Aldo duduk di pinggiran tempat tidurku sambil bercerita. Sedang aku memperhatikan ceritanya dengan seksama dari kursi meja rias. Walaupun kami agak berjauhan, namun aku bisa merasakan dia berhati-hati dalam bercerita.“Rody adalah anak bungsu di keluarganya. Dia lemah dan tidak sepintar kakaknya , Danu. Walaupun dalam kondisi apa pun, Danu lah yang berhak mewarisi usaha keluarganya karena dia adalah anak sulung. Namun karena ada perbedaan yang cukup jauh, ayahnya jadi terlalu membeda-bedakan mereka. Mungkin karena itulah, Rody tumbuh dewasa dengan sikap yang sok jagoan karena sebenarnya dia tidak punya banyak kemampuan,” Aldo menghela nafas lalu melanjutkan ceritanya.“Keluarga Hastama memiliki usaha demolishing, mereka mencari uang dengan menghancurkan bangunan dan pembebasan lahan. Untuk itu, mereka banyak terlibat dengan genk dan preman. Rody yang penakut tentu tidak sesuai dengan bidang usaha keluarganya.”Aku membelalakkan mata menyadari benang merah yang mulai terlihat.“Apakah
Hai guyss.. Seperti yang sudah readers ketahui, sudah beberapa hari ini author ngga update 'Love Breaking Contract'. Jadi, beberapa hari ini author sakit lumayan lama. Kupikir sakitnya bakal sembuh sehari dua hari, tapi ternyata ngga sembuh-sembuh juga 😁. Tapi syukurlah, berkat doa dan dukungan dari semuanya sekarang kondisiku sudah mulai membaik🥳 Jadi, author akan usahakan besok akan mulai update lagi. Gemes juga kenapa tiap makan bareng keluarga Sastrajaya selalu aja ada masalah. Jadi bisa ditebak kalau judulnya makan bersama pasti ada adegan heboh 😄 Tunggu cerita Aldo & Fiona terus yaaaa Thanks for the love and support ❤️❤️❤️ Note: plisss kasih masukan biar karyaku semakin baik yaa. Thanks!
“Kau harus ke rumah sakit,” kataku sambil memandang tangan Aldo yang banyak terkena pecahan kaca.“Tidak usah,” jawabnya sambil terus mendekapku.Aku berusaha melepaskan diri dari dekapannya karena sungkan dengan Galih yang sedang menyetir untuk kami.“Kau harus memeriksakannya, bisa saja masih ada pecahan kaca di dalam lukamu,” paksaku.“Kalau kau begitu mengkhawatirkanku, maka buat aku merasa lebih baik,” kata Aldo dengan wajah kesal.“Bagaimana caranya?” Tanyaku.“Cium aku,” jawabnya sambil mengalungkan tangannya ke leherku.Wajahku pasti sudah merona karena malu. Bisa-bisanya dia bicara begini dengan adanya Galih di kursi depan.“Bicara apa kau, ada Galih di sini,” kataku sambil menyembunyikan rasa malu.“Anggap saja dia tidak ada,” kata Aldo ngawur, membuat Galih sedikit berdehem.“Kau tidak boleh bicara seperti itu, itu tidak sopan!” Tegurku pada Aldo.Aldo terlihat tidak senang karena aku menegurnya, sedangkan aku bisa melihat Galih tersenyum melalui spion tengah.“Tidak apa, N
“Cakep banget!” Beberapa perempuan muda berteriak tertahan dengan heboh sambil terkikik-kikik. Aku mengarahkan mataku kepada sesuatu yang membuat mereka tertawa dan saling sikut satu sama lain.Di ujung pandangan mata mereka tampak Aldo dengan balutan setelan kerjanya sedang berdiri di depan meja salad, sibuk memilih topping.Aku sama sekali tidak menyalahkan mereka, karena Aldo memang terlihat luar biasa. Apalagi rambutnya yang sudah mulai terlalu panjang kini bisa dikuncir kecil, membuat kesan excecutive muda rebel.Walaupun begitu, ada perasaan tidak suka mengganjal di hatiku. Perasaan yang mendorongku untuk menepuk punggung mereka dan berkata ‘Hei, yang kalian lihat itu suamiku. Jaga mata kalian dan makan saja.’Tapi aku masih bisa menahan diri untuk tidak melakukannya. Karena pertama, aku adalah istri dari calon penerus hotel ini dan mereka adalah tamu hotel. Dan kedua, membayangkan melakukannya saja sudah membuatku sangat malu.“Kenapa mukamu merah begitu? Kau sakit?” Aldo menyo
