Seperti orang baru saja menikmati bulan madu yang benar-benar indah, aku mendorong kursi roda Minaki dengan senyum mengembang. Begitu pula dengan Minaki yang tersenyum malu-malu sambil mencium aroma wangi mawar putih pemberianku. "Aku mendapatkannya dari vas itu." Bisikku dengan menunjuk vas yang kini kosong tanpa bunga. Minaki terkekeh geli. "Memalukan sekali Jay." "Darurat." Aku kembali mendorong kursi roda Minaki menuju mobilnya yang telah terpakir di halaman lobby hotel. Dengan sigap aku menggendong tubuhnya yang masih terbalut gaun pernikahan berwarna putih gading. Sedang aku memakai pakaian yang biasa kugunakan untuk manggung. "Semoga menjadi keluarga yang bahagia. Terimakasih banyak telah menginap di hotel kami." Ucap seorang petugas hotel. Minaki tersenyum tipis sambil melingkarkan tangannya di leherku. "Terimakasih, doakan kami segera memiliki momongan." Ucapku tidak tahu malu. Lalu kami masuk ke dalam mobil dan sopir melipat kursi roda Minaki. Minaki masih ter
Bagi lelaki pemburu harta sepertiku, apapun yang bisa bernilai uang tidak akan lama-lama dibiarkan menganggur. Tawaran yang mendatangkan ratusan bahkan ribuan Yen tidak akan kulewatkan karena sejatinya kesempatan itu tidak selalu datang dua kali bila bukan karena faktor keberuntungan yang teramat. Tawaran Nyonya Tatsuo yang disaksikan Tuan Tatsuo adalah bukti bahwa kesempatan emas ini sedang menghinggapi takdirku. Beliau menawarkan nilai yang tidak main-main hanya agar aku bersedia selalu ada untuk Minaki. Keluarga kaya raya seperti mereka, uang bukanlah hal yang sulit didapatkan. Apalagi Minaki tidak bisa mereka awasi sepenuhnya karena sibuk dengan bisnis dan pekerjaan. Beban yang seharusnya bertumpu di pundak mereka berdua, dilimpahkan padaku dengan dalih aku adalah terapis kepercayaan Minaki. Padahal peranku sudah mirip lelaki pelayan pribadi Minaki. Tidak hanya mingguan, jika mereka menyuruhku untuk keluar dari pabrik, itu artinya aku bertanggung jawab penuh pada Minaki setiap
Dengan hati yang sudah mantap, dan melalui serangkaian pemikiran yang tepat dan cepat, karena aku juga dituntut harus segera memenuhi tanggung jawab, akhirnya aku pergi ke kantor PJTKI yang menaungiku selama empat tahun ini. Ditemani Matsushima di pagi yang cerah ini karena Jepang sedang musim semi, aku menyerahkan surat pengunduran diri. Pihak PJTKI sebenarnya enggan melepasku karena itu mengurangi jumlah keuntungan yang didapat. Namun setelah mengatakan serangkaian alasan yang membuat mereka percaya bahwa aku ingin fokus pada profesi baruku sebagai DJ, akhirnya mereka mengijinkan. Malah akan pergi ke Yokoha Club untuk menonton performance-ku. "Terima kasih Shima sudah menemaniku." Kami tengah menikmati Soba Abura, yaitu sajian ramen dengan tauge dan kol yang renyah, mie lebih keras, sup yang lebih kental tanpa bawang putih. Aku mentraktirnya sebagai ucapan terimakasih telah menemaniku. "Semoga itu menjadi pilihan terbaikmu Jay." Ucapnya dengan menikmati Soba Abura."Aku sudah m
Pengkhianatan adalah perselingkuhan yang membuatku sangat marah. Tidak ada toleransi di dalamnya jika itu dilakukan oleh pasanganku. Padahal aku sedang berusaha dengan bekerja segiat dan sekeras mungkin.Emosi yang diciptakan Harumi karena berani berjalan berdua dengan bule sialan itu semakin meledak ketika melihat tangan Harumi diraih bule itu. Aku seperti singa dewasa berontak dengan kalung rantai di leher andai Matsushima tidak menenangkanku.Ini tindakan yang menunjukkan bahwa aku dikhianati. Bila Harumi mencintaiku dia tidak akan pergi bersama bule itu tanpa memberitahuku lebih dulu. "Jayka, kamu salah paham. Aku bisa jelaskan." Ucap Harumi ketika tatapan marahku menghunus mata biru bule sialan itu. "Kamu melakukan kesalahan yang membuatku marah sayang." Desisku tajam.Harumi menggeleng takut. "Tidak Jay. Kamu salah." "Lalu yang benar itu bagaimana sayang?" Tanyaku dengan mencengkeram lengannya. Harumi menoleh ke arah Nick dan aku bergantian. Dia seakan bimbang memilih aku at
Dengan berat hati yang benar-benar berat, dan hati yang jengkel, akhirnya aku menuruti keinginan Harumi untuk menemui Nick. Bagaimanapun mereka telah membuat janji bertemu membahas kelanjutan pekerjaan. Namun aku tidak menyukai itu. Nick membutuhkan Harumi untuk membantunya mengenal kota Miyako selama dua bulan ini. Sekaligus membantu Nick mengolah data dalam bahasa Jepang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Kebetulan Harumi memiliki kemampuan berbicara bahasa Inggris yang aktif. Dan itu menguntungkan baginya karena Nick dan tim akan mengupahi jasa Harumi dengan harga yang pantas.Baiklah, jika itu sekedar masalah pekerjaan dan ia bisa bekerja secara profesional maka aku akan mengijinkan. Aku bukan suaminya tapi memiliki hak mengatur hidupnya. Bagaimanapun aku tidak suka jika Nick terlalu dekat dengan Harumi. Dengan kembali berjalan ke dalam Miyako City Mall sambil menggandeng tangan Harumi, kami berdua menghampiri bule sialan itu. Sialnya, aku ternyata lebih pendek dari
Bagaimana aku tidak menegang saat Harumi menyebut nama Minaki dan mempertanyakan kegunaan satu ponselku? Aku membeli satu ponsel lagi di awal menjadi surrogate sexual partner Minaki untuk membedakan mana urusan pekerjaan, mana urusan pribadi. Dan aku membelinya tanpa sepengetahuan Harumi. Tentu saja tanpa sepengetahuannya. Jika dia tahu maka itu sama dengan bumi mengalami gempa dahsyat berskala 9 Richter. Suatu keadaan alam yang biasa mengguncang negara Jepang hingga membuat penduduknya kewalahan. Dan sekarang, aku kewalahan pula karena Harumi mencium gelagat busukku yang menyembunyikan hal ini darinya sejak lama. Dari musim awal musim dingin hingga musim semi. "Mengapa ponselmu ada dua Jay? Dan siapa Minaki itu?" Dia bertanya kembali dengan raut ingin tahu. Sedang aku masih mengucek mata dan mengusap wajah yang sebenarnya masih cukup mengantuk. Cuma pertanyaan Harumi membuatku harus membuka mata lebar-lebar. Aku masih telanjang, hanya tertutup selimut ranjang kamar hotel. S
Aku bergegas menuju rumah Minaki tepat ketika matahari mulai tenggelam. Setelah mengantar Harumi menuju asramanya. Dia masih marah walau sudah kujelaskan berkali-kali jika aku membeli ponsel baru karena ada kaitannya dengan pekerjaan. Firasat perempuan memang tidak pernah salah dan kini aku bingung dibuatnya. Aku tidak siap jika harus kehilangan Harumi tapi aku sudah terikat kesepakatan dengan keluarga Minaki dan melepas pekerjaan utamaku di pabrik. Jika aku tidak mengutamakan Minaki dan keluarganya menghentikan kontrak atas diriku sebagai surrogate sexual partner-nya, lantas dengan uang apa aku bertahan hidup di Jepang? Gaji menjadi DJ seminggu tiga kali tidak bisa menutup kebutuhan tersierku. Juga tidak ada jatah untuk kukirim ke keluarga yang berada di Indonesia. "Argh! Salah perhitungan! Salah! Salah! Salah!" Geramku di dalam bis. Beberapa orang menatapku heran lalu aku sedikit menunduk sambil berkata maaf. Kini rencanaku benar-benar kacau dan kepalaku sangat pening. Tubu
Tentu ada alasan besar dibalik setiap ucapan dan perlakuan baikku pada Minaki. Aku bekerja padanya tapi juga menikmati fasilitas yang diberikan untuk kepentingan pribadiku.Siapapun orangnya, tidak akan pernah membuang kesempatan emas sebesar ini untuk menyenangkan kekasih sendiri di sebuah apartemen. "Mengapa kalau malam aku harus pulang ke rumah Jay? Bukankah kamu akan mengajariku hidup seperti seorang istri sebelum nantinya aku akan menikah dengan lelaki impianku?"Aku berpikir keras dengan wajah tetap memasang senyum terbaik lalu memeluknya dari belakang yang tengah duduk di kursi roda. "Jangan lupa kalau kita sedang berlatih menjadi suami istri khayalan Minaki. Kalau aku tidak memulangkan putri cantik kerajaan Siraga, mungkin Tuan Tatsuo akan menyuruh orang untuk memasukkanku ke dalam penjara." Ucapku pelan tapi penuh penekanan. Minaki tampak kecewa mendengar penjelasanku. Hatinya yang mudah tersentuh dan rapuh, membuatnya mudah tersakiti. Jadi, penting bagiku atau para pria y
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan