Aku terbangun karena merasakan gerakan di sebelahku. Mungkin Akmal terbangun.
Terdengar beberapa kali dia menyebut nama Tuhan. Aku ingin mengacuhkannya, tapi telingaku benar-benar terganggu.
Terlalu lama tidur dengan posisi miring membuat badanku terasa pegal. Aku menggeliat dan sedikit meringis saat sadar selimutku tersibak.
"Na, ba--bagaimana bisa kita ada di sini?"
Panik, ya … Akmal terlihat panik dan bingung di saat bersamaan.
Aku mengedikkan bahu, berusaha meraih selimut untuk menutup tubuhku.
"Kita … kita, maksudku semalam tidak terjadi apa-apa kan?" Akmal menatapku, dia sudah berpakaian lengkap walau terkesan asal pakai saja.
"Menurutmu?" Aku membalikkan pertanyaan.
Akmal mengusap kasar wajahnya. Dia berdiri
Pak Haris mengantarku ke arah luar kota, berjarak dua jam perjalanan dengan mobil. Aku yakin tak akan ada penolakan di sana. Dan mungkin saja aku bisa mendapatkan pekerjaan sekaligus.Perjalanan panjang dengan perut kosong sebenarnya cukup menyiksa. Pak Haris bukan Panji, yang selalu saja memikirkan perut. Pak Haris mengemudi dengan tenang, hanya sesekali menoleh ke arahku. Seperti memastikan jika aku baik-baik saja.Mataku terpejam, namun aku sama sekali tidak tidur. Hanya merasa lelah yang teramat sangat. Lelah menghadapi semua ini sendiri.Terdengar Pak Haris berbicara dengan seseorang di telpon. Sayangnya aku tak bisa mendengarnya dengan rinci, karena Pak Haris menggunakan earphone."Mbak Marta, anda tidur?" tanya Pak Haris.Aku membuka mata, "tidak, Pak.""Maaf Mbak, di belakang
Apa-apaan ini? Siapa yang sedang membohongi siapa?Aku termenung menatap langit-langit bergambar awan. Surat ini Pak Haris temukan di ruang kerja Akmal, jadi tidak mungkin mantan suamiku tak tahu tentang ini kan?Jadi selama ini Akmal membohongiku? Berperan seolah-olah tak pernah periksa. Dan menyembunyikan ini semua dariku? Brengs*k!Lalu Raina? Jelas sekali dia sedang hamil. Waktu itu aku dengar dengan telingaku sendiri, jika kondisi janinnya baik-baik saja. Meskipun tubuh Raina sangat lemah.Raina hamil dengan siapa? Mungkinkah Panji?Akmal mandul. Dia sendiri tahu tentang itu. Tapi kenapa dia mengaku jika Raina hamil karenanya?Kepalaku berdenyut. Siapa yang dibodohi di sini? Aku, Akmal, atau Raina?Hah …! Kenapa hidupku kacau begini. Apakah karena
Raina sakit. Kabar itu kuterima sehari setelah Pak Haris mengatakan jika kakek meninggalkan surat wasiat.Karena itu Pak Haris mengatur ulang jadwal pertemuan antara aku, Raina, dan orang yang menyimpan surat wasiat dari kakek."Kamu nggak pengen nengok Raina?" tanya Panji di sela kesibukanku mengelap gelas dan piring."Nggak." Aku menjawab singkat."Kenapa?"Aku menatapnya sekilas sebelum kembali melanjutkan pekerjaanku. Yang jelas aku tak yakin Raina benar-benar sakit. Bisa jadi itu cuma alasan yang dia buat untuk menghindar kan?"Belum bisa move on?"Ku letakkan lap kotor di atas meja. Pengunjung cafe masih sepi karena ini masih terlalu pagi."Beneran belum bisa move on?"Seandainya Panji bukan p
