Part 76“Rasti, masuk dulu,” ujar Rano.Rasti tersadar dan berkali-kali mengusap air matanya.“Mbah, ini Rasti namanya. Dia anaknya Pak Rusdi, alias cucu Mbah,” ucap Rano menerangkan.“Anake Rusdi? Cucuku?” tanya Si Mbah dengan bahasa campur. Ia kini yangb berganti memeluk Rasti sambil menangis dan terus menerus berbicara, menyatakan segala ungkapan hati yang dipendamnya selama puluhan tahun.“Kok baru ke sini, ha? Kok ra eling Simbah? (kok tidak ingat simbah) Kok gak pernah pulang kenapa? Mendi bapakmu? (mana bapakmu)” tanya Si Mbah beruntun.Rasti menangis tergugu di pelukan wanita yang dekapannya sangat ia rindu sejak dulu kala. Nadine dan Raline pun ikut menangis melihat sang ibu berperilaku demikian.Setelah puas menumpahkan rasa haru, ibunda Rusdi mengajak mereka masuk.Lantai keramik yang sangat dingin terasa di kaki Rasti dan anak-anaknya. Musim kemarau dengan angina yang sangat kencang memang membuat udara terasa dingin meski matahari bersinar terang.Wanita tua yang bernama
Rasti bernapas lega karena ia tidak perlu memulai pembicaraan itu.“Terus, bagaimana mereka menikah, Mbah?” tanya Rasi penasaran.“Astuti sakit parah karena berusaha dipisahkan dari Rusdi. Akhirnya tidak ada pilihan lain selain menikahkan mereka. Tapi, bapakmu benar-benar tidak dianggap di rumah mereka. Maklum, mereka keluarga paling terpandang di desa ini. Sebuah aib, anak simbah yang miskin sampai menikahi anak gadisnya. Setelah menikah, mereka berusaha dipisahkan, itu sebabnya Rusdi mengajak Astuti kabur.”“Sekarang, mereka bagaimana sama Simbah?” tanya Rasti.“Ya, masih belum mau bertanya kalau ketemu. Mereka itu ada di RT sebelah. Masih satu dusun. Tapi ya, tetap angkuh. Wong Simbah ini tidak pantas untuk jadi besan. Mereka masih hidup, orang tua Astuti masih lengkap. Mas-nya Astuti, pak dhe kamu, jadi kepala KUA. Adiknya ada dua, yang satu polisi, dan yang satu perempuan jadi bidan.”Rasti paham, bahwa profesi pegawai di desa yang jauh dari kota adalah sebuah hal membanggakan. M
Part 77“I-iya,” jawab Rasti terbata.“Aku, aku adalah ibu Astuti,.” Muryani memperkenalkan diri. “Ayo, kita ke rumah,” ajak Muryani.Rasti bergeming. Merasakan keanehan dari cara neneknya mengajaknya. Tidak seperti orang yang baru saja bertemu. Penyambutan yang jauh berbeda dari saat ia bertemu Watri. “Ke rumah siapa?’ tanya Rasti kaku.“Ke rumah ibumu,” jawab Muryani sambil mengusap sudut mata yang basah.“Rumah ibuku ada di Jogja,” jawab Rasti.Muryani celingukan. Bingung hendak berkata apa. “Ke rumah eyang kamu,” jawabnya kaku pula.“Eyang siapa? Aku belum mengenal siapapun di sini,” jawab Rasti jujur.“Ini ibu dari ibumu, Nduk,” jelas Watri. Padahal Muryani sudah memperkenalkan diri sebelumnya.“Ayo, kemasi barang-barang kamu. Kita pindah ke rumah eyang. Rumah ibumu masa kecil dulu. Eyang Kakung sudah menunggu di rumah.” Sebuah ajakan yang kurang sopan dilontarkan Muryani.Watri yang merasa tidak sepadan dengan Muryani, memilih diam. Merasa tidak sepadan jika ikut dalam perbincan
“Alhamdulillah iya, Eyang. Bapak memberiku banyak kasih sayang dan nasehat untuk selalu menghargai orang lain, bagaimanapun keadaannya. Termasuk juga, harta yang banyak. Bapak meninggalkan harta yang sangat banyak untukku. Asal Eyang tahu, ibu berlimpah harta hidup bersama bapak. Bapak memiliki showroom mobil yang besar di sana.”Muryani membelalak tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh sang cucu.“Menjadi kaya tidak harus orang yang berpendidikan tinggi, Eyang,” imbuh Rasti.“Ya sudah, kamu memang mirip dengan bapak kamu. Kalau kamu tidak mau, tidak usah ceramah banyak hal.” Usai berkata demikian, Muryani bangkit dan meninggalkan rumah Watri.***“Kami pulang ya, Mbah? Kapan waktu, kami ke sini lagi,” ucap Rasti saat bersiap untuk masuk mobil. Huda sudah datang sejak semalam untuk menjemput mereka.Watri mengusap mata yang basah. Berat rasanya melepas kepergian cucunya. “Jangan lupa pulang ya, Rasti. Ini rumah kamu,” jawab Watri terbata.“Pasti, Mbah ….”Mereka berpelukan seb
Part 78“Mama kenapa Tante Firna seperti itu” tanya Raline ketakutan.“Iya, biarkan saja. Kalian kalau ada yang menggedor pintu keras, jangan pernah membukanya, ya?” pesan Rasti.Nadine dan Raline mengangguk paham.Firna akhirnya pulang dengan tangan kosong. Langkahnya terseok karena menahan lapar.“Aku tidak akan sekolah lagi hari ini, Bunda?” tanya Yasmin saat ibunya pulang dengan wajah murung.“Sayang, tahun ajaran baru ternyata belum dimulai. Ini anak-anak lain baru selesai tes. Kita nunggu beberapa hari lagi, ya?” jawab Firna lembut.“Bunda janji, ya?” ucap Yasmin.Firna mengangguk lemah.‘Aku harus mencari pekerjaan apapun agar anakku bisa sekolah,’ tekadnya dalam hati.Rasti yang takut dengan perilaku Firna, datang menemui Aris. Berkonsultasi dengan lelaki yang sudah dianggapnya sebagai pengganti ayahnya itu.“Jika dia melakukan hal yang anarkis, kamu langsung telpon ya? Untuk menghadapi Firna, sepertinya tidak perlu penjaga rumah. Karena dia hanya seorang wanita lemah. Dia jug
Rasti memandang Hanung dengan perasaan kasihan. Ia tidak menyangka, lelaki yang terkenal berani jika di ruang sidang itu, nyatanya memendam sebuah penderitaan yang dalam.“Semoga bapak dan Alea kuat.” Rasti memberikan support.“Terima kasih,” jawab Hanung sambil tersenyum.“Saya pamit, Pak,”“Hati-hati,”“Tante ….” Alea memanggil saat Rasti hendak mengambil tas yang ada di sofa.“Ya, Sayang?”“Besok ke sini lagi temani aku, ya?” pinta Alea memelas.Rasti mengangguk lalu berkata, “iya, sayang. Sekarang, Tante harus pulang menjemput anak-anak Tante.”Semenjak hari itu, setiap hari, Rasti selalu menyempatkan diri datang ke rumah sakit. Liburan anak-anaknya telah tiba, tapi rumah sakit melarang untuk anak-anak masuk. Jadi, rasti memilih menitipkan mereka di rumah Sumarti. Ia sudah memberikan pengertian pada Nadine dan raline bahwa anak temannya harus menunggu ibunya yang sakit parah seorang diri. Nadine dan raline memahami hal itu, meski mereka agak kehilangan waktu b=ibunya selama hari l
Part 79Alea masih menangis di samping pusara sang ibunda. Hanung pun demikian. Namun, lelaki itu terlihat lebih tegar dari sang anak. Rasti yang memilih tidak pulang usai pemakaman, berdiri dengan didampingi Nadine dan Raline. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain mendoakan Alea dan ayahnya diberikan ketegaran dan kekuatan.“Pak Hanung, Alea, saya pamit, ya?” ucap Rasti. Ia masih menggunakan bahasa formal jika berbicara dengan lelaki yang berprofesi sebagai pengacara itu.“Tante, jangan pulang. Tante ikut aku ke rumah dulu,” cegah Alea dengan terbata karena menangis.Rasti memandang Nadine dan Raline secara bergantian. Meminta peryimbangan dari kedua anaknya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah dua pasang mata yang balas menatap. “Baiklah,” ujar Rasti memutuskan.“Mbak Rasti naik mobilku saja.” Hanung memberikan tawaran.“Tapi saya bawa sopir, Pak,’ jawab Rasti.“Suruh pulang saja sopirnya. Nanti pulangnya biar diantar sama sopir saya,”Rasti mengangguk pasrah. Karena niatnya memang ingi
Nadine dan Raline sedari datang hanya bergandengan tangan. Mereka bingung hendak bermain apa. Karena Alea sesekali masih merengek, menangis dalam pelukan Rasti. Bahkan saat di kamarnya pun, ia masih berbaring dengan memeluk Rasti.“Mama, jenuh, lapar,” celetuk Raline saat Hanung masuk ke kamar.“Oh, lapar, ya? Sebentar, mau makan apa? Biar Om bilang sama bibik suruh masakin,” jawab Hanung yang mendengar.“Aku mau ayam goreng saja,”“Nadine mau apa?” Hanung melihat putri sulung Rasti.“Sama kayak Raline saja,” jawab Nadine.“Baiklah,” ujar Hanung singkat lalu pergi.Usai makan di ruang makan, Nadine dan Raline kembali dilanda bingung. Tidak ada yang menyapa mereka, meski beberapa orang berlalu lalang. Tidak ada tempat untuk bermain. Sementara ingin mengajak pulang Rasti, tubuh ibunya serasa disandera oleh Alea.“Kak, apa Kak Alea akan minta mama kita?” tanya Raline pada sang kakak dengan berbisik. Mereka berdua masih duduk di meja makan.“Setelah ini, kita larang mama datang kesini,” j
Melihat hal itu, tentu saja Rasti merasa lega. Karena ia tidak akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Huda di kamar rumah sakit.“Makan dulu, ya? Nanti minum obat,” ucap Huda seolah memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menjaga Rasti.“Jangan sentuh makanan itu! Biar aku yang nyuapi mama,” kata Nadine sewot.“Baiklah,” ucap Huda mengalah.Beberapa jam, Danang terpaksa duduk memperhatikan segala gerak-gerik Huda yang begitu perhatian terhadap mantan istrinya. Meski berkali-kali Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada Huda, tapi lelaki itu seolah tidak peduli.Rasti hanya terbaring dalam posisi lemah dengan perasaan yang cemas. Takut, bila terjadi sebuah pertengkaran di saat ia tengah sakit.Danang hanya duduk diam di kursi, merasa dirinya hanya datang untuk menemani Nadine, dan tidak ada hak lagi atas Rasti.“Dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Rasti setelah didudukkan oleh Nadine pandangan matanya tertuju pada Huda. Saat itu, Nadine tengah keluar untuk membeli minuman. Hanya
Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit tangan Rasti yang tengah terampil memetik cabai di kebun. Kesehatan sang nenek sudah memburuk akibat usia yang sudah senja. Ia merasa takut kehilangan Watri, setelah sebelumnya Priono disusul Muryani menghadap Sang Pencipta. Kini, ia lebih memilih fokus merawat ibu dari ayahnya itu.Sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah watri. Rasti berhenti dari aktivitasnya, gegas berjalan menuju halaman yang posisinya berada di atas kebun. Ia memicingkan mata, melihat kode plat mobil yang menandakan area Jogjakarta. Tangannya masih memegang sebuah baskom plastic kecil berisi cabai.“Tante!” Sebuah sapaan lembut terucap dari mulut gadis yang baru saja turun dari mobile.“Alea!” Reflex, mulut Rasti menyebut nama seorang gadis yang terlihat kurus.“Tante ….” Alea kembali memanggil Rasti dengan mata berkaca-kaca.“Maaf, menyusul kamu ke sini.” Hanung yang baru saja turun dari mobil langsung menyahut.“Mama, siapa yang datang?” tanya Nadine yang b
