka, alangkah baiknya jika Maya menghindar saja."Maya mesan taksi online, Bu. Pagi tadi mau ke sekolah tapi motornya gak mau nyala."Ibu Neneng hanya ber-oh. Mengerti maksud Maya. Walaupun perkiraan umur sudah lima puluhan, beliau tetap melek perkembangan terkini.Harus dong. Kan beliau orang yang berpengaruh di sini."O, iya, Bisma sudah balik juga 'kah?" tanyanya kemudian.Bisma?Maya mengusap leher. Terlupa satu informasi kalau Ibu Neneng adalah orang tua laki-laki itu.Maya menggeleng. Kali ini berlaku jujur. "Enggak tahu sih, Bu. Tapi ini emang udah jamnya pulang sekolah."Ibu Neneng menggemeletakkan gigi lantas berkacak ping
[Mau keluar malam ini?]Maya yang tadinya sibuk mengisi rapor siswa, membaca pesan Bisma dengan dahi berkerut."Biasanya Bisma gak gini," ucap Maya heran.Jalan-jalan ke luar? Ya, ini memang malam Minggu, sih. Maya seharusnya tidak memikirkan pekerjaan saat dirinya sendiri perlu hiburan.Mumpung ada yang mengajak, kenapa tidak? Apalagi Maya baru saja mendapat uang dadakan yang bisa digunakan untuk sedikit bersenang-senang.Wanita itu mengetikkan balasan.[Mau ke mana dulu nih?]Tidak lama kemudian, Maya mendapat pesan jawaban.[Terserah, sih. Kamu maunya ke mana, May?]Maya memandang laptop sambil berpikir. Satu tempat terbesit di pikirannya.[Ke mal aja gimana?]Maya mengetukkan jari ke meja, kembali menunggu balasan.[Setuju. Aku jemput setengah jam lagi.]Yes!Tanpa merapikan meja kerja, Maya segera bangkit untuk bersiap-siap. Wanita itu memakai sweter dan celana jin. Berhias sedikit. Tidak lupa mengikat rambut kuncir kuda dan mencangklongkan tas selempang sebagai sentuhan akhir.K
"Kamu tahu 'kan kalau diabetes itu penyakit keturunan, Lia?"Maya tertegun, refleks menaruh minuman dan berdiri bersamaan dengan Bisma. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.Sedang apa Angga dan Dira di sini?!Tapi yang paling membuat Maya heran, kenapa Angga harus menyinggung soal diabetes? Seolah-olah dia tahu apa yang terjadi.Spekulasi muncul cepat di otak Maya. Apakah Angga mengawasinya?Tidak. Tidak mungkin. Pasti cuma kebetulan. Bukannya Angga memang ketat dalam urusan perut? "Mama, tadi Dila beli buku balu loh!"Maya yang dari tadi mengarahkan atensi pada Angga, beralih menatap Dira. Anak kecil itu begitu antusias, lalu mengambil sesuatu dari paper bag yang dipegang sang ayah."Ini, Mama. Bukunya bagus 'kan?" tanya Dira sambil menyerahkan buku dengan hard cover itu.Maya tersentak. Mengerjapkan mata. Wanita itu dua kali lebih terkejut dari sebelumnya.Buku itu adalah buku sama yang dipegangnya di toko buku tadi!"Bagus 'kan, Ma?" tanya Dira lagi."Ah?" May
Maya memeluk Dira. Di dalam lubuk hatinya terbesit sayang pada gadis kecil itu. Sesuatu yang Maya sendiri tidak tahu apa sebabnya."Iya, Dira. Kakak gak akan ke mana-mana." Maya melepaskan pelukannya. Menatap Dira dan tersenyum tulis. "Kakak percaya Dira pasti bisa!"Dira balas tersenyum. Kepercayaan dirinya bangkit. Anak kecil itu meneguhkan diri, lalu mulai berjalan dengan pelan di jembatan.Kenapa sekarang malah Maya yang deg-deg-an?Maya menunggu Dira sampai ke seberang. Anak kecil itu melambaikan tangan ketika sampai tujuan. Dan itu berhasil melegakan perasaan Maya."Kakak tunggu di bawah, ya!" kata Maya nyaring."Oke, Mama!" balas Dira tidak kalah nyaring.Maya segera turun dan menunggu di bawah perosotan. Wanita itu bisa melihat Dira dari sana. Seorang petugas membantu. Anak kecil itu meluncur dengan riang.Melihat keberanian Dira, Maya merasa tidak perlu khawatir lagi anak kecil itu meluncur sesukanya. Maya duduk di lantai dekat perosotan dan bermain bola. Waktunya menunggu D
[Sebenarnya selama ini aku suka kamu, May.]Bisma memijat pelipisnya yang berdenyut. Tangannya tertahan untuk mengirimkan pesan itu pada Maya. Pikirannya berkecamuk hebat. Jika dia tidak mengatakannya sekarang, bisa jadi Angga yang lebih dahulu memiliki Maya.Bisma tidak ingin membiarkan hal itu terjadi. Sudah cukup bagi Bisma menahan rasa sakit yang terus-terusan menjarah jiwanya. Dia akan mengatakannya sekarang.Satu pesan masuk sebelum laki-laki itu sempat menekan tanda pesawat.***Maya dapat merasakan tatapan tak bersahabat Angga. Laki-laki itu melipat tangannya sambil mengernyit dalam-dalam.“Kamu sedang apa dengan Bisma?” tanyanya penuh intimidasi. Seketika otak Maya dibayangi kata-kata bahwa laki-laki itu sedang cemburu.Oh, astaga. Mereka bukan remaja kasmaran lagi padahal.“Cuma ngobrol biasa, kok.” Maya tidak ingin memperkeruh suasana. Dia ingin mengakhiri obrolan itu sebelum menjalar ke banyak hal. “Ayo kita pulang. Kamu bisa jalan sendiri atau harus dibantu?”Angga menghe
“Coba jelasin ke aku. Kok bisa gini?”Maya mengamati memar di lutut kanan Angga. Wanita itu sebenarnya sudah tahu apa yang menyebabkan memar Angga semakin parah. Namun, dia ingin Angga yang menjelaskannya sendiri.Angga mengangkat bahu tak tahu. “Saya tidak tahu kenapa memar begitu. Sepertinya tiba-tiba muncul.”Maya mendengkus. Wanita itu berpikir Angga hanya berpura-pura padanya. Padahal kenyataannya Angga memang benar tidak ingat.Tidak lama kemudian dokter sekolah –Bu Susi masuk ke ruangan. Perawakannya agak kurus dengan setelan jas putih. Tangannya membawa nampan berisi mangkok, saputangan, gorengan, dua botol air, dan juga obat-obatan.Bu Susi meletakkan nampan di atas nakas. Sebelumnya wanita paruh baya itu sudah memeriksa memar yang dimiliki Angga.“Memarnya tinggal dikompres aja, Bu Maya. Saya juga bawakan obat paracetamol dan ampicillin untuk diminum Pak Angga,” ucap dokter sekolah yang umurnya tidak lagi muda itu. Wajahnya dihiasi senyum tipis. “Kalau begitu saya tinggal sa
“Kamu ngapain di sini?!”Maya kaget bukan main. Wanita itu sampai melongo. Di sampingnya sudah ada Angga dengan setelan pakaian olahraga.“Saya mau ikut lomba, memangnya tidak boleh?” ucap Angga tanpa melirik Maya sedikit pun.“Bukannya gak boleh. Kalo itu, sih, terserah kamu. Tapi kenapa tiba-tiba banget?” Maya melipat tangan, menatap Angga penuh tanda tanya. “Lagian aku ‘kan udah bilang bakalan main sama Bisma.” Angga menghela napas dalam. Kali ini mereka saling bersitatap. “Apa kamu tidak mengerti mengapa saya sampai melakukan ini, Lia?”“Apa?” Maya semakin menantang tatapan itu lebih jauh, menelisik jawaban di mata laki-laki itu.Angga mengalihkan pandangan, lurus kehadapan. Ditatap demikian oleh Maya membuat debar jantungnya tak nyaman. Laki-laki itu berucap dengan tegas. “Saya cemburu. Puas kamu?”Maya terdiam. Tidak tahu harus bereaksi apa. Yang pasti, jantungnya berdebar akibat pernyataan blak-blakan itu.Angga pergi ke panitia, meminta tali pengikat. Tanpa meminta persetujua
“Wah, kalo masalah itu saya gak ikut campur, deh.”Salsa melihat Dira yang tadinya sudah berada di sekolah kembali lagi menuju parkiran. Sebelum sempat anak kecil itu berdiri di antara dua orang dewasa yang ribut masalah lomba, atau sebenarnya cinta, Salsa lebih dahulu menjauhkan Dira.“Dira sayang, ayok kita ke kantor. Mama sama ayah kamu lagi ada yang dibicarain sebentar. Kita gak boleh ikut campur masalah mereka, oke?” kata Salsa pada anak kecil itu, sedangkan Angga dan Maya saling diam."Kenapa Dila gak boleh ikut?" Salsa memutar otak, tapi tidak juga menemukan alasan yang tepat. "Pokoknya kita gak boleh ikut campur, Dira. Kita masuk lagi ke sekolah, ya?"Dira menurut saja ketika Salsa memegang tangan dan membawanya pergi. Kelegaan menyeruak dalam diri Salsa karena berhasil menyelamatkan Dira dari situasi yang benar-benar tidak terduga ini.“Kamu mengerti atau tidak perasaan saya, Lia?” Angga mengulang perkataannya.Suara berat itu menyapu pendengaran hingga dada Maya berdesir ha
“Angga kenapa, sih?”Maya mengamati buket mawar di tangannya. Selesai makan tadi, Angga langsung kembali ke kantornya. Laki-laki itu juga tidak berbicara sepatah kata apapun, sehingga membuat Maya semakin bingung.Bunyi notifikasi di ponsel Maya sejak tadi tidak berhenti. Maya meletakkan buketnya di meja rias, kemudian menilik apa yang sedang hangat dibicarakan oleh orang-orang di grup guru. Ternyata tidak lain dan tidak bukan mengenai lomba yang akan dilaksanakan besok.Maya hanya menyimak, tidak berminat untuk bergabung. Seperti biasa Salsa yang paling banyak bersuara di sana.Lalu satu notifikasi dari pengirim pesan yang lain masuk ke ponsel Maya.Bisma pengirimnya.[May, besok kamu ikut lomba apa?] tanyanya.Maya mengetik apa adanya. [Belum tau, sih. Liat besok aja. Emang lombanya ada apa aja?]Tidak lama setelahnya Bisma mengirimkan susunan acara yang dilaksanakan besok. Agenda terakhir di jadwal adalah lomba-lomba yang dilakukan oleh siswa dan guru seperti tarik tambang, balap k
“Kesambet, Pak?!” Han harap-harap cemas dengan keadaan Angga yang jauh dari kebiasaan. Laki-laki itu sudah bersiap memanggil dukun seandainya Angga memang tidak bisa diselamatkan. Sejak tadi atasannya tidak berhenti tersenyum dan tertawa sendiri. Han sadar tidak termasuk dalam fokus Angga. Tahu tidak dipedulikan, Han yang tadinya agak takut mendekat lekas berdiri di samping Angga dan menaruh dokumen secara sembarang di meja. Laki-laki itu memberanikan diri untuk mengguncang tubuh atasannya. “Pak Angga jangan gila!” “HAANN!” Angga menyorot dengan marah. “Apa yang kamu lakuin ke saya?!” Han mundur beberapa langkah, takut diamuki. “Ya saya kira Bapak lagi kesurupan. Salah siapa senyum-senyum sendiri kayak orang gak waras.” Angga membenarkan jasnya, lalu menghela napas dalam. Ungkapan cinta Maya telah menghinoptis membuat Angga tidak bisa berhenti memikirkannya. Meski masih diperhatikan oleh Han, Angga bersikap untuk tidak peduli. Laki-laki itu memilih menghadapi laptop dan memilih
“Eh tau gak kalo Pak Angga ternyata udah punya pacar?” “Masa, sih? Gak percaya!” “Iya, sih, susah dipercaya apalagi katanya pacar Pak Angga itu guru.” “Astaga, makin gak percaya aku. Masa orang sekeren Pak Angga pacarannya sama guru. Mustahil banget!” Wanita dengan rambut kucir kuda itu mengambil lipstik dari tasnya, lalu melihat lawan bicaranya dengan heran. “Emang dapat gosip dari mana, sih? Ada-ada aja.” “Budi yang nyeritain. Dia bilang ketemu Pak Angga sama pacarnya di kondangan.” Wanita dengan rambut tergerai itu menjelaskan, sedangkan tangannya sibuk menyapukan bedak ke wajah. “Budi?” Ada nada tidak percaya di dalamnya. Senyum penuh ledekan dilemparkan pada kawannya itu. “Heh? Emang kondangannya anak siapa sampe Budi bisa satu tempat sama Pak Angga? Gila ngaco banget tau gak.” Wanita dengan rambut tergerai mengangkat bahu tak tahu. Terlepas dari benar atau tidaknya berita itu, dia tidak ingin terlibat terlalu jauh. “Iya, sih. Emang mustahil Budi bisa satu tempat sama Pak An
“Apa, sih, maunya Angga?!” Maya memijat pelipis, berakhir dengan sungutan kesal dan meninggalkan Angga dengan Bisma di koridor. Baiklah, sekarang Maya tidak peduli dua orang laki-laki itu dewasa itu akan bertengkar karena pikirannya telah terbawa arus lain. Segala tindakan Angga yang membuatnya merasa ‘dicintai’ membuat Maya pening. Apa sebenarnya motif laki-laki itu? “Mama kenapa?” Dira bertanya dengan raut khawatir, sedangkan Maya hanya menggeleng pelan. Wanita itu merasa tertangkap basah. “Mama gak papa, kok, Sayang.” Maya tersenyum pada anak kecil di sampingnya. Kalau sampai ditegur begini, berarti emosinya benar-benar menguar keluar, bukan? Anak kecil itu masih menatap Maya seperti mencari jawaban lain di sana. “Ayok, kita main lego blocks aja, Sayang.” Maya berusaha mengalihkan pembicaraan. Wanita itu mengambil tas Dira, lalu mengeluarkan isinya. “Yey! Dila mau buat lumah, Mama!” kata Dira antusias. Anak kecil itu kemudian mengambil beberapa blocks dan mulai membangun imaj
“Libur semester nanti kamu pulang ke Jawa?” tanya Maya pada Angga. Saat itu mereka berada di kelas sepuluh dan berangkat sekolah. Aktivitas yang akhir-akhir selalu mereka lakukan bersama. Mereka baru sampai di gerbang sekolah dan melihat siswa laki-laki sangat antusias bermain bola di lapangan. Apakah mereka tidak takut berkeringat dan membuat kelas berbau tidak nyaman? Aih, menurut Maya, mereka tidak keren sama sekali. Mereka berbeda dengan laki-laki di sampingnya yang selalu wangi. Maya jadi penasaran, parfum apa kira-kira yang digunakan Angga? Namun, pikiran gadis itu segera teralihkan ketika Angga menjawab pertanyaannya. “Mungkin enggak. Masih belum tau.” Maya melihat Angga dengan alis Maya bertaut heran. “Emang kenapa gak pulang?” Laki-laki itu sedikit melirik ke arahnya, lalu mengendikkan bahu. “Entahlah. Kayaknya karna takut disuruh-suruh selama liburan. Lagian libur semester paling cuma seminggu.” Maya tertawa. “Iya, sih. Aku setuju. Kalo liburan biasanya bakalan disuru