Susah sekali menemukan Annette sendirian. Si cantik tidak penah memberikan kesempatan bagi Rosie dan Claire bicara dengannya. Jangankan bicara, menyapa saja sulit sekali bagi Rosie dan Claire. Itu sebabnya kedua gadis nekat 'menculik' Annette di sela pergantian mata pelajaran.
Tubuh kurus Annette tiba-tiba diseret saat dia baru keluar dari toilet. Tangan mungil Claire di mulutnya untuk mencegahnya teriak, lalu Rosie menariknya masuk ke kelas kosong di pojok. Setelah menutup pintu, Rosie memaksa Annette duduk di salah satu bangku. Kedua gadis juga duduk di samping kanan dan kiri Annette.
"Lihat wajahnya! Bonyok, persis maling ayam baru dikeroyok massa," komentar Rosie pada Claire sambil memperhatikan wajah yang penuh memar.
Kondisi wajah Annette memang sudah lebih baik dari tiga hari lalu, tapi belum bisa di sebut sembuh. Masih ada memar yang mulai memudar di pipi kanan, pelipis, juga ujung bibir dan luka gores di pipi kiri dan pangk
"Kak Damian, mau tidak jadi pacarku?" Rosie bertanya dengan suara halus tapi mantap. Mata hazel-nya menatap Damian kian lekat. Gadis itu menopang wajahnya yang menghadap Damian dengan tangan yang bertumpu pada meja.Damian langsung saja terperangah mendapat pertanyaan seperti itu. Matanya membelalak kaget dan mulutnya sedikit terbuka. Rosie adalah gadis cantik penuh percaya diri dan Damian menyukai sikap itu dari Rosie. Namun dia tidak pernah mengira akan merasakan langsung efek dari rasa percaya diri milik Rosie. Itu mengagetkan tapi juga...menarik."Ro-Rosie, a-aku....""Aku bercanda..." celoteh Rosie sambil cekikikan. Dia tidak tega melihat wajah merah dan gelagapan karena pertanyaannya. Mungkin dirinya terlalu frontal. Mengajak seseorang untuk jadi pacarnya di depan orang lain mungkin terlalu berlebihan. Tapi tadi sejujurnya dia serius mengajak Damian pacaran. Sikap Damian yang dewasa, selalu bisa menyayomi sikap kek
Jika Rosie ingin Edward berhenti menyukainya maka itu yang akan dia dapat. Bukan hanya berhenti, Edward bisa lebih dari sekedar itu. Dia akan melakukan lebih dari sekedar itu. Edward akan membenci Rosie. Semoga gadis itu puas. Toh ini pilihannya. Mudah saja untuk Edward menghempaskan perasaan tidak berguna yang dia rasakan untuk sang adik.Gadis tersebut dengan baik hati membantunya. Dengan sengaja berciuman dengan Damian Marley di taman malam itu supaya Edward memergoki mereka, bermesraan di depan Edward hari-hari berikutnya, bahkan tak sungkan mengumumkan hubungan mereka secara resmi."Aku dan Kak Damian sudah resmi pacaran."Dia mengatakannya di pagi hari berikutnya, setelah Edward menyaksikan pemandangan menyakitkan itu. Tidak punya belas kasih memberi jeda dari rasa sakit bekas kemarin malam, Rosie langsung menggempur Edward dengan rasa sakit lebih dahsyat. Hatinya patah.Edward diam. Layaknya patung pajangan t
Claire bilang padanya untuk tidak ikut. Datang ke pesta ulang tahun Edward yang notabene membencinya adalah ide buruk plus idiot. Persetan dengan Jinyoung yang baik bak malaikat. Gadis itu bodoh dan naif, membawa Rosie ikut dalam kekacauan besar tanpa dia sadari.Apa lagi waktu Damian bilang dia tidak bisa ikut tepat satu hari sebelum mereka berangkat. Damian mendadak harus menyelesaikan beberapa pekerjaan penting dan dia harus tetap bekerja saat akhir pekan.Claire hampir merobek lembaran tiket itu supaya sahabatnya tidak bisa pergi ke Bali dan acara sialan. Claire punya insting yang kuat. Hampir selalu tepat. Atau bisa kalian bilang sembilan puluh sembilan persen tepat. Kecuali saat dia bilang akan lulus audisi, biasanya itu salah. Tapi kalau untuk hal lain, selalu tepat."Pokoknya kau tidak boleh ikut, Rosie." Claire berkata dengan tegas. Dia memegangi tiket erat-erat supaya Rosie tidak bisa merebutnya."Tapi Kak
"Kak Alice, gelangmu bagus," kometar Rosie akhirnya. Mengabaikan wajah sok manis Jackson yang duduk di sebelahnya. Axel dan para sepupu Alice, Caroline dan Olivia terkikik geli sekaligus puas melihat Jackson dapat kacang. Axel menepuk pundak sahabatnya, menguatkannya."Ah, iya. Ini hadiah dari Edward." Alice tersenyum, tangan kirinya meraba gelang putih yang dia pakai.Edward Quin, dua hari lalu, tahu-tahu menyerahkan gelang tersebut padanya. Saat Alice bertanya dalam rangka apa? Edward hanya membalas ringan, "Tidak ada. Hanya ingin memberimu hadiah saja.""Ah, manis sekali Kak Edward. Kak Alice sangat beruntung!"' seru Caroline sambil tersenyum iri."Kalian memang pasangan serasi." Sambung Olivia juga tersenyum manis.***Sudah jam sepuluh malam. Waktu pesta ulang tahun Edward akan segera di mulai. Rosie memeriksa lagi penampilannya di cermin toilet restoran. Dia sekilas melihat
"Kalau aku bilang tidak, apa kau akanpercaya?" ucap Rosie terdengar lirih. Matanya yang merah dan basah mencoba membalas tatapan tajam Edward walau terlihat bergetar."Itu bukan jawaban." Desis sang kakak penuh penekanan."IYA! AKU MENCURINYA! APA KAU PUAS, TUAN EDWARD!"Rosie melepas dengan kasar gelang sial itu. Melemparnya ke muka Edward sekuat tenaga. Dia berlari menjauh dari lorong sial itu, melewati tiga manusia sial, masuk ke kamar sial, lalu mengunci pintu sial.***Untung dia masih punya David. Sahabat sejati yang bisa diandalkan. Mereka memang sudah berbulan-bulan tidak bicara, tepatnya sejak ia membatalkan janji mereka di Sabtu malam. Tapi, Rosie tahu dia selalu bisa mengandalkan pemuda jangkung itu.Claire, tentunya tidak mungkin dia mintai bantuan mengingat sang gadis cantik sedang ikut audisi penting. Menelponnya malam-malam begini hanya akan membuyarkan konsentras
"Kau baik-baik saja?" Rosie hanya mengangguk pelan."Ayo." David menarik Rosie masuk ke mobil setelah mendapat jawaban.Tapi Youngjae bergeming. Manik hazel itu memandangi Edward dengan cemas. Pemuda itu tidak bergerak sejak David berhenti memukulinya. Dia memang masih bisa melihat dada Edward bergerak naik turun perlahan sebagai bukti pemuda itu masih hidup, namun Edward jelas bukan dalam keadaan baik."David..." Rosie berkata dengan ragu. Kerutan di dahinya, kecemasan di matanya, gigitan di bibir bawahnya, semua menjelaskan apa yang gadis itu pikirkan. Dan David, sebagai seorang sahabat yangbpengertian, langsung paham akan keinginan sulit terucap Rosie.Si jangkung mendengus frustasi. Keinginan tak terucap itu adalah hal yang dia benci untuk turuti. Dia tau bahwa akan ada sesuatu yang buruk terjadi jika dia mengamininya. Tapi dia tidak punya hak untuk menolak pasalnya ini sepenuhnya hak Rosie."Ok
"S-sebenarnya bukan marah. Aku cemburu."Pupil mata Rosie sekejap melebar lantaran kaget teramat sangat. Dari segala bentuk kata yang menggambarkan perasaan, Rosie tidak menyangka sama sekali akan mendengar 'cemburu' meluncur dari mulut Edward. Terutama saat ini. Sebut dirinya munafik, tapi memang benar Rosie sekuat tenaga menyembunyikan kekagetan dan kesenangan di hatinya.Edward menghela nafas pelan, bukan karena lelah apalagi putus asa, melainkan lega. Ya. Dia lega setelah akhirnya mengungkapkan perasaannya. Selama ini terasa berat memikul rasa yang tak seharusnya kau miliki terhadap seseorang. Terlebih dia menderita sendiri menutupi segala hasrat terhadap Rosie."Iya, Rosie. Aku cemburu dengan Damian. Aku benci melihat dia dekat-dekat denganmu. Aku rasanya ingin mematahkan tangannya yang merangkulmu. Aku hampir gila menahan diri untuk tidak menghancurkan wajahnya yang sudah berani menciummu. Aku seharusnya tidak merasakan perasa
Bintang malam itu tidak terlalu ramai. Semilir angin dingin terkadang berhembus menusuk tulang membuat Rosie menggigil diam-diam sembari mengusap lengannya. Bagian bawah tubuhnya memang tertutup selimut tipis yang mereka temukan di jok paling belakang mobil, tapi bagian atasnya masih kedinginan karena baju yang dia pakai tidak terlalu tebal."Kau dingin?" Edward menoleh setelah dua kali mendapati Rosie mengusap lengannya kedinginan. Dia tidak menunggu jawaban sang adik, lanjut membuka jaket jeans-nya lalu memakaikannya pada Rosie.Sang adik menggumamkan, "Terima kasih," yang pelan bersamaan dengan semburat merah jambu di pipi.Mereka kembali bersandar pada kaca depan mobil. Kaki saling bersentuhan di atas kap mobil hitam. Deru ombak sayup-sayup di telinga kakak beradik, menubuhkan sensasi rileks yang nyaman.Rosie penasaran kenapa Edward tidak langsung membawanya kembali setelah pembicaraan terakhir.
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa