Sebuah jarum jam dinding besar berbentuk bulat terus Bella pandangi. Suara persekiandetiknya terus menemani Bella dalam dua jam terakhir, setelah Lucas berlalu.
Bella gelisah, ia hanya terus berbaring di selimuti rasa resah. Tak ada siapapun yang menemani Bella. Ia juga mengklaim jika Lucas sangatlah jahat karena benar-benar pergi meninggalkannya.
"Dasar pria brengsek, dia pergi begitu saja? Bukankah seharusnya ia tetap disini menemaniku?" lirih Bella kesal. Padahal sebelumnya, dirinya sendirilah yang telah mengusir Lucas. Lalu pria itu hanya mengiyakannya saja.
Sejemang, Bella melirik kearah daun pintu yang terdorong dari luar. Seseorang yang Bella kenal pun datang. Mereka semua lantas menghampiri Bella, dengan ekspresi wajah penuh kekhawatiran.
"Sayang apa yang terjadi?" Rina meraih tangan Bella, disambut hangat oleh sebuah pelukan yang Bella berikan.
Bella kembali menitikan air mata, ia menumpahkan seluruh kesedihannya dalam pelukan sang Mama. "
Rasa Heran terus Bella rasakan. Gadis itu berjalan pelan mengikuti langkah pria yang memimpinnya di depan. Ia tampak dingin, tak banyak bicara, dan juga tidak perhatian, seperti biasanya. Namun, kenapa hingga sekarang Lucas masih bersedia menemani Bella? dan bahkan menjemputnya keluar dari rumah sakit setelah beberapa hari terakhir Bella menjalani proses pemulihan. Bukankah ini terlalu naif? Di sisi lain, Bella ingin mengakhiri segalanya. Akan tetapi, Bella seolah sudah terlanjur basah. Mungkin, jika saat itu ia tak menyarankan sebuah ide konyol pada Lucas. Sampai detik ini ia masih seorang gadis perawan, meskipun telah di campakkan. Seatbelt Lucas kenakan, pria itu langsung menyalakan mesin kendaraannya begitu saja tanpa memperdulikan Bella. Biasanya, sebelum menghidupkan mesin, Lucas selalu memastikan jika Bella sudah mengenakan sabuk pengaman. Lain dengan sekarang, Lucas tampak bertahan dengan kebisuan. "A
Deg... Apa ini? Apa itu alasan Lucas tak ingin meninggalkan Bella? Di sisi lain, Bella cukup tenang mendengarnya. Namun, setelah Lucas kembali bicara. Beban perasaannya seolah semakin bertambah."Hah," seringai misterius Bella tercipta, kala gadis itu membuang nafasnya."Kau puas? Itu yang kau tangisi dan khawatirkan?"Sebutir air mata Bella kembali keluar, di ikuti oleh butiran lainnya yang berjatuhan. Wanita cantik itu mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu berkata, "Baik jika itu yang ingin kau lakukan. Sesuai yang kau harapkan. Aku akan turut menjaga nama baik keluargamu, begitupun juga dengan keluargaku. Kita akan tetap melangsungkan pernikahan. Lagi pula, ini cukup menguntungkan."Ingin rasanya Lucas menampar Bella dengan sekuat tenaganya. Menurutnya, Wanita tersebut sangat tidak berperasaan. Baginya, Bella masih terlihat seperti seorang wanita yang egois. Mengorbankan orang lain, untuk kepentingannya
Lucas berlari menerobos pintu utama kediaman keluarga Bella. Pria itu terlihat sangat pucat, wajahnya mengatakan jika ia sedang tidak baik-baik saja. Lucas juga mengabaikan Nick yang sedang bersantai di ruang keluarga. Parahnya, sepertinya Lucas sama sekali tidak menyadari jika di sana terdapat sang Ayah Mertua."Lucas, kau..." Belum sempat Nick menyelesaikan ucapannya. Akan tetapi, langkah pria itu sudah sangat jauh dari pandangan matanya.Sampai detik ini, Nick sama sekali tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiga puluh menit berlalu, Rina sebelumnya sempat mengatakan padanya jika sang istri hendak membawakan rupa-rupa minuman hangat beserta cemilan untuk di suguhkan pada putri tercintanya."Bella..." Pintu terdorong kasar dari luar. Suara hentakannya sanggup membuat kedua orang yang berada di dalam ruangan cukup terkejut.Rina melirik ke ambang pintu, bersamaan dengan Bella yang saat itu la
"Ayolah, Kenapa akhir-akhir ini aku sangat cengeng," Bella menyeka air matanya, matanya sedikit memerah dengan wajah yang sedikit membengkak. Siapa yang tak kesal dengan Bella dan sikapnya? Rendi sang asisten pun sering kali mengumpati gadis tersebut. Lantaran keplinplanannya. "Perutku," Bella mengelusnya pelan. Air matanya kembali berjatuhan, "Aku sudah kehilangan anaknya, dan Aku tidak mau kehilangan Ayahnya." Pekik Bella histeris *** "Siapa, Pah?" tanya Rina sesaat, setelah wanita ibu berhasil menuruni anak tangga terakhir. "Entahlah," sejenak Nick melirik kearah arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, "Sudah pukul sebelas, apa masih ada orang yang berkunjung di jam seperti ini?" "Biarkan Mama saja yang lihat," tanpa menghentikan langkahnya. Rina langsung bergegas berjalan menuju pintu utama, guna menghilangkan rasa penasaran. Benar apa yang Nick katakan. Keluarga Winter sangat menghargai waktu, meskipun Bella terbilang sangat kurang disiplin. Namun, berbeda dengan Ni
Gemericik air terdengar, pintu kamar kecil pun terbuka. Menghabiskan waktu setidaknya kurang dari dua puluh menit untuk membersihkan diri. Lucas tersenyum kecut, begitu melihat ponselnya tidak menampilkan pemberitahuan pesan dari Bella. Tentu saja, Lucas sedang menunggunya. Pria tersebut benar-benar memiliki harga diri yang cukup tinggi. Kesal akan sikap Bella yang selalu membuatnya cemas tak karuan, Ia berprinsip jika kali ini Lucas akan menahan diri untuk tidak terpengaruh dengan ucapan sang wanita. "Huh..." Lucas menghela nafas panjang, mencoba membuat dirinya sedikit lebih tenang, "Takdir macam apa ini?" Pantulan tubuh Lucas terlihat jelas di cermin, bahu lebar, perut kotak-kotaknya seakan memperindah rupanya. Siapa yang tak tertarik pada Lucas? Meskipun di kenal sebagai pria dingin yang tak banyak bicara. Nyatanya Lucas mampu membuat para gadis terpana. Berada jauh dengan Bella selalu membuat Lucas di selimuti rasa curiga. Terlebih, beberapa waktu lalu, sebuah pertunjukan penti
Keesokan harinya, Luna terlihat pulas tidur di atas sebuah sofa di ruang keluarga. Dengan menggunakan setelah bathrobe karena semalam gadis tersebut mendapat tawaran untuk tidur bersama Bibi Chan setelah menumpang di kamar mandinya guna membersihkan badan.Sebenarnya, Bibi Chan juga sudah menawarkan kamar lain agar Luna bisa istirahat dan tidur dengan nyenyak. Namun, Luna menolak dengan alasan tak ingin merepotkan wanita paruh baya itu untuk membersihkan kamar lain. karena saat itu, waktu sudah menunjukan pukul tengah malam."Luna..."Seketika gadis itu mengerjap sadar dari tidurnya, saat ia mendengar dengan jelas suara seseorang ia kenal memanggil namanya."A... Apa yang terjadi, sayang? Kenapa kau tidur di luar? Dimana Alvin?" tanya Maria, sang mertua sekaligus Ibu dari Alvin.Luna memucat, ia cukup kebingungan memikirkan jawaban atas pertanyaan yang mertuanya lontarkan. "Aku..
Bencana, Alvin justru merasa jika nasihat ibunya sukses membuat pria itu merasa beban hidupnya bertambah. Bagaimana tidak? Mengontrol pikirannya agar segera melupakan Laura saja Alvin tak bisa. sekarang, Maria justru semakin menekan Alvin agar pria tersebut memanjakan Luna dan menghujaninya dengan penuh cinta. Ditambah permintaan untuk memiliki keturunan. Sudah cukup Alvin menuruti keinginan mereka yang semakin membuat pria itu merasa gila.Ayolah, Alvin tidak mungkin bisa melakukannya saat bayang-bayang Laura justru terus saja menghantuinya. Ini memang bukanlah pertama kali bagi Alvin. yang berarti, Luna bukanlah gadis satu-satunya yang akan pria itu tiduri. Namun, setiap kali melakukannya. Alvin justru melandasi hal tersebut dengan rasa ketertarikan. Ia hanya bisa memenuhi hal itu dengan adanya perasaan. Dalam kata lain, perasaan yang bisa di artikan atau di sebut cinta."Bibi Chan..." Luna memanggil wanita paruh baya tersebut, saat Bibi C
Bencana, Alvin justru merasa jika nasihat ibunya sukses membuat pria itu merasa beban hidupnya bertambah. Bagaimana tidak? Mengontrol pikirannya agar segera melupakan Laura saja Alvin tak bisa. sekarang, Maria justru semakin menekan Alvin agar pria tersebut memanjakan Luna dan menghujaninya dengan penuh cinta. Ditambah permintaan untuk memiliki keturunan. Sudah cukup Alvin menuruti keinginan mereka yang semakin membuat pria itu merasa gila.Ayolah, Alvin tidak mungkin bisa melakukannya saat bayang-bayang Laura justru terus saja menghantuinya. Ini memang bukanlah pertama kali bagi Alvin. yang berarti, Luna bukanlah gadis satu-satunya yang akan pria itu tiduri. Namun, setiap kali melakukannya. Alvin justru melandasi hal tersebut dengan rasa ketertarikan. Ia hanya bisa memenuhi hal itu dengan adanya perasaan. Dalam kata lain, perasaan yang bisa di artikan atau di sebut cinta."Bibi Chan..." Luna memanggil wanita paruh baya tersebut, saat Bibi C