"Ayo, Sayang."Mas Farel meraih pundakku lembut. Laki-laki itu mengiringku pelan menuju mobil yang tadi dia bawa. Setelah kami berada di dalam mobil, dia mengusap pucuk kepalaku lembut."Kamu enggak apa-apa 'kan? Enggak ada yang luka?" tanyanya dengan raut khawatir."Enggak." Aku menjawab singkat sambil menggeleng pelan. Walaupun sebenarnya masih sangat syok dengan kejadian yang baru saja kualami, tetapi kehadirannya mampu membuatku merasa aman dan baik-baik saja."Pipi kamu lebam." Tangannya beralih mengusap pipiku, lalu turun ke bibir yang tadi sempat pecah dan mengeluarkan darah akibat tamparan keras laki-laki laknat itu."Sakit?" tanyanya dengan raut semakin khawatir."Iya. Sedikit." Aku mengangguk. Perhatian dan pertanyaannya membuat benakku serta merta memutar kembali kejadian yang baru saja kualami tadi. Begitu saja air mataku melesak dengan deras, tidak bisa kubendung sama sekali.Masih terekam jelas bagaimana laki-laki itu melayangkan tamparan dengan keras, sebelum dia beru
Aku tidak mampu menahan rasa ingin tahu. Tadi aku tidak bertanya karena takut mengganggu dia yang sedang fokus. Namun, sekarang dia yang mulai bicara jadi aku mengambil kesempatan untuk bertanya."Saya tidak tahu. Tapi itu mungkin saja. Jadi tutup mata kamu!" sahut laki-laki itu.Aku meneguk ludah, merasa ngeri dan tidak setuju. Tidakkah perbuatan ini termasuk tindakan kriminal? Akan tetapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa."Aaa ....!" Aku kembali berteriak ketika Fatih melakukan hal yang sama. Kali ini sepeda motor itu bahkan sampai oleng dan nyaris hilang keseimbangan. Akan tetapi, meskipun begitu sepeda motor itu terus melaju."Tutup mata kamu, Hanum!" Mas Farel kembali mengingatkan. Aku mengangguk patuh sambil refleks memejamkan mata seperti apa yang dia katakan. Dengan hati berdebar tegang, aku menyandar pada sandaran kursiku, menunggu dengan cemas apa yang mungkin terjadi selanjutnya.Seperti kata Mas Farel, sangat mungkin Fatih berniat untuk menabrak dua orang itu. Mbak Nadin te
Kami makan malam hanya berdua. Fatih ternyata sudah makan terlebih dahulu begitu dia dan Mas Farel sampai di rumah. Sementara Mama Anin dan Ayah Kusuma sudah makan sejak tadi. "Apa kasus ini benar-benar sudah aman, Mas? Bagaimana jika justru menimbulkan masalah ke depannya nanti?" Aku bertanya di sela suap demi suap makananku. Jujur saja aku masih belum puas atas jawaban yang diberikan Mas Farel. Apapun alasannya, perbuatan Fatih tetap tidak bisa dibenarkan. Menjadi dalang yang menyebabkan suatu kecelakaan tetaplah suatu tindak yang salah. Walaupun Mas Farel tidak terlibat dalam rencana itu, tetapi dia tahu kebenarannya. Menyembunyikan kebenaran juga bukan sebuah tindakan yang dapat dibenarkan. "Bagaimana ke depannya, biarlah menjadi urusan nanti, Sayang. Hanya kita yang tahu masalah ini. Bahkan Mama dan Ayah pun tidak tahu. Saksi-saksi, supir truk dan kernet juga memberi keterangan yang meringankan Fatih. Semua terlihat alami, bukan hasil rekayasa. Dan kenyataannya memang tabrakan
Aku rindu, Ayah. Rindu sebenar-benarnya rindu."Hanum." Umak yang sedang tadi memerhatikanku dirias MUA dari sofa bed yang tersedia kamar, melangkah mendekat dan duduk di sampingku. Beliau mengusap punggungku lembut. Aku mengangkat wajah, menatap sendu satu-satunya orang tua yang kumiliki saat ini."Mak." Aku memanggil beliau lirih, ingin mengadukan perasaan yang berkecamuk di hati. Namun, aku tahu tanpa kuceritakan pun beliau sudah paham apa yang kurasakan."Jangan menangis, Hanum. Nanti riasan kamu rusak." Bukannya khawatir kondisi putrinya, Umak justru memikirkan riasanku. Walaupun, aku tahu apa yang baru saja beliau ucapkan itu hanya sekadar untuk menghiburku.Tangan tua beliau kemudian mengusap lembut butiran bening yang mulai banyak pecah di sudut mataku. Akan tetapi, semakin beliau mengusap, butiran itu justru semakin banyak. "Mak."Aku menjatuhkan diri ke dalam tubuh tua Umak, memeluk erat wanita yang telah berjasa mengantarku ke dunia itu. Tubuhku berguncang menahan tangi
