Penutup mulut Rose terlepas. Napas Rose terengah-engah, dia melihat tatapan benci yang besar di manik wanita di hadapannya. Rose melihat Lynn yang mengayun-ayunkan pisau lipat di tangan kanannya sambil melirik seolah Lynn berkata, "Kau sudah siap?"
"Dimana aku harus melukisnya?" Lynn menangkap dagu Rose, menggerakkannya ke samping kanan dan kiri sambil mengamatinya.
"Lynn, jangan melakukan itu!"
"Kenapa?" Lynn menampilkan wajah imutnya. "Kau takut karena kau tak akan cantik lagi?" Lynn menepuk bahu Rose, dia tahu jika wanita yang terikat itu bergetar ketakutan. Namun, berusaha tidak nampak lemah di depan musuhnya.
"Aku akan tetap melakukannya. Kau tahu 'kan kalau ...."
"Arrghh!" erang Rose saat pisau kecil itu menggores pipinya. Lynn sengaja memelankan gerakan pisaunya hingga melihat kulit Rose menganga dan di aliri darah.
Rose kembali mengerang kesakitan. Darah itu kini mengalir turun di lehernya.
"Pertama, kau merebut Steve dariku!"
Steve memotong ucapan Lynn. Firasatnya mulai buruk. Namun, dia berusaha menyangkal jika pelakunya bukan Lynn."Rose, mana Rose?"Steve mengguncang tubuh Lynn yang tak menggubris pertanyaannya. Lalu, pandangan Steve beralih pada telapak tangan Lynn yang memerah. Dia meraih tangan itu, memerhatikan merah itu adalah darah.Steve menatap Lynn. "Kau ...." Steve menghempas tangan Lynn yang ingin mencoba memeluknya kembali."Aku mencintaimu, Steve!""Katakan dimana Rose!" Nada suara Steve meninggi.Lynn menggeleng. "Kau tak boleh pergi. Aku ada di sini Steve. Kau hanya membutuhkanku, bukan dia!"Amarah Steve mulai menanjak. Dia meninggalkan Lynn, dia mendengar wanita itu berteriak, "Jika aku tak bisa memilikimu maka siapa pun juga tak boleh memilikimu!"Tak lama setelahnya, dia mendengar erangan. Saat dia menoleh, dia melihat sebuah kayu yang terbalut api mengenai Lynn. Wanita itu mengerang, kakinya tertimpa kayu.Steve abai, dia
Sudah dua hari berlalu, Rose masih belum siuman. Luka-luka di wajah wanita itu mulai mengering. Bibir pucatnya kaku."Apa kau tak sendiri di sana hingga kau begitu lelap? Apakah aku ada di sana menemanimu?"Steve tak pernah berhenti mencerocos, membicarakan banyak hal. Berharap dengan begitu, Rose mendengarnya."Kau pernah bilang 'kan kalau kau rindu semilir angin di taman di kompleks rumahku." Steve tertawa kecil. Di saat wanita lain mendambakan tempat-tempat yang mewah. Namun, Rose justru ingin ke taman saja, pohon rindang di sana mengingatkan awal-awal hubungan mereka."Aku akan menemanimu ke sana selama mungkin asal kau segera sadar. Kau harus segera bangun." Steve meremas kuat tangan Rose, lalu mengecupnya kembali. Dia menempelkan telapak tangan Rose yang terasa dingin di pipinya.Pintu diketuk.Steve menoleh. "Masuklah!" ujarnya.Namun, pintu itu kembali diketuk lagi. Steve mengernyit jika itu Leo dia tak perlu melakukan itu, bi
"Kau benar, aku menikam sahabatku sendiri." Entah bagaimana kalimat itu lolos dari bibirnya.Keduanya terdiam sesaat, berperang dalam kepala masing-masing."Dia selalu bercerita tentangmu. Apa saja, tentang kesetiakawananmu, kebaikan dan kehangatanmu. Kau tahu, bukan hanya kau saja yang tersika, dan aku pun tersiksa sebab menjadi wadah mengeluhnya." Leo menunduk, mengatur napasnya sebelum melanjutkan ucapannya."Saat Steve menyatakan perasaanya ingin kembali padanya, dia senang dan takut sekaligus. Cinta lamanya kembali. Namun, di sisi lain dia merasa seperti pencuri, merasa paling jahat sebab kau dan Steve dalam hubungan. Aku mengatakannya hanya ingin kau tahu saja.""Aku tahu itu bahkan dia memperlakukanku lebih baik dari sebelumnya. Aku melihat maniknya yang seolah ingin membalas kebaikan hatiku. Akan tetapi, aku justru menghadiahinya dengan–"Leo mengangkat tangannya agar Lynn tak melanjutkan ucapannya, lalu dia bangkit."Kuharap k
"Kau ... kau siapa?"Tubuh Steve seketika merosot, genggamannya lepas. Leo pun sama tercengangnya, sendok yang dipegangnya hampir jatuh.Napas Steve kembali tercekat, sebuah kenyataan pahit lagi-lagi ditemuinya."K-kau tak mengingatku?" Steve memberanikan diri menatap manik Rose.Wanita itu menoleh menatap Leo di sampingnya seolah meminta penjelasan mengenai lelaki di depannya."Dia Steve, kekasihmu!"Rose mengernyit, tapi dia diam saja. Dia mencoba memikirkan nama Steve kembali. Namun, kepalanya berdentum lagi ingin pecah."Jangan dipikirkan dulu, kau akan segera mengingatnya!" ujar Leo. Namun, nada suaranya tak yakin.Steve berlalu keluar, dia ingin memborong pertanyaan yang seolah tak adil baginya. Namun, dia tahu jika dia akan menyiksa wanita itu.Steve menuju ke ruangan Dokter Nico, meminta penjelasan.•Steve tak langsung kembali ke ruang inap Rose. Dia langsung menuju taman rumah sakit itu, mene
Rose berdiri di depan jendela, menatap kosong hamparan rumput yang terpangkas rapi di halaman belakang. Steve menarik napas, kehadirannya tak disadari oleh wanita itu.Steve mendekat, wanita itu tampak terkejut sesaat melihat Steve yang kini berdiri di sampingnya.Steve tersenyum. Beberapa saat tak ada obrolan, Steve menumpukkan beban tubuh atasnya di tangannya pada ambang jendela, otot-ototnya terbentuk jelas di lengannya."Apa yang sedang kamu pikirkan?"Rose menoleh menghela napas menatap Steve seolah mengatakan jika dirinya masih memikirkan hal yang sama dengan kemarin, ingatannya belum pulih."Bagaimana jika aku melupakanmu?" lirihnya. Maniknya bergerak-gerak menatap Steve.Steve tersenyum, Rose tahu senyum itu susah bagi Steve. Lelaki itu pun tak yakin."Seperti kataku, aku akan membuat memori baru untukmu. Kau masih mengingat namaku, kan?" Steve menyelipkan helai rambut Rose.Wanita itu mengangguk samar, dia mengingat na
Malam itu, Rose termenung dalam kamarnya, jendela sengaja dia buka, rembulan bersinar masuk dalam kamarnya yang gelap itu, Rose sengaja mematikan lampunya.Dia menyandarkan punggungnya di dinding, semilir angin menerpa menembus tulang. Rambutnya yang melorot terumbai-umbai.Rose memejamkan matanya, berusaha mengingat kembali ingatan yang dilupakannya. Dia mulai tersiksa dengan ketidaktahuan peristiwa yang dia alami."Argh!" erang Rose frustrasi, dia tak mengingatnya.Dia mengacak rambutnya, cepolan rambutnya sudah terurai dan nampak kian semrawut.Rose mengulangnya kembali. Memfokuskan titik pencariannya.Gelap.Suara datang bergemuruh.Gelap."Argghhh!"Deru napas Rose memburu, dia menyapu alat-alat kosmetiknya di meja rias, menendang kursi riasnya terpelanting menabrak pintu hingga terdengar suara gebuman."Kenapa aku tak bisa mengingatnya!" Rose menatap pantulan bayangannya di cermin yang kini tampak menye
Steve kian mendekap tubuh bergetar Rose, mengecup pucuk kepalanya setidaknya menenangkan wanita itu. Namun, tidak tenang sama sekali."Jangan paksakan dirimu," lirih Steve."Aku tak bisa seperti ini, Steve. Aku ... tersiksa!" ujarnya dengan suara terputus-putus.Steve memindahkan Rose ke ranjang, mengusap pipi Rose yang basah."Kau tentu akan mengingatnya!" ucap Steve, terdengar yakin. Namun, dia sendiri meragukannya.Rose tak menyahut lagi, dia masih terisak-isak. Ucapan terakhir Steve tak menenangkan sedikitpun baginya, justru dia muak mendengar kalimat itu. Dia akan mengingatnya, tapi kapan? Itu membuat Rose kian tersiksa."Tinggalkan aku sendiri," lirih Rose sambil menepis pelan tangan Steve di pipinya."Rose–""Keluar," katanya, "aku ingin sendiri!"Steve menghela napas. "Berjanji padaku, kau tak akan mengacau seperti itu!"Rose tak menggubrisnya. Dia merasa kesal dengan Steve."Aku tak akan kelu
Kepalanya terasa disengat dan diikuti pukulan-pukulan yang mendentum. Sakitnya menyerangnya, hingga Rose lupa apa dia masih hidup atau mati.Sebelum penglihatannya gelap, dia menyerukan nama Steve.Lalu dia tersadar.Rose berada pada ruangan putih, sangat luas. Tak ada seorang pun disana selain dirinya. Rose berputar, barangkali dia akan menemukan pintu. Namun, tidak ada sama sekali."Apa aku sudah mati? Apa ini surga?" tanya Rose. Tapi itu terdengar mustahil baginya. Dia tak mungkin mati semudah itu. Mati karena menabrak pembatas jalan? Bah, keren sekali! Batin Rose.Lalu, dia memeriksa pakaiannya. Kalau dia mati, harusnya pakai putih-putih, tapi dia justru berbalut kaus kuning pucat dan legging, pakaian olahraganya tadi.Cahaya silau berpendar, dan dentum di kepalanya mendera."Akh!"Rose menahan kepalanya yang serasa ingin meledak. Dia berlutut. Lama-kelamaan dia bergelung di lantai putih itu."Kalau aku t
"Aku menolak."Rahang Steve terbuka. Apa yang baru saja dia dengar? Sebuah penolakan? Hell no."Kamu ...."Rose tersenyum kecil, kening Steve berkerut dibuatnya. Gelak tawanya terasa ingin meledak."Aku menolak menikahi pria lain selain Steve Robinson."Seketika tawa Rose meledak. Wajah cengo Steve jauh lebih buruk dibanding ekspresi kagetnya sebelumnya.Rose menepuk pipi Steve pelan, menyadarkan keterkejutannya. "Steve!""Maksudmu?"Ucapan Steve spontan membuat Rose memutar bola mata, merasa gemas dengan Steve."You look like an idiot. Just give me a propose, that is all you should do. Right now, in here!"(Kamu terlihat seperti idiot. Lamarlah aku, satu hal yang harus kamu lakukan sekarang.)Mata Steve berkilat-kilat. Diraihnya jemari Rose, menggenggamnya erat, lalu menciumi punggung tangannya lembut.Steve mengatur napasnya. "Roseletta Lee, menikahlah denganku."Sudut bibir Rose kian tertar
[Tepati ucapanmu semalam]Steve membaca pesan masuk. Dia tersenyum tipis. Dia pun menggeletakkan kembali ponselnya tanpa membalas pesan Rose.Steve mengatur napas, menatap pantulan dirinya di cermin. Hanya mengenakan pakaian kasual agar memberinya kesan santai, tapi wajahnya kendati demikian nampak tegang.Meraih kunci mobil di nakas, mengayun-ayunkannya di telunjuknya, ponsel yang hanya diselipkan di saku. Tak lama ponselnya ikut bergetar. Tertera nama Rose di sana.[Kamu akan berangkat, kan?]"Kau mengira aku ini apa? Tentu saja aku menepati omonganku. Namun ...."[Apa ada masalah, Steve?]Helaan napas berat lolos di bibir Steve."Kau benar-benar tak ingin menemaniku?"Rose menggigit pelan bibir bawahnya, dia bisa saja terlena dengan suara lesu Steve, tapi dia berusaha menahan diri.[Bukankah lebih baik jika kalian mengobrol empat mata?]Lagi dan lagi, Rose mendengar helaan napas di seberang.
Sore itu, Rose memutuskan tak langsung pulang ke rumah. Mobilnya berbelok memasuki kawasan kompleks perumahan Steve."Hai," sapa Rose saat pintu terbuka. Pria itu hanya tersenyum lebar, tapi Rose tahu sesuatu tengah menjanggal pikiran kekasihnya.Rose membalas tersenyum seraya menyelonong masuk rumah Steve."Ada apa kemari?" tanya Steve sedikit kikuk."Ada apa kemari?" ulang Rose. "Apa salah jika seorang pacarmu mendatangi rumahmu?"Steve menggelar tawa kecil sesaat sambil menekan pangkal hidungnya. "Bukan itu maksudku—""Terus?" Rose memangku dagu, tersenyum geli mendapati wajah kejut Steve.Sejenak kemudian, Steve memutar bola mata, sedang Rose sudah tertawa menyisakan garis lurus di matanya. Rose berpindah duduk di samping Steve. Menatap sejenak iris mata Steve, lalu menghembuskan napas."Kapan kamu akan mene
[Aku di perjalanan menuju rumahmu sekarang.]Lynn membaca pesan masuk dari Rose. Senyumnya terukir, senang rasanya bisa dimaafkan walau dia masih bisa belum bisa memaafkan dirinya seutuhnya.Lynn meletakkan ponsel di pangkuannya. Akhir-akhir ini, halaman belakang menjadi tempat favoritnya terlebih saat menjelang sore. Di dalam rumah hanya makan dan tidur saja, sisanya dia habiskan di taman, memandang air mancur lekat-lekat, atau hanya memejamkan mata menikmati semilir angin yang tak menenangkan gundahnya sedikitpun.Suara bel pintu terdengar. Rose sudah tiba.[Aku di halaman belakang.]Lynn mengirim pesan. Selang beberapa menit, Rose muncul. Kemeja kedodorannya berkibar-kibar seiring langkah besar-besarnya. Rambut pirangnya dikuncir rendah, nampak berkilau saat mentari sore menyoroti.Rose tersenyum lebar. "Hai!" Dia beralih duduk di bangku panjang depan Lynn. Kotak yang ditentengnya tadi dibuka dari kantongnya."Apa kabarmu?" tanyanya
Lynn terduduk termangu, memandang kosong air mancur di halaman belakang rumahnya. Airnya berkilau seiring gemerlap lampu yang menyinari. Biasanya air mancur itu akan menenangkannya, deru airnya yang mengalun layaknya melodi yang indah, tapi kali ini tidak. Lynn tak merasakan ketenangan secuil pun.Jeff muncul dengan mug di tangan. Dadanya berdesir cemas melihat orang yang dicintainya masih terpuruk duka. Dia tahu betul bagaimana Lynn yang kini merasa hidup dalam bayang-bayang dosanya. Wanita itu belum memaafkan dirinya atas apa yang telah diperbuatnya."Kamu tak kedinginan?" Jeff memaksakan senyum tipisnya, dia menyodorkan mug berisi cokelat panas.Lynn membalas senyum Jeff kikuk. Dia menerima gelas itu, menghirup aroma manis dan wangi, tapi dia tak meminumnya. Dia hanya menggenggam mug itu, menatap kepulan kecil yang mengudara."Kamu tak boleh terus menerus seperti ini, Lynn. Bagaimanapun, kamu tetap harus melanjutkan hidup setelah—""Pantas
"Apa kabar, Rose?"Rose melirik ke arah Steve sebelum dia menjawab, "Lebih buruk!"Dia merasa lebih buruk, dia baru saja mendapat ingatannya dan Lynn menemuinya di hari itu juga. Sebut saja jackpot sialan."Maaf, aku baru menemuimu hari ini ...." Kalimat Lynn tercekat. Dia akui dirinya seperti pengecut. Terlalu takut dan malu menemui Rose.Rose melirik Steve dan pria di seberang kursi. Steve mengangguk kecil memahami arti tersirat tatapan Rose. Wanita itu ingin berempat mata saja dengan Lynn.Steve beranjak dari duduknya, merangkul Jeff meninggalkan ruangan itu. Sebelum Jeff benar-benar pergi, dia melirik Lynn seolah meyakinkan wanita itu akan baik-baik saja.Roe mengatur napasnya, berpindah duduk di samping Lynn yang duduk di kursi roda."Aku menyesal," lirih Lynn menatap Rose dan menunduk lagu.Rose memaksakan senyum tipisnya. Jika dia mau, dia bisa membalas perbuatan Lynn. Namun, dia enggan. Melihat kondisi Lynn yang cacat sep
