Enjoy reading ...
POV MINAKI "Apa ini sakit, Sagawa?" tanyaku ketika melihat lengannya membiru. Kami sudah tiba di vilaku sejak dua jam yang lalu. Dan aku langsung membantu Sagawa mengobati luka dan mengompres bagian lengannya yang memar. "Iya, tapi aku harus kuat. Lelaki tidak boleh gampang mengeluh. Dan aku harus siap menerima resiko dari olahraga ekstrem yang kugeluti sekarang." "Biar aku kompres." Tanganku memegang kompres yang sudah terisi es batu dan meletakkannya secara bergantian di beberapa bagian tangannya yang terlihat memar. Sagawa hanya meringis sesaat namun ketika tanganku akan menarik kompres itu, tangan Sagawa langsung menahannya. "Boleh aku tanya, Minaki?" "Tentang apa?" "Hubungan masa lalumu dengan Jayka. Apa itu benar seperti yang paparazi katakan?" "Sagawa, aku sebenarnya benci jika disuruh mengungkit cerita masa lalu yang terlalu menyesakkan itu. Kalau bisa jangan pernah tanya ada apa." "Maaf, tapi aku sangat ingin tahu. Karena aku menganggapmu bukan hanya sekedar terap
POV MINAKI "Sudah berapa lama kamu di Ebino?" Papa bertanya dengan suara datar dan ekspresi wajah yang teramat serius. Akhirnya, kedua orang tuaku menemukanku setelah lama aku tidak mengatakan dimana keberadaanku selama ini. Aku memberanikan diri menatap wajah Papa sesaat lalu menunduk lagi. Wajah tua yang masih memiliki gurat ketegasan. "Dua bulan, Pa." Papa menghela nafas panjang tanpa mengalihkan pandangannya dariku. Aku tahu beliau sangat kesal dan marah padaku, putri satu-satunya dari ketiga anaknya. "Dimana Jayka? Kenapa kamu justru bersama adiknya dan laki-laki lain?" Aku tidak berdua saja saat Papa menginterogasiku seperti ini. Melainkan ada Dina dan Sagawa yang duduk di sebelah kanan kiriku. Lalu Kak Yamada duduk di sebelah Papa. Sedang Mama lebih memilih menemui Mayka. "Jayka ... dia ... " Aku ragu apakah harus mengatakan yang sebenarnya ataukah tidak pada Papa. Karena jika aku mengatakan segalanya, sudah barang tentu harapanku bisa kembali bersama Jayka itu amat
POV MINAKI "Sudah berapa lama kamu menjadi klien putriku, Sagawa?" tanya Papa dengan suara beratnya yang terdengar mengintimidasi. "Sekitar lima bulan ini, Tuan." "Apa kamu sudah dinyatakan sembuh?" "Sedikit lagi, Tuan. Saya berusaha sekuat mungkin untuk sembuh." "Apa yang kamu derita sampai butuh terapis?" "Saya ... saya memiliki trauma yang buruk di masa lalu. Dan itu membuat saya ... tidak bisa bergaul dengan baik layaknya pemuda pada umumnya." "Aku doakan kamu segera sehat. Karena aku mau Minaki hanya fokus pada dirinya dan anaknya setelah ini." "Maksud Tuan apa?" "Jika kamu sudah sehat, kamu bisa segera pulang ke Tokyo. Ke rumah keluargamu tanpa harus terus bersama Minaki. Karena sudah waktunya Minaki lebih fokus pada dirinya dan anaknya setelah apa yang dia alami di luar sana tanpa sepengetahuanku sebagai ayahnya." "Apa Tuan ingin saya berpisah dari Minaki?" "Kamu tidak mungkin terus mendapatkan terapi, kan?! Jadi aku akan mendukung kesembuhanmu agar segera bisa berak
POV MINAKI "Sagawa, dia ... dia mengamuk, Nona Minaki! Bagaimana ini?" Ucapan pengasuh putriku membuatku terkejut setengah mati dan menegakkan badan dari pelukan Kak Yamada. "Apa maksudmu?" "Dia mengobrak abrik kamarnya sendiri, Nona!" pengasuh putriku juga terlihat cemas dan panik. Aku menoleh ke arah Kak Yamada, "Kak, tolong dorong kursiku menuju kamar Sagawa!" Secepat kilat, Kak Yamada mendorong kursiku menuju kamar Sagawa. Di depan kamar sudah ada Papa dan Mama yang hanya bisa menggedor pintu kamar Sagawa sambil mengucapkan kata-kata penenang. "Sagawa, apa yang kamu lakukan! Buka pintunya! Jangan membuat kami khawatir!" Ketika aku sudah berada di dekat mereka, Mama segera menyuruhku untuk membantunya membujuk Sagawa agar tidak membuat kekacauan di dalam kamarnya. Bukan masalah kekacauan yang ia perbuat, melainkan aku takut jika Sagawa melakukan hal yang lebih dari ini. Karena dia pernah mencoba melakukan self harm ketika stres merenggut kewarasannya. Dan kali ini, aku
POV MINAKI "Ya ampun, Minaki. Itu buruk sekali." "Iya, Kanana. Sagawa berubah drastis karena ucapan Papaku. Dan aku bingung sekarang. Bagaimana bisa kembali menata mentalnya agar kembali baik?" "Kalau bisa, jangan pertemukan Sagawa dengan Papamu, Minaki. Aku khawatir itu akan membuatnya terus teringat penolakan itu. Dan coba ajak dia berbicara dari hati ke hati setelah emosinya mereda." Aku menatap pintu kamarnya yang tertutup sambil menelfon Kanana. "Dia masih tidur, Kanana. Tadi aku terpaksa memberinya obat penenang." "Begitu lebih baik. Nanti coba berbicaralah dengan Papamu agar perjuangan Sagawa untuk sembuh tidak sia-sia selama ini." "Iya. Aku juga sangat menyayangkan perjuangan kami selama ini kalau harus kembali menata dari nol." "Aku akan berbicara dengan mentor senior terkait hal ini, Minaki. Nanti aku akan mengabarimu kembali. Tetap semangat, ya?" "Terima kasih banyak, Kanana." Usai sambungan telfon terputus, aku menatap Kak Yamada yang masih setia duduk di sebelah
POV MINAKI "Sagawa, mau ramen?" Kepala lelaki yang lebih tua empat tahun dariku itu menggeleng pelan. Usai bangun dari lelapnya tidur, Sagawa belum mau bicara apapun padaku. Dia juga tidak mau melahap makanan yang tersaji, hanya minum saja. Dia juga tidak mau keluar dari kamar, hanya mengurung diri seperti sedia kala saat pertama kali aku bertemu dengannya. Bukankah ini sinyal buruk untuk perkembangan mentalnya? Jika keluarganya sampai tahu jika Sagawa mengalami kemunduran kesehatan mental, ini akan menjadi hal yang sangat mengecewakan."Bagaimana kalau kita makan ramen sambil duduk di Taman Hamakawa? Aku dengar bunga sakura mulai berbunga disana." Kebetulan musim dingin telah usai. Meski sisa hawa dinginnya masih terasa namun sinar hangat mentari sudah mulai terasa di Ebino. Pohon-pohon sakura di Taman Hamakawa yang tidak terlalu luas itu mulai menunjukkan keindahannya. Kepala Sagawa menggeleng dengan tatapan lurus ke lantai. Dia berubah menjadi Sagawa yang memprihatinkan dan ak
POV MINAKI "Minaki San, Kakakku ... dia ... dia sudah di depan villa kita!" Ucapan Dina sukses membuat bulu kudukku berdiri dan kedua bola mataku membulat sempurna. Suasana pagi yang indah di Taman Hamakawa seakan berubah menjadi mendung gelap disertai tornado. Indahnya taman ini tidak lagi membuatku bahagia dan tenang setelah kabar yag Dina katakan. Rasanya ini akan menjadi mimpi ketika Jayka berhasil menemukan persembunyianku. Namun ini nyata. Bahwa Jayka sudah menemukanku. Bukankah ini akan menjadi pertanda dari kiamat kecilku? Dimana sebentar lagi aku harus kehilangan putriku, Mayka. Karena Jayka pernah bersumpah jika dia sampai menemukanku dan Mayka, maka tidak ada ampun bagiku untuk bisa mengasuh Mayka. Jayka bersumpah akan membawa Mayka dan merebutnya dari gendonganku jika aku tidak kembali ke rumah yang sudah ia sewa untukku. Dan kini, ketika Jayka berhasil menemukanku, apa yang harus kulakukan? Mau lari kemana lagi? Aku takut bertemu dengannya. Nyaliku sebagai wanit
POV MINAKI Dina mendorong kursi rodaku perlahan menuju ruang tamu villa yang kami tempati. Sengaja kutundukkan kepala hingga yang tampak di kedua mataku hanyalah lantai kayu villa ini tanpa berani memandang lurus ke depan. Ketika mataku bisa melihat kaki sofa yang ada di ruang tamu dan Dina yang tidak lagi mendorong kursi rodaku, aku tahu jika ini akan menjadi akhir. Ya, akhir dari pelarianku lalu bertemu Jayka. "Kak?" Suara Dina ketika memanggil Jayka cukup membuat keringat dingin terus membasahi tubuhku. "Keluar, Din. Aku mau bicara dengan Minaki." Astaga ... ini adalah suara pertama Jayka yang baru kudengar setelah berbulan-bulan menjauh darinya. Suaranya tenang, tidak ada intonasi marah atau membentak. Tapi, justru ketenangan yang Jayka tunjukkan cukup membuatku ketakutan. "Kak, aku ---" "Ke-lu-ar."Bahkan ketika mengeja kata-kata itu, suara Jayka tetap tenang. Apa ini benar-benar akan baik-baik saja? "Baiklah. Tapi jangan sakiti, Minaki San. Dia ---" "Aku lebih mengerti
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan