Di dalam basemen rumah Kenzie, Gallen sibuk memilah-milah perlengkapan tempur yang dia butuhkan.Setelah memilih beberapa peralatan yang cocok dengan misinya, Gallen menyembunyikan wajah aslinya di balik sehelai topeng tipis. Begitu pula dengan Kenzie."Istri dan anak Paman Yu adalah saksi kunci dari semua kasus pembunuhan berantai ini. Kita tidak bisa lagi bergerak santai," tegas Gallen sambil berjalan berdampingan dengan Kenzie menuju sebuah pintu rahasia."Ya. Musuh semakin agresif. Kita harus menjegal langkah mereka atau kita akan kalah." Kenzie menekan tombol kecil yang berkamuflase dengan sempurna di antara relief pada dinding.Bunyi desing halus terdengar begitu daun pintu bergeser ke samping.Sebuah lorong sempit dalam balutan cahaya remang-remang terbentang di depan mereka. Pintu rahasia itu kembali menutup dengan otomatis."Kau sudah mengamankan mereka, bukan?" tanya Gallen sembari memasang sarung tangan."Ya. Tidak ada yang akan menemukan mereka."Jelitan Gallen menciutkan
Gallen tersenyum tipis. Dalam hati ia mengagumi keberanian dan kekuatan mental putra tunggal Paman Yu dalam menyikapi tekanan."Namamu Anjas?" ulang Gallen, mengonfirmasi pendengarannya seraya menjungkit dagu pemuda belia itu dengan jari telunjuk."Cuih!" Tanpa diduga Anjas meludahi wajah Gallen.Kenzie terlonjak tegak dengan muka merah padam. Ia mengangkat tangan, hendak memberi pelajaran pada Anjas. Namun, Gallen menahan gerakannya. Kenzie kembali duduk.Gallen menyambar sehelai tisu dari atas meja dan menyeka mukanya.Sikapnya tetap tenang. Sama sekali tidak terpengaruh oleh perilaku buruk Anjas.Ketenangan Gallen justru membuat Nyonya Yu berkeringat dingin. Terlebih saat tatapan serius Gallen menusuk tepat pada manik matanya.Kilat kemarahan yang memancar dari sepasang netra gelap itu seakan menghakiminya, 'Anda gagal mendidik anak Anda, Nyonya!'"Kalian telah membunuh bapakku. Aku tidak akan membiarkan kalian hidup dengan tenang!"Anjas terus menumpahkan kemurkaannya tanpa menghi
"Kehadiran kami di sini tidak bermaksud untuk membuat Anda ataupun anak Anda merasa terancam, Nyonya."Gallen memulai percakapan dengan hati-hati. Ia tahu kondisi kejiwaan Nyonya Yu sedang terguncang.Separuh nyawa wanita paruh baya itu seakan telah tercerabut dari raganya. Cobaan terberat seorang istri adalah ketika belahan jiwanya kembali pada Sang Pemilik kehidupan tanpa salam perpisahan.Tak ada yang dapat mengukur sedalam apa palung lara dalam hati Nyonya Yu.Nyonya Yu tergugu. Bahunya berguncang menahan tangis. Sejak kabar kematian suaminya, ia menelan tangis itu dalam kebisuan. Dia menutupi luka menganga yang mengoyak hatinya di balik senyuman hampa.Ia tidak ingin putra semata wayangnya semakin terpuruk menyaksikan kesedihannya.Gallen mengulurkan lembaran tisu lainnya kepada Nyonya Yu. Entah untuk yang ke berapa kali.Setelah puas menumpahkan segenap duka yang ia punya, Nyonya Yu memberanikan diri menegakkan kepala. Mata sayunya terlihat sembab dan memerah."Apa yang Anda ing
Gallen membiarkan Nyonya Yu melepaskan semua gumpalan lara yang dipendamnya. Entah sudah berapa banyak tisu yang dihabiskan wanita itu untuk menyeka cairan bening dari hidungnya.Lantai di bawah kakinya telah memutih. Celah kosong antara meja dan sofa yang dia duduki terlihat laksana hamparan permadani kapas.Setelah Nyonya Yu menghentikan ratapannya dan terlihat lebih tenang, Gallen mulai bersuara."Nyonya Yu, Anda sudah cukup lama menjalani hidup dan mencecap asam garam kehidupan. Aku yakin Anda tahu kapan harus bijak dalam mengambil keputusan."Adakalanya memutuskan untuk mengambil langkah mundur di tengah kancah pertempuran. Bukan karena takut, tapi untuk menyelamatkan yang lain."Dalam kasus suami Anda, tentu saja yang akan Anda selamatkan bukan hanya orang lain, melainkan anak Anda dan diri Anda sendiri."Gallen menarik lagi sehelai tisu dan mengulurkannya pada Nyonya Yu. Kata-kata yang diucapkannya membuat wanita itu kembali terisak."Kami hanya mencoba menyelamatkan Anda, tapi
"Setelah ini, apa yang akan kau lakukan?" tanya Kenzie sambil mengamati jalanan di depannya. "Kalau bukti yang kau dapatkan dari Nyonya Yu memberatkan Bellona Hopkins, apa kau akan langsung melaporkannya?""Tidak semudah itu! Lagi pula, penjara terlalu nyaman untuknya."Gallen ingin sedikit bermain-main dengan Bellona sebelum wanita itu mendapatkan hukuman yang setimpal atas segala kejahatannya."Ajak aku jika kau ingin bersenang-senang dengannya, Bos! Aku butuh sedikit berolahraga.""Hem! Persiapkan saja dirimu! Kau mungkin akan melakukan olahraga yang berat."Sepulang dari menemui Nyonya Yu, Gallen meminta Kenzie untuk mengantarnya ke kantor Regan."Weiss! Aku merasa terhormat kau bersedia mengunjungiku dengan sukarela, Bro!" Regan meninggalkan kursi kebesarannya dan menyalami Gallen dengan guncangan yang keras."Tak heran pikiranmu sering buntu. Ruangan ini tak ubahnya seperti sel tahanan. Hanya tampak sedikit lebih mewah.""Kau terlalu jujur, Kawan! Tapi sepertinya aku memang butu
Sambil mengendalikan perputaran roda kemudi, Regan memasang earphone, lalu menghubungi ayahnya."Pa, Papa masih menyimpan berkas kasus lama, kan?" tanya Regan begitu ayahnya mengangkat panggilan."Kasus yang mana? Ada banyak kasus yang telah kutangani.""Itu lo, Pa. Kasus menantu tertua keluarga Kyler.""Oh, tewasnya Nyonya Indira?""Iya, Pa. Salinan berkasnya masih ada kan sama Papa?""Cari saja di gudang arsip!""Kelamaan, Pa. Aku maunya yang cepat.""Dasar pemalas!" umpat Harris."Bukan malas, Pa, tapi memanfaatkan waktu seefektif dan seefisien mungkin.""Aku tidak bisa mengirimkan dokumen itu sembarangan.""Pa, ayolah ... aku butuh salinan kasus itu. Masa tidak percaya sama anak sendiri?"Terdengar helaan napas panjang Harris dari seberang telepon. "Ini bukan masalah tidak percaya pada anak atau siapa pun. Ini tentang profesionalitas dan loyalitas. Kau memang anakku, tapi bukan berarti setiap rahasia negara yang menjadi tanggung jawabku harus aku bocorkan padamu."Walaupun realita
Regan menjatuhkan tangannya dengan gugup. "Sorry, Bro! Kau ... membuatku penasaran sekaligus takut. Katakan padaku siapa kau sebenarnya!"Gallen mencari posisi duduk yang nyaman, kemudian menjawab acuh tak acuh, "Terkadang lebih baik membiarkan sesuatu sejernih lumpur."Gallen merogoh kantong, lalu mengeluarkan sebuah kartu memori. Ia meletakkan kartu kecil dan tipis itu di sudut meja kerja Regan."Aku menemuimu untuk menyerahkan ini. Mungkin ada sesuatu yang berguna untukmu di sini.""Jangan tanya dari mana aku mendapatkan benda itu!" imbuh Gallen begitu Regan hendak membuka mulut. "Kau tahu? Banyak kucing yang mati karena penasaran. Syukuri saja bantuan kecil dariku! Permisi!"Regan tercengang. Kenapa Gallen terkesan memimpin kendali atas kasus yang mereka pegang?"Gallen!"Bam!Regan melompat memburu Gallen setelah mendengar suara bantingan pintu. Ia celingukan."Aish! Cepat sekali dia menghilang!" gerutu Regan.Dia berlari ke luar kantor, berharap masih bisa menemukan Gallen di pe
"Dalam mimpimu! Apa hakmu meminta manajer untuk turun tangan melayanimu?""Aku juga pelanggan di sini. Apa perlu kuulangi hingga seribu kali?"Semakin dongkol dengan campur tangan orang asing, Gallen mengeluarkan ponsel.Aksinya itu mengundang seringai mengejek dari orang-orang di sekelilingnya, terutama lelaki muda yang sedari awal menentang keberadaannya."Wow! Kau cukup punya nyali! Ayo telepon! Kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri."Gallen mengabaikan ejekan dari lelaki tersebut. Ia melanjutkan aksinya. Begitu panggilan teleponnya tersambung, Gallen langsung mengomeli si penerima."Aku telah lama tiba di kantor Anda, tapi tak satu pun karyawan Anda yang bersedia melayaniku. Apa memang seperti ini cara Anda berbisnis? Membiarkan pelanggan Anda menunggu dan diperlakukan seperti seorang pengemis? Anda punya waktu lima menit untuk muncul di depanku!"Omelan Gallen membuat para karyawan dan konsumen yang ada di ruangan itu terperangah. Namun, ada juga yang bersikap semakin sinis
"Nyonya Bellona Hopkins?!" seru Gallen, kaget. "Tidak. Anda datang pada waktu yang tepat. Mari bergabung bersama keluargaku!""Iya, Nyonya. Ayo duduk sini!" Kimi menjemput Bellona."Terima kasih!" Bellona merasa terharu dengan sambutan Gallen dan keluarganya. "Sebenarnya, aku ke sini ingin minta maaf pada Gallen atas namaku dan juga Atha. Aku terlalu serakah dan mementingkan anakku.""Seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itu bisa dimaklumi, Nyonya," sahut Gallen. "Kami juga minta maaf karena telah melaporkan Anda dengan beberapa tindak kejahatan yang tidak Anda lakukan."Wajah Gallen kecut, merasa bersalah."Itu bukan kesalahanmu sepenuhnya. Wanita berhati iblis itu yang sangat pandai menipu orang." Muka Bellona menggelap. "Kalau aku tahu Bibi Rose menggunakan wajahku untuk berbuat jahat, aku pasti telah lebih dulu menyeretnya ke penjara. Dia benar-benar licik!""Dia pasti mempelajari keterampilan make-up saat berada di Korea Selatan," timpal Kimi."Betul. Itu ar
Gallen melangkah gontai memasuki rumah. Ia melewati Grizelle yang duduk santai di ruang tengah begitu saja.Namun, ketika sudut matanya menangkap bayang Grizelle saat hendak menaiki tangga, ia berbalik.Tanpa malu-malu ia merebahkan diri dan meletakkan kepala di pangkuan Grizelle yang duduk berjuntai di atas sofa.Grizelle mengelus rambut Gallen yang jatuh ke kening."Kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir. Teleponmu tidak aktif."Gallen merogoh saku, mengeluarkan ponsel. "Ck! Baterainya habis.""Sini! Kubantu mengisikan dayanya.""Nanti saja! Aku masih mau seperti ini." Gallen menaruh ponsel di atas meja, lalu melingkarkan lengan pada pinggang Grizelle.Saat hatinya sedang galau dan pikiran kacau, berbaring di pangkuan Grizelle bikin nyaman.Wangi vanila berpadu dengan aroma alami tubuh Grizelle menghadirkan perasaan tenang di hati Gallen.Setelah cukup lama menikmati kehangatan pangkuan Grizelle, Gallen bangkit. Mengecup kening Grizelle."Terima kasih. Bersamamu, aku selalu merasa
"Kenapa? Kaget? Hahaha ...."Wanita itu tak peduli dengan keberadaan polisi dan tangannya yang terbogol. Ia tertawa, seperti telah kehilangan kewarasannya.Gallen bukan hanya kaget, tapi syok. Tak menyangka orang yang selama ini dikenalnya begitu baik dan berada di pihaknya, ternyata merupakan dalang dari segala kemalangan yang menimpa keluarganya."Bibi Rose, katakan bahwa ini tidak benar!""Hahaha ... sayangnya, inilah kenyataannya."Gallen menggeleng-geleng. Masih sulit memercayai kebenaran yang terpampang di depan mata."Kenapa, Bi? Bukankah nenekku selalu memperlakukan Bibi dengan baik?"Gallen masih ingat, walaupun samar, neneknya tidak pernah memperlakukan Bibi Rose dengan kasar.Rianna bahkan memercayai Bibi Rose menjadi pelayan pribadinya. Neneknya bahkan tak pernah perhitungan dalam membelikan pakaian dan memenuhi kebutuhan Bibi Rose.Tapi lihat balasan yang diberikan wanita itu! Hanya pengkhianatan terhadap keluarganya."Baik? Cih! Nenekmu bahkan lebih licik dari seekor rub
"Bro, target memasuki perangkap. Kau ingin melihat langsung?""Aku sudah berada di lokasi. Di mana kau?"Gallen berdiri di belakang sebuah tiang besar, mengawasi seorang wanita yang baru saja turun dari mobil.Wanita itu memakai setelan tunik dan celana panjang yang terlihat modis. Sehelai masker dan kacamata hitam berbingkai lebar menutupi wajahnya yang lonjong.Sebuah topi bulat dengan hiasan sekuntum bunga teratai mekar meneduhi wajahnya yang tersembunyi dari terik matahari."Arah jam sembilan."Gallen mengerling ke titik yang disebutkan. Tampak bayangan Regan duduk di belakang roda kemudi, berlagak sedang membersihkan dashboard. Namun, matanya sering kali mengerling ke pintu gerbang."Aku pada titik jam satu."Pandangan keduanya segera bertemu begitu Gallen menutup panggilan telepon.Regan tersenyum seraya mengangguk ringan.Wanita itu telah memasuki lobi hotel. Regan mengikuti dari belakang layaknya juga seorang pengunjung.Gallen berjalan memutar. Memasuki hotel lewat pintu khusu
"Laura, memaafkan dan kembali bersama adalah dua hal yang berbeda! Jangan mengharapkan lebih dari apa yang dapat kuberikan dan pantas untuk kau dapatkan!"Binar di mata Laura sirna seketika. Tatapannya luruh ke tanah."Tapi aku masih sangat mencintaimu, Gallen! Tak bisakah kamu menceraikan istrimu dan kembali padaku?""Laura, rumah tangga bukan hanya tentang rasa cinta, tapi tentang komitmen dan saling percaya."Cinta adalah ungkapan rasa hati. Dan asal kau tahu, hati itu sangat rapuh. Mudah sekali terbolak-balik, seperti musim yang terus berganti."Sementara komitmen adalah keteguhan hati dalam memegang janji suci. Tak peduli sekuat apa semesta mengguncangnya, ia tak akan berubah. Tetap setia melewati berbagai cobaan dan rintangan."Namun, sekali komitmen itu hancur, maka yang tersisa hanyalah serpihan tak berwujud, dan tak akan pernah bisa kembali utuh seperti semula."Kau bukan hanya telah menghancurkan komitmen cintamu denganku, Laura, tapi juga telah membuangnya. Apa lagi yang bi
Hening!Orang itu tak menyahuti perkataan Gallen. Ia sama sekali tak membantah tuduhan Gallen."Siapa kau?"Gallen menekan beberapa titik di punggung orang itu dengan gerakan cepat. Mengunci tubuhnya agar tak bisa melarikan diri."Kamu apakan badanku, hah?! Lepaskan aku!"Gallen terkesiap. Ternyata sosok yang bersembunyi di balik coat panjang dengan kepala tertutup hoodie lebar itu adalah seorang perempuan."Kau tidak akan ke mana-mana sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan darimu," bisik Gallen, dengan nada penuh penekanan.Beberapa pasang mata, dari orang-orang yang melintas hendak keluar masuk Rumah Sakit, mengerling curiga pada Gallen.Gallen pindah ke hadapan wanita itu. Tegak dengan sebelah tangan bersembunyi dalam saku celana.Posisi mereka seperti dua orang kenalan yang saling bercengkerama.Keinginan wanita itu untuk kabur dari Gallen melebihi kuatnya terjangan ombak yang mengempas batu karang. Sayang, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan."Tolong, lepaskan aku! Aku janj