Kepalanya terasa disengat dan diikuti pukulan-pukulan yang mendentum. Sakitnya menyerangnya, hingga Rose lupa apa dia masih hidup atau mati.Sebelum penglihatannya gelap, dia menyerukan nama Steve.Lalu dia tersadar.Rose berada pada ruangan putih, sangat luas. Tak ada seorang pun disana selain dirinya. Rose berputar, barangkali dia akan menemukan pintu. Namun, tidak ada sama sekali."Apa aku sudah mati? Apa ini surga?" tanya Rose. Tapi itu terdengar mustahil baginya. Dia tak mungkin mati semudah itu. Mati karena menabrak pembatas jalan? Bah, keren sekali! Batin Rose.Lalu, dia memeriksa pakaiannya. Kalau dia mati, harusnya pakai putih-putih, tapi dia justru berbalut kaus kuning pucat dan legging, pakaian olahraganya tadi.Cahaya silau berpendar, dan dentum di kepalanya mendera."Akh!"Rose menahan kepalanya yang serasa ingin meledak. Dia berlutut. Lama-kelamaan dia bergelung di lantai putih itu."Kalau aku t
Steve kian mendekap tubuh bergetar Rose, mengecup pucuk kepalanya setidaknya menenangkan wanita itu. Namun, tidak tenang sama sekali."Jangan paksakan dirimu," lirih Steve."Aku tak bisa seperti ini, Steve. Aku ... tersiksa!" ujarnya dengan suara terputus-putus.Steve memindahkan Rose ke ranjang, mengusap pipi Rose yang basah."Kau tentu akan mengingatnya!" ucap Steve, terdengar yakin. Namun, dia sendiri meragukannya.Rose tak menyahut lagi, dia masih terisak-isak. Ucapan terakhir Steve tak menenangkan sedikitpun baginya, justru dia muak mendengar kalimat itu. Dia akan mengingatnya, tapi kapan? Itu membuat Rose kian tersiksa."Tinggalkan aku sendiri," lirih Rose sambil menepis pelan tangan Steve di pipinya."Rose–""Keluar," katanya, "aku ingin sendiri!"Steve menghela napas. "Berjanji padaku, kau tak akan mengacau seperti itu!"Rose tak menggubrisnya. Dia merasa kesal dengan Steve."Aku tak akan kelu
Malam itu, Rose termenung dalam kamarnya, jendela sengaja dia buka, rembulan bersinar masuk dalam kamarnya yang gelap itu, Rose sengaja mematikan lampunya.Dia menyandarkan punggungnya di dinding, semilir angin menerpa menembus tulang. Rambutnya yang melorot terumbai-umbai.Rose memejamkan matanya, berusaha mengingat kembali ingatan yang dilupakannya. Dia mulai tersiksa dengan ketidaktahuan peristiwa yang dia alami."Argh!" erang Rose frustrasi, dia tak mengingatnya.Dia mengacak rambutnya, cepolan rambutnya sudah terurai dan nampak kian semrawut.Rose mengulangnya kembali. Memfokuskan titik pencariannya.Gelap.Suara datang bergemuruh.Gelap."Argghhh!"Deru napas Rose memburu, dia menyapu alat-alat kosmetiknya di meja rias, menendang kursi riasnya terpelanting menabrak pintu hingga terdengar suara gebuman."Kenapa aku tak bisa mengingatnya!" Rose menatap pantulan bayangannya di cermin yang kini tampak menye