MEMBAGI malam yang dingin dengan selimut dan dekapan hangat dengan pasangan membuat Evan tak kuasa meninggalkan tempat tidurnya. Bahkan, ketika ponselnya berbunyi, dia mengerang malas saat mengambil benda itu, sebelum mematikannya dan mengembalikannya ke tempat semula.
Evan ingin tetap begini selamanya. Terlelap sembari memeluk Lilya erat, menghirup aroma tubuh Lilya dan merekamnya dengan baik di otaknya, sebelum menarik perempuan itu semakin merapat ke tubuhnya.
Evan ingin kembali terlelap, tapi kantuk tak lagi berpihak. Matanya terbuka sempurna. Dia menatap Lilya yang masih terbuai di alam mimpi, tampak begitu tenang dan damai.
Dalam hati, dia terus memuji fisik Lilya yang begitu sempurna. Satu-satunya kekurangannya hanyalah kebodohan ditambah kebaikannya yang membuat dia bisa dimanfaatkan siapa saja.
KEKAGETAN membuat Lilya tidak bereaksi apa-apa selain; mulutnya yang terbuka, matanya yang membelalak memandangi Evan dengan ekspresi wajah tak percaya, dan suaranya yang hilang ditelan hampa.Lilya mencoba membuka dan menutup mulutnya, tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya.Evan meletakkan ponselnya ke dashboard, sebelum fokus pada istrinya. Dia menarik sabuk pengaman Lilya dan memasangnya dengan rapi sebelum bertanya, "Kamu mau ke sana?"Lilya hanya mengangguk-angguk bak robot yang tak bisa berbicara. Perempuan itu masih terkejut, itu wajar, karena dia pun merasakan hal yang sama. Dia tidak menyangka akan ada 'sosok lain' yang bertindak lebih dulu untuk membunuh Kenanga daripada dirinya sendiri.Jujur, Evan memang ingin membunuh wanita itu dan keluarganya agar dia bisa melihat Lilya bebas-sebebas-bebasnya dari keluarga angkatnya. Namun, dia tahu, apa yang ia lakukan hanya a
Selamat membaca ....Jangan lupa follow IG-ku @Kaitani_books.Thank you 😘----LILYA menarik tangannya dari Evan dengan paksa begitu mereka berada di parkiran rumah sakit. Dia tidak peduli di mana mereka sekarang. Ditatapnya suaminya dengan tatapan garang. "Kenapa Kakak melakukannya?" tuntutnya.Evan hanya menatap Lilya dengan wajah datar tanpa menjawab pertanyaannya. Dia mengalihkan perhatian ke sekeliling, mengawasi sebentar, sebelum fokus menatap Lilya."Kenapa Kakak harus menawarku pada orang tuaku? Kenapa kamu harus melakukannya, bukannya kamu sudah menikahiku, lalu kenapa kamu masih harus membeliku juga? Apakah status pernikahan masih kurang untukmu?" tanya Lilya yang kini menatap suaminya penuh tuntutan."Iya, semuanya masih kurang. Aku h
SEMALAM Lilya berkata, kalau masalah almarhumah kakaknya selesai, dia ingin pergi ke panti asuhan secepatnya. Jadi, pagi-pagi sekali Evan sudah memanggil Chris, kaki tangannya, untuk melaporkan semua kabar yang sudah dia dapatkan.Chris masih mengantuk saat sampai di rumahnya. Dandanannya tidak begitu bagus, kemeja kusut yang Evan yakini belum diganti dari semalam dan rambutnya yang acak-acakan tak kuasa membuat Evan menaikkan sebelah alis penuh pertanyaan."Kamu pasti tahu, alasan kenapa aku memanggilmu sepagi ini?" tanyanya pada Chris yang kini memamerkan senyuman tipis.Pria itu menarik napas panjang, sebelum mengembuskannya perlahan. "Saya harus mulai menjelaskannya dari mana, Tuan?" tanyanya pada Evan yang terus menatapnya serius."Sebenarnya, apa hubunganmu dengan Kenanga, Chris? Kalau hanya sebatas kenal, kamu tidak mungkin mendatangi tempatnya pagi-pagi, kan?" Evan menatapnya penuh
