Dukung terus kisah Karel dengan vote, komentar, dan rating bintang 5 ya, Sobat readers. Terima kasih ....
"Aku akan tinggal di sini malam ini, tapi aku pulang dulu. Aku mau mandi dan ganti baju.""Sebaiknya kau bawa kunci cadangan!" saran Karel, sebelum Kevin mengayun langkah untuk berlalu dari ruangan itu.Kevin terlihat berpikir sejenak, kemudian memisahkan satu kunci dari atas meja dan mengantonginya."Mau kubawakan makan malam?" tawarnya."Tidak usah.""Oh, oke."Sepeninggal Kevin, Karel turun ke ruang bawah tanah, di mana laboratorium pribadinya berada.Menyusuri lorong serba putih, Karel akhirnya berhenti di hadapan sebuah lukisan sesosok pria muda—Karel J. yang asli.Karel menarik telinga kiri dalam lukisan itu. Seketika terdengar desing halus dari pintu rahasia yang berputar.Sebuah terowongan terbentang di depan mata Karel. Dinding lorong itu juga dipenuhi dengan lukisan potret Karel di kedua sisi.Sisi kiri dihiasi dengan wajah Karel J. yang merupakan putra kandung Profesor Jansen. Pada dinding lorong sebelah kanan, berjajar potret dirinya saat masih berstatus sebagai mahasiswa
Sebuah pukulan keras menghantam meja bagian depan toko. Buah melon yang berada di atas meja itu jatuh berserakan. Menggelinding menuju halaman.Lelaki paruh baya itu berlari meninggalkan Karel."Apa yang kalian lakukan? Kenapa kalian merusak barang daganganku?" tanya lelaki itu dengan kemarahan yang tertahan."Heh, Allen! Kau sudah tahu alasannya, tapi masih bertanya kenapa, hah?!" Lelaki bertato sepasang capit pada lengan kanannya membentak. "Aah, kau pasti sudah pikun. Sejak sebulan yang lalu kami telah menyampaikan niat tuan kami. Apa keputusanmu hari ini?""Ini satu-satunya toko yang kumiliki dan mata pencarianku. Aku tidak akan pernah menjualnya kepada tuanmu!"Cuih!Lelaki bertato capit itu meludah marah."Tua bangka tak tahu diri! Masih untung kami berbicara baik-baik padamu. Kau memang tak bisa dikasih hati. Baiklah! Tampaknya kau lebih suka cara kekerasan!"Lelaki itu mengode dua orang anak buahnya. Keduanya segera bergerak. Menghancurkan sayur dan buah dagangan Allen."Berhe
"Keluar dari toko ini! Ayo bertarung satu lawan satu!" tantang anak buah si tato capit.Karel memuji keberanian lelaki itu dalam hati."Kau jual, aku beli!"Karel menyusul lelaki itu keluar, tetapi Allen mencekal lengannya."Hentikan, Nak! Melawan kekerasan dengan cara yang sama hanya akan membuatmu celaka. Biarkan dia pergi!"Karel berpikir sejenak. Allen benar. Ia tidak harus menanggapi tantangan anak buah si tato capit.Bisa jadi itu hanya sebuah akal bulus untuk menjauhkannya dari Allen.Mempertimbangkan kemungkinan si tato capit mencabut pisau dan menyerang Allen, Karel memilih mundur. Berjongkok di hadapan si tato capit."Siapa pun tuanmu, toko ini tidak akan pernah menjadi miliknya! Paham?!"Cuih!Si tato capit meludahi Karel."Aku belum kalah! Aku akan mengingat dengan baik penghinaanmu ini dan melaporkannya pada Capit Baja. Mereka tidak akan melepaskanmu!""Kau bawahan Capit Baja?" Karel ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar."Iya. Kenapa? Apa kau merasa takut? Bertulu
Di Distrik Penna, kata polisi selalu menjadi momok yang menakutkan bagi orang biasa.Sekali seseorang berurusan dengan polisi karena tindak kriminal, sanksi sosial akan memberikan hukuman yang lebih kejam.Masyarakat yang mendiami Distrik Penna—terutama di daerah pedesaan dan para orang tua—percaya bahwa pelaku kriminal yang ditahan polisi merupakan manusia berhati iblis.Orang-orang seperti itu harus dihindari dan tak layak untuk dikasihani.Kesempatan kedua hanya milik mereka yang benar-benar teraniaya dan menjadi korban fitnah.Nyali si tato capit menciut. Ia lebih rela kehilangan uang daripada harus menerima sanksi sosial setelah bebas dari kantor polisi."B–baik. A–aku akan membayarnya." Si tato capit mengeluarkan ponsel. "Mana nomor rekeningnya?""Pindai saja!" Allen menyodorkan kode QR.Setelah semua urusan keuangan antara si tato capit dan Allen selesai, Karel menyadarkan anak buah lelaki itu dari pingsannya."Bawa mereka pergi dari sini dan jangan pernah kembali lagi!"Membab
"Weis, habis shopping nih?" sambut Kevin setibanya Karel di ruang tengah rumah besarnya. Entah sejak kapan Kevin kembali ke rumah itu.Tanpa malu-malu Kevin langsung menyambar kantong keresek yang dibawa Karel."Eh, cuma buah? Mana yang lain? Hayooo ...." Kevin menggerak-gerakkan jari telunjuknya. Ekspresi wajahnya terlihat konyol."Kau boleh makan buah itu sepuasnya. Aku mau mandi.""Hah? Mandi lagi? Memangnya apa yang kau—"Sambil berlalu, Karel menyumpal mulut Kevin dengan setangkai anggur. Memotong pertanyaan konyol yang mungkin akan membuat kuping Karel memerah.Fuih! Fuih!Kevin meludahkan sisa-sisa tangkai anggur yang mengotori mulutnya.Detik berikutnya ia membawa buah itu ke dapur. Mencucinya hingga bersih.Ia duduk santai sambil menikmati buah, menunggu Karel turun dari lantai atas.Setelah tiga puluh menit waktu berlalu, Karel bergabung dengan Kevin. Ikut mencicipi sebutir anggur."Kau serius tidak mau mengambil alih pimpinan perusahaan? Jangan sampai menyesal lo. Aku sih s
Karel memasang masker, lalu turun dari mobil Kevin, tepat di depan gerbang Rumah Sakit."Bro!"Panggilan Kevin memaksa Karel untuk berbalik. Menanti apa yang akan dikatakan Kevin selanjutnya."Beli mobil! Itu akan memudahkan gerakmu!""Lihat bagaimana nanti!"Karel meninggalkan Kevin. Sahabatnya itu menggeleng sembari mendecih, tapi ia masa bodoh.Ia sudah menduga Kevin akan menyarankan hal seperti itu. Nanti saja memikirkannya. Sekarang ia harus selekasnya menemui seseorang.Lift membawa Karel untuk terus naik hingga ke lantai tujuh belas. Matanya bergerak liar, membaca setiap ruangan.Tiba di depan sebuah pintu yang bertuliskan wakil direktur, Karel mengetuk."Masuk!"Karel memenuhi undangan sang pemilik ruangan.Seorang lelaki berusia awal lima puluhan langsung bangkit dari tempat duduknya. Tersenyum menyongsong kehadiran Karel."Selamat pagi, Dokter Smith!" sapa Karel, mengulurkan tangan untuk menyalami lelaki itu."Dokter J!" seru Dokter Smith. "Saya senang Anda akhirnya bersedia
Karel melirik tangan lelaki yang mencekal kerah bajunya. Sudut bibirnya mencebik.Netra kelamnya menantang bola mata sang penjaga keamanan.Ia berkata dengan nada dingin, "Singkirkan tanganmu! Tak masalah jika kau tak mengizinkan aku masuk, tapi ... begitu Dokter Smith menyadari bahwa aku telah pergi dari sini, kau akan berada dalam masalah besar!"Sekali tepis, Karel berhasil membebaskan diri dari cengkeraman lelaki itu. Ia berbalik, kemudian pergi.Di dalam ruang pertemuan, Direktur Rumah Sakit masih berdiri di atas podium. Menyaksikan akhir dari rekaman video tindakan medis yang spektakuler.Ia tersenyum melihat audiens masih ternganga. Takjub menonton adegan seorang dokter muda yang jenius melakukan pembedahan terhadap pasien dengan kasus berat."Rekan-rekan, kita semua telah menyaksikan bagaimana kehebatan seorang dokter muda dalam menangani pasien. Menurut diagnosa beberapa dokter dari Rumah Sakit yang berbeda, jika pasien tersebut nekat menjalani operasi, kemungkinan berhasil h
"D–Dokter Smith, ada banyak dokter muda yang hadir hari ini. Bukankah sebagian dari mereka juga memakai masker? B–bagaimana saya dapat membedakan salah satu dari mereka?"Walau telah berjuang keras untuk mengendalikan kegugupannya, penjaga keamanan itu masih terbata dalam berkata.Dokter Smith mengeluarkan ponsel, membuka galeri. Untung saja dia sempat mengabadikan kedatangan Karel tadi pagi."Ini! Dokter muda yang berpakaian seperti ini! Kau melihatnya?"Penjaga keamanan itu merasakan lututnya goyah. Keringatnya mengalir kian deras. Celaka dua belas! Ia telah menginjak ranjau yang akan segera mengakhirinya kariernya.Buuuk!Penjaga keamanan itu berlutut. "Dokter Smith, tolong ampuni kebodohan saya! Saya ... saya tidak tahu jika dia tamu Anda.""Apa maksudmu dengan berkata tidak tahu? Kau mengusirnya, iya?!"Penjaga keamanan itu menggeleng. "T–tidak, Dokter. S–saya ... saya—""Dokter Smith, kenapa Anda tidak mencoba untuk menghubungi dokter muda itu?" saran salah satu dokter lain yang
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua