Manik mata merah jambu keunguan milik Amisha bergerak liar karena resah. Kedatangannya ke panti kali ini berbarengan dengan kehadiran donatur lain yang tidak ia ketahui siapa. Bukan sosok sang donatur lain itu yang membuat jiwa Amisha meronta gundah, melainkan kekhawatirannya akan kehadiran wartawan peliput berita.“Ada apa?” tanya Zain, ikut merasa tidak tenang melihat kegelisahan, yang membias jelas dari pancaran mata indah Amisha.Amisha membisu. Ia baru saja hendak beranjak masuk ke panti ketika seseorang memanggilnya.“Amisha! Kau benar-benar masih sering datang ke sini?” tanya suara itu, seakan terkejut melihat keberadaan Amisha di panti itu.Zain yang sedari tadi duduk bergeming segera bangkit dari duduknya, setelah mengenali siapa pendatang baru itu. Tatapan tajamnya berkilat tidak senang.‘Kenapa dia selalu muncul di sisi Misha?’ geram Zain dalam diam.Amisha memandang sang penyapa dengan tatapan datar, tanpa ekspresi. Ia juga tak mengerti, kenapa lelaki itu selalu saja muncul
Sret! Sret!Buru-buru Sonny menyeka air matanya, lalu duduk berjongkok di hadapan anak yang menegurnya. Ia memaksakan seulas senyum terukir di bibirnya.“Ah, enggak. Om tidak menangis kok,” kilah Sonny, mengelak tuduhan anak berusia enam tahun itu.“Om Sonny bohong! Terus kenapa mata Om Sonny ada airnya?” protes anak itu, menunjuk tepat ke mata Sonny.Kembali Sonny mengumbar senyum. “Om tidak menangis, Sayang. Itu tadi mata Om kemasukan debu yang menempel di bola ini. Kamu lihat ‘kan Om memutar bolanya?”Sonny berbohong untuk menghindari kecurigaan anak itu. Ia menunjukkan bola yang bergelimang debu kepada si bocah cerdik.Sonny tidak ingin anak itu sampai keceplosan, mengatakan apa yang baru saja dilihatnya dari Sonny kepada orang lain di panti itu. Maklumlah, anak seusia itu masih sangat polos dalam bercerita.“Oh … aku pikir Om Sonny sedih karena melihat Tante Misha sakit dan ditolong sama Om Zain,” sahut anak itu, tanpa memahami perasaan Sonny yang sesungguhnya.Benar ‘kan? Anak it
Semilir angin laut berembus kencang. Membuat jilbab yang dikenakan Gianna berkibar ke segala arah, bahkan menutupi sebagian wajahnya. Gianna menepis kibaran jilbab itu dengan jari-jarinya, agar tak menghalangi pandangannya.Dengan pandangan menerawang jauh ke laut lepas, Gianna berjalan menyusuri bibir pantai. Sesekali langkahnya menepi, menghindari kejaran ombak yang ingin mencium kakinya.Ah, andai Amisha bersamanya saat ini, tentu suasananya akan berbeda dan menjadi lebih ceria. Tidak akan semembosankan ini berjalan seorang diri. Gianna berandai-andai sambil mengamati sepasang kepiting, yang bercanda di tepi sebuah lubang kecil pada permukaan pasir setengah kering.“Bagaimanapun, berdua memang lebih baik daripada sendiri,” gumam Gianna pada diri sendiri. Ia tersenyum miris menatap keakraban dua makhluk kecil itu. “Nasib mereka lebih baik daripada aku.”Gianna berjongkok. Meletakkan sebelah lengannya pada kedua puncak lutut. Sebelah tangan lainnya terulur, ingin menyapa dua kepiting
“Rupanya kalian cari mati!” ancam Gianna.Kalimat ancaman Gianna sama sekali tak membuat empat lelaki itu merasa takut. Sebaliknya, mereka makin terkekeh nyaring. Menganggap omongan Gianna hanya lelucon anak kecil untuk menakut-nakuti bocah yang lebih lemah darinya.Tidak jauh dari tempat itu, seorang lelaki bersandar dan menumpukan siku pada kap mobil, menikmati deburan ombak dan birunya air laut yang terbentang luas. Ia membiarkan semilir angin membelai lembut wajah tampannya.Ketenangannya tiba-tiba terusik, mendengar kekehan tawa gerombolan pria, ditingkahi hardikan seorang wanita.“Gianna?” desisnya, menyebut nama Gianna, begitu mengenali suara si wanita. Buru-buru ia berlari, menghampiri gerombolan itu.“Berhenti!” hardiknya, saat dilihatnya seorang lelaki berusaha menyambar lengan Gianna.“Wow! Ada yang coba-coba mau jadi sok pahlawan nih!” ledek salah satu dari mereka, disambut tawa mengejek dari rekan-rekannya.“Yoshi? Kenapa dia bisa ada di sini?” bisik Gianna kaget, ketika i
Mobil yang dikendarai Yoshi melaju melintasi jalanan Jakarta dengan kecepatan sedang. Cuaca yang tadi cerah mendadak berubah dalam sekejap mata. Gerimis mulai meluruh, menimpa dedaunan. Mengalirkan titik-titik kristal yang jatuh menyentuh tanah. Menghantar kesegaran pada helaian rerumputan yang kehausan, ditimpa terik mentari di sepanjang siang.Jam di pergelangan tangan Yoshi menunjukkan pukul 16. 25. Mereka baru saja keluar dari sebuah masjid untuk menunaikan salat ashar.Berdiri di teras masjid, Gianna mengulurkan tangan, merasakan rintik hujan yang jatuh menimpa kulitnya. Rasanya sangat menyegarkan. Gianna sangat menyukai hujan, apalagi kalau sedikit lebih deras, bukan hanya taburan rinai halus seperti saat ini.“Mau pulang sekarang?” tanya Yoshi, berdiri di sisi Gianna dengan kedua tangan terselip di saku celana.Gianna menengadah, menatap angkasa. Awan kelabu masih bergelantungan di mana-mana. Sebagian berwarna hitam. Siap memuntahkan isinya, mengguyur Jakarta.‘Sepertinya hujann
“Ehem!” Amisha berdeham, melirik tajam pada Zain.Buru-buru Zain melepaskan rangkulannya dari pundak Yoshi dan kembali duduk di samping Amisha. Ia tak mau memprovokasi singa betina itu marah.“Kenapa kalian ke sini?” tanya Gianna, mengalihkan topik pembicaraan. Ia duduk di atas single sofa dekat Amisha.“Sebaiknya ganti dulu pakaianmu. Nanti masuk angin,” saran Amisha.Gianna bergeming.Amisha mencondongkan badan mendekati Gianna, berbisik pelan, “Kau tidak berniat untuk memamerkan lekuk tubuhmu, ‘kan?”“Aiiyaaa … aku tidak segila itu!”Bergegas Gianna bangkit dari tempat duduknya tatkala Amisha memberi perintah dengan gerakan dagu.“Ini rumahku. Kenapa justru aku yang seperti tamu?” gumam Gianna, melangkah masuk ke kamarnya. “Aish! Ini semua gara-gara si Patrick bodoh itu.”“Kau akan terus berdiri di situ?” tanya Zain pada Yoshi yang masih berdiri bengong, melepas kepergian Gianna dari ruangan itu.“Ah, tentu saja tidak.” Yoshi duduk di sisi Zain. “By the way, kenapa kalian ke sini hu
Selama beberapa waktu kamar tidur Gianna hening. Dua wanita cantik itu seakan bersemadi dalam pikiran masing-masing.“Jadi, aku salah ya?” tanya Amisha bodoh.“Aku tidak bilang kamu salah. Kamu aneh. Kamu itu ya … ibarat seseorang yang sudah menanti di halte bus selama berjam-jam, tapi ketika bus yang kamu tunggu datang, kamu malah melemparnya dengan batu. Apa itu tidak akan menimbulkan masalah?”Amisha diam tercenung, mendengar penuturan Gianna. Hatinya sedikit tersentak. Gianna ada benarnya. Ia terlalu berlebihan menyikapi kebohongan kecil Zain.“Zain juga sih, kenapa dia tidak jujur saja dari awal? Kalau sejak semula aku tahu dia itu Brother Za, aku tidak akan bersikap cuek padanya.”Amisha masih saja enggan untuk menyalahkan diri dan mengakui kesalahannya.“Dengar ya … aku sangat yakin Zain itu mencintaimu. Kalau tidak, tidak mungkin dia mengungkapkan perasaannya di hadapan khalayak ramai, disaksikan orang tuanya, tamu undangan, bahkan para wartawan.”Gianna meluruskan kaki, menyam
“Apanya yang lucu?” tanya Amisha, masih tak mengerti penyebab Gianna tertawa begitu nyaring.Yoshi yang tengah berbaring di atas sofa pun terperanjat dan menoleh ke arah pintu kamar, mendengar suara tawa Gianna. Saking kencangnya suara tawa lepas Gianna.“Kamu yang lucu!” Gianna menunjuk wajah Amisha, sambil sebelah tangannya menutup mulut.“Aku?” Amisha menunjuk diri sendiri.Ia benar-benar tak mengerti di mana letak kelucuan dirinya.“Iya, Misha .…”Gianna mencubit kecil kedua pipi Amisha. Geregetan.“Gia, sudah deh! Jangan bercanda! Aku lagi serius nih,” protes Amisha, mulai terlihat kesal atas ulah Gianna.“Aku juga serius, Misha. Jelas-jelas kamu sudah jatuh cinta sama Zain, tapi masih saja tak mau mengakuinya. Mau sampai kapan main tarik ulur begitu?”Gianna benar-benar gemas melihat kebodohan Amisha.Entah Amisha memang bodoh dan pura-pura tidak mengetahui perasaannya terhadap Zain, atau memang dia sungguh-sungguh belum menyadari perasaannya sendiri?Untuk dapat melihat jelas pa
Amisha masih tegak mematung. Dadanya kian berguncang hebat. Detak jantungnya bagai genderang perang. Sungguh! Kata-kata Zain membawa jiwanya melayang tinggi, meniti angkasa menuju nirwana. Ia tak percaya Zain melamarnya. Ya, lamaran romantis yang diimpikan semua wanita. Meskipun tertunda sekian lama, Amisha masih saja merasakan lututnya gemetar. Saking gugupnya ia mendengar lamaran Zain yang disaksikan puluhan pasang mata.Selang beberapa menit, perlahan tangan kiri Amisha terulur membelai rambut Zain. Pelangi seakan bermunculan di hatinya kala ia menganggukkan kepala, tersenyum manis kepada Zain. Rona pelangi juga memancar dari sepasang netra gelap Zain ketika menyaksikan anggukan kepala Amisha. Senyuman Zain merekah.Tepuk tangan pun membahana disertai senyum bahagia dari puluhan pasang mata yang menjadi saksi lamaran tertunda Zain untuk Amisha.Zain pun bangkit dari berlutut dan spontan memeluk erat tubuh Amisha. Sejenak ia lupa akan keberadaan anak-anak panti yang menyaksikan mere
CEKLEK!Zain menutup pintu ruang kerja Amisha dengan kaki. Tangannya langsung saja menyambar tubuh Amisha yang berada di depannya dan melingkar erat pada pinggang ramping Amisha.Amisha membuang napas kesal. Kedua tangannya jatuh lurus ke samping tubuhnya.“Ini kantor, Tuan Zain Adelino! Sekarang saatnya aku bekerja!” Amisha memberi peringatan keras.Zain hanya tersenyum kecil tanpa berusaha merenggangkan pagutan lengannya dari tubuh istrinya itu. Sebaliknya, ia malah membenamkan wajahnya pada ceruk leher Amisha yang masih berbalut jilbab.“Sebentar saja,” rengek Zain.Matanya tertutup rapat, konsentrasi menyesap aroma wangi yang menguar dari tubuh Amisha.Puncak hidungnya yang menjulang tinggi berdiri pongah, seakan ingin memamerkan pada dunia bahwa tak ada seorang pun yang melebihi ketampanannya, setelah berhasil menaklukkan Amisha Harist.“Jangan bilang kamu ingin memangsaku saat ini!” goda Amisha, menoleh pada Zain dan langsung disambut dengan kecupan ringan pada pipinya.“Oh My G
Pandangan Amisha belum beralih dari Sonny, menanti penjelasan yang tak sepenuhnya ia pahami. Diletakkannya sendok dengan sedikit kasar. Menimbulkan bunyi berdentang. Untung saja meja mereka agak terpisah dari pengunjung lain, sehingga suara dentingan sendok beradu dengan piring tak sampai terdengar ke meja tetangga.“Aku tidak suka berteka-teki,” sergah Amisha dingin.Sonny tersenyum tipis dengan canggung. Ia sangat mengenal ekspresi yang ditunjukkan Amisha. Wanita itu sedang memasang kuda-kuda untuk setiap serangan kata yang akan dilayangkan oleh lawan bicaranya.“Ya … bisa jadi suatu hari nanti yang lalu itu akan menjadi awal dari masa depan,” kata Sonny, berandai-andai sembari tetap memendam angan.Amisha menantang tatapan sendu Sonny. “Tidak usah terlalu tinggi menggantung harap akan masa depan. Nikmati saja saat ini! Karena belum tentu Tuhan masih memberimu kesempatan untuk merasakan hangatnya cahaya mentari esok pagi.”Sonny terdiam. Perkataan Amisha skak mat untuknya. Ia hanya
“Ah, sudahlah! Mungkin aku memang harus ke sana. Setidaknya, pertemuan ini akan memperjelas semuanya.” Amisha akhirnya menyambar tas di atas meja, lalu menghilang dari ruangannya. Tidak butuh waktu lama bagi Amisha untuk tiba di kafe O, tempat janji temunya dengan seseorang yang menghubunginya satu jam yang lalu. Begitu Amisha berdiri di pintu masuk, seorang lelaki melambaikan tangan ke arahnya. Amisha pun berjalan ke meja di mana lelaki itu duduk. Kalau saja siang itu sinar mentari tidak begitu beringas, Amisha akan memilih pojok paling tepi di bagian luar kafe itu. Lebih sejuk. Akan tetapi, menikmati keindahan kubah dengan kaca warna-warni pada langit-langit kafe tersebut tentu tak kalah menyenangkan bila dibandingkan dengan nuansa alam di bagian luarnya. “Silakan duduk!” kata lelaki itu, menarik kursi untuk Amisha. “Terima kasih,” sahut Amisha. Komunikasi di antara mereka terdengar seperti percakapan sepasang robot yang sedang dalam masa uji coba. Amisha mematung kaku, mema
Amisha terjaga dari tidurnya ketika mendengar suara dengungan juicer yang sedang bekerja mengolah mangga. Entah berapa tempat yang didatangi Zain sampai akhirnya dia berhasil mendapat dua buah mangga sebagai stok terakhir dari sebuah kedai buah di pinggir jalan yang buka dua puluh empat jam. Ukurannya pun tidak terlalu besar. Layaknya buah mangga yang didatangkan dari kampung. Namun, Zain tetap bersyukur ia dapat memenuhi keinginan istri tercinta yang tengah mengidam itu. Melihat senyum bahagia menghiasi wajah Amisha adalah kebahagiaan terbesar bagi Zain. Amisha beranjak turun dari sofa bed dan melangkah gontai menuju ruang makan. Sesekali ia masih menguap dan ditutupnya dengan telapak tangan. Melihat Amisha berjalan seperti orang mabuk, Zain menekan tombol off, bergegas menyongsong Amisha, lalu membawanya duduk pada sebuah kursi. Lantaran masih mengantuk, Amisha langsung menempelkan sebelah pipinya pada permukaan meja. Matanya menatap sayu pada Zain yang melanjutkan pekerjaannya.
“Waktu Amisha masih kecil, mama kalian bahkan heboh, sampai lapor polisi karena mengira Amisha kabur setelah dimarahi. Eh, ternyata Amisha cuma ngumpet di kamar pengungsiannya.” Harist terkekeh setelah menceritakan kejadian itu, tak peduli pada sorot mata membunuh yang dilayangkan sang istri sebelumnya.“Honey?!” protes Claudya, dengan muka merah. Entah benar-benar marah atau justru tersipu malu.Gianna dan Zain tersenyum geli melihat raut muka Claudya yang bak pengantin baru digoda suaminya.Meski usia mereka sudah di ambang senja, hubungan Harist dan Claudya selalu mesra. Siapa pun yang melihat mereka akan merasa hangat dan damai. Ketularan hangatnya cinta kasih mereka yang tulus terhadap satu sama lain.Enggan rasanya berjauhan dari mereka bila sudah membaur dengan dua sejoli itu. Tak jarang kemesraan mereka menimbulkan rasa iri bagi sebagian anak muda, yang tanpa sengaja menyaksikan bagaimana mereka berinteraksi di tempat umum kala mereka sedang berada di taman, di restoran, atau
Setelah pesta kecil penyambutan orang tua angkatnya selesai dan tamu mereka pulang, Gianna tetap tinggal di rumah Amisha karena diminta Claudya untuk menginap. Celakanya, Gianna memang tak pernah bisa menolak permintaan orang tua angkatnya itu, meskipun sebenarnya ia sangat ingin pulang ke apartemennya sendiri.“Waaah, gila! Lama menghilang, kukira dia melanjutkan kuliah di luar negeri. Eh, ternyata malah ditangkap polisi! Ck!” seru Gianna, mendecak kaget sambil terus menyaksikan berita yang sedang ditontonnya di ruang tengah rumah Amisha.Ia ingat, terakhir kali ia melihat sosok orang yang diberitakan itu adalah saat menghadiri pesta perayaan ulang tahun Adelino Daneswara. Sempat beredar kabar lelaki itu akan melanjutkan study-nya di luar negeri.Haris yang sedang asyik membaca majalah olahraga hanya melirik sekilas mendengar kehebohan Gianna. Bagi Harist, kumpulan artikel dalam majalah itu jauh lebih menarik daripada berita yang ditonton Gianna. Dalam hitungan detik, ia pun kembali
Merahnya darah yang mengaliri wajah cantik Amisha tak lagi membayang jelas. Berubah pias diterpa kekagetan. Kaget menyaksikan berjuta kenangan indah yang terekam dalam setiap helai foto yang baru saja ditemukannya. Tidak hanya foto-fotonya semasa kuliah bersama Gianna dan Sonny, tetapi juga foto-foto menjelang pernikahannya. Bahkan, beberapa foto itu memperlihatkan tubuhnya yang sudah terbalut gaun pengantin.Diiringi detak jantung yang bergemuruh, otak Amisha mereka ulang kejadian empat tahun yang lalu. Saat itu hijaunya hamparan sajadah panjang yang terbentang menutupi lantai masjid tak lagi melukiskan ketenangan dan kedamaian hati. Warna hijau itu telah beralih rupa menjadi kelabu. Menorehkan goresan pilu.Aura keemasan yang semula memancar cerah dari indahnya janur kuning yang jatuh menjuntai dan berayun-ayun dibelai embusan angin perlahan tampak memudar, lalu menghilang tanpa jejak.Kalau saja Amisha tahu bahwa putihnya gaun pengantin yang dikenakannya saat itu tak lagi melambang
Dulu, ketika Amisha masih menyandang status sebagai tunangan Sonny, kehidupannya penuh keceriaan. Hampir setiap hari ia senyum-senyum sendiri membaca serangkaian pesan mesra dari Sonny. Saat itu ia benar-benar bahagia dan berharap kebahagiaan itu tak akan pernah berakhir.Kala itu awal tahun 2016. Pelaksanaan akad nikah yang direncanakan keluarga mereka tinggal menghitung hari. Tak ada yang menyangka jika tepat pada hari yang ditunggu-tunggu itu semua mimpi hidup bahagia yang dimiliki Amisha lenyap tak berbekas.Saat itu Amisha hanya bisa bergeming dengan ekspresi berubah kaku. Senyuman bahagia yang terpancar dari bibirnya beberapa detik sebelumnya seakan direnggut paksa oleh berita buruk tentang ketidakhadiran Sonny di Masjid Istiqlal hari itu.Amisha merasakan dunia tempatnya berpijak amblas seketika. Menariknya masuk ke dalam lapisan kerak bumi terdalam. Membenamkan jiwa raganya dalam kekalutan pikiran yang mengantarnya pada titik nadir sikap pesimis tentang cinta.Cinta Sonny yang