Tadinya berjalan di samping Liara, Tatiana sepenuhnya menghentikan langkah, berpindah tempat untuk bisa berdiri tepat di depan sang kakak.
Sore ini ia mendapat kesempatan bertemu dengan Liara. Mereka sudah menikmati rujak dan es kesukaan, beberapa saat lagi, sang kakak sudah harus pulang katanya. Padahal, Tatiana masih belum puas melepas rindu.
"Jangan terlalu lelah. Jika pekerjaanmu sebagai asisten rumah tangga di sana terlalu berat, berhenti saja. Aku tidak ingin Kakak sakit hanya karena memikirkan uang sekolah dan biaya kuliahku nantinya."
Gadis berusia 17 tahun itu bingung harus mengatakan apa. Teirma kasih saja agaknya kurang. Apa yang sudah Liara lakukan lebih dari apa yang bisa kakak kandung lakukan.
Jika bukan karena perempuan itu, mungkin Tatiana sudah tidka bersekolah lagi. Juga, ia dan orang tuanya sudha dilempar ke penangkaran buaya karena tak mampu melunuasi pinjaman yang diambil Vicky untuk dihamburkan di meja judi.&n
Sedikit demam dan suasana hati sedang buruk, Liara yang tengah berkeliling dengan mobil disupiri Biru meminta mereka berhenti di salah satu mini market."Tunggu di sini saja. Aku hanya ingin membeli es krim." Liara bersuara, mencegah Biru ikut turun.Saat akan menuju pintu mini market, perempuan itu tak sengaja menemukan Redrick di sana. Laki-laki tengah bersandar di bagian depan mobil dan menikmati sabatang rokok.Liara melewati begitu saja usai mereka bertukar tatap sesaat.Liara sedikit kesal pada Redrick. Karena ulah pria itu, mengajaknya ke sungai tempo hari, Hagan jadi semakin diam.Sebenarnya, sejak hari mengunjungi pasar malam, entah mengapa Hagan seolah mengatur jarak. Sedikit bicara, terkadang memalingkan wajah ketika bertatapan dan terkesan seperti orang merajuk.Masalahnya di mana? Liara kira itu karena aduan Biru bahwa dirinya kembali bertemu Redrick berdua saja.Keluar dari
"Di mana Liara?" Hal pertama yang Hagan tanyakan setelah keluar dari kamar adalah keberadaan istrinya. Masih pukul enam pagi saat ia bangun dan menemukan sisi ranjang sudah kosong.Liara juga tidak ada di kamar mandi, maka ia meninggalkan ruang tidur."Sedang sarapan, Tuan."Kaki Hagan menuju ruang makan. Benar. Liara ada di sana. Sedang menikmati makanan, saat mereka bersitatap perempuan itu malah tersedak.Mendekatkan gelas berisi air, Hagan menepuk-nepuk punggung istrinya. Tumben sekali seterkejut ini melihat kehadirannya.Pria itu menarik kursi, memposisikan tepat di sebelah Liara. "Kau bangun lebih dulu dari aku hari ini."Biasanya, sehabis mereka bermesraan di ranjang, Liara pasti terlambat bangun. Hari ini sedikit berbeda agaknya.Kembali fokus pada makanan, Liara berdeham saja. Sebisa mungkin tak membalas tatapan Hagan.Liara malu. Hilang muka, sebab semalam
Ada saat di mana Liara mempertanyakan apa yang sebenarnya ingin ia capai. Menjual diri, hidup bersama seorang pria, melayani di ranjang, berkedok sebagai istri. Sesungguhnya, apa yang ia cari?Uang? Awalnya memang. Liara tak ingin Tatiana tidak ikut ujian dan putus sekolah. Ia juga tak ingin berutang terlalu banyak pada Maya dan Vicky. Jadi, Liara bekerja, mengumpulkan uang yang banyak dan melunasi segala itu.Lalu, setelah semua itu, apa?Tabungan Liara sudah lumayan sekarang. Cukup untuk biaya Tatiana beberapa tahun ke depan. Lalu, apa?Tidak ada.Beberapa bulan lalu ia memang mendapat sebuah surat dari orang yang mengaku sebagai ibunya. Hanya pemberitahuan. Tidak memuat rencana apa-apa.Kesimpulan, Liara tak punya tujuan. Hanya bernapas dan berjalan di dunia ini. Menambah lukanya sendiri, menumpuk dosa.Hampa. Kosong. Liara putuskan mengakhiri hidup.Sore ini, alasan ingin jala
Warning! 18+Penuh sesak. Rasanya Liara tak bisa bergerak sedikit pun. Di segala titik, ada manusia. Padahal, tempat ini sangat luas.Jika bukan karena merasa bersalah pada Hagan. Liara tak ingin ikut ke acara seperti ini. Sungguh bukan kelasnya, ia tidak pantas ada di sini.Salah satu kolega bisnis Orlando merayakan hari jadi. Semua rekan diundang termasuk ayah mertua dan suaminya Liara. Dan Hagan meminta Liara ikut ke sini.Sebuah taman dengan kolam dengan mancur di bagian tengahnya. Di mana-mana terlihat orang kaya. Wanita, pria dengan setelan yang terlihat mahal. Bercakap-cakap soal sesuatu yang tidak Liara pahami. Melempar senyum padanya, yang terlihat sangat palsu dan merendahkan.Sungguh, Liara tak bisa bernapas dengan baik di sini. Ia ingin segera pulang, tetapi Orlando dan Hagan masih terlihat asyik berbincang dengan si empunya hajatan di kiri taman.Bosan, tidak selera menikmati santapan
Redrick baru saja pulang dari kantor, usai menyelesaikan lemburnya. Meski tahu bekerja keras di sana juga tak akan membuatnya menjadi pewaris, tetapi pria itu tetap melakukan yang dibisa demi membuat perusahaan milik Orlando semakin maju.Hari ini pria itu pulang ke rumah Orlando. Tidak langsung menuju kamar, lelaki itu menghampiri ayahnya yang kata salah satu pelayan masih ada di ruang kerja. Ada yang pelu Red tanyakan."Liara dan Hagan sedang berlibur? Bulan madu?"Alis Orlando saling mengait. "Tidak. Setahuku, tidak. Kenapa?"Redrick tahu itu tidak benar. Ia beberapa kali melihat Hagan di toko, bekerja seperti biasa. Namun, tidak demikian dengan Liara. Perempuan itu jarang sekali terlihat keluar dari rumah. Karenanya Red memastikan."Kukira mereka bulan madu. Itu saja." Tidak ada orangnya di sekitar Liara lagi, Redrick bingung apa yang si perempuan lakukan di rumah saja beberapa waktu belakangan. Cukup lama tak bert
Tak bisa berkata-kata, Redrick segera luruh ke kursi di samping ranjang pasien yang Liara tempati. Peredaran darah pria itu agaknya sedikit terganggu hingga saat ini wajahnya berubah pucat. "Apa yang terjadi padanya, Max?" Pada lelaki yang berdiri tak jauh di belakang, ia bertanya. Bukan tak tahu apa penyebab Liara sampai harus terbaring lemah seperti sekarang. Red hanya masih tak paham. Liara tak menceritakan apa-apa di pertemuan terakhir mereka. Perempuan itu juga terlihat baik, bahkan sempat menghadiahi Red satu senyuman yang manis di pesta itu. Lantas, tiba-tiba saja seperti ini? Red mendengar kabar ini beberapa saat lalu. Dari Orlando. Tidak diberitahu langsung, ia melihat si ayah tiri tergesa dan panik meninggalkan rumah. Penasaran, maka ia bertanya. "Liara di rumah sakit. Dia menyayat nadinya." Saat otaknya mencerna kalimat itu, sungguh Red ingin segera terbang ke rumah sakit ini. Namun, ia tak mungkin bers
