Sepuluh menit lalu mereka sepakat hanya melakukan hal yang tadi. Tapi sekarang nampaknya Edward punya rencana lain. Tubuh Rosie dibalik setelah dia mematikan keran air, manik hitam Edward dipenuhi gairah ketika Rosie melihatnya.
Tidak ada basa-basi, Edward langsung memangut bibir cantik istrinya. Dia hanya melepasnya untuk membisikkan, "Aku menginginkan tubuhmu, Rosie," pelan tapi seksi.
Edward menautkan bibir mereka lagi, kali ini lebih kasar, liar, dan penuh nafsu. Dia membuka kancing kemeja Rosie satu persatu untuk mengekspos tulang selangka dan tentu saja-bagian favoritnya, dada Rosie. Kala bibirnya berpindah dari tulang selangka ke dada kenyal Rosie, tangan kirinya menyusup ke dalam rok perempuan itu.
"Ed-Edward, jang...an...ah..."
Rosie meremat kaos Edward erat, wajahnya dia buang ke kiri untuk memudahkan sang suami menciumi leher jenjangnya. Mulut Edward mengulum daging berbalut kulit le
Flash back."Kau sudah tidak cinta pada aku lagi Mentang-mentang aku sudah tidak secantik dulu! Hiks hiks hiks..." tangisan itu tiba-tiba saja mewarnai perbincangan Rosie dan Edward.Pagi itu sepasang suami istri hanya mendiskusikan hal ringan. Dekorasi interior untuk rumah mereka yang sedang di renovasi. Rosie sudah beberapa kali mengutarakan keinginannya untuk mengecat seluruh tembok dengan warna pink. Saat perempuan yang tengah hamil enam bulan itu bilang semua itu berarti SEMUA dinding yang berdiri di rumah mereka, termasuk ruang tamu, ruang TV, dapur, bagasi, kamar tidur (semua kamar tidur, semua), termasuk ruang kerja Edward.Tentunya Edward menolak, dengan halus sebab dia tahu kondisi Rosie sekarang sangat amat begitu sensitif. Salah bicara sedikit, Rosie bisa langsung tersinggung, sedih, terluka, murung, dan hasilnya bilang Edward sudah tidak mencintainya lagi. Repot lah pokoknya."Bukan seperti itu, Rosie s
Edward menyunggingkan seringai tipis seraya menuntun Rosie duduk di pangkuannya. Perempuan itu menaruh kedua lutut di kanan dan kiri paha Edward tapi menolak untuk duduk. Alis Rosie terpaut samar-samar dalam cahaya temaram lampu kamar apartemen."Aku berat, Edward."Rosie mencebik imut antara campuran rasa kuatir dan kecewa. Dia sangat ingin menuruti perintah sang suami, duduk di pangkuan Edward dan bercumbu seperti yang biasa mereka lakukan, tapi belakangan ini berat badannya makin menakutkan. Rosie sering bercermin dan dia hampir percaya bahwa pantulan di cermin adalah paus biru kekenyangan."Siapa bilang?"Edward memaksa sang istri duduk di pangkuannya. Tidak terganggu sedikitpun dengan berat yang kuatirkan Rosie. Justru dia suka tubuh berisi perempuan di depannya sekarang. Penuh dengan daging kenyal yang bikin Jaebeom ingin menyantap segera."Aku memang- Ak!"Rosie memekik kaget
"Sejujurnya aku suka nama itu. Rasanya cocok.""Bagaimana?""Naluriku. Ini sulit dijelaskan." Rosie angkat bahu. Dia lalu memeluk Edward dengan erat dan menyandarkan kepalanya di dada Edward lagi, mencoba tidur. Namun kemudian,"Jangan coba-coba..." desis Rosie, mata masih terpejam. Seketika tangan nakal Edward di balik selimut berhenti menggerayangi paha Rosie."Sayang~~~" rengek Edward manja. Bibirnya turun ke ceruk leher Rosie, menciuminya."Sekarang jam tiga pagi, Edward. Aku lelah.""Ayolah, sayang. Sebentar saja." Bujuk Edward masih pantang menyerah, kini bibirnya sudah di tulang selangka."A-""Ibi.... Ayah...." Samuel membuka pintu kamar. Kaki kecilnya melangkah menuju ranjang dan memanjat ke atas. Dia menyelipkan tubuh kecilnya di tengah-tengah kedua orang tuanya."Samuel kok bangun?" Rosie memeriksa wajah mengatuk Samuel.
"Sudah, ini sudah siang. Kalian sudah harus berangkat." Rosie mengalihkan pembicaraan, tangannya dengan gesit menyusun kotak bekal dan juga botol air minum, lalu memasukkannya ke dalam tas Samuel.Edward hanya memperhatikan wajah Rosie yang merah padam. Meski, usianya kini sudah tak lagi muda tapi wajah Rosie masih nampak cantik."Baiklah, ayo Ayah." Samuel bergegas menyangkil tasnya diikuti Edward yang mengambil kunci mobilnya."Ibu tidak ikut?" Samuel bertanya ketika menyaksikan Rosie yang menyambut pamitan Edward."Tidak, sayang. Nanti siang, Ibu akan pergi ke rumah sakit, mengecek adik Samuel."Samuel hanya mengangguk-anggukkan kepalanya seraya mulutnya membentuk huruf O."Nanti, kau harus hati-hati. Jangan kecapean, Rosie. Ajak Bi Lastri menemanimu, aku tidak izinkan kau jika pergi sendirian. Oke?"Rosie mengangguk seraya mengerucu
"Ayah, apa Bibi Alice masih lama?" Samuel yang nampak tak sabar kini mulai berceloteh."Sebentar lagi, sayang. Sabar sedikit, ya?" Edward mengelus lembut punggung Samuel, menenangkan si bocah agar tidak merengek.Tak lama setelah itu, muncul Alice dari kerumunan depan gerbang, menghampiri Edward dan Samuel."Maaf membuat kalian menunggu lama. Aku habis dari toilet, ramai sekali."Edward hanya berdehem, lalu mengangguk. Samuel kembali menampilkan wajah sumringahnya. Menatap Alice dengan tatapan berbinar."Ayo, Bibi! Aku sudah tidak sabar.""Ayo, Samuel. Upacara pagi sebentar lagi akan mulai."Tangan kecil Samuel langsung menerima uluran tangan Alice."Alice, aku titip Samuel."Alice mengangguk, "Ya, kau tenang saja.""Baiklah.""Ayo, Samuel.""Bye, Ayah.
Rosie menghela nafasnya yang memburu, wajahnya dengan penuh ambisi kembali melangkahkan kakinya menaiki tangga, menahan rasa sakit pada perutnya karena tendangan itu kembali terasa."Sabar, sayang. Sebentar lagi kita akan sampai." Rosie berusaha kuat, pegangannya pada tiang tangga semakin kuat sampai kuku jarinya memutih.Dua langkah lagi ketika dia hendak sampai di lantai tiga, tiba-tiba saja kepalanya terasa sakit, pusing langsung mendera kepalanya dan pandangannya mulai berkunang-kunang.Tepat ketika dia sudah tiba di lantai tiga, kakinya sontak saja terasa lemas dan Rosie langsung ambruk ke lantai hingga menimbulkan dentuman keras untuk perutnya."Ah!" Rosie menjerit, perutnya yang tadi sudah terasa sakit kini malah semakin bertambah sakit, rasanya bertambah dua kali lipat.Jeritan Rosie yang kencang seraya suara jatuhnya menarik atensi dari beberapa orang yang sedang ada
Edward yang baru saja tiba di rumah sakit langsung lari terbirit-birit menuju ruang rawat tempat Rosie berada, tadi dia sudah di beritahu oleh perawat suruhannya untuk menjaga Rosie sampai dia tiba di sana.Napas lelaki itu memburu, dia sangat panik mengetahui Rosie jatuh pingsan dan ditambah dengan pendarahan. Batinnya tak ada henti meramalkan doa agar Rosie dan kedua anaknya selamat.Edward langsung masuk ke dalam ruangan, membuka pintu dengan tidak sabaran. Edward langsung menemukan Rosie yang masih tidak sadarkan diri, terbaring lemah di atas bangsal."Ada apa dengan istri saya?" Edward langsung menyerbu perawat jaga yang ada di sana."Tadi, Ibu Rosie terjatuh di dekat tangga, ketika kami mengangkatnya, Ibu Rosie malah pendarahan. Mungkin, itu dampak dari Ibu Rosie yang terlalu lelah. Tidak kuat berjalan lama, terlebih lagi ada dua bayi di perutnya. Itu, menyulitkan."
"Engh, Edward." Edward menoleh dan langsung menemukan Rosie yang baru saja membuka mata. Bibirnya bergerak seolah hendak mengucap kata."Ah, maaf, Bu. Rosie baru saja sadar, nanti aku kabari lagi.""Baiklah, kabari terus pada Ibu."Tut."Rosie? Apa yang sakit? Kau butuh apa?" Edward seperti suami siaga yang langsung mengecek kondisi Rosie."A-aku i-ngin minum." Rosie berkata terbata-bata karena tenggorokannya yang terasa kering."Ini. Minum ini." Rosie langsung menerima gelas yang di sodorkan Edward dan langsung merasa lebih baik."Bagaimana? Kau sudah baikan?"Rosie mengangguk-angguk kepalanya, "Aku sudah lebih baik, Edward. Terima kasih."Edward membuang napasnya lega, lalu menatap Rosie dengan tatapan tajam, meski begitu Edward harus menahan emosinya agar tidak lepas kendali."Kenapa kau bisa pergi se
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa