Ditaruhnya daging beraroma bumbu itu di atas piring Ghifari. "Ini enak sekali, Yah. Cobalah!"
Mata Ghifari berbinar terang melihat tumpukan daging kenyal dan lembut di piringnya. Liurnya seakan menetes, tak sabar ingin mencicipi lezatnya cita rasa sang raja seafood.Namun, gerakan tangannya yang hendak mencomot daging lobster itu terhenti. Ia teringat bahwa hari itu adalah ulang tahun Falisha. Mereka ada di sini untuk mensyukuri kebersamaanTerima kasih atas vote dari sobat readers. I love you all. Pasti akan lebih menyenangkan bila sobat readers juga berkenan membantu menyalakan rating bintang untuk cerita ini dengan cara menuliskan komentar.
Orang gila mana yang menerobos masuk sesuka hati?Alis Gallen menjungkit naik, mengamati penampilan seorang lelaki paruh baya dengan setelan busana formal. Terlihat seperti kalangan kelas atas.Di sebelahnya berdiri seorang perempuan bergaun putih. Usianya ditaksir sekitar awal lima puluhan, tetapi penampilan fisiknya tampak dua puluh tahun lebih muda.Jelas dia juga berasal dari kalangan jetset dengan biaya perawatan badan, yang mungkin melebihi harga sebuah mobil."Sepertinya Anda salah ruang. Kami telah mem-booking ruangan ini sejak kemarin."Gallen berkata dengan nada tenang dan datar."Aku tidak peduli! Cepat angkat kaki dari sini!" Lelaki itu membentak Gallen, mengusirnya seperti seekor lalat yang hinggap di atas meja makannya. "Aku tidak menyukai kekerasan, tapi ... aku tidak keberatan jika itu yang kau pinta."Kesombongan yang luar biasa! Betapa bumi ini telah dipenuhi oleh orang-orang yang kehilangan hati nurani.Bagaimana mungkin dia mengusir or
Buku-buku tangan mencuat di sela urat-urat yang bertonjolan. Deru napas memburu seiring dada yang bergerak liar.Pemuda itu mengangkat wajah. Ketakutannya menjelma menjadi murka. Namun, perbedaan status sosial memaksanya menekan sisi emosi negatif itu agar tak lepas kendali."Berani memelototiku?" Armand menggila. Ujung sepatunya melerak kepalan tinju pemuda itu dari lutut."Aku meminta manajer datang ke sini, kenapa cecunguk tak berguna seperti kalian yang muncul, hah?!""Maaf, Tuan. Aku berusaha memenuhi panggilan Anda secepatnya, tetapi mendadak ada panggilan penting. Jadi, aku meminta mereka untuk mewakiliku lebih dulu."Setyo—manajer baru restoran itu—tergopoh masuk dan membungkuk dengan dahi bermandi peluh."Anak buahmu mengecewakan! Mereka bahkan takut pada gembel!""Maaf, Tuan. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini.""Apa maksudmu?" Air muka Armand beriak tak senang. "Kau membela pekerja yang tidak kompeten?"Keluhan Armand bak embusa
"Kau ingin menghancurkan aku?" Kemarahan Bellona akhirnya tertumpah. "Dalam mimpimu, Anak Muda!"Bellona menderap maju. Tangannya secepat kilat melayang ke pipi Gallen. Namun, sebelum tujuannya tercapai, sebuah tangan mencekal lengannya."Lepaskan, Bodoh!" maki Bellona saat tahu siapa yang telah menahan serangannya."Berani menyentuh tamu kehormatan kami, walau seujung rambut sekalipun, Anda akan menyesalinya, Nyonya!" Pemuda yang sedari tadi berlutut menunjukkan taringnya begitu keselamatan Gallen terancam.Tak akan ia biarkan seorang pun menyakiti Gallen. Ia akan melindunginya sepenuh hati, meskipun harus mempertaruhkan nyawa untuk Gallen.Seumur hidup ia tidak akan pernah lupa. Kalau bukan karena kemurahan hati dan sifat pemaaf Gallen, mungkin saat ini ia dan rekannya sudah menjadi seonggok tulang yang dikerubuti cacing tanah.Masih tersimpan kuat dalam ingatannya bagaimana tubuhnya mematung dan lumpuh dalam sekejap akibat serangan gerak cepat dari Ga
"Kau pasti bercanda! Iya, kan? Kau hanya ingin bermain-main dengannya."Armand tak percaya. Sejak kapan Regan bergaul dengan kalangan kelas bawah?Ia telah mengenal Regan sejak anak itu masih ingusan. Ia juga mengamati dengan siapa saja Regan bergaul. Sebagai tetangga, tentu banyak waktu yang telah mereka lewati bersama.Belum pernah ia melihat Gallen hadir pada acara keluarga Regan. Itu artinya hubungan pemuda berbaju lusuh itu dengan keluarga Regan tidak terlalu dekat, bukan?"Re, aku maklum ... sebagai anak muda, terkadang memang sulit mengendalikan jiwa anak-anak, apalagi kau berkecimpung dalam pekerjaan yang menuntut keseriusan sepanjang waktu. Tentu kau juga butuh hiburan di saat merasa tegang."Sebelah telapak tangan Armand bersarang di pundak Regan. Menghadirkan sensasi pijatan lembut penuh pengertian."Tapi, Re ... kali ini aku mengundangmu dalam keterbatasan waktu. Tolong, berhentilah bermain-main! Cepat singkirkan lalat pengganggu itu!"Wajah rama
"Berengsek! Gara-gara bocah kumuh itu, aku gagal menjamu Nyonya Bellona Hopkins!"Armand membanting jasnya ke lengan kursi di ruang tamu seraya melonggarkan dasi."Serius, Pa? Berarti enggak jadi dong kerja sama perusahaan kita?"Laura menutup pintu, lalu duduk di sofa.Armand mengempaskan pantat di sebelah Laura."Coba kau mau ikut ke pertemuan itu tadi, mungkin kau akan berguna.""Pa, kan aku sudah bilang nggak bisa. Papa sih ngotot mau malam ini.""Apakah menghadiri pesta ulang tahun temanmu lebih penting daripada masa depan perusahaan kita?" Armand mengembuskan napas kecewa."B–bukan begitu maksudku, Pa. "Laura merasa bersalah. "Memangnya apa yang terjadi? Kok bisa kerja samanya gagal?"Lalu, meluncurlah kisah drama dari bibir Armand. Tentu tak lupa ia menambahkan berbagai bumbu untuk mempertajam intrik dan konflik, di mana dialah yang berperan sebagai korban."Kita harus bisa mendapatkan kerja sama dengan perusahaan Kyler. Hanya dengan begitu s
"Kenapa tidak dikuburkan saja? Ini terlalu menakutkan untuk dilihat!" ceplos Gallen, merasakan ombak bergulung dari dalam perutnya menuju tenggorokan.Lima tahun ia bekerja sebagai agen rahasia, tetapi belum pernah dihadapkan pada kondisi mayat yang sudah membusuk.Entah berapa lama korban kecelakaan itu terperangkap pada kedalaman jurang. Tentu lebih dari tiga hari, hingga bola matanya tak lagi berada dalam rongganya."Sebaiknya memang begitu, tapi masalahnya ... jenazah ini diduga korban pembunuhan berencana.""Tidak terlalu sulit bagi polisi untuk menyelidikinya, bukan?""Kalau semudah itu menemukan dalang di balik semua ini, aku tidak akan meminta bantuanmu, dan kau tidak akan berada di sini."Netra biru Gallen meraba dalam samar sesosok tubuh terbalut jaket hitam melangkah pelan dari pintu masuk.Suara yang menjawab pertanyaannya terdengar seperti datang dari alam lain. Bergema dari setiap sudut ruangan."Lalu, apa yang dapat saya lakukan untuk Anda,
Setelah bersusah payah mengumpulkan keberanian dan menekan rasa jijik, Gallen akhirnya menempelkan telapak tangannya pada kepala jenazah.Sengaja ia memilih bagian rambut untuk menghindari bersentuhan langsung dengan kulit.Aliran kejut listrik merambat di pembuluh darah Gallen. Mengirim sinyal yang bertransformasi menjadi potongan gambar acak.Gallen harus memusatkan pikirannya untuk dapat merangkai kepingan gambar itu.Tampak seorang lelaki berusia empat puluhan berjalan mondar-mandir dalam sebuah kamar. Sesaat ia duduk di bibir ranjang, detik berikutnya ia bangkit dan berjalan menuju jendela. Lalu, kembali hilir mudik sambil menggigit kepalan tinju.Roman mukanya terlihat tegang sampai-sampai ia membuka dua kancing kemejanya lantaran gerah. Bulir-bulir keringat terus mengaliri lehernya.Puas bergumul dengan kecemasan yang kian mendera, lelaki itu membuka laci. Mengeluarkan sehelai map dari sana.Ia jatuh terduduk menghantam tepian ranjang setelah membaca
Rohim segera meluncur keluar dari kolong mobil. Berlari dan tegak mematung di tepi jalan hingga sosok Gallen benar-benar menghilang di kejauhan."Kang Deden merasa aneh nggak sih, Kang? Nggak biasanya bos bengong begitu.""Namanya juga hidup, Him. Ada pasang surutnya. Kadang senang, kadang sedih. Mungkin bos lagi ada masalah," komentar Deden, "biarkan sajalah! Kalau kita memang berhak untuk mengetahuinya, pasti nanti bos bakal cerita.""Ya kalau cerita. Kalau nggak?""Itu artinya bukan urusan kita. Begitu saja kok repot!" Deden menyudahi aktivitas mendandani motor di hadapannya, kemudian beralih ke motor di sebelahnya."Bikin penasaran, Kang!""Nah, ini ... yang begini bikin hidup nggak tenang. Kenapa harus pusing memikirkan hidup orang lain? Ada untungnya? Enggak, kan?""Yaelah, Kang ... namanya juga peduli.""Itu bukan peduli, Him, tapi kepo!""Lah apa bedanya?"Deden menjeda kegiatannya. "Umurmu berapa, Him?"Dengan polosnya Rohim menghitung j
"Nyonya Bellona Hopkins?!" seru Gallen, kaget. "Tidak. Anda datang pada waktu yang tepat. Mari bergabung bersama keluargaku!""Iya, Nyonya. Ayo duduk sini!" Kimi menjemput Bellona."Terima kasih!" Bellona merasa terharu dengan sambutan Gallen dan keluarganya. "Sebenarnya, aku ke sini ingin minta maaf pada Gallen atas namaku dan juga Atha. Aku terlalu serakah dan mementingkan anakku.""Seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itu bisa dimaklumi, Nyonya," sahut Gallen. "Kami juga minta maaf karena telah melaporkan Anda dengan beberapa tindak kejahatan yang tidak Anda lakukan."Wajah Gallen kecut, merasa bersalah."Itu bukan kesalahanmu sepenuhnya. Wanita berhati iblis itu yang sangat pandai menipu orang." Muka Bellona menggelap. "Kalau aku tahu Bibi Rose menggunakan wajahku untuk berbuat jahat, aku pasti telah lebih dulu menyeretnya ke penjara. Dia benar-benar licik!""Dia pasti mempelajari keterampilan make-up saat berada di Korea Selatan," timpal Kimi."Betul. Itu ar
Gallen melangkah gontai memasuki rumah. Ia melewati Grizelle yang duduk santai di ruang tengah begitu saja.Namun, ketika sudut matanya menangkap bayang Grizelle saat hendak menaiki tangga, ia berbalik.Tanpa malu-malu ia merebahkan diri dan meletakkan kepala di pangkuan Grizelle yang duduk berjuntai di atas sofa.Grizelle mengelus rambut Gallen yang jatuh ke kening."Kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir. Teleponmu tidak aktif."Gallen merogoh saku, mengeluarkan ponsel. "Ck! Baterainya habis.""Sini! Kubantu mengisikan dayanya.""Nanti saja! Aku masih mau seperti ini." Gallen menaruh ponsel di atas meja, lalu melingkarkan lengan pada pinggang Grizelle.Saat hatinya sedang galau dan pikiran kacau, berbaring di pangkuan Grizelle bikin nyaman.Wangi vanila berpadu dengan aroma alami tubuh Grizelle menghadirkan perasaan tenang di hati Gallen.Setelah cukup lama menikmati kehangatan pangkuan Grizelle, Gallen bangkit. Mengecup kening Grizelle."Terima kasih. Bersamamu, aku selalu merasa
"Kenapa? Kaget? Hahaha ...."Wanita itu tak peduli dengan keberadaan polisi dan tangannya yang terbogol. Ia tertawa, seperti telah kehilangan kewarasannya.Gallen bukan hanya kaget, tapi syok. Tak menyangka orang yang selama ini dikenalnya begitu baik dan berada di pihaknya, ternyata merupakan dalang dari segala kemalangan yang menimpa keluarganya."Bibi Rose, katakan bahwa ini tidak benar!""Hahaha ... sayangnya, inilah kenyataannya."Gallen menggeleng-geleng. Masih sulit memercayai kebenaran yang terpampang di depan mata."Kenapa, Bi? Bukankah nenekku selalu memperlakukan Bibi dengan baik?"Gallen masih ingat, walaupun samar, neneknya tidak pernah memperlakukan Bibi Rose dengan kasar.Rianna bahkan memercayai Bibi Rose menjadi pelayan pribadinya. Neneknya bahkan tak pernah perhitungan dalam membelikan pakaian dan memenuhi kebutuhan Bibi Rose.Tapi lihat balasan yang diberikan wanita itu! Hanya pengkhianatan terhadap keluarganya."Baik? Cih! Nenekmu bahkan lebih licik dari seekor rub
"Bro, target memasuki perangkap. Kau ingin melihat langsung?""Aku sudah berada di lokasi. Di mana kau?"Gallen berdiri di belakang sebuah tiang besar, mengawasi seorang wanita yang baru saja turun dari mobil.Wanita itu memakai setelan tunik dan celana panjang yang terlihat modis. Sehelai masker dan kacamata hitam berbingkai lebar menutupi wajahnya yang lonjong.Sebuah topi bulat dengan hiasan sekuntum bunga teratai mekar meneduhi wajahnya yang tersembunyi dari terik matahari."Arah jam sembilan."Gallen mengerling ke titik yang disebutkan. Tampak bayangan Regan duduk di belakang roda kemudi, berlagak sedang membersihkan dashboard. Namun, matanya sering kali mengerling ke pintu gerbang."Aku pada titik jam satu."Pandangan keduanya segera bertemu begitu Gallen menutup panggilan telepon.Regan tersenyum seraya mengangguk ringan.Wanita itu telah memasuki lobi hotel. Regan mengikuti dari belakang layaknya juga seorang pengunjung.Gallen berjalan memutar. Memasuki hotel lewat pintu khusu
"Laura, memaafkan dan kembali bersama adalah dua hal yang berbeda! Jangan mengharapkan lebih dari apa yang dapat kuberikan dan pantas untuk kau dapatkan!"Binar di mata Laura sirna seketika. Tatapannya luruh ke tanah."Tapi aku masih sangat mencintaimu, Gallen! Tak bisakah kamu menceraikan istrimu dan kembali padaku?""Laura, rumah tangga bukan hanya tentang rasa cinta, tapi tentang komitmen dan saling percaya."Cinta adalah ungkapan rasa hati. Dan asal kau tahu, hati itu sangat rapuh. Mudah sekali terbolak-balik, seperti musim yang terus berganti."Sementara komitmen adalah keteguhan hati dalam memegang janji suci. Tak peduli sekuat apa semesta mengguncangnya, ia tak akan berubah. Tetap setia melewati berbagai cobaan dan rintangan."Namun, sekali komitmen itu hancur, maka yang tersisa hanyalah serpihan tak berwujud, dan tak akan pernah bisa kembali utuh seperti semula."Kau bukan hanya telah menghancurkan komitmen cintamu denganku, Laura, tapi juga telah membuangnya. Apa lagi yang bi
Hening!Orang itu tak menyahuti perkataan Gallen. Ia sama sekali tak membantah tuduhan Gallen."Siapa kau?"Gallen menekan beberapa titik di punggung orang itu dengan gerakan cepat. Mengunci tubuhnya agar tak bisa melarikan diri."Kamu apakan badanku, hah?! Lepaskan aku!"Gallen terkesiap. Ternyata sosok yang bersembunyi di balik coat panjang dengan kepala tertutup hoodie lebar itu adalah seorang perempuan."Kau tidak akan ke mana-mana sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan darimu," bisik Gallen, dengan nada penuh penekanan.Beberapa pasang mata, dari orang-orang yang melintas hendak keluar masuk Rumah Sakit, mengerling curiga pada Gallen.Gallen pindah ke hadapan wanita itu. Tegak dengan sebelah tangan bersembunyi dalam saku celana.Posisi mereka seperti dua orang kenalan yang saling bercengkerama.Keinginan wanita itu untuk kabur dari Gallen melebihi kuatnya terjangan ombak yang mengempas batu karang. Sayang, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan."Tolong, lepaskan aku! Aku janj
"Ada apa ini? Kenapa semua terlihat canggung?" tanya Grizelle, merasa tak enak hati karena masuk tanpa mengetuk pintu."Ah, itu hanya perasaanmu saja!"Gallen menyongsong Grizelle, mengambil alih tas berukuran kecil, yang berisi pakaian Kimi."Instingku tak pernah salah," bisik Grizelle. "Aura ruangan ini agak aneh."Gallen tersenyum simpul. Ia akui Grizelle memiliki kepekaan yang luar biasa. Pantas saja ia tak pernah gagal dalam menyelidiki kasus kliennya."God! Ayah juga di sini?" seru Grizelle, bergegas menyalami Grath. "Huh! Sekarang aku tahu kenapa ruangan ini terasa aneh. Ternyata Adam dan Hawa bertemu kembali setelah terlempar dari surga ke belahan dunia yang berbeda.""Greeze, apa yang kamu katakan?" Pipi Kimi merona merah.Perumpamaan yang disematkan Grizelle pada dirinya dan Grath menurutnya terlalu berlebihan."Wah, Ayah juga sudah sembuh? Luar biasa! Memang ya ... lelaki akan melupakan segala rasa sakit dan kesedihannya begitu melihat senyum menawan sang istri," imbuh Griz
"Penjahat seperti David Kyler tidak akan mampu menyentuhku, Bu. Ibu tidak perlu mencemaskan aku. Pikirkan saja kesehatan Ibu! Ibu harus segera sembuh.""Kamu juga tidak perlu mengkhawatirkan aku secara berlebihan."Gallen meraih jemari Kimi. "Bu, aku takut. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu, aku akan merasa bersalah seumur hidup. Aku akan dihantui perasaan menyesal.""Gallen, tidak ada yang perlu disesali dari sebuah takdir. Cepat atau lambat, kita semua akan meninggalkan dunia ini.""Aku tahu, Bu. Tapi aku akan menyesal karena aku belum sempat mempertemukan Ibu dengan ayah.""Kamu tidak perlu melakukan itu, Gallen." Kimi melengos. Matanya terasa panas."Kenapa? Apa Ibu tak lagi mencintai ayah?""Bukan. Bukan karena itu. Seumur hidupku, aku hanya mencintai satu orang pria. Dan Pria itu adalah ayahmu."Aku tidak pernah mencintai lelaki lain, dan tidak akan pernah bisa.""Tapi, kenapa Ibu tidak mau bertemu dengan ayah? Selama ini ayah juga menderita, Bu."Kimi berusaha untuk dudu
Bugh!Tendangan Gallen melempar David hingga menghantam dinding dan menyebabkan dinding itu jebol."Bawa dia!" titah Gallen pada dua orang anak buah Kenzie yang menonton aksinya."S–siap, Komandan!"Mereka gugup melihat kehebatan Gallen. Tak terbayang jika mereka yang berada di posisi David. Mengerikan.Cepat-cepat mereka mengangkat sosok David yang tergeletak di tanah.Suara dering ponsel memecah kesunyian di kamar isolasi Grath.Thomas meninggalkan komputer yang memuat laporan perkembangan kesehatan Grath. Berjalan sedikit menjauh setelah membaca nama Gallen pada layar monitor."Firasatku tidak enak menerima panggilan telepon darimu pagi-pagi begini," ujar Thomas dengan suara lirih."Apa istriku bersama Kakek? Aku tidak bisa menghubunginya.""Tidak. Ada apa?""Kek, kalau Grizelle datang menemui Kakek, tolong minta dia untuk ke rumah ibuku, mengambil baju. Ibuku dirawat di Rumah Sakit.""Ibumu dirawat?! Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?""Ceritanya panjang, Kek. Aku masih ada