Hatiku terasa membumbung bahagia karena ayah mertuaku menyetujui konsep rencana Aldo untuk menaikkan pendapatan Grand Luxy. Kami baru saja selesai mempresentasikan konsep tersebut di hadapan beliau, dan beliau menyetujuinya secara langsung. Rasanya aku ingin meloncat sambil berteriak ‘cihuy!’Tapi tidak mungkin aku melakukannya, aku pergi ke kantor CEO sebagai direktur Grayscale, jadi aku harus menjaga martabatku. Maka, kami keluar pintu kantor dengan tenang walaupun hatiku ingin meledak saking gembiranya.Sayangnya, kegembiraan yang kurasakan langsung lenyap ketika aku melihat sosok Rody berpapasan dengan kami, rupanya dia hendak masuk ke kantor CEO.Rody pun juga terlihat sama tidak sukanya melihat kami. Aku hampir melihatnya meludah ketika mata kami bertemu.“Seharusnya kau pergi ke rumah sakit untuk merawat luka di wajahmu,” kata Aldo mengomentari luka pukulan hasil karyanya di wajah Rody. “Bukannya malah pergi menyelinap untuk mengacak-acak rumah orang lain.”Rody berhasil terpan
Aku memaksakan diri membuka mata walaupun kepalaku sangat pusing dan tubuhku sangat lemah.Gelap dan dingin. Aku menyadari bahwa aku terbaring di atas lantai yang dingin. Bukankah terakhir tadi aku sedang ada di depan rumah?Kepalaku semakin pusing ketika berusaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi padaku.Ah, orang itu. Apakah dia berpura-pura menjemputku padahal dia mau mencelakaiku? Lalu, siapa dia? Atau, siapa orang yang ada di baliknya?Tidak ada siapa pun di dalam ruangan yang gelap ini yang bisa kutanyai. Setelah sadar sepenuhnya, aku mencoba untuk berteriak. Aku menyadari bahwa seseorang sudah menculikku.“Tolong! Ada orang di luar?!” Aku berteriak sekuat tenagaku yang masih lemah.Aku tidak sepenuhnya merasa takut. Justru aku merasa aneh. Seorang Fiona, anak yatim piatu dari kota kecil yang mencari peruntungan dengan bekerja di kota besar tidak mungkin akan diculik. Seandainya aku tidak terlibat dengan keluarga Sastrajaya.Mungkin inilah yang dikatakan ayah mertuaku, aku
Aku bermimpi aneh. Naik turun gunung, keluar masuk hutan, dan menyebrangi danau hening dengan perahu kayu kecil. Seperti mencari sesuatu yang tidak kuketahui. Mataku masih terpejam ketika mimpi itu perlahan mengabur dan sebagai gantinya terdengar suara 'bip bip' pelan tidak jauh dari tempatku berbaring. Sial, dadaku terasa sangat nyeri. Begitu pula dengan tangan, bibir, dan kedua kakiku. Meskipun sakit dan merasa tidak berdaya, aku ingin meneriakkan sumpah serapah ketika ingatan mengenai kejadian dengan Rody kemarin menyeruak masuk ke dalam ingatanku. Dokter dan perawat yang masuk ke dalam ruanganku harus bersyukur kepada bibirku yang sobek karena telah mencegah 'nyanyian' preman terminal keluar dari mulutku. Setelah mengecek beberapa hal, mengamati papan dengan dahi mengernyit, dokter itu menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan kondisi fisikku, kemudian pergi dengan menyampaikan salam yang menurutku terlalu ramah. Oke, sekarang aku mulai marah. Aku sudah mendengar tentang be