Meninggalkan rumah sakit dengan terburu, Hagan tak punya tempat yang ingin dituju. Meski begitu, mobil yang ia kendarai sendiri melaju cepat di jalanan. Sengaja pria itu memilih jalan tol agar tidak ada yang menghalangi aksinya yang seolah ingin menjadi pembalap malam ini.Mengapa ia bisa sebodoh itu? Sejahat itu, pada perempuan yang seharusnya ia jaga dan bahagiakan?Sungguh, sesal memang datang di saat yang tepat. Ketika Hagan sadar jika dirinya sudah salah dan melihat sendiri hasil dari sikap bodohnya. Liara yang terluka.Apa gunanya semua itu sekarang? Apa luka yang tertoreh dalam bisa hilang hanya dengan sesal dan satu permintaan maaf?Di saat seperti ini lelaki itu malah lebih bisa memikirkan sesuatu yang lebih pantas dari apa yang sudah ia lakukan sebulan belakangan pada si istri.Jika memang cemburu, harusnya dikatakan saja. Tunjukkan dengan benar. Marahi Liara bertemu Red, itu lebih baik daripada bersikap ding
"Tidak. Jangan."Liara melihat pria itu lagi dalam tidur. Di matanya terpancar kemarahan yang menakutkan."Tidak. Aku tidak ingin."Max yang baru saja menghuni ruangan saling melempar tatap dengan Hagan yang tampak terpaku di atas ranjang.Pria itu menghampiri Liara. Berusaha membangunkannya dari mimpi yang sepetinya sangat buruk."Kau mimpi buruk, ya?" Pria itu menyodorkan satu gelas air putih. "Karenanya aku melarangmu tidur sepanjang hari. Ini sudah pukul dua, kau tidur sejak pukul sebelas."Duduk dengan kepala ranjang yang dinaikkan, Liara menyuarakan tanya. "Aku sudah diizinkan pulang? Perbannya sudah dibuka. Aku bisa merawatnya sendiri. Aku ingin pulang."Max menoleh pada sepupunya. Hagan tak membalas tatapan. "Dua hari lagi.""Kalau begitu, pindahkan aku ke ruangan lain. Ke mana saja." Suaranya memelan. Ingin sekali segera berada jauh dari Hagan, tetapi sadar diri siapa dir
Liara tidak sengaja terjaga saat melihat Hagan akhirnya masuk ke ruangan mereka. Entah siapa yang memberikan ide agar ia dan si lelaki disatukan seperti ini. Benar kata Max, seolah mereka punya ikatan batin yang kuat, hingga sakit saja harus bersamaan. Hagan berjalan tertatih, membuat Liara mau tak mau menatap pria itu agak lama. Di saat itu ia melihat luka memar di sekitar wajah suaminya. Tadi, Hagan diajak keluar oleh Red, 'kan? Apa dua saudara beda ibu itu bertengkar? Karena apa? Penasaran, tapi Liara ingat dirinya sedang marah. Berusaha tidak peduli, Liara spontan turun dari ranjang rawatnya demi mencegah Hagan yang terhuyung jatuh ke lantai. Menopang tubuh pria itu, Liara bisa merasakan suhu di sana sedikit lebih tinggi dari harusnya. Mereka berpandangan. Entah apa arti sorot mata pria di sampingnya, Liara mengabaikan itu dan mulai memapah. membantu Hagan hingga naik ke atas ranjang. Berdiri di sana, Liara be
Susana rumah sore itu terasa mencekam bagi Hagan. Berjalan dengan langkah pelan dan hati-hati, laki-laki itu berharap semoga dirinya bisa lolos dari ini.Ruang tamu aman. Hanya ada Nia yang menyambutnya di sana."Tuan, di ruang TV." Nia memberitahu dengan suara pelan.Hagan menarik napas, membuangnya perlahan. Ia mengangguk lalu menuju ruangan yang Nia sebutkan tadi. Jantungnya mulai bertalu-talu. Perasaan cemas menyergap seketika. Tidak habis melakukan kejahatan, tetapi ia seolah akan menerima hukuman mati.Semua ini bermula tadi pagi. Liara yang resmi ia persunting dua minggu lalu meminta izin untuk jalan-jalan sendirian. Kebetulan, perempuan itu sudah mahir mengendarai motor. Hagan mengizinkan.Tanpa Liara ketahui, Hagan mengirim dua pengawal. Mengikuti Liara dan menjaga perempuan itu dari jauh. Sialnya, pengawal yang Hagan suruh terlalu ceroboh. Mungkin, karena takut melakukan kesalahan dan mendapat hukuman, mereka
Tak sabar menunggu lebih lama, Hagan akhirnya mengetuk pintu toilet di hadapannya. Tidak hanya sekali, tetapi berulang kali, lumayan keras. Lebih mirip gedoran daripada ketukan sepertinya. "Liara? Kau baik-baik saja? Kenapa lama sekali?" Hanya berselang sekitar beberapa sekon, pintu itu terbuka. Liara menampakkan diri. Sudah mengganti piyama rumah sakit dengan kemeja, ada kerutan tak senang di dahi perempuan itu. "Kenapa kau berisik sekali?" Liara hanya berganti baju dan buang air kecil sebentar. Apa Hagan harus menggedor-gedor pintu seperti tadi? "Kau lama dan tidak menyahut saat aku panggil. Aku kira terjadi sesuatu yang--" "Apa?" Liara memotong. Perempuan itu berjalan menuju ranjang. Duduk di tepiannya dan bersedekap. "Apa? Kali ini apa isi asumsimu?" Ini bukan pertama kalinya Hagan bersikap berlebihan begini. Pria itu semakin menjadi setelah Liara sadar dari koma. Bahkan untuk jalan-jalan saja Ha
Hagan tidak jadi menyebut dunia ini kejam dan keji. Liara sudah bangun dari tidur panjang dan dokter berkata, hasil pemeriksaan perempuan itu baik saja.Pagi ini, usai sarapan dan mengganti pakaian si mantan istri, Hagan mengajak Liara jalan-jalan ke taman. Sesuai dugaannya, perempuan itu senang karena akhirnya bisa menghirup udara di alam terbuka.Mereka duduk di salah satu bangku. Memandangi tumbuhan hijau dan beberapa bunga di sana. Tidak banyak bicara, hanya sesekali saling bertukar pandang dan senyuman.Sebenarnya, Hagan betah-betah saja dalam suasana hening demikian, Ia juga jadi lebih fokus memandangi wajah Liara. Namun, perempuan itu sepertinya ingin membicarakan beberapa hal.Liara membuka konversasi dengan topik yang serius. Anjani. Belum apa-apa, Hagan sudah melihat tangan perempuan itu bergetar.Pertama, Liara menceritakan mengapa Hagan tak bisa menemukan salah satu dari orang yang menyekap dan memukuli Lia
Hagan kembali ke rumah sakit sekitar pukul dua siang. Pria itu meninggalkan Liara beberapa jam untuk mengemasi barang-barang perempuan itu dari rumah sewa. Ia membawa semuanya ke rumah lama mereka.Apa pun yang terjadi nanti. Entah Liara akan setuju atau tidak, Hagan ingin perempuan itu tinggal bersamanya. Lebih bagus, jika mereka menikah lagi.Tidak langsung ke kamar rawat Liara, Hagan menyempatkan diri untuk duduk di taman rumah sakit. Menghirup udara bebas beberapa saat, kebetulan cuaca tidak terlalu terik hari ini."Paman pemarah!"SUara cempreng itu membuat Hagan menoleh ke kiri. Ada Liara, yang kecil. Tengah berlari ke arahnya dengan balon di tangan.Hagan mengulas senyum, tetapi sebisa mungkin memasang ekspresi garang."Namaku Hagan. Bukan Paman pemarah," protesnya seraya membantu Liara itu naik ke bangku."Paman dokter berkata, aku bisa memanggilnya paman pemarah." gadis itu tersenyum.
Orlando menghela napas. Ini yang kesepuluh kali. Pria tua itu menatapi mantan menantunya yang masih belum terjaga itu dengan bahu merosot.Hari ini ia berkunjung lagi. Menjenguk Liara, berharap kedatangannya kali ini disambut oleh perempuan yang pernah menjadi istri dari anaknya."Dia pasti sadar. Tidak lama lagi." Ia berusaha memberi semangat pada sang anak yang duduk di sisi ranjang satunya.Hagan yang meletakkan kepala di samping lengan Liara mengaminkan, tanpa suara. Pria itu lelah, bahkan untuk sekadar menegakkan punggung untuk bertatap muka dengan sang ayah.Hagan bicara parau. "Liara mencintaiku, Pa. Dia mencintaiku, ternyata."Orlando mengulas senyum sebisanya. Bukan hanya keadaan Liara yang belum kunjung sadar dari koma, situasi Hagan juga tak kalah menyedihkan sekarang ini.Anaknya itu kusut dan kacau. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. Bukan hanya karena sering tidak tidur, tetapi j
Hagan tak pernah tahu betapa terpuruknya Orlando kala Tere meninggal dulu. Ia juga mengira bahwa kehilangan sang ibu adalah hal paling buruk yang bisa dunia siapkan.Sekarang, lelaki itu penasaran bagaimana Orlando bisa tidak gila setelah ditinggal Tere. Dan ternyata, dunia kembali memberikannya hal tidak baik.Saat ini. Hagan tengah berusaha tetap hidup dan waras selagi dirinya menghadapi kemalangan yang seakan tak mau sudah.Lima hari lebih Hagan terus-terusan ada di ruangan rawat ini. Menatapi perempuan yang terbaring di ranjang itu. Dan apa? Tak ada perubahan yang terjadi.Liara masih mendiamkannya. Perempuan itu masih tidur dengan pulas, seolah memang tak ingin diganggu lagi.Ini tidak baik. Hagan nyaris hilang akal karena setiap hari bicara sendiri. Saat ia bertanya pada dokter, dokter hanya memintanya bersabar menunggu Liara membaik.Semua orang gila karena menyuruh Hagan tenang. Sudah bagus pria it
Liara meminta bertemu dengan Anjani. Untuk terakhir kali, sebelum mereka mengeksekusi rencana yang wanita itu buat. Mereka sudah membicarakannya dua hari lalu.Anjani memang seserius itu untuk melenyapkan Hagan. Tak main-main, wanita itu akan menggunakan arsenik. Wanita itu juga telah memberikan detil rencana pada si anak.Akan diatur pertemuan untuk Hagan dan Liara besok. Di salah satu resto, racun itu akan dicampur dengan makanan atau minuman Hagan. Mungkin mereka perlu menumbalkan salah seorang pelayan resto, tetapi itu tak masalah.Menyetujui ajakan bertemu, Liara diminta Anjani datang ke rumah pribadi wanita itu. Liara sampai di sana sekitar pukul dua siang. Liara sudah sengaja tidak masuk kerja demi menyiapkan perjumpaan terakhir mereka sebelum hari penting."Aku hanya ingin melihat Ibu sebelum besok. Besok hari besar untukku." Liara memeluk Anjani erat. Setelahnya, ia duduk dan mengeluarkan kotak bekal dari tas belanja. 
Hagan menatap nyalang pada semua pelayan yang berkumpul di ruang tamu. Pria itu marah."Kalian semua menganggap aku lelucon?"Dilempari sorot seolah akan dikuliti, semua pelayan itu menunduk. Hanya Biru yang sedikit berani menghampiri."Kau yang akan kubunuh pertama kali." Hagan menendang tulang kering pengawalnya itu.Bayangkan, ini masih pukul tujuh pagi dan Hagan sudah dibangunkan. Bukan untuk sesuatu yang penting seperti ada gempa, ada tsunami atau ada atraksi dinosuarus. Hagan dibangunkan hanya untuk membukakan pintu.Meringis, Biru berusaha berdiri tegak. "Ada tamu, Tuan. Tamu itu meminta Anda yang membukakan pintu."Kerutan di dahi lebar Hagan makin banyak. Matanya semakin merah. Rahang licinnya terlihat mengeras."Siapa?" Tangan pria itu mencengkeram leher Biru. Mencekik si pengawal beberapa saat. "Siapa, Biru? Siapa yang datang, hingga kau bersedia diminta membangunkanku hanya untuk m