Adimasta menatap Clarissa dengan bingung. Bukannya mulai makan, Clarissa malah menangis.
"Clay, kamu baik-baik? Bilang aku," ujar Adimasta memastikan apa yang terjadi dengan Clarissa.
"Adi ..." Clarissa melihat pada Adimasta. Dia bingung mau bicara bagaimana. Ada rasa campur aduk di dada Clarissa.
Sapaan lembut dan sikap manis Alicia adalah gambaran kasih ibu yang dia rindukan. Selama ini meskipun dia bersama mamanya, tidak ada pelukan hangat dan panggilan sayang manis seperti yang Alicia berikan padanya. Clarissa dan Rosita selalu saja ribut. Masalah apapun bisa jadi rame kalau Clarissa bicara dengan Rosita. Belakangan ini memang hubungan mereka mulai baik sejak Clarissa tahu mamanya sakit.
Tetapi, semua berbeda. Rosita sekarang punya Bramantyo. Clarissa ikut senang dengan pernikahan itu. Sayangnya, itu juga membuat Clarissa merasa sulit mendekati Rosita. Saat Alicia tadi begitu lembut bicara padanya, hati Clarisa terenyuh.
"Bilang saja, Clay
Clarissa tampak tidak sabar ingin segera sampai di tempat tujuan. Sekalipun dia masih letih dan belum pulih sepenuhnya, dia memaksa terjaga, ingin tahu sampai di mana perjalanan menuju ke kota asal Yenny. Adimasta bisa paham kegelisahan Clarissa. Dia ingin segera bertemu Yenny dan meluruskan kesalahpahaman yang terjadi. Selama ini belum terwujud Clarissa pasti akan terus gusar. Adimasta mulai paham sikap Clarissa. "Clay, kamu tidur saja. Biar sampai di tempat Yenny kamu ga pusing. Kalau kamu kelelahan, malah merepotkan mereka nanti." Adimasta membujuk Clarissa agar mau tidur. Clarissa melirik Adimasta. Benar juga yang Adimasta katakan. Lebih baik dia tidur saja. Begitu bangun, pas mereka sampai. Sepertinya itu lebih baik. Clarissa pun menyandarkan kepala dan memejamkan mata. Berharap segera lelap. Adimasta fokus menyetir agar segera sampai di tempat yang ia tuju. Dia mengikuti maps yang menuntun ke rumah sakit tempat papa Yenny
Mata Clarissa terbuka lebar. Rasa kantuk lenyap sudah. Di depannya, Clarissa melihat papa Yenny sudah sadar. Dia melihat pada Clarissa dengan tatapan bingung. Dia tidak mengenal gadis yang sedang duduk di sisi tempat tidurnya. Dia terbangun tapi tidak tahu siapa yang dia hadapi. Apakah dia masuk dunia lain? "Kamu ... kamu ..." lirih papa Yenny bicara. "Om ... sebentar, aku panggil Yenny." Dengan cepat Clarissa mendekati Yenny yang masih tidur. Clarissa berjongkok di sisi kursi dan menepuk bahu Yenny. "Yenny, om sudah sadar. Yenny ..." kata Clarissa. Yenny terbangun dan duduk di kursi sambil mengusap kedua matanya. "Udah jam berapa?" tanya Yenny. "Yenny, papa kamu ..." Clarissa berdiri dan menunjuk ke tempat tidur. Yenny bergegas bangkit dan menghampiri papanya. Dia pegang tangan papanya dan memandang dengan mata berair. "Tuhan, terima kasih ... Papa sudah sadar." Yenny tersenyum di tengah tangisnya. Hatinya penuh syukur
Tiba di tempat kos Clarissa cepat-cepat mandi lalu menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Lelah sekali setelah perjalanan yang panjang ke tempat Yenny. Kepala terasa pusing dan berat. Tidak ada yang lain yang dia mau lakukan, hanya ingin tidur. Sementara matanya terpejam, pikiran Clarissa masih berputar-putar. Ingat semua yang dia lalui dalam perjalanan. "Aku kesel, banget ... Aku pingin pacar yang lembut, sabar, suka senyum sama aku. Kasih kejutan tiba-tiba ..." Kata-kata Adimasta terngiang di telinga Clarissa. Itu yang Adimasta harapkan dari orang yang dia sebut kekasih. Sementara kekasih yang dia miliki ... "Aku ga akan maksa kamu seperti itu ... tetap sayang kamu ... apa adanya ..." Kalimat yang ini pun muncul di kepala Clarissa. "Adi ..." ucap Clarissa lirih, lalu dia pun terlelap. Hingga esok paginya, baru Clarissa terbangun. Dia melihat jam dinding di kamarnya. Matanya mengernyit memastikan jam dinding itu berjalan dengan benar. Clarissa