HARI sudah sore saat mereka sampai di panti asuhan. Lilya keluar dari mobil disambut sebuah bangunan besar berwarna putih yang sama sekali tidak pernah ia ingat keberadaannya. Ada juga taman luas yang berisikan ayunan, jungkat-jungkit, perosotan, dan masih banyak lagi."Benarkah ini tempatnya?" tanya Lilya keheranan. Dia sama sekali tidak bisa mengenali tempat ini.Panti asuhan dalam ingatannya adalah tempat kumuh yang tidak begitu terawat. Rumput-rumput liar tumbuh di sekitar halaman hingga menaiki pagar, padahal setiap minggunya mereka rajin bersih-bersih. Tembok bangunannya pun retak, lantainya mencuat keluar dari tempat asalnya, cat luntur, dan perlahan bangunan yang harusnya berwarna putih mulai terlihat hitam.Panti asuhannya lebih terlihat layaknya rumah hantu daripada rumah yang diisi banyak anak kecil di dalamnya. Bahkan, tidak jarang beberapa adiknya kerap menangis setiap malam lantaran mimpi buruk
SESUATU yang tidak Evan sangka adalah hadirnya Dewa dan putranya di hari kedua kunjungan mereka ke panti asuhan. Lilya bahkan terkejut saat melihat Gilang yang juga sama kagetnya dengannya. Mereka baru keluar dari mobil saat berpapasan."Kamu di sini?" tanya Gilang sembari tersenyum tipis.Dia mendekati Lilya, berdiri dengan senyum yang luar biasa membuat Evan geram melihatnya. Lilya hanya mengangguk-angguk polos, mengabaikan gerak-gerik Evan yang sejak tadi meliriknya tidak senang."Ngapain?" tanya Gilang dengan nada ramah."Aku dulu tinggal di sini," akunya. Jujur pada salah satu teman sekolahnya, bahwa dia hanyalah anak angkat yang diadopsi dari panti asuhan ini dulu."Kamu ... diadopsi?" Gilang terlihat terkejut bukan main, Lilya mengangguk cepat, tanpa keraguan apa pun terlihat di matanya. "Jadi, kakakmu yang kemarin hanya kakak angkat?" tanyanya, dengan n
EVAN mengecek dokumen tentang Lilya dengan wajah datar. Nama ibu kandung Lilya adalah Ariani Pertiwi. Jika masih hidup, sekarang usianya tiga puluh enam tahun kurang dua bulan. Usia Lilya sekarang delapan belas tahun, itu berarti ibunya melahirkan Lilya saat usianya masih muda.Evan menelan ludahnya susah payah. Ditatapnya Celine dengan tatapan lurus saat mengatakan, "Dia masih muda saat melahirkan Lilya?"Celine menganggukkan kepala. Wanita paruh baya itu bahkan memiliki foto Ariani di dokumen tentang istrinya. Wanita dengan perut buncit dan pipi tembam yang sangat mirip dengan Lilya. Itu berarti Ariani sempat tinggal di panti ini, sebelum melahirkan dan meninggal dunia."Apa dia tidak mengatakan apa pun tentang keluarganya sebelum ini?" tanyanya."Dia tidak mengatakan apa-apa." Celine tersenyum lemah. "Dia hanya bertanya, apakah dia bisa tinggal di sini dan merawat bayinya setelah lahir nanti atau tidak? Aku
LILYA menahan napas saat Evan mendekatkan wajah dan lantas mencium bibirnya. Perempuan itu membatu dalam beberapa waktu, sampai Evan melepaskan ciuman mereka dan menatapnya dengan senyuman tipis.Lilya menoleh ke sana-kemari. Sedang mencari, apakah ada orang lain yang melihat ciumannya dengan Evan tadi, saat ia merasakan tangan Evan berada di dagunya, menarik wajahnya untuk menghadap wajah suami tampannya itu."Sedang mencari sesuatu?" tanya Evan dengan senyuman yang tak kunjung pudar."Hm," Lilya menatapnya murung, "aku berharap tidak ada yang melihat kita melakukannya. Kakak nggak malu kalau sampai kelihatan orang lain, ya? Ini halaman parkir, tempat umum——""Tidak ada orang." Evan menoleh ke belakang, dia tidak melihat siapa pun mengikuti langkah mereka ke sana. "Kelihatannya tidak ada yang melihat kita."Lilya menghela napas lega. "Syukurlah! Aku tidak mau mengajarkan anak-
"APA kita akan pulang hari ini, Kak?" tanya Lilya tiba-tiba setelah mereka menyelesaikan sarapan.Evan menatap istrinya serius. "Memangnya kamu sudah mau pulang?"Lilya mengangguk antusias. "Ibu tidak apa-apa, dia masih sehat sama seperti dulu. Teman-temanku juga baik-baik saja, tidak ada yang perlu aku khawatirkan tentang mereka, kan?" Lilya tersenyum lebar, dia terlihat bahagia dan lebih berenergi sekarang. "Dan lagi, katanya Kakak akan menyuruh beberapa orang untuk menjaga tempat itu. Aku jadi lega mendengarnya."Evan tersenyum tipis, lalu menganggukkan kepala. "Baiklah, kita akan pulang nanti siang." Evan melirik jam dinding di kamar itu, waktunya masih cukup untuk beristirahat lebih dulu sebelum melakukan perjalanan panjang untuk pulang."Kakak mau istirahat dulu?" tanya Lilya begitu melihat Evan melangkah menuju ranjang dan merebahkan tubuhnya di sana."Aku berharap bisa melakukannya," ka
SATU bulan yang lalu, kakek Lilya meninggal dunia. Lilya mau tidak mau harus merelakan kepergian kakeknya, karena memang sudah tidak ada harapan lagi untuk kakeknya bisa kembali seperti sedia kala.Saat pemakamannya, Arini datang bersama seorang polisi yang mengawasi pergerakannya. Lilya akhirnya tahu, bahwa tantenya terlibat kasus pembunuhan Kenanga sebelum ini. Dia hanya bisa tersenyum dan memeluk Arini dengan erat. Saling menguatkan satu sama lain, walau tak ada kalimat apa pun yang terucap.Walau sempat terguncang hebat atas apa yang dialaminya selama setahun terakhir. Lilya akhirnya bisa lulus dari sekolah dengan nilai yang ... cukup memuaskan.Evan tidak banyak berkomentar saat melihat nilai Lilya yang terbilang sangat biasa saja. Dia hanya bersyukur istrinya bisa lulus saat itu tanpa harus mengulang lagi setahun atau mengejar paket, karena ketertinggalannya.Sesuai janji yang telah
EVAN hanya ingin mengabulkan semua keinginan istrinya. Setelah malam itu dia mengenalkan Lilya pada semua anggota keluarga Gunawan, kali ini dia membawa perempuan itu ke rumah ibunya.Benar ... ibu kandungnya. Orang yang telah melahirkan dan membuat karakternya menjadi demikian. Dia bahkan tidak bisa menyalahkan sifat-sifat buruk yang dia bawa di dalam dirinya, karena semua itu dia dapatkan dari ibunya.Ibunya memang bukan orang yang baik ... tapi Evan tetaplah satu-satunya anak yang ia miliki hingga saat ini.Evan menghela napas kasar. Dia melirik Lilya yang kali ini terlihat begitu tegang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, sedang tatapannya tampak tidak fokus. Dia terlihat gelisah dan Evan mengerti hal itu, karena dia telah mengatakannya sebelum ini, kalau ibunya mungkin tidak sebaik mama tirinya.Evan mengulurkan tangan, menyentuh tangan Lilya lalu menggenggamnya erat. Pria itu ter
LILYA tidak tahu harus mengenakan pakaian yang mana untuk pergi ke pesta. Dia hanya punya satu gaun yang indah dan itu adalah gaun yang ia kenakan di hari pernikahannya.Evan hanya mengajaknya pergi sebentar ke pesta, seharusnya tidak masalah jika dia mengenakan gaun lama untuk pergi ke sana. Namun, masalah lainnya hadir, Lilya tidak bisa mendandani dirinya sendiri.Dulu, ada Mawar dan Kenanga yang mendandaninya saat menjadi ratu sehari. Namun, sekarang dia tinggal sendiri. Dia tidak bisa dandan hingga menjadi perempuan cantik jelita, dia tidak punya alat make-up juga, dan dia tidak tahu harus berbuat apa untuk mengatasi masalahnya.Evan memasuki kamar dan melihat istrinya masih mematung di depan almari. Dahinya mengerut, dia mendekati Lilya dan menemukan perempuan itu sedang memegangi gaun pernikahan mereka dulu.Evan jelas mengingat baik tentang gaun itu, karena dia sendiri yang mem
SIDANG berjalan lancar. Gavin berhasil dipenjara atas kasus pembunuhan yang dilakukannya. Arini juga menyerahkan diri ke kepolisian, karena diam saja saat peristiwa itu terjadi dan ikut andil merusak TKP yang ada.Hukumannya tidak seberat Gavin yang mendapat tuntutan beruntun. Namun, Arini bersyukur, karena setidaknya dia bisa menebus rasa bersalah serta dosa-dosa yang telah dilakukannya selama ini.Lilya hanya mendengar tentang sidang itu, dia tidak diizinkan untuk hadir. Walaupun namanya dibawa-bawa dalam kasus pembunuhan Kenanga, tapi dia sama sekali tak diizinkan untuk mendengarkan semua tuntutan yang dilayangkan pada Gavin.Evan yang melarang Lilya untuk hadir. Alasannya, untuk menjaga mental Lilya yang bisa saja hancur setelah semua kenyataan itu terkuak. Biarlah kejadian itu tetap menjadi rahasia mereka. Lilya jangan sampai mendengar dan mengetahuinya agar hidupnya yang sekarang tetap baik-baik saja.
HANYA orang bodoh yang akan menyangkal jika Lilya dan Ariani tidak memiliki hubungan apa-apa. Lilya terlihat sama persis dengan kakaknya sewaktu masih remaja.Gadis lugu, polos, dan naif. Gadis yang menderita sebelum dia bertemu dengan pangeran yang menolongnya untuk keluar dari penjara.Lilya masih berceloteh banyak hal dengan ayahnya, walau ayahnya sama sekali tak merespon apa-apa. Matanya masih terpejam, sama seperti sebelumnya. Ayahnya ... kalau dibilang sudah meninggal pun tidak bisa, karena ia masih bernapas. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang."Terima kasih," gumam Arini sewaktu ia keluar dari ruangan itu dan menghampiri Evan yang sedia menunggu di luar."Kenapa?"Evan menatapnya dingin. Terlihat jelas, bahwa pria itu tidak begitu suka dengannya. Padahal sebelum ini, Arini sempat mengira kalau Evan tertarik padanya. Namun, nyatanya dia benar-benar bodoh. Evan
SETELAH pemeriksaan terakhir selesai dan hasilnya baik-baik saja, Lilya diperbolehkan untuk pulang. Senyum di bibirnya tak kunjung hilang. Kakinya melangkah ringan ketika dia diminta untuk segera mengganti pakaian sebelum meninggalkan ruangan.Begitu keluar dari kamar mandi, Evan lantas menyodorkan bunga lili putih ke hadapannya. Lilya terdiam, dia menatap bunga itu dengan ekspresi tidak paham."Kiriman bunga dari Chris, dia tidak bisa datang menjenguk, karena sibuk," kata Evan sembari menyodorkan bunga itu ke tangan Lilya.Lilya menerima bunga itu, lalu mencium aromanya yang mengingatkannya akan wewangian di pemakaman. Lalu, dia menatap Evan. "Aku seperti sedan.g didoakan lekas meninggal olehnya."Evan tersenyum lebar. Dia juga tidak mengerti kenapa Chris membelikan bunga itu untuk Lilya. Namun, setelah melihat istrinya membawa bunga itu dalam dekapan kedua lengan kecilnya, dia pun mengerti a
"KAMU kenapa, Raffa?" Riri melongokkan kepala untuk mengintip ke dalam. Dia melihat Evan sedang memandang tajam ke arahnya dan Raffa. Wajah keponakannya tampak datar dan tatapannya yang dingin amat mematikan.Raffa berdeham tidak nyaman. Dia hanya memamerkan cengiran tak berdosa saat membalas, "Aku hanya agak sedikit kaget melihat mereka sedang ciuman."Riri mengerling ke arah suaminya. "Ciuman?" Lalu, dia menatap Evan dan Lilya secara bergantian. Raut kesal di wajah keponakannya ditambah wajah memerah Lilya lantas membuatnya mengerti situasi yang terjadi sebelumnya."Iya." Raffa menyeringai sambil melangkah masuk dan langsung mendekati ranjang Lilya, berdiri di samping Evan, lalu berkata dengan pelan, "Aku bisa melihatmu sedang menginginkannya, tapi tahan dirimu, dia sedang sakit, kan?""Tanpa Om beri tahu pun, aku sudah mengetahuinya." Evan mendengkus, tangannya bersedekap dada dan lantas me
HASIL rontgen menunjukkan bahwa Lilya baik-baik saja, tapi dia harus menginap untuk satu atau dua hari dan menjalani tes lagi untuk memastikan keadaannya.Mengingat, saat Lilya dibawa ke sana, dia dalam kondisi tidak sadar dan kepalanya berdarah. Dokter khawatir terjadi pengendapan darah yang belum terlihat dan hal itu akan menjadi fatal jika tidak ditangani dengan segera.Untuk kerusakan lain, Lilya tidak mengalami gejala yang berat. Dia memang sempat merasa pusing dan ingin muntah, tapi ingatan perempuan itu masih baik-baik saja. Dia juga masih bisa bicara selayaknya biasa. Evan pun bisa menghela napasnya lega.Nayla datang bersama suaminya untuk mengantarkan pakaian ganti Evan, juga menjenguk menantunya. Evan lantas pamit keluar untuk mengganti pakaian juga mencari makanan.Lilya yang semula tertidur, kali itu mulai membuka mata ketika Evan sudah tak berada di sana dan mendapati mama mertua
ARINI menepis pemikirannya ketika dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana seorang Evan yang begitu tenang tampak gelisah di balik kemudi. Ketenangan yang sempat ditampilkan sebelumnya sirna begitu mobil berhenti di parkiran rumah sakit. Setelah memastikan Arini turun, dia mengunci mobil dan meninggalkan Arini tanpa pamit.Arini terdiam di tempat ia berdiri. Bagaimana dia bisa berpikiran naif dengan beranggapan seorang Evan tertarik padanya? Dia bukan Kenanga yang selalu percaya diri akan kecantikan dan pesonanya yang bisa menaklukkan semua pria di bawah kakinya.Dia Ariani Putri, seorang perempuan miskin biasa yang menjual tubuhnya untuk bisa bertahan hidup dan menyelamatkan ayahnya yang sedang sakit. Dia tidak berguna, tidak pula cantik, dia hanya wanita murahan. Tidak lebih.Arini mendesah kasar. Setelah Gavin masuk ke dalam penjara ... semuanya akan berakhir, kan?Arini mengepa