"S–saya hanya kurang hati-hati dan terjatuh. Tidak perlu melibatkan polisi.""Nona, apakah menurut Anda saya dokter yang mudah ditipu? Saya sangat mengenali luka robek yang Anda alami. Anda terlihat seperti korban rudapaksa. Betul, 'kan?"Xela menggigit bibir bawahnya, tersenyum kecut. Haruskah ia berterus terang mengatakan bahwa semua itu adalah perbuatan suaminya?Seakan dapat membaca isi pikiran Xela, dokter itu mengangguk pelan."Baiklah. Jika itu pilihan Anda," kata sang dokter. "Tapi, tolong ingatkan suami Anda untuk bermain dengan lembut."Keengganan yang memancar dari sorot mata sayu Xela membuat dokter itu menebak dengan benar.Ia menjahit luka Xela tanpa berbicara lebih banyak.Xela menolak dan bersikeras untuk tetap pulang ketika dokter menyarankannya menjalani rawat inap selama beberapa hari hingga lukanya sembuh.Namun, Xela tidak kembali ke apartemen Karel. Ia memutuskan untuk beristirahat di tokonya hingga sembuh. Beruntung salah satu karyawannya tanggap menyiapkan kama
Plok! Plok! Plok!Karel bertepuk tangan. Tatapan dinginnya menusuk tepat ke sepasang netra sendu Xela."Hebat! Berhari-hari meninggalkan rumah suami tanpa kabar," sindir Karel.Xela yang tak menyangka Karel masih berada di rumah pukul sembilan pagi sontak menghentikan langkah.Ia membalas tatapan dingin Karel dengan wajah tanpa ekspresi."Apa pedulimu? Bahkan aku mati pun, itu bukan urusanmu," jawab Xela dengan nada datar. "Kamu sendiri kan yang memintaku untuk mengurus diri sendiri? Lalu, kenapa kamu merasa kebakaran jenggot saat aku bersikap patuh?"Xela menyembunyikan jemarinya yang tremor dalam saku coat panjang yang dikenakannya. Jujur, semenjak kebengisan Karel malam itu, ia merasa takut bertemu dengan suaminya. Ia hanya mencoba terlihat tegar dan kuat.Karel bengong mendapatkan serangan balik dari Xela. Terlebih saat Xela langsung berbelok ke kamar setelah menimpali perkataannya.Grep!Karel mengejar Xela dan menyambar lengannya. Namun, pemberontakan Xela membuat cekalannya ter
"Sekali lagi kau meninggalkan rumah tanpa pamit, kau akan menerima konsekuensinya!" tegas Karel, menatap lekat pada Xela. "Sekarang bersihkan seluruh ruangan. Jangan ada setitik debu pun yang tersisa!"Sungguh, bukan itu yang sebenarnya ingin Karel katakan pada Xela. Kata maaf yang bergema dalam hatinya terpendam begitu saja. Ego menuntun Karel untuk tetap bersikap angkuh, walaupun jiwanya digerogoti rasa bersalah."Aku berangkat kerja. Ingat, aku mau ... saat pulang nanti, rumah ini sudah bersih."Xela membisu, menatap punggung Karel nan kian menjauh.Waktu seakan berjalan lambat. Setiap jengkal lantai apartemen Karel terasa bagai serpihan kaca yang sengaja dipasang untuk melukai kakinya.Xela menyelesaikan tugas dari Karel tanpa menghiraukan rasa nyeri yang dideritanya. Setelah itu ia bertandang ke rumah ayahnya."Ada apa lagi kau kemari?" sambut Tuan De Groot dengan raut tidak senang.Bukannya mempersilakan Xela masuk dan menyambutnya dengan pelukan hangat, Tuan De Groot malah menc
"Tuan! Gawat, Tuan! Gawat!"Lewis memasuki ruang kerja Tuan De Groot dengan tergopoh-gopoh. Kemampuan lelaki itu mengontrol gejolak emosinya jauh lebih rendah dari Clark.Tuan De Groot menatap dingin pada Lewis. "Apa kau telah kehilangan sopan santunmu, hah?""Maaf, Tuan. Ini darurat!" Kening Lewis dibanjiri keringat. "Anda akan mengetahuinya setelah membaca ini."Lewis menyodorkan berkas yang dibawanya.Semenjak menggantikan posisi Clark, kini Lewis yang menjadi jembatan penghubung antara Tuan De Groot dan manajer operasional perusahaannya.Perlahan Tuan De Groot membuka berkas tersebut dan membacanya dengan saksama."Bedebah!" umpat Tuan De Groot sembari menggebrak meja. Mukanya merah padam.Selang beberapa detik, ia menghubungi sang manajer operasional lewat ponselnya."Katakan bahwa laporan yang kau kirim tidak benar," sentak Tuan De Groot."M–maaf, Tuan. Produksi kita gagal. Uang kita telah dibawa kabur."Jedar!Pengakuan dari seberang telepon bagai gelegar halilintar menyambar g
Tap! Tap!Langkah kaki Karel terdengar berat dan menakutkan di telinga Xela.Gadis itu menunduk. Jari-jarinya mencengkeram pakaian yang dipegangnya dengan kuat, seakan sedang berusaha memindahkan rasa takutnya pada kain bermotif bunga itu."Kau ingin kabur di saat ayahmu sedang terkapar di rumah sakit?" ulang Karel."A–apa?"Karel mendecih. "Cih! Kau bahkan tidak tahu apa yang terjadi pada ayahmu," ejeknya. "Pantas saja ayahmu lebih percaya padaku."Karel terkekeh. Namun, kekehan tawa itu terdengar menyeramkan bagi Xela."Kamu licik!" maki Xela, melawan rasa takutnya. "Kamu sengaja kan mengadu domba aku dan ayahku?"Binar ketakutan di mata Xela beralih rupa menjadi benci."Kalau iya, kenapa?" sinis Karel.Xela mengepalkan tinju, lalu menyemburkan kata-kata penuh cacian, "Kamu ... lelaki dengan dua wajah. Kamu tidak pantas disebut lelaki. Kamu bahkan tidak layak bekerja sebagai dokter. Kamu manipulatif! Psikopat!"Lagi, Karel terkekeh dengan kedua tangan bersembunyi dalam saku celana.
"A—""A—"Karel dan Clara sama-sama kikuk. Keduanya mengawali pembicaraan secara bersamaan. Sementara Jason pamit ke toilet."Kau dulu!""Kamu dulu!"Kembali keduanya bicara serentak, kemudian terkekeh pelan. Merasa lucu karena tingkah mereka seperti ABG yang baru berkenalan.Akhirnya Karel mengode dengan tangan agar Clara membuka percakapan."Terima kasih," ujar Clara. "Sejak melihatmu, aku penasaran. Kamu ... Karel Jaffan, bukan? Suami Xela?"Karel terperangah. Dia mengamati wajah Clara lebih detail. Seketika ingatannya berhasil mengenali sosok wanita itu."God! Kau salah satu teman Xela, yang waktu itu datang ke Terrariant?" tanya Karel, untuk memastikan bahwa tebakannya benar."Iya. Kamu juga masih ingat?" Clara tersenyum semringah. "Bagaimana kabar Xela? Kamu ke sini bersama dia, 'kan? Mana? Kok tidak kelihatan?"Clara belum berubah. Di antara rombongan Xela waktu itu, Clara paling cerewet dan cenderung ceplas-ceplos.Karel menggeleng. "Tidak. Aku ke sini bersama seorang teman. K
"Batalkan eksekusi rumah itu!""Tapi, Bos—""Batalkan!"Suara Karel meninggi, memotong sanggahan lawan bicaranya dari seberang telepon."B–baik, Bos."Tut!Karel menutup panggilan telepon dengan ekspresi wajah yang tak terbaca. Beragam emosi berebut tempat untuk menguasai hatinya.Kata-kata Clara tentang perasaan cinta Xela yang begitu tulus untuknya terus terngiang-ngiang di telinganya.Sungguh tak ia sangka bila wanita yang dibencinya karena dendam pada sang mertua justru telah jatuh cinta berkali-kali padanya, walaupun ia tampil dalam wujud yang berbeda.Denyut perih mencengkeram hati Karel. Ribuan ton rasa bersalah mengimpit dadanya.Berdiri di balik jendela kamarnya, Karel merasa gumpalan mega yang berarak lamat seakan menertawakan kebodohannya, yang tak mengenali perasaan Xela.Benarkah dia membenci Xela? Atau dendam telah membutakan nuraninya?Satu hal yang pasti, Karel sangat menyadari bahwa pusaka sakti yang dibawanya sejak lahir hanya bereaksi saat bersama Xela. Bahkan, hany
"Kamu serius tidak mau rujuk lagi sama Karel?" tanya Clara sambil mengaduk-aduk minumannya.Kafe itu tidak terlalu ramai sehingga dia tidak perlu berbicara dengan berbisik-bisik.Ekspresi muka Xela sarat dengan beragam emosi yang saling tumpang tindih. Tatapannya tak bergairah."Aku bisa apa, Cla? Dia sudah menalakku," lirih Xela, tertunduk lesu. "Aku tidak tahu kenapa dia sangat membenciku.""Itu hanya perasaanmu saja, Xela. Aku sempat bertemu dengan mantan suamimu di acara pameran seni. Dia masih sendiri lo ...."Xela mendongak. Seberkas cahaya terang berkelebat pada mata sayunya."Percuma, Cla. Toh dia juga tak akan kembali padaku," gumam Xela, kembali tertunduk lesu."Tapi, kamu masih mencintainya, 'kan?""Sudah tak ada gunanya lagi.""Heeei ... ini bukan dirimu, Xela! Xela yang kukenal tidak pernah menyerah memperjuangkan keinginannya."Clara menggenggam jemari Xela, seakan menyalurkan kekuatan pada sang sahabat yang terlihat telah kehilangan gairah hidup."Kalau kamu masih menci
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua