enjoy reading ...
POV MINAKI "Polio yang diderita Nona Minaki menyebabkan tulang punggungnya tertekan karena dia terus duduk di kursi roda. Ditambah aktivitas fisik yang berlebihan. Sehingga menimbulkan nyeri seperti ini." Aku menatap dokter spesialis tulang dengan sorot hancur. "Ya Tuhan. Lalu, bagaimana menyembuhkannya, Dokter?" tanya Manajer Jayka. "Istirahat yang cukup dan kurangi aktivitas fisik yang berlebihan. Hal seperti ini lumrah terjadi pada penderita polio. Tapi jangan berkecil hati, Nona Minaki. Karena tidak ada manusia sempurna di dunia ini dan tidak ada kesedihan abadi. Semua itu berputar." "Anda cukup banyak-banyak bersyukur dan melakukan hal positif yang bisa membangkitkan semangat anda. Jika anda mau, saya bisa merekomendasikan anda masuk dalam jejaring penyintas polio yang ada di Tokyo. Mereka semua sangat bersemangat dan saya juga ikut andil dalam kegiatan sosial mereka." Dokter spesialis tulang itu menjelaskan panjang lebar tentang polio dan komunitas para penyintas. Jujur sa
POV MINAKI "Kamu siap, Minaki?" tanya Konosu. Aku menganggukkan kepala tegas walau hatiku masih sedikit terselip keraguan mengajukan diri sebagai terapis surrogate sexual partner. Mau bagaimana lagi. Aku membutuhkan uang lebih untuk kembali menjalankan bisnis toko rotiku demi menghidupi Mayka dan membayar pengasuhnya. "Kamu tidak bisa mundur jika ragu, Minaki. Aku sudah menghubungi komunitas blue white kalau kamu akan datang." "Tidak, Nosu. Aku tidak ragu dan ... tidak akan mundur." Konosu, dia bertindak sebagai koordinator antar komunitas bila saling membutuhkan bantuan. Kini kami berada di teras rumah yang disewa sebagai tempat Komunitas Disabilitas Bersatu. Karena Konosu hanya bekerja dibalik layar, jadi dia bisa ikut menjalankan komunitas ini bersama teman-teman disabilitas yang lain. Dia menggerakkan roda kursi rodanya agar bisa melihat ekspresi wajahku dengan leluasa, "Aku harap kamu bisa memberikan pelayanan yang baik di hari pertama kamu bekerja. Semoga kamu masih inga
POV MINAKI Sagawa, lelaki berusia dua puluh tujuh tahun yang mengalami traumatik mendalam karena kasus pelecehan seksual yang dialami sejak masih anak-anak hingga beranjak remaja. Selama bertahun-tahun dia dipaksa melayani nafsu bejat ayah tirinya. Akhirnya, lelaki bertubuh ideal dan sempurna itu, memiliki kecacatan mental. Fisiknya utuh, namun hatinya melepuh. “Trauma yang Sagawa rasakan terlalu dalam, Minaki. Bertahun-tahun dia memendam pelecehan seorang diri lalu perlahan menjauh dari lingkungan,” Kanana berucap setelah kami selesai menemui Sagawa di rumahnya. Kini, kami sedang berada di sebuah kafe untuk membahas apa yang Sagawa alami dan treatment apa yang ia perlukan. “Ibunya kurang memberi dukungan dan terlalu memaksa, Kana,” ucapku. “Jika Ibunya saja tidak bisa mengambil hatinya, bisa kupastikan Sagawa makin hancur dan kesepian.” “Aku akan berbicara dengan Ibunya di pertemuan yang akan datang. Lalu, treatmen apa saja yang kubutuhkan selanjutnya?” “Tugas pertama sebagai
POV MINAKI "Nyonya, bisa saya bicara sebentar?" ucapku pada Ibunya Sagawa. Aku baru menyelesaikan pertemuan keduaku dengan Sagawa. Materi hari ini masih tentang bagaimana aku menjalin kedekatan dengan Sagawa. Memposisikan diri sebaik mungkin sebagai sahabat dan tempatnya mencurahkan semua kesedihan dan traumatisnya. "Silahkan, Nona Minaki." Kami berbincang di ruang tamu. Kebetulan beliau sedang luang hari ini. "Nyonya, bolehkah saya membawa Sagawa keluar rumah saat terapi?" "Kenapa harus keluar, Nona?" Wanita yang kuyakini berusi hampir lima puluh tahun dengan garis wajah yang terawat itu sepertinya sedikit keberatan jika membawa Sagawa keluar rumah. "Dia harus mengenal dunia luar, Nyonya. Selama ini Sagawa tidak memiliki teman dan terkesan menutup diri. Bahkan di rumah pun ia tidak memiliki teman. Sedang usianya sudah dua puluh tujuh tahun. Usia yang cukup matang bagi seorang lelaki untuk mulai memikirkan masa depan dan berkeluarga." "Aku tidak setuju, Nona. Bagaimana jik
POV MINAKI Merayu Sagawa agar menyerahkan pecahan vas ternyata bukan perkara mudah. Karena terlalu lama terkurung dengan traumatisnya, Sagawa sampai lupa apa itu 'hobi'. Dia lupa apa yang menjadi kesenangannya ketika aku bertanya apa yang menjadi kesenangannya. "Apa kamu suka jalan-jalan? Bepergian?" tanyaku. Sagawa nampak berpikir dengan pecahan vas yang masih dipegang. "Atau kamu suka memancing?" Kepalanya menggeleng. "Aku lupa ... apa yang menjadi kesenanganku, Minaki." Tatapannya mulai melunak lalu aku memberi kode pada ibunya agar tidak ikut mengintervensi Sagawa. Aku ingin melakukan ini sepenuhnya dalam kendaliku. Aku menggerakkan kursi roda perlahan ke arah Sagawa. Tatapannya menunduk ke ubin yang dihiasi pecahan-pecahan vas. "Atau kamu suka menyelam? Melihat biota laut?" Tubuh tingginya menatapku yang jelas jauh lebih rendah darinya, "Tapi aku tidak bisa berenang." "Mau kutuntun untuk menemukan apa hobimu? Kita punya banyak waktu untuk berbicara banyak hal menyen
POV MINAKI Sesi terapi dengan Sagawa masih seputar tentang kontak mata, meditasi, dan fokus sensasi. Aku membantunya membangun kesadaran, kepercayaan diri, mengembangkan komunikasi yang efektif, keterampilan fisik, dan emosional. Sagawa adalah lelaki normal berusia dua puluh tujuh tahun. Dia pasti memiliki sisi bergejolak yang berhubungan dengan organ reproduksi. “Lebih tenang?” tanyaku ketika dia selesai bermeditasi di atas matras yang diletakkan di atas lantai kamarnya. Sagawa membuka mata namun posisi tubuhnya masih duduk bersila dengan tubuh tegak dan kesepuluh jemari tangan saling bertaut. “Kalau aku terpejam, bayangan buruk itu terus menghantui, Minaki.” Aku ikut duduk di sebelahnya kemudian mengusap pelan pundaknya. “Bagaimana kalau kamu bermeditasi sambil mendengarkan suara gemericik air?” “Sepertinya sama saja.” “Kalau begitu pejamkan lagi matamu, genggam tanganku, dan dengarkan aku berbicara.” Aku memposisikan duduk di depan Sagawa yang kembali terpejam dengan menge
POV MINAKI Aku menjadi mata duitan? Tidak. Melainkan aku sedang bekerja keras demi menyambung hidup dan menghidupi anakku karena kami tinggal di Tokyo. Kota paling maju kedua di dunia dengan biaya hidup yang tidak main-main mahalnya. Apalagi aku tidak mendapat jatah bulanan lagi sejak memutuskan pergi dari rumah yang Jayka sewakan untukku. Berbekal pada buku tentang menjadi terapis se***al yang Kanana berikan, semalaman aku mendalaminya dengan jantung berdegub tidak karuan. Membaca langkah demi langkah yang harus kulakukan untuk memberi pelayanan pada Sagawa, klienku. 16.500 Yen untuk satu jamnya membuatku rela melakoni pekerjaan ini. Karena target utamaku, ingin segera bisa membeli rumah meski bukan di jantung kota Tokyo. Dina sudah berangkat menuju Omiya pagi ini dengan membawa kue yang semalam kami buat. Tidak banyak, hanya empat jenis saja karena sisa kue kemarin masih ada dan semoga hari ini habis terjual. Mayka selalu bersama pengasuhnya dan aku menuju rumah Sagawa den
POV MINAKI [Jayka terciduk menghabiskan harinya dengan seorang perempuan cacat. Siapakah dia?] Begitulah judul berita hari ini yang menggunggah satu foto kebersamaanku dengan Jayka. Sebuah foto lawas yang menunjukkan kebersamaanku dengan Jayka ketika kami berbulan madu di Prefektur Kumamoto. Sekitar tiga tahun yang lalu. “Bagaimana foto ini bisa muncul di media? Setahuku, aku tidak pernah menunjukkannya pada orang lain,” gumamku. Namun detik kemudian aku baru menyadari jika foto-foto kebersamaan kami kusimpan di dalam laptop yang berada di rumah. Ya, rumah orang tuaku yang berada di Miyazaki. Aku segera menghubungi Kak Yamada untuk menanyakan dimana laptopku. Aku hanya ingin memastikan bahwa laptop itu tidak berada di tangan yang salah. “Halo, Minaki.” “Kak, Kakak dimana?” “Di rumah istriku. Kenapa?” “Laptopku! Dimana laptopku!?” “Aku tidak tahu, Minaki.” “Kakak tidak meminjamkannya pada orang lain?” “Untuk apa? Kakak sudah punya sendiri.” “Kak, tolong hubungi Papa atau
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan