Kriiing!
Jam beker di atas nakas menjerit kencang. Membuat Amisha langsung terlonjak duduk dari tidurnya yang tidak begitu lelap. Sesaat Amisha menggelengkan kepala, mengumpulkan serpihan-serpihan jiwanya yang berserakan entah ke mana, mengembara di dunia mimpi.
Amisha melirik jam beker di sampingnya, hampir masuk waktu subuh. Dengan separuh jiwa yang belum sepenuhnya terjaga, Amisha beranjak turun dari pembaringan menuju kamar mandi. Cuci muka dan gosok gigi, lalu berpindah ke musala kecil, tidak jauh dari kamar utama. Berwudu dan mendirikan salat subuh berjemaah dengan suaminya setelah melaksanakan dua rakaat salat kabla subuh.
“Mau ke mana pagi-pagi begini?” tanya Zain yang baru saja masuk ke kamar saat dilihatnya Amisha melangkah terburu-buru hendak keluar dari kamar setelah selesai mandi.
“Tidak. Aku harus tetap bekerja. Aku ada janji temu dengan klien penting.”Amisha menolak saran Zain. Tangannya mulai bergerak, memilih baju yang akan dipakainya.“Kamu keberatan untuk meninggalkan ruangan ini? Aku akan berganti pakaian,” pinta Amisha.“Aku juga ingin ganti baju. Lakukan saja kegiatanmu! Aku tidak akan mengintip,” kata Zain, menolak permintaan Amisha.Amisha mendecak kesal, tetapi ia tidak bisa memaksa Zain.‘Sudahlah! Anggap saja dia patung batu,’ ujar Amisha pada diri sendiri. Ia bisa terlambat kalau terus menunda.Perlahan Amisha melepas jilbab, mengenakan setelan berwarna pu
“I hate Monday!” Amisha mendesis kesal.Slogan itu rasanya tidak pernah pudar seiring berjalannya waktu. Tetap saja masih relevan, bahkan semakin relevan dengan perkembangan zaman.Amisha sangat benci terjebak macet di pagi hari, terlebih lagi di hari Senin. Hari ketika pekerjaannya lebih menggunung dari hari-hari lainnya.Entah sudah berapa kali ia melirik jam digital di mobilnya. Waktu jam masuk kerja semakin mepet. Sementara ia masih terkukung di perempatan jalan. Menahan gerah karena amarah, padahal di luar sana langit tak begitu cerah. Awan kelabu menggantung di mana-mana, seakan siap mengguyur Jakarta dalam hitungan detik atau bahkan menenggelamkannya.“Ah! Kalau saja aku tidak b
“Otakku pasti bermasalah gara-gara kurang tidur,” imbuh Amisha, mencari alasan di balik pikiran kurang warasnya.“Ah, sudahlah! Daripada memikirkan hal yang tidak mungkin, lebih baik mengisi perut dulu sebelum bertemu klien.”Amisha pun membenarkan posisi duduknya agar bisa lebih dekat ke meja.Terbius oleh nikmatnya cita rasa masakan Zain, membuat Amisha lupa akan pemikiran konyol yang baru saja melintas di kepalanya. Sayang, ia juga lupa bahwa bagi Tuhan, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Sangat mudah bagi-Nya untuk menetapkan takdir dan jalan hidup manusia. Tak ada yang bisa mengubah takdir Allah kecuali doa.Dalam keheningan malam, Zain bukan menjadikan doa sebagai senjata untuk menolak takdir yang kini sedang dijalaninya bersama Amisha. Lelaki itu jus
Sudah sering kali Amisha menghadapi klien seperti Sonny. Ajakan makan siang hanya sebuah modus untuk merencanakan hal yang bersifat pribadi. Sebisa mungkin Amisha selalu berusaha untuk menghindari makan siang berdua dengan kliennya. Ia tidak ingin terlibat obrolan empat mata. Ia hanya mau memenuhi ajakan makan siang kalau Gianna ikut serta.“Maaf, Tuan Sonny. Aku masih harus menemui klien lain. Tapi jika memang mau Anda begitu, aku akan mengirim sekretarisku untuk menemui Anda nanti siang.” Amisha menolak mentah-mentah ajakan Sonny.Sekelebat kekecewaan membias di wajah Sonny. Ditutupinya dengan senyuman getir. Dengan enggan, terpaksa ia mengalah. Ia tidak ingin Amisha antipati terhadap dirinya. Amisha tidak mengenalinya saja sudah merupakan suatu keberuntungan bagi dirinya. Jangan sampai ia merusak keberuntungan itu dengan sifat serakah.