"Kira-kira apa arti mimpi itu, Genta?" Tanyaku sambil menyesap secangkir teh. Genta memandangku seolah aku sudah gila, atau sedang mabuk. "Ah..," jawabnya sambil menyusun kembali tumpukan kertas yang terbawa angin. Bekerja di halaman belakang rumah begini memang tidak ideal, tapi aku sudah bosan karena tidak keluar rumah begitu lama. "Maaf, Bu Fiona. Tapi saya bukan ahli tafsir mimpi," Genta menumpuk kertas itu di meja lalu menindihnya dengan vas bunga. "Dan lagi, bukankah Anda sedang dalam pengaruh obat ketika bermimpi mendayung di danau itu?" Tanya Genta membuatku tidak sabar. "Sudahlah. Tidak usah kau pikirkan," kataku menyerah. Tentu saja, aku sudah tahu maksud dari mimpi yang merupakan manifestasi dari kegusaran yang sudah kurasakan belakangan ini. Aku hanya butuh penegasan. Walaupun merupakan kesalahanku sendiri karena mencari penegasan kepada mantan playboy Grayscale. Sebenarnya, Genta juga terlihat tidak tertarik dengan cerita tentang mimpiku. Dia tampak senewen karen
Kami berdua bersantai-santai di akhir pekan untuk pertama kali setelah Aldo menyelesaikan misinya untuk masuk ke manajemen Grand Luxy. Setelah mengetahui bahwa Aldo dapat memenuhi-bahkan melebihi-ekspektasinya, Pram Sastrajaya secara terang-terangan dan tidak tahu malu membangga-banggakan Aldo pada rekan-rekan bisnisnya.“Ini putraku yang punya banyak ide cemerlang,” ujar Pram Sastrajaya dengan suara menggelegar di pesta dua hari lalu.“Kenapa baru sekarang kau tertarik terjun untuk mengelola bisnis, Aldo? Kudengar dulu kau hanya suka bersenang-senang,” ucap seorang bapak-bapak pemilik bisnis A dengan suara tidak kalah menggelegar.Aldo pun menyunggingkan senyum bisnisnya, “Saya ingin membuat istri saya terkesan.”“Kalau begitu, seharusnya kau menikah sejak dulu,” sahut seorang ibu-ibu pemilik bisnis B, diiringi dengan suara tawa yang melengking.Secara tidak terduga ternyata Aldo cocok juga berada di lingkungan para pebisnis berlidah tajam, tidak sedikit pun dia terlihat gugup atau m
Aku mencium Aldo dengan cukup panas sehingga kupikir bibirku bisa lecet. Oh tidak. Biasanya tidak ada hal bagus yang terjadi ketika aku membiarkan naluriku mengambil alih. Aldo mengerjapkan matanya dengan bingung ketika aku melepaskan diri secara sepihak. Kupikir dia pasti sangat terhanyut pada momen barusan. Aku mencoba menutup mulutku dengan tangan. Bahkan Mary Phillips pun tidak akan bisa membuat lipstik bertahan di bibirku setelah melahap Aldo dengan ganas tadi. Mukaku pasti sudah tidak karuan. Sarina dan Alysse tidak melepaskan pandangan mereka dariku, meskipun aku sudah menghentikan pertunjukan barusan. "Memalukan..," Sarina berkata lirih. Alysse ternganga dengan takjub. Aku bersumpah sempat mendengarnya menahan tawa Aku merasa terlalu malu untuk mengucapkan apa pun, maka sebelum orang-orang yang menonton pertunjukan barusan mulai bergunjing aku memutar tumit tinggi sepatuku dan berjalan menjauh dari kerumunan. "Sayang..," Aldo mengikutiku seperti terhipnotis. Di
"Aku benci padamu!" Teriakku pada Aldo, melalui telfon. Galih menatapku dengan terkejut dan takut menjadi satu. Secara tidak sadar dia menjatuhkan boks yang akan diberikannya padaku. "Maafkan saya, Nyonya.. Tapi saya benar-benar berusaha mengambil pesanan sepatu ini dari toko secepat mungkin," kata Galih sambil mengambil kotak sepatu yang tidak sengaja dia jatuhkan. "Astaga, aku yang harus minta maaf. Aku tidak membentakmu," aku menunjukkan earphone yang menempel di telinga kiriku. Galih tampak lega mendengarnya. "Meskipun begitu aku akan benar-benar marah padamu kalau kita terlambat hadir di acara malam ini," kataku sambil mengambil kotak sepatu itu dari tangan Galih. Galih menyetir dengan tenang menuju Grand Luxy, kami masih punya waktu sekitar setengah jam sebelum pesta pengangkatan CEO baru dimulai. Waktu yang pas karena aku tidak mau terlalu lama berbasa-basi dengan orang-orang di sana. "Hei, Galih," panggilku dari kursi belakang. Galih menjawab sambil melirik dari
Semua berjalan dengan mulus dan lancar. Seperti seorang atlet profesional menggelindingkan bola bowling dan kemudian "Strike!" sepuluh pin bowling pun jatuh bersamaan. Aldo bekerja dengan sangat baik di Grand Luxy, bahkan dapat melebihi ekspektasi Pram Satrajaya. Semua berawal dari idenya untuk meningkatkan citra "feels like home" yang mulai pudar dengan menggaet Ramoda, produsen perabot eksklusif bercita rasa seni tinggi. Yang juga terkenal tidak pernah sudi melakukan hubungan komersial dengan korporat besar mata duitan macam Luxy Group. Terimakasih kepada Genta, yang dapat mengambil hati Ramoda. Kehadirannya sebagai manajer operasional, dan bukan aku sebagai direktur (dan juga menantu Luxy Group) yang datang untuk berunding memberikan kesan bahwa kami memang berniat untuk bekerjasama, bukan untuk membajak image yang dimiliki oleh Ramoda. Begitulah, tidak lama setelah peluncuran kampanye "Gather as Family", Aldo dapat memenangkan tantangan yang diberikan ayahnya. Aku sempat
"Kupikir mereka sudah tidak bertemu selama berminggu-minggu," bisik Santi pada Galih, tapi suaranya masih bisa kudengar. "Tuan Aldo tidak bisa berpisah dari Nyonya sehari saja, apalagi berminggu-minggu. Itu tidak mungkin," balas Galih. Mereka berdua mencondongkan diri satu sama lain agar bisa saling mengata-ngatai kami. Aku dan Aldo jadi tidak bisa fokus membaca buku menu yang kami baca bersama karena di depan kami ada dua orang yang tiba-tiba bisa jadi akrab karena menggosipkan kami berdua. "Aku bisa mendengarmu," kata Aldo menatap tajam ke arah Galih. Galih hanya cuek berpura-pura melihat ke langit sedangkan Santi berpura-pura menekuni buku menunya. "Sudah kubilang tidak usah membawa mereka," Aldo merengut memandang buku menunya. Aku jadi merasa bersalah. "Apa jadwal Aldo setelah dari Wale's?" Tanyaku kepada Galih. "Tidak ada jadwal lain, Nyonya," jawab Galih, jari telunjuknya berhenti menelusuri menu. "Kalau begitu, bawa dia pulang begitu rapatnya selesai," aku meniru
Orang itu ternyata adalah seorang perempuan berparas cantik. Aku mengingatnya sebagai orang yang memiliki wajah imut yang tidak sejalan dengan sifatnya yang meledak-ledak. "Berikan pekerjaan padaku," katanya lagi, dengan nafas memburu. "Apa-ah, tenang dulu," aku memberikan kode kepada Meylia untuk melepaskan cengkraman tangannya, lalu menyuruhnya keluar, demi keamanan dirinya sendiri. Bagaimanapun, orang itu memiliki sabuk hitam taekwondo. "Apa yang kau lakukan di sini?!" Semburku pada Santi, orang tidak waras yang barusan menyerbu ruangan kantorku. "Aku orang yang loyal, kau tahu itu bukan?" Matanya masih menyala-nyala karena emosi. "Mm.. Oke?" Kataku lambat-lambat. "Aku sudah begitu bersabar menghadapi Jasmine, tapi kali ini aku sudah tidak bisa toleransi lagi," rambutnya yang dipotong bob pendek bergoyang-goyang ketika dia berbicara dengan penuh semangat. Agak sulit menganggap serius ledakan amarah dari seorang perempuan bertubuh mungil dan memiliki wajah imut yang ti