Yenny tersenyum lebar. Clarissa tampak serius menimpali perkataannya. "Kalau kamu tidak lakukan ini bisa jadi beneran ga baik buat kamu. Segera, begitu selesai telepon, kamu harus dulukan mengerjakannya." Yenny jadi lebih serius. Tiba-tiba saja dia ingin mengerjai Clarissa. "Apaan, Yenny? Ih, aku jadi degdegan, tahu?" sahut Clarissa. "Dengar baik-baik. Ganti nama kontak Adimasta di HP kamu. Paham?" Yenny berkata dengan tegas dan jelas. Lalu dia tertawa. "Ahhh .... Yenny ..." Clarissa cemberut. "Aku pikir soal apa? Ihh!" "Ya, kamu kasih nama Adi Pacar Palsu. Dia itu beneran pacar kamu. Dia sayang abis sama kamu. Ganti," tukas Yenny. "Iya, aku ganti, makasih sarannya. Salam buat papa dan mama kamu. Bye." Clarissa menutup telpon. Sekarang Clarissa memandangi nama kontak Adimasta di ponsel. Dia berpikir mau kasih nama apa. Ga mau asal nama Adimasta. Kebiasaan Clarissa, selalu punya sebutan khusus untuk orang-orang tertentu di
Clarissa mengambil tasnya yang tergantung di sisi kursi. Lalu dia berjalan menemui papa dan mama Adimasta. Mereka tengah bercengkerama dengan beberapa keluarga. Sedang Diaz dan Anindita duduk tak jauh dari mereka. "Maaf, Om, Tante, aku pamit pulang. Takut kemalaman sampai di tempat kos." Clarissa menyela pembicaraan mereka. Arjuna dan Alicia, serta beberapa orang yang duduk bersama mereka, menoleh pada Clarissa dan Adimasta yang berdiri agak di belakang Clarissa. "Oh, begitu? Baiklah. Terima kasih sudah mau datang." Arjuna tersenyum. "Clarissa, main lagi ke sini. Kalau Anin sudah nikah, dia tinggal sama Diaz. Tante ga ada teman cewek lagi. Tante tunggu, ya?" Alicia juga mengurai senyum manis pada Clarissa. "Eh, iya, Tan. Permisi. Selamat malam." Clarissa mengangguk lalu berbalik melangkah menjauh. Diaz dan Anindita memperhatikan raut wajah Clarissa sedikit jutek. Pasti ada sesuatu. Jangan-jangan ribut lagi sama Adimasta. "Mahas
Dengan wajah kesal, Clarissa melangkah keluar, menghampiri Adimasta dan kedua cewek itu. "Hai, seru, nih, foto bareng." Clarissa tersenyum tapi hatinya geram. Adimasta menoleh. "Eih, sebentar. Dikit lagi selesai." "Ga apa, lanjutkan aja. Makanan aku juga belum habis." Suara Clarissa sedikit ketus. Lalu dengan cepat dia balik ke dalam tempat makan itu. "Kak, pacarnya ngambek, tuh." Salah satu cewek itu berkata pada Adimasta. "Nggak, kok. Emang gitu dia. Gimana, masih lanjut?" tanya Adimasta. "Udah deh, Kak. Thank you." Yang satu lagi menyahut. Adimasta memberikan kamera pada salah satu dari cewek itu lalu kembali ke meja tempat dia makan. Clarissa duduk di sana dengan muka asem. Dia makan ogah-ogahan. Matanya melirik Adimasta, pura-pura sibuk dengan makanan di depannya. "Mereka minta tolong buat difoto. Seru juga. Mereka ramah." Adimasta bicara sambil tangannya mengan
Clarissa memandang gedung tinggi menjulang di depannya. Megah dan indah. Di gedung gereja ini Diaz dan Anindita akan melangsungkan pernikahan mereka. Terlihat orang-orang yang berdatangan masuk dalam gedung itu. Wajah mereka tersenyum. Pasti berharap akan mengikuti upacara pernikahan yang indah. Hati Clarissa sedikit terasa berdebar. Diaz, seperti apa dia dengan setelan keren sebagai pengantin? Clarissa pernah membayangkan dosen tampan itu tersenyum dengan pakaian pengantin. Di sisinya yang dia gandeng mesra, seorang gadis cantik, mahasiswanya sendiri. Clarissa. Semua itu hanya mimpi belaka. Hari ini Clarissa akan masuk gedung itu, melihat Diaz menjadi pengantin, bukan dengannya, tapi dengan kakak kekasihnya. Kenapa hidup membuat permainan seaneh ini? "Sayang, kenapa tidak masuk?" Tepukan di bahu Clarissa. Dan pertanyaan itu, membuat Clarissa menoleh. Rosita berdiri di sisi Clarissa. Ya, mama Clarissa datang. Tentu saja. Mama A
Clarissa mengangguk lalu berdiri. Bagaimanapun dia harus menghadapi ini. Diaz memang tidak akan pernah melihatnya sebagai seorang wanita yang bisa membuat jatuh hati. Tapi itu bukan salahnya. Cinta Diaz buat Anindita. Dan mereka memang serasi. "Nanti jangan jauh-jauh dari aku." Clarissa berpesan pada Adimasta. "Iya, tentu." Adimasta tersenyum tipis. Keduanya melangkah menuju ke hall di samping gereja. Resepsi diadakan di sana. Tamu-tamu mulai masuk dan menunggu kehadiran mempelai. Suasana meriah dan menyenangkan. Senyum dan tawa terdengar di sana sini. Adimasta menggandeng Clarissa masuk ke sana. Segera beberapa keluarga dan teman menyapa. Adimasta bicara dengan mereka dan mengenalkan Clarissa. Clarissa bersikap sewajar mungkin. Dia tidak boleh membuat keluarga Adimasta malu karena dia. Lalu Adimasta mengajak Clarissa menuju pelaminan. Adimasta bahkan belum sempat mengucapkan selamat buat kakaknya dan Diaz. Sebelum upacara pernikah
Clarissa kembali memperhatikan Cori. Wajahnya sedikit pucat, bibirnya mulai biru. "Cori, kamu beneran ga apa-apa?" tanya Clarissa. "Ga apa-apa. Cuma geli, tadi. Ikannya pada ngerubung kakiku." Cori memeluk lengannya, mulai kedinginan. "Bawa dia mandi, Clay." Adimasta sudah di belakang Clarissa. Clarissa membawa Cori ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sedang Adimasta, bersama Calvin, akhirnya dibantu Diaz mulai membereskan pancingan. Lalu ikan hasil Calvin dan Cori memancing mereka berikan pada pelayan untuk diolah menjadi lauk makan siang. Sambil menunggu makanan siap, Adimasta, ikut bergabung dengan keluarga yang lain. Hari yang sangat menyenangkan memang. Saat liburan sekolah, tepat hari ulang tahun pernikahan mama dan papa Adimasta, mereka pergi ke tempat pemancingan di pinggiran kota. Calvin datang liburan kenaikan kelas dan ikut bersama mereka. Yang menyenangkan, Rosita pun bisa bersama mereka. Kondisinya cukup baik
Suara gemericik air mengalir terasa menenangkan jiwa. Desau tiupan angin membuat daun-daun beradu, berguguran di sekitar batang pohon yang besar. Di antara suara alam terdengar tawa dan celotehan gadis kecil di pinggir kolam yang cukup luas, bersama seorang anak yang mulai beranjak remaja. "Om, itu! Goyang! Lihat! Om, dapat lagi!!" Teriakan kegirangan terdengar memecah di antara suara alam yang sejuk. Anak lelaki di sisi gadis yang berteriak gembira itu dengan cepat menarik pancingnya dan benar, ikan mujair lumayan besar tersangkut pada mata kail. "Keren!! Om pintar juga memancing!" Gadis kecil dengan ekor kuda di belakang kepalanya itu melompat-lompat dengan senyum lebar. Dia cepat mengambil kaleng tempat menaruh hasil pancingan mereka.Lalu dengan senyum masih di bibirnya, gadis kecil itu berlari kecil menuju pondok tidak jauh dari kolam pemancingan. Di pondok bambu, duduk sepasang pasutri yang sedang menikmati indahnya alam di sekitar mereka.
Adimasta dan Clarissa kembali ke rumah sakit demi mendengar kabar kepergian Lena. Sungguh mengejutkan, ternyata Lena bahkan lebih cepat pergi dari yang dokter perkirakan. Mama Lena menangis hampir tak bisa berhenti. Begitu pula adik Lena.Lena yang ceria dan penuh semangat, tidak akan ada lagi. Senyum lebar dan tingkahnya yang lincah tidak akan terlihat lagi. Meskipun Adimasta tidak begitu dekat dengan Lena, tetap dia merasa sedih juga dengan kejadian ini. Clarissa bahkan ikut menitikkan air mata melihat ibu dan anak yang menangis karena kehilangan satu anggota keluarga mereka. Apalagi ayah Lena bekerja di luar pulau. Masih perlu menunggu sekian jam untuk bisa datang dan memeluk anak serta istrinya yang sedang berduka. Buatnya pasti juga sangat berat. Berpisah sekian lama, jarang bisa bersama, harus mendapat kabar putrinya meninggal. "Tuhan kenapa ga sembuhin kakak, Ma? Kenapa kakak diambil kayak gini?" Tangisan pilu gadis remaja itu menyayat hati.
Senyum tipis muncul di bibir Lena yang sedikit kering. Dia memandang Clarissa. "Memang benar, ada sesuatu yang kita perjuangkan belum tentu juga akan kita dapatkan. Sakit, kecewa, pasti. Cuma, seperti mama bilang, aku harus punya hati bersih." Lena melanjutkan kalimatnya. Clarissa masih duduk di tempatnya, memandang pada Lena yang bicara dengan suara lebih lemah. "Hidupku akan segera berakhir. Kenapa ... aku harus meninggalkan semua ... dengan luka? Aku mau pergi dengan ... hati bersih." Makin lirih dan pelan kalimat itu keluar dari bibir Lena. "Lena?" Clarissa menyentuh lengan Lena. Kuatir karena suara gadis itu makin jauh, matanya makin redup. "Aku hanya ngantuk ..." ucap Lena. Dia pejamkan matanya. Clarissa menarik nafas lega, Lena terpengaruh obat yang dia minum. Clarissa bangun dari kursinya, berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu. Di depan kamar, Adimasta dan mama Lena sedang berbincang. Adimasta menoleh ke arah Clari
Ponsel Adimasta kembali berdering. Mama Lena terus mencoba menghubungi dia. Mata Adimasta juga masih memandang Clarissa. Dia kembali kuatir kalau Clarissa akan mengeluarkan tanduk di kepalanya. "Terima, Di. Pasti penting." Clarissa berkata, tenang, tidak ada marah di sana. "Oh, oke." Adimasta pun menerima telpon dari mama Lena. Suara wanita setengah baya itu cemas, bahkan hampir menangis. Adimasta terkejut. Lena drop, masuk ke rumah sakit. Sejak semalam terus saja minta Adimasta datang. Clarissa memperhatikan Adimasta yang wajahnya berubah tegang."Kenapa, Di?" tanya Clarissa. Dia juga penasaran apa kabar yang Adimasta dapat. Adimasta melihat ke arah Clarissa, tapi belum menjawab, masih mendengar suara dari ponselnya. Clarissa menunggu, hingga Adimasta selesai berbicara dengan mama Lena. "Lena sakit lagi?" tanya Clarissa. Adimasta mengangguk. "Iya. Dia masuk rumah sakit. Dia ingin ketemu aku." Adimasta mengatakan itu tetap
Tangan Adimasta masih sedikit gemetar. Dia pegang kuat kedua tangan Clarissa seakan tidak mau ditinggal sendiri. Dia memandang Clarissa dengan wajah yang sulit digambarkan. "Adi ..." Clarissa mencoba mencari kesasadaran dari tatapan bola mata Adimasta yang campur aduk. "Aku ingat. Aku ingat semuanya ..." Tangis Adimasta mulai terdengar. Dia raih Clarissa dan memeluknya erat. Debaran jantung Clarissa melonjak. Adimasta ingat semuanya? Benarkah? Clarissa masih belum yakin. Adimasta terus saja menangis. Belum pernah Clarissa melihat seorang pria menangis sampai seperti ini. Pelan, Clarissa usap punggung Adimasta, tidak ingin mengatakan apapun. Dia akan tunggu hingga Adimasta tenang, lalu mereka bisa kembali bicara. Sementara di kepala Adimasta, semua kisah muncul dengan jelas. Runtut, semua yang berlubang mulai tertutup. Semua kembali pada tempatnya. Adimasta melepas pelukannya dan memandang Clarissa. Masih campur aduk di dalam hatinya. Seb
Beberapa saat lamanya, Clarissa menangis di pelukan Adimasta. Dia merasakan sentuhan lembut di punggungnya. Sesekali Adimasta mengusap atau menepuk, berusaha menenangkan Clarissa. Hal yang sama yang dulu Adimasta lakukan, sama seperti yang papa Clarissa lakukan. Adimasta sedang berperan jadi Arlon dalam pikirannya. Sedang Clarissa, di tengah tangisnya, terus berdoa, Adimasta akan kembali pada dirinya. Dirinya yang saat ini bersama Clarissa. Yang menyadari kalau Clarissa sudah cinta dan jatuh cinta padanya. Clarissa yang marah dan cemburu buta karena Adimasta peduli dengan cewek lain. "Katakan semuanya. Apapun itu. Anggap aku papa kamu." Kata-kata yang sama Adimasta ucapkan lagi. Perlahan, tangis Clarissa mereda. Dia angkat wajahnya, memandang Adimasta. Rasa sayang yang besar menyelimuti hati Clarissa. Apa yang akan dia katakan agar Adimasta tahu posisi mereka sebenarnya seperti apa? "Papa dan aku sudah baikan, Adi. Kamu tidak ingat, kalau kita bahkan
Dengan kesal Clarissa meletakkan ponselnya. Dia menelpon Yenny ingin dibelikan buah, malah Yenny bicara tidak jelas. "Siapa yang mau pergi ke club? Ngaco nih orang! Lagi sakit kepala apa si Yenny?" gerutu Clarissa.Duduk di depan meja belajar. melipat kedua tangannya ngedumel sendiri. Dering suara panggikan masuk. Clarissa melirik pada ponsel yang ada di depannya. Yenny. Masih kesal, Clarissa mengangkatnya. "Kamu kenapa, sih? Aku ngomong soal buah, kamu kok ga nyambung gitu," tukas Clarissa. "Clay, kamu ke club cepetan. Aku dan Adi nyusul ke sana." Yenny bicara dengan cepat "Hah??!" Clarissa seketika melotot mendengar itu. Aneh sekali sahabatnya itu. Gimana bisa dia menyuruh Clarissa pergi ke club. Ini juga masih belum beneran sore. Yenny mengatakan apa yang dia pikirkan saat bicara dengan Adimasta. Ternyata ini seperti sebuah pintu membawa Adimasta mengingat kembali pada Clarissa dan dirinya. Clarissa masih belum begitu pah
Mata Clarissa nanar memandang keluar kamarnya. Bukan taman cantik di halaman yang dia perhatikan. Wajah Adimasta yang menatap dingin kepadanya yang tampak. Ucapan Adimasta yang penuh kekecewaan yang melingkupi hati Clarissa. Yenny duduk di sisinya, mengusap pundak Clarissa. Gundah juga menyapa Yenny setelah mendengar penuturan Clarissa. Adimasta menolak kekasihnya. Yang dia ingat Clarissa hanya bertingkah menyebalkan dan Adimasta tidak mau lagi diperlakukan seperti itu. Semua bayangan kisah manis dan romantis yang sudah terjadi hilang dari kepala Adimasta. Dua hari, Clarissa tidak datang ke rumah Adimasta. Gadis itu tidak mau berbuat apa-apa. Hanya rebahan, duduk, main ponsel, bahkan enggan keluar kamar sekedar mengambil makanan online yang dia pesan. "Kamu benar-benar sayang Adi. Justru sekarang Adi yang begini." Hati Yenny bicara. Dia merasa pilu juga merasakan kedua teman baiknya. Dia harus melakukan sesuatu. Yenny Yakin, Adimasta dan Clarissa pasti bisa b