“Anda baik-baik saja, Nona?” tanya polisi muda itu, setelah Amisha menurunkan kaca.“Ya. Terima kasih,” sahut Amisha, melirik sekilas wajah lelah polisi muda itu. Cukup tampan untuk ukuran seorang polisi. Usianya mungkin di akhir kepala dua.“Lain kali harap lebih hati-hati, Nona!” ujar lelaki itu, sedikit terkesima melihat wajah dan warna mata Amisha.Amisha mengangguk.“Permisi!” pamit Amisha seraya mengoper gigi persneling.Lelaki itu pun bergerak menjauh ketika perlahan Amisha mulai menginjak pedal gas, lalu melaju meninggalkan kabut putih tipis sebagai salam perpisahan.“Ah, tubuhku rasanya remuk redam. Aku benar-benar lelah.”Ami
Hosh! Hosh!Amisha terus berlari di jalan berbatu. Tak ia pedulikan telapak kakinya yang makin perih.Wajah-wajah beringas itu laksana sebuah cemeti yang memaksa kaki lemah Amisha untuk tak pernah berhenti berlari.“Akh!”Pekik Amisha kembali terdengar ketika lagi-lagi ia jatuh terjerembap lantaran tersandung batu.“Hahaha .…”Suara tawa bergema menakutkan di telinga Amisha, seolah bentangan alam yang sangat luas itu hanyalah sebuah lorong sempit, yang memantulkan kembali tawa kemenangan empat pria asing itu. Puas, karena merasa buruan mereka tak bisa lagi melarikan diri.Amisha memutar tubuhnya menghadap empat lelaki itu. Ia berusaha
‘Tidak! Aku pasti sedang berhalusinasi.’ Amisha membatin lirih.Ia mengucek kedua matanya dengan punggung tangan. Berpikir bahwa terangnya cahaya matahari mungkin telah memengaruhi penglihatannya. Namun, darahnya berdesir pelan ketika mendapati pandangan matanya tidak berubah.Aland berdiri di depannya dengan topeng berukuran lebih kecil. Sebagian besar wajahnya yang dulu tersembunyi di balik topeng emas, kini sebaliknya. Topeng yang dipakainya kini tak lebih lebar dari sepasang kacamata biasa. Memperlihatkan sebagian besar wajahnya.Amisha hanya bisa terperangah, tak percaya melihat kemiripan yang sangat besar antara Aland dan Zain. Melihat Aland saat ini, Amisha seolah memandang Zain dengan kacamata hitamnya. Sepasang netra gela
Menahan emosi sungguh membuat jiwa terkungkung lelah. Menikmati hamparan nan menghijau atau berendam diri dalam air hangat mungkin dapat menjadi obat penenang. Sayangnya, Amisha tak dapat melakukan salah satu dari dua hal itu saat ini.Ia menjatuhkan tasnya ke atas meja begitu saja saat melewati sofa, ketika hendak menuju toilet. Ia butuh mencuci muka untuk menyejukkan dadanya yang terasa panas, karena terus menahan hati menghadapi klien yang baru saja ditemuinya—seorang wanita paruh baya dengan kecepatan bicara mengalahkan seorang rapper dan kejelian analisis melampaui seorang detektif.Bukan dua keistimewaan itu yang membuat dada Amisha seakan ingin meledak, melainkan arogansi dan sikap gila hormat wanita tersebut, yang melebihi seorang ratu. Sudah sering Amisha menemui klien yang menyebalkan, tetapi wanita paruh baya itu sungguh tak lagi pantas disebut sekad
Amisha masih tegak mematung. Dadanya kian berguncang hebat. Detak jantungnya bagai genderang perang. Sungguh! Kata-kata Zain membawa jiwanya melayang tinggi, meniti angkasa menuju nirwana. Ia tak percaya Zain melamarnya. Ya, lamaran romantis yang diimpikan semua wanita. Meskipun tertunda sekian lama, Amisha masih saja merasakan lututnya gemetar. Saking gugupnya ia mendengar lamaran Zain yang disaksikan puluhan pasang mata.Selang beberapa menit, perlahan tangan kiri Amisha terulur membelai rambut Zain. Pelangi seakan bermunculan di hatinya kala ia menganggukkan kepala, tersenyum manis kepada Zain. Rona pelangi juga memancar dari sepasang netra gelap Zain ketika menyaksikan anggukan kepala Amisha. Senyuman Zain merekah.Tepuk tangan pun membahana disertai senyum bahagia dari puluhan pasang mata yang menjadi saksi lamaran tertunda Zain untuk Amisha.Zain pun bangkit dari berlutut dan spontan memeluk erat tubuh Amisha. Sejenak ia lupa akan keberadaan anak-anak panti yang menyaksikan mere
CEKLEK!Zain menutup pintu ruang kerja Amisha dengan kaki. Tangannya langsung saja menyambar tubuh Amisha yang berada di depannya dan melingkar erat pada pinggang ramping Amisha.Amisha membuang napas kesal. Kedua tangannya jatuh lurus ke samping tubuhnya.“Ini kantor, Tuan Zain Adelino! Sekarang saatnya aku bekerja!” Amisha memberi peringatan keras.Zain hanya tersenyum kecil tanpa berusaha merenggangkan pagutan lengannya dari tubuh istrinya itu. Sebaliknya, ia malah membenamkan wajahnya pada ceruk leher Amisha yang masih berbalut jilbab.“Sebentar saja,” rengek Zain.Matanya tertutup rapat, konsentrasi menyesap aroma wangi yang menguar dari tubuh Amisha.Puncak hidungnya yang menjulang tinggi berdiri pongah, seakan ingin memamerkan pada dunia bahwa tak ada seorang pun yang melebihi ketampanannya, setelah berhasil menaklukkan Amisha Harist.“Jangan bilang kamu ingin memangsaku saat ini!” goda Amisha, menoleh pada Zain dan langsung disambut dengan kecupan ringan pada pipinya.“Oh My G
Pandangan Amisha belum beralih dari Sonny, menanti penjelasan yang tak sepenuhnya ia pahami. Diletakkannya sendok dengan sedikit kasar. Menimbulkan bunyi berdentang. Untung saja meja mereka agak terpisah dari pengunjung lain, sehingga suara dentingan sendok beradu dengan piring tak sampai terdengar ke meja tetangga.“Aku tidak suka berteka-teki,” sergah Amisha dingin.Sonny tersenyum tipis dengan canggung. Ia sangat mengenal ekspresi yang ditunjukkan Amisha. Wanita itu sedang memasang kuda-kuda untuk setiap serangan kata yang akan dilayangkan oleh lawan bicaranya.“Ya … bisa jadi suatu hari nanti yang lalu itu akan menjadi awal dari masa depan,” kata Sonny, berandai-andai sembari tetap memendam angan.Amisha menantang tatapan sendu Sonny. “Tidak usah terlalu tinggi menggantung harap akan masa depan. Nikmati saja saat ini! Karena belum tentu Tuhan masih memberimu kesempatan untuk merasakan hangatnya cahaya mentari esok pagi.”Sonny terdiam. Perkataan Amisha skak mat untuknya. Ia hanya
“Ah, sudahlah! Mungkin aku memang harus ke sana. Setidaknya, pertemuan ini akan memperjelas semuanya.” Amisha akhirnya menyambar tas di atas meja, lalu menghilang dari ruangannya. Tidak butuh waktu lama bagi Amisha untuk tiba di kafe O, tempat janji temunya dengan seseorang yang menghubunginya satu jam yang lalu. Begitu Amisha berdiri di pintu masuk, seorang lelaki melambaikan tangan ke arahnya. Amisha pun berjalan ke meja di mana lelaki itu duduk. Kalau saja siang itu sinar mentari tidak begitu beringas, Amisha akan memilih pojok paling tepi di bagian luar kafe itu. Lebih sejuk. Akan tetapi, menikmati keindahan kubah dengan kaca warna-warni pada langit-langit kafe tersebut tentu tak kalah menyenangkan bila dibandingkan dengan nuansa alam di bagian luarnya. “Silakan duduk!” kata lelaki itu, menarik kursi untuk Amisha. “Terima kasih,” sahut Amisha. Komunikasi di antara mereka terdengar seperti percakapan sepasang robot yang sedang dalam masa uji coba. Amisha mematung kaku, mema
Amisha terjaga dari tidurnya ketika mendengar suara dengungan juicer yang sedang bekerja mengolah mangga. Entah berapa tempat yang didatangi Zain sampai akhirnya dia berhasil mendapat dua buah mangga sebagai stok terakhir dari sebuah kedai buah di pinggir jalan yang buka dua puluh empat jam. Ukurannya pun tidak terlalu besar. Layaknya buah mangga yang didatangkan dari kampung. Namun, Zain tetap bersyukur ia dapat memenuhi keinginan istri tercinta yang tengah mengidam itu. Melihat senyum bahagia menghiasi wajah Amisha adalah kebahagiaan terbesar bagi Zain. Amisha beranjak turun dari sofa bed dan melangkah gontai menuju ruang makan. Sesekali ia masih menguap dan ditutupnya dengan telapak tangan. Melihat Amisha berjalan seperti orang mabuk, Zain menekan tombol off, bergegas menyongsong Amisha, lalu membawanya duduk pada sebuah kursi. Lantaran masih mengantuk, Amisha langsung menempelkan sebelah pipinya pada permukaan meja. Matanya menatap sayu pada Zain yang melanjutkan pekerjaannya.
“Waktu Amisha masih kecil, mama kalian bahkan heboh, sampai lapor polisi karena mengira Amisha kabur setelah dimarahi. Eh, ternyata Amisha cuma ngumpet di kamar pengungsiannya.” Harist terkekeh setelah menceritakan kejadian itu, tak peduli pada sorot mata membunuh yang dilayangkan sang istri sebelumnya.“Honey?!” protes Claudya, dengan muka merah. Entah benar-benar marah atau justru tersipu malu.Gianna dan Zain tersenyum geli melihat raut muka Claudya yang bak pengantin baru digoda suaminya.Meski usia mereka sudah di ambang senja, hubungan Harist dan Claudya selalu mesra. Siapa pun yang melihat mereka akan merasa hangat dan damai. Ketularan hangatnya cinta kasih mereka yang tulus terhadap satu sama lain.Enggan rasanya berjauhan dari mereka bila sudah membaur dengan dua sejoli itu. Tak jarang kemesraan mereka menimbulkan rasa iri bagi sebagian anak muda, yang tanpa sengaja menyaksikan bagaimana mereka berinteraksi di tempat umum kala mereka sedang berada di taman, di restoran, atau
Setelah pesta kecil penyambutan orang tua angkatnya selesai dan tamu mereka pulang, Gianna tetap tinggal di rumah Amisha karena diminta Claudya untuk menginap. Celakanya, Gianna memang tak pernah bisa menolak permintaan orang tua angkatnya itu, meskipun sebenarnya ia sangat ingin pulang ke apartemennya sendiri.“Waaah, gila! Lama menghilang, kukira dia melanjutkan kuliah di luar negeri. Eh, ternyata malah ditangkap polisi! Ck!” seru Gianna, mendecak kaget sambil terus menyaksikan berita yang sedang ditontonnya di ruang tengah rumah Amisha.Ia ingat, terakhir kali ia melihat sosok orang yang diberitakan itu adalah saat menghadiri pesta perayaan ulang tahun Adelino Daneswara. Sempat beredar kabar lelaki itu akan melanjutkan study-nya di luar negeri.Haris yang sedang asyik membaca majalah olahraga hanya melirik sekilas mendengar kehebohan Gianna. Bagi Harist, kumpulan artikel dalam majalah itu jauh lebih menarik daripada berita yang ditonton Gianna. Dalam hitungan detik, ia pun kembali
Merahnya darah yang mengaliri wajah cantik Amisha tak lagi membayang jelas. Berubah pias diterpa kekagetan. Kaget menyaksikan berjuta kenangan indah yang terekam dalam setiap helai foto yang baru saja ditemukannya. Tidak hanya foto-fotonya semasa kuliah bersama Gianna dan Sonny, tetapi juga foto-foto menjelang pernikahannya. Bahkan, beberapa foto itu memperlihatkan tubuhnya yang sudah terbalut gaun pengantin.Diiringi detak jantung yang bergemuruh, otak Amisha mereka ulang kejadian empat tahun yang lalu. Saat itu hijaunya hamparan sajadah panjang yang terbentang menutupi lantai masjid tak lagi melukiskan ketenangan dan kedamaian hati. Warna hijau itu telah beralih rupa menjadi kelabu. Menorehkan goresan pilu.Aura keemasan yang semula memancar cerah dari indahnya janur kuning yang jatuh menjuntai dan berayun-ayun dibelai embusan angin perlahan tampak memudar, lalu menghilang tanpa jejak.Kalau saja Amisha tahu bahwa putihnya gaun pengantin yang dikenakannya saat itu tak lagi melambang
Dulu, ketika Amisha masih menyandang status sebagai tunangan Sonny, kehidupannya penuh keceriaan. Hampir setiap hari ia senyum-senyum sendiri membaca serangkaian pesan mesra dari Sonny. Saat itu ia benar-benar bahagia dan berharap kebahagiaan itu tak akan pernah berakhir.Kala itu awal tahun 2016. Pelaksanaan akad nikah yang direncanakan keluarga mereka tinggal menghitung hari. Tak ada yang menyangka jika tepat pada hari yang ditunggu-tunggu itu semua mimpi hidup bahagia yang dimiliki Amisha lenyap tak berbekas.Saat itu Amisha hanya bisa bergeming dengan ekspresi berubah kaku. Senyuman bahagia yang terpancar dari bibirnya beberapa detik sebelumnya seakan direnggut paksa oleh berita buruk tentang ketidakhadiran Sonny di Masjid Istiqlal hari itu.Amisha merasakan dunia tempatnya berpijak amblas seketika. Menariknya masuk ke dalam lapisan kerak bumi terdalam. Membenamkan jiwa raganya dalam kekalutan pikiran yang mengantarnya pada titik nadir sikap pesimis tentang cinta.Cinta Sonny yang