"Rara …? Kamu Rara kan?" seru Maya. Tangannya mengarah kepada Raina.Raina pun membulatkan mata. Mulutnya sedikit terbuka, seolah terkejut melihat Maya.Apakah mereka berdua saling mengenal?"Maya …," lirih suara Raina terdengar.Ada getar gugup yang coba ditutupi. Tatapannya sebentar menunduk, tapi beberapa saat kemudian dengan berani dia mengangkat dagu."Kalian saling kenal?" tanya Panji pada Maya dan Raina."Hmm … iya, Kak. Aku dan Maya pernah kerja di tempat yang sama.""Dimana?"Tak ada yang menjawab. Hanya saling menatap, seolah isyarat untuk memilih diam. Baiklah, biar nanti ku tanyakan pada Maya.Raina menatap sekeliling, dan memilih duduk di seberangku. Aku masih
Panji menggumamkan kata yang hanya didengar oleh Pak Haris. Pengacaraku pun menjawab sesaat sebelum tertawa. Panji semakin menekuk wajah.Ada apa dengan lelaki itu? Dengan cepat dia masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin.Setelah membukakan pintu mobil Pak Haris untuk Maya, aku berbalik menuju mobil Panji.Aku mengetuk jendela dan mengisyaratkan Panji untuk membuka pintu. Dia tertegun sejenak sebelum membuka pintu."Ji, tolong mampir ke toko baju ya, aku sama Maya nggak bawa baju ganti.""Siap Nyonya," jawab Panji sambil mengulas sedikit senyum.Hei, mudah sekali suasana hatinya berubah."Kamu kenapa?" Kuberanikan diri untuk bertanya."Hmm? Kenapa apanya?""Itu tadi. Ketus gitu waktu aku keluar d
Sepulang dari bukit, Maya dan Pak Haris semakin dekat. Sementara aku dan Panji seolah terpisah sekat yang ku bangun sendiri.Aku merasa salah arah bahkan sebelum aku memulai perjalanan. Bagaimana mungkin Panji bisa dengan tenang mengatakan agar tak mengharap dia melamarku?Siapa dia?Begitu percaya diri seolah aku menantikan lamaran darinya. Ingin ku cabik mulutnya yang sering menghembuskan asap rokok itu! Huh, apakah dia pikir aku semenderita itu hingga sangat mengharap lamaran darinya?Apa karena sebentar lagi aku resmi menyandang gelar janda, dan dia pikir aku akan menggodanya untuk menikahiku?Dasar!Rutukku geram. Tanpa sengaja aku meremas botol air mineral di tanganku."Kenapa, Ta?" Aku menoleh dan menemukan Panji berdiri di pintu dapur.&nb
"Siapa kamu?"Tiba-tiba dia menarik amplop dari tanganku. Seketika pandangan kami bertemu.Dan …Ya Tuhan, kenapa Maya tidak bilang kalau bos butik ini masih sangat muda? Mungkin masih berusia dua puluhan.Tunggu, atau jangan-jangan aku salah orang? Bisa saja kan dia--"Siapa kamu?" Dia mengulang pertanyaan yang sama."Ehm, maaf. Saya ingin bertemu pemilik butik."Pemuda itu memandangku sekilas sebelum tersenyum mengejek."Maksud kamu Bosnya butik ini?""Iya," jawabku tegas."Mau apa?""Mau melamar pekerjaan di sini.""Oh. Masuk …!"Pemuda ini, kenapa gayanya arog
Ketukan pintu membuatku terbangun. Semalam aku tertidur dengan posisi duduk bersandar di ranjang.Ketukan kembali terdengar. "Ya, sebentar!" seruku. Aku mengikat rambut sebelum melangkah ke kamar mandi, cuci muka dan menggosok gigi.Tok … tok … tok …Siapa sih? Kenapa tidak mau sedikit bersabar.Ku buka pintu, dan menemukan Panji bersandar di tembok. Kedua tangannya terlipat, sorot matanya menatapku tajam.Kuberanikan diri menentang mata itu. Mata yang kadang redup, menawarkan rasa nyaman dalam ketidak pastian."Ayo ikut," ajaknya seraya melangkah mendahuluiku.Tak ada pilihan selain mengikutinya.