Aku titipkan diaLanjutkan perjuanganku 'tuknyaBahagiakan dia, kau sayangi diaSeperti ku menyayanginya'Kan kuikhlaskan diaTak pantas ku bersanding dengannya'Kan kuterima dengan lapang dadaAku bukan jodohnyaDahiku mengernyit. Mataku sontak mencari sumber suara pada iringan musik organ tunggal yang menjadi hiburan di resepsi pernikahan kami. Aku seperti mengenal suara yang membawakan lagu Aku Bukan Jodohnya dari Tri Suaka yang sedang mengalun itu. "Mantan kamu."Mas Farel menaikkan kedua alisnya. Matanya melirik pada satu arah, memberi kode agar aku melihat ke sudut yang di maksud. "Apa, sih?" Aku merengut saat melihat pada sosok yang dia sebut sebagai mantanku. Pantas saja aku seperti mengenal suara orang yang membawakan lagu itu, rupanya Hadi sedang berada di atas panggung. Dia memang terkenal dengan suara merdunya sejak kami masih kuliah. Hadi sering mengisi waktu luang dengan memetik gitar di taman kampus bersama beberapa rekannya. Suaranya itu juga yang menjadi salah satu
Sekolah memberiku cuti menikah selama satu Minggu. Dua hari digunakan untuk persiapan, satu hari untuk pelaksanaan, tiga hari kami manfaatkan untuk masa berdua menikmati pasca resepsi, dan satu hari masa untuk beristirahat sebelum melaksanakan tugas negara kembali.Setelah satu Minggu melalui hari-hari awal penuh bahagia, hari ini aku dan Mas Farel merapat ke tempat tugas.Pukul enam pagi aku sudah rapi dengan seragam dan polesan make up tipis. Kami akan bersiap untuk sarapan ketika notifikasi pesan singkat dari aplikasi pepesanan warna hijau di ponselku berbunyi.Sebuah pesan dari Mbak Rissa masuk. "Hanum, hari ini Mbak enggak masuk. Tadi sudah ijin sama kepala sekolah. Mbak ada giat upacara pelepasan pindah Mas Cahyo. Nanti tolong sampaikan tugas-tugas Mbak ke siswa, ya," tulisnya. Om Cahyo pindah? Dahiku mengernyit. Bukankah Om Cahyo leting Mas Farel. Apakah Mas Farel juga ikut pindah? Tapi mengapa dia tidak memberitahuku?"Om Cahyo pindah, Mbak?" tanyaku meminta penegasan. Selam
Aku tercenung mendengar penuturannya. Apa yang dia katakan memang benar. Semuanya tidak menyambung alias salah sasaran. Mengapa aku jadi aneh begini? Terbawa emosi tidak jelas.Laki-laki itu lantas meraihku ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggungku penuh sayang."Semua masalah yang terjadi akan ada solusinya, Sayang. Tapi kita harus melewati setiap prosesnya untuk mencapai solusi itu. Tolong bersabarlah membersamai saya. Kamu adalah penyemangat ketika saya lemah, penyejuk ketika saya gerah. Kamu permata hati saya, belahan jiwa saya. Kamu adalah rumah untuk saya pulang ketika saya lelah. Tolong jangan katakan kamu menyesal telah menikah dengan saya," ucapnya lembut."Enggak!" Aku menggeleng tegas, "Bukan seperti itu. Aku sangat mencintai Mas Farel. Enggak mungkin aku menyesal telah menikah dengan Mas."Laki-laki itu tersenyum,. Dia menjauhkan wajahku dari dadanya."Terima kasih, Sayang." Jemarinya kembali menghapus air mataku. "Sudah, jangan menangis lagi. Nanti Umak lihat, bisa iku
"Masya Allah." Laki-laki itu langsung memelukku erat. Sementara bibirnya menguntai sebait doa."Rabbi habli min ladunka dzurriyatan thayyiban innaka sami'ud du'a.""Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa."Usai melafazkan doa itu, dia melabuhkan kecupan bertubi-tubi di ubun-ubunku. "Alhamdulilah, Ya Allah," ucapnya penuh syukur. Dia kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajahku. Lalu kecupan bertubi-tubi yang tadi mendarat di ubun-ubunku, beralih ke setiap inchi bagian wajahku. "Terima kasih, Sayang. Kamu telah menjadikan hidup saya begitu sempurna. Saya akan menjadi ayah dari anak yang akan lahir dari rahim kamu. Saya benar-benar bahagia." Ungkapan kebahagiaan seolah tidak berhenti dari bibirnya. Matanya menatapku penuh diselimuti oleh binar bahagia. "Aku juga sangat bahagia, Mas. Allah telah memberiku kepercayaan untuk mengandung benih dari laki-laki yang sangat aku cintai secepat ini." Aku membalas tat