Bab 23: Bayangan di Balik Gerbang Emas
Lorong di bawah tanah itu dipenuhi dengan keheningan yang begitu mencekam, hanya terdengar gema langkah kaki Ananta, Randu, dan Sekar yang bergerak hati-hati. Pintu emas besar di ujung lorong semakin mendekat, namun atmosfer di sekitarnya terasa semakin berat, seolah menekan jiwa mereka.“Pintu ini...” gumam Sekar, matanya memperhatikan setiap ukiran pada logam emas itu. “Ada energi yang luar biasa di sini. Rasanya seperti... dia hidup.”Randu memegang tombaknya lebih erat, tubuhnya kaku. “Apa pun yang ada di balik pintu itu, kita harus bersiap. Ini tidak akan mudah.”Ananta menatap ukiran tulisan kuno di tengah pintu, lalu perlahan menyentuhnya. Kalimat itu berbunyi:"Hanya mereka yang hatinya murni yang dapat melangkah. Kegelapan akan menelan sisanya."Seketika, pintu itu bergetar pelan, seolah merespons sentuhannya. Ukiran mata seekor naga di tengah pintu perlahan bersinar merah, menciptaBab 24: Benturan Dua CahayaPukulan pertama dari pedang pria berjubah hitam menghantam lantai dengan kekuatan besar, menciptakan ledakan energi gelap yang membuat Ananta, Randu, dan Sekar terpental. Pilar-pilar kristal di sekitar mereka bergoyang, memancarkan kilauan yang menyilaukan.Ananta segera bangkit, mengangkat Pedang Cahaya untuk menangkis serangan berikutnya. Dentingan logam bergema keras ketika dua pedang sakral itu bertemu, memancarkan percikan cahaya dan kegelapan yang beradu.“Kau tidak akan melewati ruangan ini tanpa menumpahkan darah,” kata pria itu, suaranya dingin seperti es.“Aku tidak peduli siapa kau,” balas Ananta. “Aku di sini untuk menghentikan kegelapan, dan tidak ada yang bisa menghentikanku!”Pria itu menyeringai. “Kau tidak tahu apa yang kau hadapi.”Serangan BalikRandu berlari dengan tombaknya, mencoba menyerang dari sisi lain. Namun, pria berjubah itu mengayunkan pedangnya ke tanah, menciptakan g
Bab 25: Badai di Puncak KegelapanAnanta, Randu, dan Sekar berdiri di tepi tebing yang menghadap ke Benteng Kegelapan. Di bawah mereka, lembah yang sunyi dan mencekam dipenuhi dengan bayangan bergerak, seolah tanah itu sendiri hidup. Asap hitam pekat naik dari puncak benteng, menyelimuti langit malam dalam kegelapan yang menyesakkan.“Apa kita benar-benar akan turun ke sana?” tanya Sekar, suaranya gemetar meskipun ia mencoba terdengar tegar. Matanya tertuju pada penjagaan ketat di sekeliling benteng. Makhluk-makhluk besar dengan bentuk tak lazim berdiri berjaga, sementara nyala merah di mata mereka menyorot ke segala arah.“Kita tidak punya pilihan,” jawab Ananta sambil menggenggam Pedang Cahaya erat. Cahaya dari pedangnya meredup, seperti merespons aura gelap yang semakin tebal. “Benteng itu adalah tempat di mana semua ini bermula. Dan itu juga tempat di mana semua ini harus berakhir.”---Rencana yang BerbahayaMereka berk
Bab 26: Pertemuan dengan KegelapanSuasana di ruang tengah itu begitu mencekam. Ananta dan Sekar berdiri membeku, pandangan mereka terpaku pada sosok berjubah hitam yang perlahan melangkah maju. Di balik tudungnya, matanya bersinar merah, penuh dengan kebencian dan kekuatan yang tak terukur."Sudah lama aku menantikan saat ini," katanya dengan suara yang bergema seperti ribuan bisikan. "Seorang pemuda yang dipilih Pedang Cahaya, dan penyihir muda yang mengira dia memahami rahasia dunia ini."Ananta mengangkat Pedang Cahaya, meskipun tangannya gemetar. "Siapa kau? Dan apa yang kau inginkan dariku?"Pria itu tertawa kecil, suara yang menggema hingga dinding-dinding ruang itu bergetar. "Aku adalah Panglima Kegelapan, tapi nama itu hanyalah bayangan dari apa yang sesungguhnya aku wakili. Aku adalah cerminan dari kekuatan yang kau miliki, Ananta. Kita terikat lebih dari yang kau kira."---Kebenaran yang MengejutkanAnan
Bab 27: Bayang-Bayang KehancuranRuangan itu dipenuhi dengan aura menyesakkan. Panglima Kegelapan melangkah perlahan, setiap langkahnya bergema seperti lonceng kematian. Ananta tergeletak di lantai batu dingin, tubuhnya terasa berat, seolah energi dalam dirinya telah terkuras habis. Pedang Cahaya yang kini bercampur dengan aura hitam tergeletak di dekatnya, cahaya pada bilahnya berkedip lemah.Sekar, yang terbaring tidak jauh dari Ananta, menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit. Tubuhnya gemetar karena mantra terakhir yang ia gunakan menguras banyak tenaga. Tapi ia tahu, menyerah bukanlah pilihan.“Sudah kuperingatkan,” kata Panglima Kegelapan, suaranya tenang namun penuh ancaman. “Kau tidak bisa melawan sesuatu yang berasal dari kegelapan tanpa menyerahkan segalanya.”Dia mengulurkan tangannya, telapak tangan mengarah ke bola energi hitam di tengah ruangan. Bola itu berputar lebih cepat, mengeluarkan suara gemuruh yang mengguncang seluruh ben
Bab 28: Dilema di Tengah KegelapanRuangan itu kini penuh dengan keheningan yang menyesakkan. Di hadapan Ananta, dua sosok misterius berdiri. Salah satunya adalah bayangan gelap dirinya sendiri, dengan mata merah menyala, sementara yang lain adalah sosok bercahaya dengan aura yang menenangkan. Keduanya mewakili pilihan yang harus ia ambil—pilihan yang akan menentukan nasib dunia.“Ananta,” suara bercahaya itu berbicara lembut, tetapi penuh otoritas. “Kau telah membawa Pedang Cahaya sejauh ini karena hatimu yang murni. Kau adalah harapan terakhir dunia ini. Jangan biarkan kegelapan mencuri takdirmu.”Bayangan gelap tertawa kecil, suaranya penuh ejekan. “Murni? Kau benar-benar percaya omong kosong itu? Lihatlah apa yang telah kau lakukan, Ananta. Kau menggunakan kekuatanku, dan itu adalah bagian dari dirimu. Jangan menyangkal siapa dirimu sebenarnya.”Ananta terdiam. Keringat dingin membasahi dahinya. Ia merasakan tekanan luar biasa dari dua kekuata
Bab 29: Runtuhnya Benteng KegelapanBenteng tempat pertempuran berlangsung mulai hancur dengan cepat. Suara retakan dan gemuruh memenuhi udara, menciptakan getaran yang terasa hingga ke tulang. Batu-batu besar jatuh dari langit-langit, memecah lantai yang sudah rapuh.Ananta berdiri tegak, tatapan matanya terpaku pada Panglima Kegelapan yang kini tampak sedikit goyah. Sosok kegelapan itu masih memegang pedang hitamnya, namun auranya tampak berkurang. Meskipun demikian, ancaman di wajahnya belum sirna.“Ananta!” teriak Sekar dari sudut ruangan. Suaranya parau, tetapi sarat dengan kepanikan. “Kita harus pergi! Tempat ini tidak akan bertahan lama!”Ananta melihat Sekar yang mencoba berdiri dengan susah payah. Darah mengalir dari luka di lengannya, namun ia tetap memaksakan diri untuk berdiri. Di sisi lain, Panglima Kegelapan berdiri tegak, matanya masih penuh dengan kebencian.“Kau tidak akan lolos dari sini, Ananta,” katanya dengan nada dingin. “Jika aku harus jatuh, kau akan jatuh bers
Bab 30: Dalam Bayang KehilanganAnanta duduk di tengah hutan yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang pucat. Tangannya masih menggenggam Pedang Cahaya, tetapi kilau pedang itu telah memudar, seolah mencerminkan kehampaan yang dirasakannya di dalam hati. Angin malam berhembus lembut, membawa suara-suara dari kejauhan yang tidak pernah benar-benar sampai ke telinganya.Pikirannya terus kembali ke momen terakhir bersama Sekar. Jeritannya, tatapan matanya yang lembut, dan senyum samar yang tetap ada meski nyawa perlahan meninggalkannya. Ananta menggigit bibirnya hingga berdarah, mencoba menahan air mata yang tidak akan datang.“Mengapa aku gagal melindunginya?” bisiknya pelan.Kesendirian di Tengah KeheninganSetelah beberapa saat duduk termenung, Ananta menyadari bahwa ia tidak bisa berdiam diri lebih lama. Dunia belum sepenuhnya aman. Meskipun Panglima Kegelapan telah dikalahkan, energi jahat yang tersisa di benteng itu mungkin masih menyebar. Lebih dari itu, ia harus menemuka
Bab 31: Jejak di Tanah TerlupakanFajar menyingsing perlahan, memercikkan warna keemasan di atas kanopi hutan. Ananta melangkah dengan pelan, tubuhnya masih terasa berat setelah pertarungannya dengan bayangan misterius malam sebelumnya. Rasa dingin embun pagi menembus pakaiannya yang robek, tetapi ia tetap melangkah maju, terpaku pada tujuan yang ia sendiri belum sepenuhnya pahami.Di hadapannya, jalan setapak mulai tampak. Jalur itu terlihat tua, hampir tertutup oleh akar-akar pohon yang menjalar dan tumbuh liar. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian Ananta—bekas tapak kaki. Jejak itu terlalu baru untuk diabaikan.“Apakah ada orang lain yang melewati daerah ini?” gumamnya pelan.Ia berlutut, memeriksa jejak itu dengan cermat. Sepintas, jejak itu tampak seperti milik manusia, tetapi ukurannya terlalu besar dan bentuknya tidak sepenuhnya wajar. Jejak itu memancarkan aura aneh yang membuat bulu kuduknya meremang.“Ini bukan manusia biasa,” pikirnya sambil mengencangkan pegangan pada
Bab 51 : Rahasia Lorong KegelapanLorong di balik pintu besar itu menyambut Ananta dan Kirana dengan suasana yang dingin dan suram. Batu-batu di sepanjang dindingnya dipenuhi dengan ukiran aneh yang tampak hidup, seolah-olah mata tak terlihat sedang mengawasi mereka. Angin dingin yang bertiup membawa suara bisikan-bisikan samar, membuat bulu kuduk mereka berdiri.“Tempat ini...” Kirana berbicara dengan suara pelan, hampir seperti berbisik. “Rasanya seperti lorong menuju neraka.”Ananta, yang berjalan beberapa langkah di depannya, menggenggam erat pedangnya. Matanya terus mengawasi setiap sudut, waspada terhadap apa pun yang mungkin menyerang. “Aku tidak yakin ini adalah neraka, tapi jelas tempat ini bukan untuk manusia.”Lorong itu terasa tak berujung. Setiap langkah yang mereka ambil hanya membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan. Namun, tidak ada jalan lain. Pintu di belakang mereka telah tertutup rapat,
Bab 50 : Rencana di Balik BayanganSetelah kejatuhan Malakar, ruangan ritual yang sebelumnya dipenuhi energi gelap kini terasa hampa. Aroma darah dan debu memenuhi udara, dan lantai berbatu yang retak menjadi saksi bisu pertempuran sengit mereka. Ananta berdiri dengan napas terengah-engah, sementara Kirana bersandar pada tongkat sihirnya untuk menopang tubuh yang kelelahan. Meski mereka berhasil menang, keheningan ini terasa jauh dari sebuah akhir.“Kita harus segera keluar dari sini,” ujar Kirana dengan suara parau. Energi sihir yang ia gunakan untuk menghancurkan lingkaran ritual tadi telah menguras tenaganya.“Tidak,” jawab Ananta tegas, matanya menatap tajam ke arah pintu besar di ujung ruangan. “Masih ada sesuatu di sini. Aku bisa merasakannya.”Kirana mengerutkan alis. “Apa maksudmu?”Ananta menunjuk ke arah dinding-dinding ruangan yang kini dipenuhi simbol-simbol aneh yang bersina
Bab 49 : Pertarungan Melawan MalakarLorong besar itu kini dipenuhi oleh aura kegelapan yang menyesakkan. Ananta dan Kirana berdiri di tengah lingkaran api, menghadapi Malakar, sang tangan kanan Raja Kegelapan. Pedang hitam yang tampak seperti kumpulan bayangan menggeliat di tangan Malakar, sementara senyumnya yang dingin memperlihatkan kesombongannya."Ananta, Kirana," katanya dengan suara yang menggema. "Kalian telah menunjukkan keberanian luar biasa sejauh ini. Tetapi di sini, perjalanan kalian akan berakhir. Pedangku telah menelan jiwa-jiwa jauh lebih kuat dari kalian berdua."Ananta mengarahkan pedangnya ke arah Malakar, matanya penuh dengan tekad. "Kami tidak akan berhenti di sini. Jika kau berpikir kami akan menyerah, kau salah besar!"Kirana, di sisi lain, memegang tongkat sihirnya dengan kedua tangan. Wajahnya serius, dan aliran energi dingin mulai mengelilinginya. "Ananta, kita harus berhati-hati. Aku bisa merasakan kekuatannya. Dia ja
Bab 48 : Lorong Api dan BayanganLangkah kaki Ananta dan Kirana bergema di sepanjang lorong berliku yang mereka masuki setelah melewati gerbang kedua. Udara di sekeliling mereka terasa berat, dipenuhi bau belerang dan panas menyengat yang membuat setiap tarikan napas terasa menyakitkan. Di kanan dan kiri lorong itu, dinding-dinding berbatu memancarkan cahaya merah samar, seperti ada api yang mengintai di dalamnya."Ini bukan hanya sekadar lorong biasa," kata Kirana sambil memandangi sekeliling dengan curiga. "Aku merasakan aura yang sangat kuat di sini. Ada sesuatu yang mengawasi kita."Ananta menggenggam pedangnya lebih erat. "Kita harus tetap waspada. Tidak ada jalan kembali."Bayangan yang HidupSaat mereka melangkah lebih dalam, suara aneh mulai terdengar, seperti bisikan ribuan jiwa yang menyatu menjadi satu. Cahaya merah dari dinding-dinding lorong semakin terang, dan bayangan mereka sendiri mulai tampak bergerak dengan sendirinya, se
Bab 47 : Jalan Menuju KehancuranLangit di atas mereka semakin gelap seiring langkah kaki Ananta dan Kirana mendekati menara Raja Kegelapan. Awan hitam berputar seperti pusaran maut, seolah-olah alam semesta sedang mengawasi perjalanan mereka. Jalan setapak berbatu yang mereka lalui terasa seperti melangkah di atas tulang belulang, dengan setiap langkah membawa mereka semakin dekat pada kegelapan yang tak terbayangkan."Aku bisa merasakan kehadiran mereka," kata Kirana dengan nada waspada. "Pasukan Raja Kegelapan sedang menunggu kita."Ananta menggenggam erat pedangnya yang memancarkan cahaya lembut. "Mereka bisa menunggu selama yang mereka mau. Tapi aku tidak akan berhenti sampai kegelapan ini dihancurkan."Bayangan yang MengintaiSaat mereka melangkah lebih jauh, suasana semakin mencekam. Angin dingin berembus, membawa bisikan-bisikan menyeramkan yang memenuhi udara. Tiba-tiba, dari bayang-bayang pepohonan mati di sekitar mereka, sosok-so