"Ada apa ini? Kenapa semua terlihat canggung?" tanya Grizelle, merasa tak enak hati karena masuk tanpa mengetuk pintu."Ah, itu hanya perasaanmu saja!"Gallen menyongsong Grizelle, mengambil alih tas berukuran kecil, yang berisi pakaian Kimi."Instingku tak pernah salah," bisik Grizelle. "Aura ruangan ini agak aneh."Gallen tersenyum simpul. Ia akui Grizelle memiliki kepekaan yang luar biasa. Pantas saja ia tak pernah gagal dalam menyelidiki kasus kliennya."God! Ayah juga di sini?" seru Grizelle, bergegas menyalami Grath. "Huh! Sekarang aku tahu kenapa ruangan ini terasa aneh. Ternyata Adam dan Hawa bertemu kembali setelah terlempar dari surga ke belahan dunia yang berbeda.""Greeze, apa yang kamu katakan?" Pipi Kimi merona merah.Perumpamaan yang disematkan Grizelle pada dirinya dan Grath menurutnya terlalu berlebihan."Wah, Ayah juga sudah sembuh? Luar biasa! Memang ya ... lelaki akan melupakan segala rasa sakit dan kesedihannya begitu melihat senyum menawan sang istri," imbuh Griz
"Penjahat seperti David Kyler tidak akan mampu menyentuhku, Bu. Ibu tidak perlu mencemaskan aku. Pikirkan saja kesehatan Ibu! Ibu harus segera sembuh.""Kamu juga tidak perlu mengkhawatirkan aku secara berlebihan."Gallen meraih jemari Kimi. "Bu, aku takut. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu, aku akan merasa bersalah seumur hidup. Aku akan dihantui perasaan menyesal.""Gallen, tidak ada yang perlu disesali dari sebuah takdir. Cepat atau lambat, kita semua akan meninggalkan dunia ini.""Aku tahu, Bu. Tapi aku akan menyesal karena aku belum sempat mempertemukan Ibu dengan ayah.""Kamu tidak perlu melakukan itu, Gallen." Kimi melengos. Matanya terasa panas."Kenapa? Apa Ibu tak lagi mencintai ayah?""Bukan. Bukan karena itu. Seumur hidupku, aku hanya mencintai satu orang pria. Dan Pria itu adalah ayahmu."Aku tidak pernah mencintai lelaki lain, dan tidak akan pernah bisa.""Tapi, kenapa Ibu tidak mau bertemu dengan ayah? Selama ini ayah juga menderita, Bu."Kimi berusaha untuk dudu
Bugh!Tendangan Gallen melempar David hingga menghantam dinding dan menyebabkan dinding itu jebol."Bawa dia!" titah Gallen pada dua orang anak buah Kenzie yang menonton aksinya."S–siap, Komandan!"Mereka gugup melihat kehebatan Gallen. Tak terbayang jika mereka yang berada di posisi David. Mengerikan.Cepat-cepat mereka mengangkat sosok David yang tergeletak di tanah.Suara dering ponsel memecah kesunyian di kamar isolasi Grath.Thomas meninggalkan komputer yang memuat laporan perkembangan kesehatan Grath. Berjalan sedikit menjauh setelah membaca nama Gallen pada layar monitor."Firasatku tidak enak menerima panggilan telepon darimu pagi-pagi begini," ujar Thomas dengan suara lirih."Apa istriku bersama Kakek? Aku tidak bisa menghubunginya.""Tidak. Ada apa?""Kek, kalau Grizelle datang menemui Kakek, tolong minta dia untuk ke rumah ibuku, mengambil baju. Ibuku dirawat di Rumah Sakit.""Ibumu dirawat?! Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?""Ceritanya panjang, Kek. Aku masih ada