Tidak kusangka hari ini kami sudah harus meninggalkan vila ini. Tempat yang awalnya terasa menyebalkan karena tidak sesuai dengan ekspektasiku-aku mengharapkan vila di pegunungan yang dingin-tapi malah terasa seperti rumah ketika kami sudah hendak pergi. Kemarin, melalui Galih, Pram Sastrajaya menyuruh kami segera kembali. Karena berita tentang kejadian waktu itu sudah mereda, dan karena Aldo harus segera kembali bekerja. Aku pun sudah merindukan Grayscale. Walaupun bukan perusahaan besar, tapi aku menyukai atmosfer di sana. Walaupun aku belum bisa membayangkan harus bersikap seperti apa jika bertemu dengan Rody nanti-dan aku tidak mau membayangkan barang secuil wajahnya-aku harus tetap berani melangkahkan kakiku. Setidaknya, itu yang harus kulakukan untuk mengatasi mimpi buruk yang belakangan kualami. Mimpi buruk yang, untungnya, seringkali terlupakan berkat sentuhan-sentuhan Aldo. Walau mungkin kurang tepat menyebutnya dengan 'sentuhan'. Aku mengamati baju tidur baruku
Benar kata Aldo, dia memang tidak segan-segan. Dia melakukan hal-hal yang tidak pernah kubayangkan-atau kulakukan-sebelumnya. Dan, melakukan 'itu' di meja dapur adalah salah satunya. Tentu bukan hanya di situ saja Aldo menunjukkan ketidak-seganannya. Setelah membuat punggungku sakit karena berbaring di atas meja kayu jati yang keras, dia membopongku masuk ke dalam kamarnya. Saat kupikir kami seharusnya tidur, dia melanjutkan aksinya.Seharusnya dia menunjukkan belas kasih mengingat semalam adalah pertama kali kami melakukannya. Benar-benar deh. Bagaimana dia bisa menahannya selama ini? Aku berguling menjauhinya. Matahari sudah mulai tinggi dan aku ingin menutup tirai untuk mengurangi cahaya yang masuk melalui kaca jendela. "Mau ke mana?" Tanya Aldo setengah terpejam. "Sudah siang, memangnya kau tidak harus kerja?" Tanyaku sambil menyingkirkan tangannya dari atas perutku. Tapi dia malah semakin melingkarkan tangannya. "Tidak. Aku kan sedang bulan madu," katanya dengan wa
Apa gunanya ke pantai kalau tidak bermain-main di atas pasir dan bersantai sambil minum air kelapa? Aku malah menghabiskan waktu seharian dengan tiduran seperti orang sakit. "Kau memang sedang sakit. Tadi pagi kau demam, ingat?" Kata Aldo ketika aku berusaha menjelaskan bagaimana caranya menghabiskan waktu ketika sedang liburan di pantai. Dia kembali menjadi Aldo yang manis dan protektif. Aku akan dengan senang hati tinggal di dalam kamar seharian kalau saja ada kegiatan yang lebih menarik yang bisa kulakukan di sini. Tahu apa maksudku, bukan? Dengan kondisi sekarang ini-kami yang sudah berbaikan-tentu saja aku memiliki harapan besar ketika Aldo menuntunku masuk ke dalam kamar. Tapi ternyata dia hanya ingin tidur sambil berpelukan. Oh, Aldo yang manis. Aku menikmatinya, tentu saja. Tidak ada yang lebih nyaman di dunia ini selain berada di dalam rengkuhan dada bidang milik Aldo. Aku mengutuk diriku sendiri yang berharap untuk dapat tinggal di dalam pelukan Aldo untuk