"APA yang kamu rencanakan, Chris?" Evan bersedekap dada sewaktu Chris sampai di parkiran rumahnya, hendak menyerahkan dokumen yang perlu Evan periksa dan tanda tangani seperti biasa.
Chris tampak mengernyitkan dahi. Dia baru saja sampai dan menemukan Evan berada di garasi. Memang hal itu cukup biasa bagi orang lain, tapi bosnya satu ini lebih suka di ruang kerjanya daripada harus menunggu orang di garasi.
"Apa yang Tuan maksud?"
"Kenanga ... apa yang kamu rencanakan soal dia?"
Evan melirik rumah, dia baru saja pulang dari kantor bersamaan dengan datangnya Chris ke rumahnya. Dia terpaksa mengajak Chris bicara di sana, karena Lilya berada di rumah sekarang.
Bagaimanapun juga, dia tidak mau Lilya tahu kabar terkini dari seorang Kenanga Atmawijaya. Terutama kabar Kaisar dan Mawar yang telah meninggalkan rumah besar mereka dan menetap di luar kota.
"Saya hanya sedikit menyibukkannya
PENOLAKAN yang ia terima dari Evan tidak lantas membuat Kenanga menyerah begitu saja. Ada yang bilang, "Cinta bisa datang karena terbiasa", maka dia akan berusaha membuat Evan terbiasa dengan kehadirannya.Satu-satunya cara adalah dengan dia tinggal bersama pria itu. Kuncinya sederhana, dia hanya tinggal menemui Lilya dan mengatakan kenyataan yang sebenarnya, dan adiknya yang bodoh itu akan mengemis pada Evan untuk membiarkan Kenanga tinggal bersama mereka.Berkali-kali Kenanga berusaha, mendatangi sekolah Lilya, tapi bagaikan ada sebuah tembok besar yang menghalangi, dia tidak bisa menemui adiknya.Hingga suatu hari ia bertanya pada anak-anak SMA yang baru keluar dari gerbang sekolah dengan serempak itu. "Itu, kalian sedang ujian?" tanyanya, pada salah seorang siswa yang ia hentikan langkahnya."Iya, Kak.""Em, kapan kalian menerima raport? Apakah orang tua atau wali yang akan mengambil r
LILYA menatap lembar kertas berisi undangan ke orang tua atau wali murid itu dengan senyuman getir. Dulu, setiap kali menerima rapor, dia selalu gembira dan dengan semangat memberikannya pada Mawar ataupun menunjukkannya pada Kaisar.Namun, tidak ada respon apa pun yang ia dapatkan.Mereka beralasan sibuk dan tidak bisa mengambil buku rapor untuknya. Lilya selalu menjadi siswi terakhir yang menerima buku rapornya sendiri. Ditanyai macam-macam oleh wali kelas perihal orang tuanya yang tidak pernah datang untuk mengambilkan rapornya, dan masih banyak soal lain yang hanya Lilya diamkan.Lambat laun, Lilya tidak lagi menunjukkan undangan itu pada siapa pun. Karena nasibnya selalu sama. Tidak akan ada yang mau mengambil rapornya.Lilya melipat kertas itu dengan rapi, sampai kecil, lalu menyimpannya ke dalam tas. Dia tidak sadar jika apa yang ia lakukan sedang diperhatikan oleh teman sekelasnya yang
HARI pengambilan rapor tiba. Lilya tidak berharap banyak Evan akan datang untuk mengambil rapornya. Namun, saat ia melihat pria itu berjalan ke arahnya memakai setelan formal dengan jas hitam mahal, Lilya tak kuasa menahan senyuman lebar yang kini menghiasi bibirnya.Evan berhenti di hadapan Lilya yang menunggu di luar kelas. Karena orang tua atau wali murid akan menempati kelas, maka siswa dan siswi terpaksa menunggu di luar sekalian menantikan kedatangan wali murid masing-masing.Evan menunduk, menatap lurus istrinya yang sedang menatapnya dengan mata berbinar-binar dan senyuman lebar. Pria itu tak kuasa tersenyum, dia membelai puncak kepala Lilya, cenderung menepuknya dengan perlahan."Aku sudah bilang akan datang, kan?" kata Evan dengan nada ringan. "Kamu tidak percaya padaku?"Lilya menggeleng dengan wajah polos. "Kukira, Kakak akan sibuk.""Aku tidak sesibuk pikiranmu——"
"AKU tidak menyangka, Kakak menyembunyikan kabar itu dariku. Apa salahnya Kakak memberitahuku tentang kondisi mereka? Ibuku sakit, Kak, beliau——"Lilya menutup mulutnya begitu Evan menaruh jari telunjuknya di bibirnya sendiri. "Nanti aku jelaskan, jangan bertengkar di sini."Evan melangkah lebih dulu. Dia sudah menghubungi Chris untuk mengumpulkan data-data terbaru tentang keluarga Atmawijaya dan memintanya ke rumah nanti. Dia juga sudah menghapus nomor ponselnya, sebelum membiarkan Lilya menyerahkan ponsel yang baru ia beli itu pada Kenanga.Evan tidak akan memberikan satu kesempatan pun untuk Kenanga masuk. Dia sudah bersyukur Lilya tidak bodoh dan main iya-iya saja, jangan sampai dia kecolongan dan membuat Kenanga merusak rumah tangga yang sedang ia bangun dengan istrinya."Tunggu!"Evan tak kuasa mengabaikan. Terlebih Lilya menghentikan langkah yang otomatis membuat Evan ik
LIBURAN sekolah membuat Lilya tidak punya kegiatan apa pun selain duduk diam di rumah. Jika dulu, dia bisa menghabiskan waktu dengan membersihkan rumah, kali ini ia tidak yakin bisa melakukannya. Apalagi Evan ada di rumah dan terus mengawasinya. Lilya ragu, Evan akan diam saja melihatnya menjelma jadi sosok pembantu yang berusaha membuang waktu dengan bersih-bersih rumahnya.Lilya mendesah kasar. Dia melirik Evan yang kali ini sedang sibuk menatap ponselnya.Jujur saja, Lilya ingin keluar kalau dia tidak berbuat apa-apa di rumah. Minimal membantu mama mertuanya di restoran, pasti hal itu lebih berguna dan tidak akan membuatnya mati kebosanan."Kak!" Lilya mencoba memanggil dengan takut-takut."Hm.""Aku mau ke restoran Mommy, boleh?"Sebenarnya, lebih enak bertanya dulu pada mama mertuanya, apakah Lilya boleh membantu atau tidak. Namun, Lilya tidak punya ponsel lagi sekara
LILYA menatap puas pada tumpukan buku yang ada di kursi mobil bagian belakang. Dia menoleh ke arah Evan yang sedang mengemudikan mobil dengan kecepatan pelan. Tatapan suaminya fokus ke jalanan."Kakak hari ini baik banget, ya?" pujinya, tulus sekaligus curiga.Evan biasanya tidak pernah mengajaknya keluar rumah, tapi hari ini, selain mengajaknya ke toko buku dan nyaris membuat Lilya tidak bisa bernapas karena malu, dia juga membawa Lilya ke toko pakaian dan membelikan beberapa pasang pakaian tidur dan pakaian santai.Dia tidak tahu maksud suaminya apa sampai membiarkan Lilya menghabiskan uangnya hari ini. Namun ia berharap, Evan tidak akan meminta sesuatu yang belum bisa Lilya beri."Rencananya, aku mau membawamu ke taman bermain," kata-kata Evan membuat Lilya memandangnya horor, "tapi Mommy mau kamu ada di rumah sebelum jam tiga sore, jadi aku harus membawamu ke sana sekarang.""Mommy?" Lilya
LILYA mencoba bertanya tentang apa yang telah terjadi di meja makan pada suaminya. Namun, Evan hanya diam saja. Evan malah menatapnya datar, sebelum memunggungi Lilya dan mulai memejamkan mata, mencoba untuk tidur.Lilya masih merasa tidak nyaman. Tatapan mata pria yang menurut pengakuan tadi adalah tunangan dari adik iparnya itu seperti tatapan seekor ular yang tengah melirik mangsa. Lilya tidak pernah berharap akan dijadikan mangsa oleh ular seperti itu, apalagi oleh ular yang akan menjadi calon adik iparnya juga suatu hari nanti. Bagaimanapun juga, mereka akan bersaudara.Namun, mengapa pria bernama Gavin itu menatapnya sampai demikian?Bak mengerti apa yang sedang dirasakan istrinya. Evan berbalik, dia memeluk Lilya erat sambil mengelus punggungnya naik-turun perlahan-lahan."Tenanglah, ada aku di sini. Dia tidak akan macam-macam," gumamnya, mencoba menenangkan orang lain, ketika dirinya sendiri dipenuhi p
LANGKAH keduanya terhenti saat melihat Evan sedang membawa sepiring nasi goreng dan segelas susu cokelat di atas nampan. Evan pun menghentikan langkahnya, ditatapnya Lilya sekilas, sebelum beralih menatap adiknya."Kalian mau ke mana? Lilya belum sarapan," katanya dengan nada datar."Cie yang baru ngadon berdua, romantis amat, Bang, sampai mau bawain sarapan ke kamar segala?" goda Mika yang kini meninggalkan Lilya dan mendekati kakaknya dengan mata mengedip genit. "Jadi, kapan keponakanku jadinya?" bisik Mika di telinga kakaknya."Kenapa kamu berisik sekali? Tidak perlu terburu-buru, dia masih sekolah." Evan mendengkus kecil. "Apa kamu cemburu, karena belum ada yang melakukan hal manis seperti itu padamu?""Enak aja! Gavin romantis tahu! Kalau cuma bawain sarapan ke kamar mah udah sering, nggak bisa dihitung lagi malahan."Evan langsung mendelik ke arah adiknya. "Kalian melakukannya? Bahkan seb
SATU bulan yang lalu, kakek Lilya meninggal dunia. Lilya mau tidak mau harus merelakan kepergian kakeknya, karena memang sudah tidak ada harapan lagi untuk kakeknya bisa kembali seperti sedia kala.Saat pemakamannya, Arini datang bersama seorang polisi yang mengawasi pergerakannya. Lilya akhirnya tahu, bahwa tantenya terlibat kasus pembunuhan Kenanga sebelum ini. Dia hanya bisa tersenyum dan memeluk Arini dengan erat. Saling menguatkan satu sama lain, walau tak ada kalimat apa pun yang terucap.Walau sempat terguncang hebat atas apa yang dialaminya selama setahun terakhir. Lilya akhirnya bisa lulus dari sekolah dengan nilai yang ... cukup memuaskan.Evan tidak banyak berkomentar saat melihat nilai Lilya yang terbilang sangat biasa saja. Dia hanya bersyukur istrinya bisa lulus saat itu tanpa harus mengulang lagi setahun atau mengejar paket, karena ketertinggalannya.Sesuai janji yang telah
EVAN hanya ingin mengabulkan semua keinginan istrinya. Setelah malam itu dia mengenalkan Lilya pada semua anggota keluarga Gunawan, kali ini dia membawa perempuan itu ke rumah ibunya.Benar ... ibu kandungnya. Orang yang telah melahirkan dan membuat karakternya menjadi demikian. Dia bahkan tidak bisa menyalahkan sifat-sifat buruk yang dia bawa di dalam dirinya, karena semua itu dia dapatkan dari ibunya.Ibunya memang bukan orang yang baik ... tapi Evan tetaplah satu-satunya anak yang ia miliki hingga saat ini.Evan menghela napas kasar. Dia melirik Lilya yang kali ini terlihat begitu tegang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, sedang tatapannya tampak tidak fokus. Dia terlihat gelisah dan Evan mengerti hal itu, karena dia telah mengatakannya sebelum ini, kalau ibunya mungkin tidak sebaik mama tirinya.Evan mengulurkan tangan, menyentuh tangan Lilya lalu menggenggamnya erat. Pria itu ter
LILYA tidak tahu harus mengenakan pakaian yang mana untuk pergi ke pesta. Dia hanya punya satu gaun yang indah dan itu adalah gaun yang ia kenakan di hari pernikahannya.Evan hanya mengajaknya pergi sebentar ke pesta, seharusnya tidak masalah jika dia mengenakan gaun lama untuk pergi ke sana. Namun, masalah lainnya hadir, Lilya tidak bisa mendandani dirinya sendiri.Dulu, ada Mawar dan Kenanga yang mendandaninya saat menjadi ratu sehari. Namun, sekarang dia tinggal sendiri. Dia tidak bisa dandan hingga menjadi perempuan cantik jelita, dia tidak punya alat make-up juga, dan dia tidak tahu harus berbuat apa untuk mengatasi masalahnya.Evan memasuki kamar dan melihat istrinya masih mematung di depan almari. Dahinya mengerut, dia mendekati Lilya dan menemukan perempuan itu sedang memegangi gaun pernikahan mereka dulu.Evan jelas mengingat baik tentang gaun itu, karena dia sendiri yang mem
SIDANG berjalan lancar. Gavin berhasil dipenjara atas kasus pembunuhan yang dilakukannya. Arini juga menyerahkan diri ke kepolisian, karena diam saja saat peristiwa itu terjadi dan ikut andil merusak TKP yang ada.Hukumannya tidak seberat Gavin yang mendapat tuntutan beruntun. Namun, Arini bersyukur, karena setidaknya dia bisa menebus rasa bersalah serta dosa-dosa yang telah dilakukannya selama ini.Lilya hanya mendengar tentang sidang itu, dia tidak diizinkan untuk hadir. Walaupun namanya dibawa-bawa dalam kasus pembunuhan Kenanga, tapi dia sama sekali tak diizinkan untuk mendengarkan semua tuntutan yang dilayangkan pada Gavin.Evan yang melarang Lilya untuk hadir. Alasannya, untuk menjaga mental Lilya yang bisa saja hancur setelah semua kenyataan itu terkuak. Biarlah kejadian itu tetap menjadi rahasia mereka. Lilya jangan sampai mendengar dan mengetahuinya agar hidupnya yang sekarang tetap baik-baik saja.
HANYA orang bodoh yang akan menyangkal jika Lilya dan Ariani tidak memiliki hubungan apa-apa. Lilya terlihat sama persis dengan kakaknya sewaktu masih remaja.Gadis lugu, polos, dan naif. Gadis yang menderita sebelum dia bertemu dengan pangeran yang menolongnya untuk keluar dari penjara.Lilya masih berceloteh banyak hal dengan ayahnya, walau ayahnya sama sekali tak merespon apa-apa. Matanya masih terpejam, sama seperti sebelumnya. Ayahnya ... kalau dibilang sudah meninggal pun tidak bisa, karena ia masih bernapas. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang."Terima kasih," gumam Arini sewaktu ia keluar dari ruangan itu dan menghampiri Evan yang sedia menunggu di luar."Kenapa?"Evan menatapnya dingin. Terlihat jelas, bahwa pria itu tidak begitu suka dengannya. Padahal sebelum ini, Arini sempat mengira kalau Evan tertarik padanya. Namun, nyatanya dia benar-benar bodoh. Evan
SETELAH pemeriksaan terakhir selesai dan hasilnya baik-baik saja, Lilya diperbolehkan untuk pulang. Senyum di bibirnya tak kunjung hilang. Kakinya melangkah ringan ketika dia diminta untuk segera mengganti pakaian sebelum meninggalkan ruangan.Begitu keluar dari kamar mandi, Evan lantas menyodorkan bunga lili putih ke hadapannya. Lilya terdiam, dia menatap bunga itu dengan ekspresi tidak paham."Kiriman bunga dari Chris, dia tidak bisa datang menjenguk, karena sibuk," kata Evan sembari menyodorkan bunga itu ke tangan Lilya.Lilya menerima bunga itu, lalu mencium aromanya yang mengingatkannya akan wewangian di pemakaman. Lalu, dia menatap Evan. "Aku seperti sedan.g didoakan lekas meninggal olehnya."Evan tersenyum lebar. Dia juga tidak mengerti kenapa Chris membelikan bunga itu untuk Lilya. Namun, setelah melihat istrinya membawa bunga itu dalam dekapan kedua lengan kecilnya, dia pun mengerti a
"KAMU kenapa, Raffa?" Riri melongokkan kepala untuk mengintip ke dalam. Dia melihat Evan sedang memandang tajam ke arahnya dan Raffa. Wajah keponakannya tampak datar dan tatapannya yang dingin amat mematikan.Raffa berdeham tidak nyaman. Dia hanya memamerkan cengiran tak berdosa saat membalas, "Aku hanya agak sedikit kaget melihat mereka sedang ciuman."Riri mengerling ke arah suaminya. "Ciuman?" Lalu, dia menatap Evan dan Lilya secara bergantian. Raut kesal di wajah keponakannya ditambah wajah memerah Lilya lantas membuatnya mengerti situasi yang terjadi sebelumnya."Iya." Raffa menyeringai sambil melangkah masuk dan langsung mendekati ranjang Lilya, berdiri di samping Evan, lalu berkata dengan pelan, "Aku bisa melihatmu sedang menginginkannya, tapi tahan dirimu, dia sedang sakit, kan?""Tanpa Om beri tahu pun, aku sudah mengetahuinya." Evan mendengkus, tangannya bersedekap dada dan lantas me
HASIL rontgen menunjukkan bahwa Lilya baik-baik saja, tapi dia harus menginap untuk satu atau dua hari dan menjalani tes lagi untuk memastikan keadaannya.Mengingat, saat Lilya dibawa ke sana, dia dalam kondisi tidak sadar dan kepalanya berdarah. Dokter khawatir terjadi pengendapan darah yang belum terlihat dan hal itu akan menjadi fatal jika tidak ditangani dengan segera.Untuk kerusakan lain, Lilya tidak mengalami gejala yang berat. Dia memang sempat merasa pusing dan ingin muntah, tapi ingatan perempuan itu masih baik-baik saja. Dia juga masih bisa bicara selayaknya biasa. Evan pun bisa menghela napasnya lega.Nayla datang bersama suaminya untuk mengantarkan pakaian ganti Evan, juga menjenguk menantunya. Evan lantas pamit keluar untuk mengganti pakaian juga mencari makanan.Lilya yang semula tertidur, kali itu mulai membuka mata ketika Evan sudah tak berada di sana dan mendapati mama mertua
ARINI menepis pemikirannya ketika dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana seorang Evan yang begitu tenang tampak gelisah di balik kemudi. Ketenangan yang sempat ditampilkan sebelumnya sirna begitu mobil berhenti di parkiran rumah sakit. Setelah memastikan Arini turun, dia mengunci mobil dan meninggalkan Arini tanpa pamit.Arini terdiam di tempat ia berdiri. Bagaimana dia bisa berpikiran naif dengan beranggapan seorang Evan tertarik padanya? Dia bukan Kenanga yang selalu percaya diri akan kecantikan dan pesonanya yang bisa menaklukkan semua pria di bawah kakinya.Dia Ariani Putri, seorang perempuan miskin biasa yang menjual tubuhnya untuk bisa bertahan hidup dan menyelamatkan ayahnya yang sedang sakit. Dia tidak berguna, tidak pula cantik, dia hanya wanita murahan. Tidak lebih.Arini mendesah kasar. Setelah Gavin masuk ke dalam penjara ... semuanya akan berakhir, kan?Arini mengepa