Pulang adalah pilihan terakhir. Rumah ini terlihat sangat sepi. Namun, aku merasa setiap sudut tidak lepas dari sosok seorang Arka.Aku ingin menangis. Menikmati sesak yang semakin dalam menghujam.Rasa bersalah karena menyusupkan nama lelaki lain selain Arka, membuatku merasa jika Arka pantas melakukan ini padaku.Mungkin dia merasa, dalam hatiku belum sepenuhnya menerima dia.[Ka, pulang.] Tanpa sadar aku menulis pesan untuknya.[Aku kangen.] Entah kenapa kalimat singkat itu kuketik begitu saja.Tidak peduli kapan terbaca. Setidaknya aku berusaha mengungkapkan isi hati.Tanpa permisi, tiba-tiba saja kenanganku dengan Arka kembali datang. Awal pertemuan, lalu semua yang pernah kami lalui. Semua muncul tiba-tiba.Ada nyeri yang tiba-tiba menghujam. Saat bayangan pernikahan kami tertayang. Aku seorang istri. Namun, di hatiku masih belum bisa seutuhnya menerima. Masih ada nama lain yang tertulis indah, walau aku berusaha menghapusnya.Tidak. Aku tidak benar-benar menghapusnya. Aku hanya
Bodoh!Aku terus mengutuk kebodohanku sendiri. Sekarang, selain lemah dan tidak bisa apa-apa, cap apa lagi yang akan Panji sematkan untukku?Murahan?Ck!Aku meremas stang motor dengan kuat. Itu juga membuat laju motor semakin menggila.Tanpa peduli dengan apapun, aku terus melaju. Membiarkan angin menampar wajahku berkali-kali.Jalanan yang lengang di jam kerja membuatku merasa bebas. Mengumpat, memainkan gas dan melakukan apapun di atas kendaraan roda dua ini.Bahkan tanpa sadar aku berkendara semakin jauh. Bukan ke arah rumah Pak Har. Melainkan ke tempat sunyi yang pernah ku kunjungi.Saat ini aku hanya ingin sendiri. Menyepi, memuaskan diri merutuk juga mengutuk.Sendiri.Perjalananku berakhir di atas bukit, tempat yang pernah kukunjungi bersama Maya, Pak Haris dan juga Panji.Aku tetap duduk di atas motor. Mencoba mencari ketenangan di atas ketinggian.Suasana yang sedikit mendung, menyelamatkanku dari terik matahari.Pelan kulepas helm, dan meletakkan benda itu di gantungan yang
Kepalaku seperti berputar.Banyak kemungkinan dan bayangan buruk berjubel di sana.Jika benar perempuan itu Amel, berarti Arka menghamili gadis itu! Lalu, di mana mereka sekarang?Aku bergegas mengobrak abrik laci di meja Arka. Rasa marah begitu besar, hingga nafasku sesak.Arka brengs*k!!!Lelaki itu, apa maunya! Membuat seorang gadis hamil, lalu menikahiku? Gila!Apa dia dilahirkan oleh batu, hingga tidak bisa menjaga harga diri dan perasaan seorang perempuan?Umpatan masih terus bergaung di dalam hatiku. Sementara tanganku bergerak lincah mengeluarkan apa saja yang ada di dalam laci. Kertas, kain, alat gambar dan lain-lain.Tanpa kuduga, aku melihat selembar foto ikut terhempas. Penasaran kuambil dan mataku menyipit.Seorang anak laki-laki, tertawa lebar menghadap kamera. Sementara dua orang dewasa duduk mengapitnya. Keduanya merangkul anak itu dengan senyum mengembang.Ini Arka? Kernyitku saat mengamati foto itu lebih detail. Aku bahkan melihat pancaran rasa bahagia dari tiga soso
Jam sembilan kurang lima menit, terlihat sebuah motor berbelok dan berhenti di parkiran.“Mbak!“ Pengendara itu berteriak memanggil.“Ita,” sapaku. Perempuan itu membuka helm, lalu melepas jaket. Setelah mencabut kunci motor, dia bergegas turun dan menghampiriku.“Ngapain pagi-pagi nongkrong di situ?“ tanyanya heran.Aku tersenyum geli. “Nungguin kamu, Beb,” godaku.“Ih, geli!“ ucapnya sambil tergelak.Tangannya terlihat mencari sesuatu di tas. Tak lama, sebuah kunci yang sangat kukenal berhasil dia keluarkan.“Ini nggak dalam rangka sidak, kan?“ tanya Ita.“Enggak, aku cuma pengen main,” sangkalku.Ita membuka pintu utama butik. Aroma khas kain bercampur pengharum ruangan segera menyambutku. Suasana ruang display tidak ada yang berubah.“Mbak tunggu di ruangan Pak Bos aja, aku bersih-bersih dulu,” kata Ita yang sudah memegang alat kebersihan.Melihatnya, aku seperti kembali ke masa lalu. Hanya saja, dulu Bos galak itu memintaku datang lebih pagi dan membawakannya sarapan.“Mbak!“ Ita
Aku memutuskan tidur di penginapan bersama Maya. Nyaris semalam kami menunggu, kalau-kalau Amel muncul. Penantian yang sia-sia menimbulkan rasa lelah yang teramat sangat.Bertiga dengan Maya dan Agnes, kami berbagi tempat tidur. Beruntung pihak penginapan menyediakan ruang khusus untuk pegawai. Kondisi keuangan yang menipis, membuatku harus berhemat.Aku bahkan baru sadar, belum pernah menerima uang sepeserpun dari Arka.Arka, lelaki itu ikut menyedot pikiranku. Kemana dia? Apa mungkin dia berpikir aku masih di rah Pak Har? Karena itu tidak ada rasa khawatir di hatinya?Atau, jangan-jangan sesuatu terjadi padanya?Segera kuenyahkan pikiran buruk. Aku berharap, dimanapun dia saat ini semoga dalam keadaan baik-baik saja.***“Aku mau ke butik,” sahutku ketika Agnes menanyakan kegiatanku hari ini.“Oh, tapi sebelumnya kamu sarapan dulu, ya,” katanya sambil menunjuk area taman.Aku mengangguk dan kembali merapikan penampilan.Tanpa menunggu lama, aku segera menyusul gadis itu. Di meja tam
Cepat kucekal tangan Panji. Aku tidak mau ikut campur, tapi aku juga tidak mau Panji melakukan kesalahan. Cukup dua kali aku melihatnya berkelahi. Pertama dengan Pak Har, kedua dengan Arka.Sosok Aldi cepat masuk ke lobi. Seperti biasa, dia melempar senyum pada semua yang ada di ruangan ini.“Kamu bukannya masuk pagi, May? Ngapain nongkrong di sini?“ tanya lelaki itu tanpa merasa bersalah.“Kamu kemana aja?“ pancing Maya.“Ini kenapa pada heboh nanyain aku, sih? Berasa artis, deh,” kekehnya pelan.Panji semakin menengang. Semakin kuat pula cekalan tanganku di lengannya.“Ta, dosa, loh, ngegandeng laki lain.“ Aldi masih sempat menggodaku.Kepala ini berdenyut, sikapnya tidak menunjukkan jika dia baru saja membawa kabur anak orang.Kulirik Panji, lelaki itu sangat terlihat sulit menahan diri.“Di, dari mana aja kamu? Sesore ini kita kalang kabut nyariin. Ponsel kamu juga nggak aktif!“ Agnes tiba-tiba datang dan memberondongnya dengan pertanyaan.“Pulang kerja tadi langsung mancing, pons
“Aku harus ke penginapan sekarang!“ gumam Maya. Dia bergegas keluar kamarku.“May, aku ikut!“Maya menghentikan langkahnya. Menataoku dengan pandangan bingung. Tanpa banyak bicara, kutarik tangannya agar tidak membuang waktu terlalu lama.Sebagai resepsionis yang menyambut kedatangan Amel, kehadiran Maya pasti sangat diperlukan. Mungkin dia melihat siapa yang mengantar Amel, atau apapun itu.“Aku ambil tas sebentar,” katanya sambil melepas gandengan tanganku.“Oke, aku nyalain motor dulu, ya!“ Seruku sambil berjalan keluar rumah.Beruntung kunci motor biasa kami gantung di dekat pintu. Hal ini memudahkan saat keadaan mendesak seperti ini. Tidak ada drama mencari kunci motor yang pasti akan memakan waktu dan membuat suasana semakin tidak nyaman.Sesampainya di penginapan, semua pegawai memandang kami dengan tegang.Panji setengah berlari ke arahku. “Amel nggak cerita apa-apa ke kamu?“ cecarnya.Aku menggeleng. Raut wajah Panji terlihat sangat kacau. Urat di dahinya terlihat menegang.K
Pak Har seperti tidak ingin membahas tentang 'perempuan itu'. Bahkan hingga sore, dia tidak lagi muncul. Meski begitu, aku tetap berusaha berhati-hati saat berkeliaran di dalam rumahnya. Kamar Raina saja tidak lepas dari pantauan, apalagi ruangan lain.Seharian aku lupa tidak menghubungi Arka. Begitupun dengannya. Tidak ada pesan masuk di kolom percakapan kami.Tidak seperti hubungan orang lain, dimana hampir setiap waktu saling mengirim pesan. Tentang itu, aku bisa mengambil kesimpulan, aku baik-baik saja tanpa mendapat kabar atau apapun dari Arka.Entah karena hari ini aku terlalu sibuk, atau karena aku menikmati kebersamaanku dengan Raina.Perempuan itu merengek agar aku mau menginap. Tentu saja aku menolaknya dengan tegas. Bagaimana aku bisa tidur jika ada yang mengawasi disetiap sudut rumah ini?!Pak Har bilang, CCtv itu di pasang untuk memudahkannya mengetahui kondisi Raina. Bagiku itu hanya sekedar alasan. Aku khawatir lelaki tua itu sebenarnya seorang psikopat.Semoga Tuhan me
Airmata Raina mulai menggenang. Wajahnya terlihat semakin kuyu.“Kamu kenapa?“ tanyaku hati-hati.Kuberi elusan lembut di bahunya. Raina perempuan tegar yang selalu ceria. Dulu. Berbeda dengan Raina yang kutemui sekarang.“Aku tidak bisa hidup seperti ini, dia sangat menakutkan!“ Suara Raina sedikit tertahan.“Pak Har kasar? Suka memukul?“Raina menggeleng. Aku semakin bingung dibuatnya.“Dia sangat menginginkan anakku. Sementara aku tidak mau bersamanya. Aku ingin pergi, Ta. Bawa aku pergi dari sini, tolong ….“Suara Raina terdengar mengiba. Airmata masih terus mengucur, bahkan semakin deras.“Dia juga menginginkanmu, Na. Bukan hanya anakmu. Buktinya dia mencarimu, dan tidak melupakanmu, kan?“Raina menggeleng. Hormon kehamilan mungkin memengaruhinya. Aku berusaha menenangkan perempuan itu.“Masih sakit?“ tanyaku sambil mengelus perutnya pelan.Raina menggeleng.“Makan, ya?“ Kulirik nampan berisi sarapan yang belum disentuh.Lagi-lagi Raina menggeleng.“Hei, kamu tidak bisa berbuat s