“Akhirnya kamu datang, Mbak. Dan baru kali ini kita bertemu,” ucap Huda.Rasti yang kini telah berbalik sedikit mundur.“Jangan takut, Mbak! Aku tidak akan melukai Mbak Rasti lagi. Aku datang untuk minta maaf. Maaf, aku telah berpesan pada tetangga Mbak Rasti untuk menghubungiku saat Mbak datang.”Rasti masih belum percaya apa yang dikatakan Huda. “Untuk apa?” tanyanya ketus.“Aku ingin minta maaf, Mbak. Duduklah sebentar denganku,” ajak Huda.Dengan ragu-ragu, Rasti mengikuti Huda yang duduk di tepi teras. Lantai masih terlihat bersih karena setiap pagi dibersihkan oleh karyawan.“Aku sudah bercerai dari Maryam. Aku benar-benar telah menyakiti hatinya. Tapi, aku tidak berbohong jika rasa cintaku hilang terhadap dia saat Mbak Rasti datang kembali dalam hidupku dulu kala. Dan sampai saat ini, aku masih memendam rasa itu.” Huda berhenti sebentar lalu memandang Rasti dengan posisi kepala menoleh. “Aku masih mencintaimu. Maaf, aku telah berusaha mendapatkanmu dengan cara yang salah. Maaf,
“Saya terima nikah dan kawinnya Rasti Efrianti binti Rusdi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai ….”Ucapan sah menggelegar di ruang tamu rumah Rasti yang ada di kampung. Senyum Nadine dan Raline mengembang dengan sumringah.Rasti yang memakai hijab syari dengan riasan sederhana mencium takzim tangan lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Mereka lalu saling tatap dan mengurai senyuman.Setitik air mata jatuh dari pria yang memakai kemeja berwarna putih.***Rasti memperhatikan orang yang dibayar untuk memotong rumput yang sudah meninggi di rumahnya yang di Jogja. Anak-anaknya tidak ikut serta karena mereka tidak mau. Setelah pekerjaan orang suruhannya selesai, ia bersiap untuk kembali masuk rumah.“Rasti ….” Sebuah suara membuatrnya urung masuk.Mata Rasti menatap pria yang baru datang tanpa berkedip. “Pak Hanung,” sapanya dingin.“Akhirnya kamu kembali,” sahut Hanung. “Aku sering datang ke sini untuk menunggumu pulang. Dan hari ini, aku bertemu denganmu.”“Unt
Mereka basa-basi sebentar, saling menceritakan hidup yang dialami masing-masing. Setelah lama berbincang, Firna menyampaikan maksud kedatangannya menemui Rasti. “Aku minta maaf atas semuanya, Mbak. Aku telah bersalah sama Mbak Rasti. Aku sudah egois dalam mencintai Mas Danang. Dan pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelampiasan baginya. Cinta Mas Danang sepenuhnya untuk Mbak Rasti. Aku menikah dengan seorang pria yang hidupnya di jalan, tapi mengajarkanku banyak hal. Kami memulai semua dari bawah. Dia tahu semua kisah hidupku dan perlahan mengubah sifat egoisku. Dia juga pria yang sangat baik. Melindungi dan menyayangi Yasmin seperti anaknya sendiri. Bahkan, saat aku marah sama Yasmin, Mas Dion tak segan memarahiku bali. Aku merasa beruntung. Ini bukan hal yang penting bagi Mbak Rasti. Tapi, perlu aku ceritakan agar Mbak tahu bagaimana aku saat ini,” ucapnya lalu berhenti. Memandang Danang dengan ragu, kemudian mengeluarkan sebuah kotak. Rasti tertunduk. Hampir saja ia berpikir buru
Part 93 Semua sibuk dan larut dengan perasaan masing-masing. Nadine dn Raline yang bahagia bertemu ayahnya. Firna yang terlihat malu-malu pada Rasti. Dan Rasti yang sibuk menenangkan hati. ‘Aku sudah bercerai sama Mas Danang. Aku harus bersikap biasa saja melihat mereka,’ tekan Rasti dalam hati. “Mbak, apa kabar?” tanya Firna sopan. Seyogyanya seorang tamu dipersilahkan masuk, tapi yang terjadi justru tamu Rasti yang menyapa lebih dulu. “Ba-baik. Kamu apa kabar?” tanya Rasti kaku. “Baik, Mbak. Alhamdulillah,” jawab Firna. Rasti mengamati penampilan sederhana dari mantan madunya. Anak Firna menangis merengek di dalam gendongan. “Yas, tolongin Bunda, pegangin adek. Bunda pengen ke belakang,” pinta Firna pada anaknya yang terlihat lemas. “Aku pusing dan mual, Bunda. Ayah saja dipanggil,” tolak Yasmin. Entah mengapa, Rasti serasa tidak kuat melihat pemandangan keharmonisan keluarga Firan dan Danang. Ia mencoba menahan segala rasa yang berkecamuk agak tidak terlihat. “Ayah, ini p
“Kalau ketemu lagi, namaku Dion,” ucap preman itu kemudian melangkah cepat.“Jangan mengemis lagi. Bentar lagi Bunda akan bisa beli mesin cuci. Bunda mau buka laundry saja. Biar bisa bekerja di rumah. Nanti, Bunda akan pasang iklan,” ucap Firna.Hari setelah itu, pria yang mengaku bernama Dion sering datang ke kontrakan. Lama kelamaan, Yasmin menjadi terbiasa dan akrab. Dibalik tubuhnya yang kekar dan sangar, ia ternyata memiliki sebuah kepedulian. Sikap Firna masih cuek. Namun, berkali-kali pria itu datang membawakan setumpuk cucian kotor. Lalu memaksa Firna untuk memberikan cucian yang sudah bersih dan mengantarkannya ke pelanggan.Terkadang Dion datang di pagi hari, membawa cucian kotor, lalu mengantarkan yang bersih sambil mengantar Yasmin ke sekolah. Lalu ia akan pergi dan kembali lagi keesokan harinya. Seolah hal seperti itu adalah rutinitas Dion saat ini.Di dalam sel tahanan, Danang mengenal seorang narapidana yang sangat taat beragama. Hal itu membuat ayah Nadine dan Raline s
Part 91 Gadis kecil memakai seragam itu berlari menuju rumahnya. Segera berganti baju setelah sampai. Berlalu kembali dengan membawa plastic bungkus permen yang sudah using. Ia menengadahkan tangan ada setiap motor dan mobil yang berhenti di perempatan lampu merah. Setelah dirasa cukup, ia lalu bersiap pulang. “Ayo, setoran!” hardik seorang preman membuatnya ketakutan. “Jangan ambil, Om. Aku butuh uang ini,” pinta Yasmin memelas. “Hanya kamu pengemis yang tidak pernah setor. Mau kamu, aku bawakan satpol PP buat menangkap kamu biar masuk penjara?” Yasmin menggeleng. “Tapi aku butuh uang ini,” ucapnya dengan bibir bergetar. “Ibu kamu kemana?” “Bunda mengamen, mau buat beli mesin cuci biar bisa kerja di rumah,” jawab Yasmin jujur. Di saat bersamaan, serombongan satpol PP bergerak menertibkan pengemis yang dirasa semakin banyak. Biasanya akan ada pembinaan dan pelatihan kerja bagi orang dewasa. Preman yang menghardik Yasmin dengan cepat mengangkat tubuh anak kecil dan membawanya
“Aku belum memikirkan itu,” sahut Rasti. “Kamu harus memikirkannya. Kamu harus menikah lagi dan mempunyai seseorang yang menemani dan melindungi kamu. Kamu tidak bisa hidup seorang diri selamanya. Usia kamu masih muda.” “Jangan membahas hal itu, Mas.” Rasti merasa sedih dengan perkataan mantan suaminya. Ada ruang hampa yang seketika hadir dalam hati. “Rasti. aku serius. Anak-anak butuh figur ayah penggantiku. Dengan siapapun, aku akan merestui. Aku yakin sekali, kamu bisa memilih orang yang tepat. Doakan aku, bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tinggalkan alamat. Setelah aku bebas, aku akan mencari Nadine dan Raline. Semoga mereka masih mengingatku.” Danang tersenyum getir. Berusaha keras menahan tangisnya untuk tidak keluar. “Iya. Aku berdoa semoga kamu juga bisa menjadi suami dan ayah yang baik buat Firna dan Yasmin. Salam buat mereka.” Danang tertawa. Namun, saat tawa itu keluar, tangisnya juga pecah. “Aku sudah menceraikannya. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan meny