Bab 46: Langkah Menuju KematianLangit di atas mereka dilapisi awan gelap yang berputar perlahan, seperti pusaran yang menelan setiap cahaya yang berusaha menerobos. Menara Raja Kegelapan menjulang di kejauhan, siluetnya begitu besar hingga tampak seperti dinding yang memisahkan dunia.Ananta dan Kirana berdiri di sebuah bukit kecil yang memberikan pemandangan langsung ke medan perang di depan mereka. Di bawah, tanah terlihat mati—kering, retak, dan tak ada tanda-tanda kehidupan. Udara dingin yang menyesakkan membuat mereka merasa seolah-olah memasuki dunia yang sepenuhnya berbeda.“Kita semakin dekat,” kata Kirana sambil memandangi menara itu dengan wajah tegang.“Tapi ini baru permulaan,” balas Ananta, matanya tajam memindai lingkungan. “Pasukan mereka tidak akan membiarkan kita masuk begitu saja.”Jalur BerbahayaMereka mulai melangkah menuruni bukit menuju jalan berbatu yang tampak se
Bab 45: Kegelapan yang Membelenggu Suara angin menderu memenuhi udara ketika Ananta jatuh ke dalam jurang bersama Sagara. Dunia di sekitarnya terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Batu-batu tajam berlalu cepat di sekitarnya, dan di bawah, sungai berwarna gelap tampak seperti lubang tanpa dasar. Dalam beberapa detik yang terasa seperti keabadian, Ananta memusatkan pikirannya, mencoba menemukan jalan keluar dari kejatuhan maut ini. Namun, Sagara, dengan kekuatan barunya, tidak tinggal diam. Ia mencengkeram Ananta dengan kekuatan yang menghancurkan, membuat mereka terus terjatuh dalam putaran yang mematikan. “Aku akan menyeretmu ke neraka bersamaku, Ananta!” Sagara berteriak, suaranya penuh kebencian. Ananta, dengan refleks yang terasah, meraih pedangnya yang hampir terlepas dari genggaman. Dengan satu ayunan cepat, ia menebas lengan Sagara, memaksanya melepaskan cengkeraman itu. Tapi sebelum Ananta sempat bereaksi lebih jauh, tubuhnya menghantam
Bab 44: Dalam Kepungan KegelapanMatahari mulai terbenam di cakrawala, meninggalkan langit yang dilapisi warna oranye dan ungu gelap. Ananta dan Kirana tiba di sebuah dataran tinggi berbatu yang tampak tak tersentuh oleh peradaban. Angin dingin menyapu wajah mereka, membawa bau samar tanah basah. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, mereka memutuskan untuk berhenti dan beristirahat.Ananta menatap cakrawala, pikiran-pikirannya bercampur aduk. Ghara telah mengorbankan dirinya, tetapi Ananta tidak yakin apakah pengorbanan itu cukup untuk mengubah jalannya takdir.“Kita harus bergerak cepat,” ujar Ananta akhirnya, memecah keheningan.“Tapi kau belum pulih sepenuhnya,” balas Kirana, nada suaranya menunjukkan keprihatinan yang mendalam.“Aku tidak punya pilihan. Jika Raja Kegelapan memutuskan untuk menyerang sekarang, kita akan kalah tanpa perlawanan.”Kirana menghela napas. Ia tahu Ana
Bab 43: Bayangan PengkhianatanSetelah kemenangan mereka di puncak gunung, Ananta dan Kirana melanjutkan perjalanan mereka menuruni lembah yang sunyi. Sinar matahari pagi menyelinap di antara celah pepohonan, membawa sedikit kehangatan setelah malam yang penuh perjuangan. Namun, suasana di antara mereka terasa tegang. Luka Ananta akibat serangan terakhir Sagara belum sepenuhnya pulih meskipun Kirana telah menggunakan sihir penyembuhannya.“Kau seharusnya lebih berhati-hati,” ujar Kirana dengan nada khawatir. Ia terus memandang Ananta yang berjalan dengan terpincang-pincang.“Tidak ada waktu untuk hati-hati saat nyawamu terancam,” jawab Ananta sambil tersenyum tipis. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun melukaimu, Kirana.”Namun, Kirana tetap diam. Perasaan bersalah menghantui dirinya. Dia tahu bahwa perjalanan ini semakin berbahaya, dan kini ancaman baru bisa datang dari mana saja—bahkan dari mereka yang