Mirza sangat menyayangkan sikap sang mama. Bagaimana bisa sang mama menduakan cinta dari seorang lelaki bernama Axelle. Menyakitkan, dia bahkan bukan anak kandung dari lelaki yang ia anggap papa. Sesak mengingatnya, tapi apa daya. Waktu berlalu terlalu indah dan menyenangkan, perigainya yang dingin seperti balok es. Akan tetapi tidak dengan perhatiannya, bagi Mirza Axelle sosok ayah yang hangat penuh kasih sayang. Mata pemuda tersebut berkaca-kaca, buliran bening menetes di pipi. Ingin dia berteriak menyalahkan seseorang tapi harus menyalahkan siapa. Mirza tidak mungkin menghakimi sang mama. Wanita yang telah melahirkan dirinya. Lantas siapa ayah kandung sebenarnya. Mirza menanti semua kebenaran terungkap. Pemuda itu berjalan melewati koridor perusahaan Zeroun Groub. Langkahnya terhenti, mimik wajah sayu ia ubah ceria seketika. Di hapus air mata di pipi, dia menghela napas panjang. Dia kbali menguatkan hati, menatap lelaki tua di seberang sana tengah bercengkrama dengan
Sesuai yang Axelle janjikan, lelaki tersebut mengantar Stela untuk bersua dengan editornya. Mereka merangkul mesra istri kecilnya tersebut masuk ke dalam. Kemudian duduk di kursi dekat jendela kaca. Stela dapat melihat kendaraan berlalu lalang di kuar sana. Suasana semakin romantis dengan adanya grub musik yang melantunkan lagu romantis. Axelle nampak berseri menatap Stela yang duduk di sampingnya. Dia merasa terhibur dengan ocehan istri kecilnya. "Stela, maaf lama." Suara maskulin terdengar tiba-tiba mengagetkan. Stela dan Axelle menatap bersamaan ke arah suara tersebut. Seorang pemuda tampan tinggi berdiri. Pemuda tersebut menarik kursi, untuk kemudian duduk di hadapan sepasang suami istri itu. Dia tersenyum manis, memperlihatkan lesung pipitnya. "Selamat sore Pak editor," sapa Stela.
Tidak akan ada wanita yang rela ketika suami tercinta menikahi wanita lain. Begitu pula Freya, semua ia lakukan demi status Mirza. Siapa sangka keputusan yang ia ambil ternyata membelenggu diri sendiri. Semua terjadi di ruang kendalinya. Axelle, lelaki yang dulu tidak pernah ia cintai. Dengan bodohnya Axelle dipermainkan Freya, demi hartanya wanita tersebut rela menjadi rubah. Seperti menelan ludah sendiri, pada akhirnya wanita tersebut malah terjerat akan pesona Axelle. "Freya, mari kita berhenti mengejar apa yang bukan milik kita. Lepaskan semua, kita mulai hidup yang baru. Toh sekarang perusahaan keluargaku telah stabil. Kita masih bisa hidup enak dengan semua itu," tutur Marvel. Wajah lelaki itu nampak garang, tatapannya tajam, menusuk. Mereka terlihat bersitegang di ruang tamu kediaman milik Axelle. "Aku tidak bisa melepaskan Marvel," sanggah Freya. "Kenapa?" telisik Marvel memincingkan mata.
Mirza tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Kenyataan yang harus ia terima, membuat Mirza seperti di pukul-pukul. Kepala terasa berat, nyeri, kejutan itu datang bertubi-tubi, di tengah dirinya yang belum bersiap diri. Benci, pasti ada di dalam benaknya. Pemuda tersebut memandang nanar lelaki yang bersimpu di hadapannya. Wajahnya terlihat bengkak, babak belur oleh hasil karyanya tadi. Mirza meraup wajah, mengatur napas, mengendalikan emosinya. "Lebih baik anda pergi sekarang, hari sudah mulai sore, pemilik rumah ini akan pulang sebentar lagi," ujar Mirza dengan wajah yang nampak penat. Dia membalikkan badan dan segera berlari masuk ke dalam rumah, mengurungkan niatnya keluar rumah. Membiarkan sang Mama menangis sesegukan, dan lelaki yang katanya ayah kandung itu masih bersimpu. "Maafkan Papa, Nak, Maaf," teriak Marvel. Mirza tidak menggubrisnya. Ia mantap berjalan
Axelle dan Stela saling menatap. Gurat kekecewaan nampak jelas di wajah Axelle. Lelaki itu menundukkan kepala, menyandarkan kening di bahu Stela. Ketukan pintu itu sunghuh mengganggu, sangat mengganggu. Stela menepuk-nepuk pundak Stela. Istri kecilnya mengacungkan arah pintu. Suara ketukan juga semakin terdengar keras. Ia merasa sangat malas. Terpaksa Axelle membalikkan badan, berjalan bebebrapa langkah ke depan lalu membuka pintu. Mirza nampak berdiri dengan wajah sendu. Axelle mengernyitkan kening.Dia bernapas lega. Setidaknya bukan wanita ular yang mengganggunya. "Hay, Nak. Kau kenapa?" tanya Axelle. "Masuklah!" perintah Axelle menepuk pundak Mirza. "Sekarang harus bagaimana, Om," ucap Mirza. Axelle merasa canggung mendengar Mirza memanggilnya dengan sebutan lain. "Bagaimana apanya?" telisik Axelle. &
Giliran Mirza yang kini terbatuk, tersedak makanan. Dia meraih gelas dan meminumnya hingga gelas tersebut kosong. Matanya kemudaian melebar, mulutnya menganga membentuk huruf O besar. Stela terbahak melihat wajah Mirza memerah, Axelle sendiri kembali menyantap makanan dengan tenang tanpa rasa bersalah. "Papa melihatnya?" tanya Mirza. "Iya, Om Axelle melihatnya," jawab Stela malu-malu. "Aku tidak sengaja berpapasan dengan beliau yang berdiri mematung, kau tahu Mirza, wajahnya memerah mirip apel. Kami tidak sengaja berpapasan ketika aku berlari hendak masuk ke dalam rumah waktu itu. Kau bisa menebaknya sendiri, Mirza," cerocos Stela. "Mana ada wajahku memerah, Sayang," kilah Axelle melirik istrinya. "Benarkah," kata Stela menggoda. Mirza yang awalnya malu kemudian
Sembilu menusuk, mengoyak hati, perih. Tatapan dingin sang suami menambah lara hati. Tangisan, penyesalan tulus tidak menggoyahkan kelaki yang telah mendingin tersebut. Bongkahan es itu tidak mencair, harapan hampa, atas kesalahan besar yang Freya perbuat di masa lalu. Freya sadar, dirinya serakah, menginginkan harta, dan kini cinta. Cinta sang suami yang karena kesalahannya berpindah ke lain hati. Miris, penyesalan yang datang terlambat. Wanita itu masih bersimpu memeluk kaki suaminya, memohon ampun. Semua kesalahan dan kebodohan ia ungkap segalanya tanpa mengurangi atau menambah. Menitik beratkan kesalahan pada dirinya sendiri, tanpa menyalahkan orang lain. Hati Axelle mulai iba, sayangnya, cinta tidak lagi sama. Semua pupus sudah, hilang lenyap tidak bersisa. Terkubur dalam dengan sakit hati. Lelaki itu menghela napas panjang, berat tanpa kata. Axelle berkecak pinggang, menggelengkan kepala,
Stela tercekat, dia bimbang harus berbuat apa. Di sisi lain ia begitu mencintai suaminya namun, di sisi yang satunya ia merasa iba dengan istri siri sang suami. Pikirannya pelik, dia menggebrak meja, meraup wajah. Mengingat kembali beberapa saat yang lau. Freya terlihat begitu menyedihkan, dia bercerita tentang kesalahannya dengan uraian air mata. Wanita tersebut tidak menghakiminya, tidak membencinya. Dia menyalahkan diro sendiri. Stela ternganga mendengar semua penuturan tersebut. "Mungkin kita bisa hidup rukun, tanpa harus berpisah dengan satu dan lainnya," ujar Freya waktu itu. "Aku yakin kamu juga tidak mengharapkan perpisahan dengan Axelle, Stela. Aku bisa berbagi suami dengan dirimu, mungkin aku istri siri, tapi aku adalah istri pertama Axelle. Bisakah kita bersama-sama meraih cinta darinya tanpa harus, mengusik, menyalahkan," imbuhnya. Kalimat tersebut terngiang di pikiran Stela hingga membuatnya pening. Di hela napas cukup panja
Langkah Axelle gontai menaiki satu demi satu anak tangga. Dia mengenakan set piyama satin lengan panjang berwarna navy. Dengan tangan kiri menenteng laptop. Lelaki tersebut mondar-mandir di depan pintu kamar lamanya. Dia bimbang, tangannya meraih pengait pintu untuk membukanya, tapi kembali ia urungkan lagi. Begitu dia melakukan berulang-ulang. Di hela napas panjang, Axelle menempelkan jidatnya pada pintu. Dia memantapkan hati, berdiri tegak, dan langsung membuka pintu. Freya yang tengah berbaring di ranjang terbangun. Bangkit, beringsut duduk, berulang kali ia menguap. Matanya kemudian melebar melihat Axelle berdiri di dekat pintu. 'Bagaimana Stela bisa melemparku pada wanita lain, kenapa dia begitu polos sekali, astaga!' gerutu Axelle di dalam hati. Axelle berjalan mendekat ke arah ranjang. Dengan lap top yang sedari ia tenteng dengan satu tangan. Dietakkan pelan di atas meja kecil dekat ranjang. Lelaki itu kemudian naik ke peraduan dan duduk di dekat F
Novel Baru Judul : Jaran Goyang Ratu Rengganis "Berikan aku ragamu, maka akan aku kabulkan segala keinginanmu, Rengganis.” Suara melantun itu membuat wanita berparas rupawan yang dipanggil Rengganis, menengadah dari posisi bersimpuh, menatap sosok wanita setengah tembus pandang yang melayang di hadapannya dengan kabut tebal menyelimuti tubuh wanita itu. Manik hitam segelap malam milik Rengganis terlihat basah, memancarkan kesedihan yang begitu dalam. Debu dan kotoran tebal menghiasi wajahnya, menunjukkan betapa tersiksa dan terabaikan dirinya untuk waktu yang cukup lama. Melihat keterpurukan Rengganis, wanita itu menyeringai, kakinya turun menapak tanah. “Aku bisa membantumu membalaskan dendam, entah kepada jalang bernama Madhavi … ataupun bajingan yang kau panggil Kakang Prabu Abra itu.” Rengganis mengepalkan tangan, membayangkan wajah kedua orang yang membuat hidupnya terasa bak neraka. Namun, melihat kabut hitam yang menyelimuti wanita di hada
Axelle menoleh ke arah sumber suara, ada Mirza dan juga Marvel. Keduanya berjalan mendekat, Axelle sedikit terkejut, baru saja dia memikirkan anak malang itu kini telah berada di hadapannya beserta sang ayah. Axelle menyalami keduanya, saling bercanda dan juga bertukar kabar. Axelle lalu mengajak mereka menyusuri balkon dan kemudian turun melewati anak tangga menuju taman di samping kediaman megah tersebut. harum bunga mawar menguar tercium ketika mereka berjalan menapaki tanah basah yang baru saja disiram oleh para maid. Bunga-bunga indah tumbuh subur berkat perawatan yang baik pula. Mereka berjalan melewati pohon mangga kenangan. Axelle menoleh ke arah Mirza lalu tersenyum, Mirza yang tidak tahu apa-apa membalas senyuman Axelle seadanya. Mereka kemudian duduk di saung menikmati matahari sore. Warna jingga itu terlihat menenangkan, yah, tenang. Setelah kekacauan yang terjadi selama ini. Ketiga orang yang tengah mengalami hal tidak mengenakkan. Mereka paham
Sampai di rumah Axelle segera memeluk sang istri, dia mengangkat lalu memutar tubuh Stela bersama dengan dirinya. Kebahagiaan tiada tara yang tercurah. Layaknya selongsong kosong kini menumpuk bernas kebahagiaan yang semakin bertambah. Ada benih di dalam rahim sang istri yang harus dijaga kini. Sungguh sesuatu yang sangat tidak terkira. Kembali pada masa lalu pertemuan keduanya yang tidak pernah terduga. Auristela gadis mungil teman anaknya, yah, gadis yang selalu bersama Mirza. Lebih tepatnya, Mirza yang selalu menyeret gadis tersebut ke mana pun dia pergi. Axelle yang awalnya mengira Freya adalah cinta sejatinya, siapa yang menyangka wanita tersebut mengkhianati dan mempermainkan perasaan dirinya juga Marvel Junior, ayah biologis dari Mirza. Hidup layaknya bianglala yang berputar, begitu pula dengan takdir yang semestinya memang harus terjadi. Kehidupan ibarat topeng yang menyembunyikan jati diri. Dunia bawah penuh kekejaman, mem
Rafael tersenyum dengan kebahagiaan yang dirasakan Stela, hasil pemeriksaan menyatakan Stela sehat. Rafael mengernyitkan kening melihat senyum Stela itu berubah sedikit menyeramkan, dia seolah melihat aura Zayn dari dalam diri wanita muda yang duduk manis di hadapannya. Dingin AC tidak membuatnya dingin, Rafa kesulitan bernapas juga mendadak, aura ruangan menyeramkan, keringat dingin mengucur di pelipis. “Ini pasti akan menjadi kejutan bagi Mas Axelle dan juga Papa,” kelakar Stela. “Mereka, mereka pasti akan bahagia,” ujar Rafael terbata. ‘Astaga, kenapa aku jadi segugup ini dengan seorang wanita muda, sangat menyeramkan, apakah semua keturunan darah biru memang memiliki aura mematikan,’ keluh Rafa dalam benaknya sendiri. “Lebih tepatnya mungkin mereka akan terkejut,” ujar Stela. “Apa!” pekik Rafael. “Dokter
Pagi hari ketika bangun tidur, Stela merasa enggan sekali bangkit. Tubuh terasa benar-benar nyeri dan remuk, dia mengamati sekeliling. Sang suami tidak ada di sampingnya, terdengar suara bunyi air di kamar mandi. Wanita muda itu tersenyum lalu meraup wajahnya dengan kedua tangan. Axelle keluar dari kamar mandi dengan keadaan basah dan hanya mengenakan handuk seukuran pinggang. Lelaki tersebut tersenyum sumringah melihat Stela melambaikan tangan. “Selamat pagi, istriku,” sapa Axelle berjalan mendekati ranjang. Lelaki tersebut duduk di samping lalu mengecup kening sang istri dengan sayang. Wajah sang istri nampak lesu dan kelelahan. “Tidurlah lagi jika masih mengantuk!” perintah Axelle mengumbar senyum. Stela menggeleng, dia berusaha beringsut bangkit namun, perutnya terasa nyeri. “Aw!” pekiknya, membuat dirinya meringis, Axelle yang melihat gelagat aneh langsung membantu sang istri duduk. &nb
Assalamu'alaikum Halo, saya author KarRa. Dengan segala kerendahan hati, saya mohon maaf tidak bisa up date untuk beberapa hari ke depan. Baik Love Sugar Daddy mau pun Godaan Memikat. Saat ini author sedang sakit, mohon do'anya agar cepat pulih untuk bisa melanjutkan up date seperti biasanya 🙏 Untuk giveaway menuju akhir Love Sugar Daddy masih berjalan dengan semestinya ya, dan pemenang yang mendapat souvenir akan diumumkan ketika novel tersebut Tamat. Tetap ikuti selalu ya guys, untuk informasi lebih lanjut bisa lihat di akun sosial media author. Add: KarRa atau Follow: @karra_lovely. Sekian dan terima kasih, sekali lagi mohon maaf yang sebesar-besarnya 🙏
Joy mengganti pakaian di kamar mandi. Dia mengingat beberapa serpihan masa lalu, ketika sang ibu menyuruh untuk mencari kebenaran tentang kematian Nyonya Zeroun. Semua bukti tertutup rapat, lebih gila lagi, saat semua ditemukan segalanya mengarah kepada Zayn. Joy yang notabene putra kedua berbeda ibu tersebut, menjelajahi tempat-tempat kumuh, lontang-lantung mirip gelandangan. Hingga takdir mempertemukan dengan Roland, sang sahabat karib, perbedaan kasta tidak membuat mereka saling mendominasi. kerja sama yang baik mampu menumbuhkan terasa kekeluargaan bagi dirinya dan juga Roland. Begitu keras Olivia mendidik putranya agar mampu menjadi pelindung dan calon pemimpin dari dunia bawah yang Olivia geluti. Maut menjadi lawan seimbang bagi Joy yang pernah beberapa kali hampir mati. Bagi orang yang diinginkan, Joy menampakkan sosok lembut, konyol dan baik hati. Namun, bagi lawan, Joy seperti sosok iblis yang siap mencincang habis mangsanya. Lelaki t
Gadis itu meringis kesakitan, hal wajar itu pengalaman pertama baginya. Saat hendak melangkah, jalannya seperti tidak lagi sama, kakinya terbuka cukup lebar, mengangkang. Joy menoleh ke belakang, menatap gadis yang menundukkan kepala dengan kedua tangan bersedekap di perut. Langkah gadis itu seakan rapuh, yah dia yang menggagahi hingga membuatnya kesulitan berjalan. Lelaki tersebut masih memperhatikan langkah wanita muda tadi, merasa sangat lamban. Joy melebarkan mata bergegas meraih tubuh gadis yang hampir tersungkur ke bawah tersebut. “Hati-hati,” ujar Joy. “Terima kasih,” jawab Violet. Joy tersenyum, lelaki tersebut kemudian memapah Violet memasuki sebuah butik. Beberapa pengunjung menatap dengan Joy dengan perasaan terpukau, kagum, dia lelaki tampan mempesona, meski kemeja yang dikenakan terlihat lusuh, berpeluh, dia belum sempat mandi. Beberapa orang wanita saling berbisik, Joy t
Membantai para bawahan Arsen juga membakar ruang yang terhubung ke penjara bawah tanah, menghilangkan jejak. Menutup mulut para maid yang berada di sana dengan mengantongi identitas mereka, mengawasi keluarga masing-masing mereka tanpa terkecuali. Agar semua mulut bungkam, kejam yah satu kata itu yang dapat dikatakan kejam. Bahkan untuk seorang gadis berlesung pipit dengan rambut bergelombang. Iris mata terlihat hitam pekat, kulitnya kuning langsat khas orang pribumi dari kota tersebut. Menatap ke arah Joy dan Roland dengan senyum manis. Joy memandang ke arah Roland mencari jawaban, Roland mengedikkan bahu pertanda tidak tahu menahu. Manis, satu kata yang terlontar dalam pikiran Joy melihatnya. “Ah, maaf, Tuan, bisa saya meminta ijin pulang?” tanya gadis tersebut menundukkan kepala. “Hei, aku sudah katakan dari awal, selama seminggu ke depan kalian masih dalam pantauan kami!” ujar Rolan