Dengan sangat cepat Lee Nara mengambil sikap waspada, karena dirinya menebak jika orang tersebut merupakan anggota Bandit Gunung yang masih tersisa.
Namun, dirinya tidak memastikan hal tersebut sebelum mengetahui pasti dan mendapat pengakuan dari pria itu.
Dari perawakannya, Lee Nara dapat menebak jika orang itu, bukanlah orang baik-baik, terlebih tatapan nya kian memburu ketika melihat sebagai pakaian Lee Nara yang robek.
"Sedang apa kau disini?" tanya Lee Nara kembali, seraya menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.
"Ah, tenang nona, aku tidak bermaksud buruk padamu," ujarnya dengan mengelus kedua tangannya. "Cepat pergi dari sini! Atau aku akan berteriak..." ucap Lee Nara memastikan.Namun pria tersebut malah memberikan senyuman penuh arti, seraya berjalan perlahan kearah Lee Nara.
Karena tindakannya tersebut, Lee Nara malah semakin waspada, karena dirinya dapat memastikan jika orang itu berniat
ketika Lengkukup selesai berbicara, pria itu bahkan tidak bisa menjawab, karena merasa tindakan yang akan dia lakukan semakin sia-sia, ketika ia melihat wajah Lengkukup yang semakin membuatnya ketakutan.Tidak pernah dia duga, jika anak kecil itu mengetahui jika dirinya merupakan dalang dibalik pembunuhan yang beberapa saat yang lalu sempat terjadi.Sialnya, dia bahkan tidak sempat berbohong lebih banyak, ketika menyadari busur panah yang dia bawa masih melingkar dipunggungnya."Sungguh! aku tidak tau..." ujarnya dengan mengucurkan keringat dingin."Baiklah! aku rasa tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi..." timpal Lengkukup seraya menebaskan pedangnya lalu secepat kilat dua pedang angin tercipta dan menebas leher serta tubuhnya.Ketika itu, Lee Nara sempat memekik karena baru saja melihat pembunuhan yang sangat mengerikan sedang terjadi didepan matanya.Ia bahkan menutup wajahnya dengan kedua tangan, kar
Ketika itu Lee Nara langsung menyantap bagiannya dengan cepat, karena merasa dide sak oleh Lengkukup. Namun, hal tersebut sedikit membuatnya merasa hawatir, karena dirinya bahkan merasakan sesuatu yang mengancam, sedang mendekat kearah mereka. Dengan sedikit tergesa-gesa Lee Nara akhirnya berhasil memakan setengah daging kelinci itu, sebelum akhirnya ia menjadi waspada karena sepuluh pasukan berkuda baru saja tiba dan sedang menatap mereka dengan tajam. "Siapa kalian? Beraninya kalian memasuki kawasan desa Suban Dara dan menyalakan api unggun itu..." tanya salah satu pria bertubuh besar yang kemudian memberi perintah kepada anggotanya yang lain untuk segera memadamkan api yang masih menyala. "Maafkan kami karena telah menginjakkan kaki ditempat ini, akan tetapi alangkah baiknya jika kalian bersikap sedikit sopan," timpal Lengkukup seraya menaikkan alisnya lalu melipat kedua tangannya kebelakang. "Diam kau bocah! aku tidak menyuruhmu
Ketika itu, Heng Juesha bahkan sempat menggigit bibirnya sendiri, karena merasa tidak memiliki pilihan lain selain bertarung dengan anak kecil di hadapannya.Dia bahkan tidak menginginkan hal itu terjadi, akan tetapi andai hal itu terjadi, maka dapat dipastikan jika Heng Juesha melakukannya bukan semata-mata karena ingin pamer kekuatan, terlebih yang dihadapinya hanya seorang anak kecil, tetapi memiliki kekuatan diluar nalar orang dewasa. Heng Juesha memastikan jika Lengkukup bukan seorang anak kecil biasa, karena beberapa saat yang lalu ia baru saja melihat jurus teman lamanya, seorang pendekar pengembara. "Siapa anak ini sebenarnya?" gumam Heng Juesha. "Ketua Heng biar aku yang menghadapinya..." ujar pria bertubuh besar itu seraya melompat dari arah belakang. "Yu Lian hentikan...!" pekik Heng Juesha. Namun sayangnya, usaha yang dilakukan Heng Juesha sedikit terlambat, ketika Lengkukup dan pria bertubuh besar itu telah berada jurus d
Pada saat bersamaan, Heng Juesha lagi-lagi dibuatnya terkejut seraya berdecak pelan sebelum ia bereaksi untuk menerima serangan yang tepat mengarah kepadanya. Kini ia memastikan, jika serangan itu benar-benar milik teman lamanya, akan tetapi hal tersebut malah membuat Heng Juesha menjadi delema, karena sedikit merindukan sosok dibalik jurus tersebut. Bahkan dirinya memastikan untuk tidak membunuh anak itu, karena sebelum hal itu terjadi ia menginginkan sebuah informasi penting, demi mengetahui kebenarannya. "Kencana, seandainya kau berada disini, aku mungkin tidak akan seperti ini," gumam Heng Juesha seraya menguatkan seluruh tubuhnya dan menerima sebuah jurus tebasan 1 bintang dari Lengkukup. Namun, pada saat yang hampir bersamaan Lengkukup menghilang dari pandangan mata, dan membuat dirinya membuka mata dengan lebar seraya menelisik kesegala arah. Pada saat itu, Heng Juesha sempat berdecak beberapa kali, karena dirinya baru saja t
Selesai berucap Heng Juesha kembali menyerang Lengkukup dengan kekuatan penuh seraya menepis serangan balasan, ketika Lengkukup bereaksi atas serangan yang ia lakukan. Namun, hal itu tidak membuat Heng Juesha mundur atau bahkan memberi selah kepada Lengkukup untuk berfikir, dan mencari cara lain untuk menghadapi serangan yang akan dia lakukan. Kala itu, Lengkukup bahkan berdecak beberapa kali sebelum dirinya mulai mengambil jarak yang cukup jauh dari keberadaan Heng Juesha, yang kini menatapnya dengan tajam. "Celaka, jika terus seperti ini aku bisa kalah darinya, kecuali aku menggunakan..." gumam Lengkukup. "Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Heng Juesha yang tiba-tiba kembali mendekat seraya memberikan tinjuan dengan jurus tinju besi. Pada saat yang hampir bersamaan Lengkukup bahkan tidak menduga, jika Heng Juesha akan menyerangnya secepat itu, terlebih lagi dirinya tidak memberikan kesempatan kepada Lengkukup untuk berfikir lebih jauh
Pada akhirnya, Lengkukup terpaksa dibuatnya menggunakan kekuatan Iblis yang dia miliki untuk menghadapi jurus tubuh besi Heng Juesha.Namun, dari sisi yang berseberangan Lee Nara menggelengkan kepalanya berkali-kali sebelum akhirnya meneteskan air mata, akan tetapi Lengkukup tidak begitu memperdulikan sikap yang diberikan oleh wanita tersebut.Sehingga Lengkukup tetap pada niatnya dan bertekad untuk mengalahkan Heng Juesha secepat mungkin, sebelum dirinya kehabisan tenaga dalam."Maafkan aku Nara..." gumam Lengkukup.Ketika itu, Lengkukup memejamkan matanya pelan, dan berniat menggunakan kekuatan Iblis tanpa memikirkan lebih jauh dampak yang akan diterimanya nanti.Tetapi belum sempat ia melakukan tindakan itu, Heng Juesha kembali memberikan sebuah pukulan yang menyebabkan Lengkukup terpental cukup dan memuntahkan darah segar dari mulutnya.Pada saat yang hampir bersamaan, seluruh anggotanya bersorak untuk
Lengkukup sempat ingin protes, akan tetapi Kencana lebih dulu mengatakan jika dirinya membutuhkan banyak tenaga dalam. Sedangkan Lengkukup belum begitu membutuhkan, mengingat Lengkukup bisa menggunakan kekuatan iblis nya. Mendengar penjelasan Kencana, sedikit membuat Lengkukup mengangguk pelan seolah dirinya mengerti maksud dari ucapan Kencana. Namun hal itu tidaklah begitu benar, meski Lengkukup bisa menggunakan kekuatan iblis, akan tetapi dirinya hanya bisa menggunakan kekuatan itu sekali saja dan berbatas waktu. Tentu Kencana mengetahuinya namun Kencana mengatakan jika dirinya memiliki ide lain yang mungkin akan membantu mereka lebih cepat dari biasanya. Dugaan Kencana, jika cara itu berhasil mereka dapat mencapai bagian atas curup 7 kenangan hanya dalam waktu 1 hari. Namun jika dugaan itu salah, maka mereka akan terjatuh dan kabar buruknya mereka akan mati karena terjatuh. “Mungkin sedikit berbahaya namun lebih baik kita mencobanya…” ucap Kencana memastik
Pada saat itu En Jio sempat tertegun sejenak sembari menaikkan alisnya, karena merasa tidak percaya dengan ucapan yang keluar dari mulut Heng Juesha, akan tetapi kini dirinya sedikit mengerti, ketika mengingat wajah dua anggota darah besi yang begitu memucat beberapa saat yang lalu.Dari perasaan itu, En Jio memutuskan untuk berhati-hati dengan sosok anak kecil yang berada tidak jauh dengannya, seraya menatap anak itu penuh arti sebelum ia mulai mendekatkan diri kepada Lengkukup.Dirinya menyadari, jika memang anak kecil itu berbahaya, akan tetapi melihat kondisinya saat ini, tentu hal itu tidak akan berarti, karena Lengkukup bahkan tidak bisa mengangkat jarinya sedikitpun ketika ia melepaskan seluruh tenaga dalam yang dimiliki."Kau akan baik-baik saja..." ujar En Jio memastikan seraya memegang tubuh Lengkukup."En, berhati-hati lah!" sahut Heng Juesha.Pada saat yang hampir bersamaan, ketika dirinya berusaha untuk memapah tu
Ling terdiam dalam keheningan, tatapannya masih terpaku pada tempat di mana sosok berjubah putih itu menghilang. Lengkukup dan En Jio berdiri di sisinya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun, pertanyaan yang menggantung di udara tidak segera menemukan jawaban."Siapa dia?" En Jio akhirnya memecah kesunyian, suaranya bergetar lemah. "Penjaga Kuil Tianlong? Aku tidak pernah mendengar tentang sosok seperti itu..."Lengkukup, yang biasanya tenang dan penuh perhitungan, hanya menggelengkan kepala. "Dia muncul tepat saat kita membutuhkannya. Entah siapa atau apa tujuannya, kita sebaiknya bersyukur."Ling menghela napas panjang, tubuhnya masih lelah setelah serangan besar yang hampir menghabisi kekuatannya. "Kita harus segera pergi dari sini. Tempat ini penuh dengan kegelapan, dan aku merasakan sesuatu yang tidak beres."Mereka bertiga mengangkat diri, meskipun tubuh mereka masih t
Sima Yan berdiri tegak di hadapan Ling, Lengkukup, dan En Jio. Aura kegelapan yang memancar dari tubuhnya membuat udara di sekitar mereka terasa berat. Pedangnya yang besar dan hitam berkilauan dengan cahaya merah yang jahat, menandakan kekuatan yang luar biasa.Ling mengepalkan tangannya lebih kuat di sekitar gagang pedangnya. Napasnya terasa berat, dan dadanya bergemuruh dengan adrenalin. Dia tahu ini bukan hanya pertarungan melawan seorang musuh yang kuat, tapi juga perjuangan untuk tetap hidup."Kita tidak bisa membiarkan dia menang!" desis Ling dengan penuh semangat, meski dia tahu dalam hatinya bahwa mereka mungkin tidak akan bertahan dari pertarungan ini.Lengkukup berdiri di sampingnya, menatap dingin ke arah Sima Yan. "Kita bertarung sampai napas terakhir. Tidak ada pilihan lain."En Jio, yang masih terluka, mengangguk dengan susah payah. Meskipun kondisinya jauh dari ideal, dia tahu tidak ada waktu untuk mundur.
Ketika mereka keluar dari gua, lembah yang dulunya gelap sekarang diterangi cahaya redup matahari yang mulai tenggelam. Udara terasa lebih berat, seolah sesuatu yang jahat menyelimuti mereka dari kejauhan. Langit di atas Gunung Tianfeng mulai berubah menjadi merah darah, pertanda bahwa bahaya semakin dekat.
Suasana di dalam ruangan besar itu mendadak tegang. Pria berjubah hitam yang berdiri di hadapan mereka tampak mengintimidasi, dengan senyum penuh kebencian yang menyiratkan keyakinan mutlak pada kekuatannya. Cahaya dari kristal elemen hijau memantul di zirah hitamnya, mempertegas aura kegelapan yang menyelimuti tubuhnya."Aku adalah pengawal elemen ini," ucap pria itu dengan suara rendah yang bergetar. "Namaku Hei Long, dan kalian tak akan bisa melewati gerbang kehidupan ini."Ling menatap pria itu dengan tajam, mempersiapkan diri. "Kalau begitu, kita tak punya pilihan lain selain melawanmu."Lengkukup dan En Jio mengambil posisi di sebelah Ling. Meskipun mereka tahu bahwa Hei Long adalah lawan yang kuat, mereka tidak punya waktu untuk ragu. Kristal elemen hijau itu adalah kunci untuk melengkapi kekuatan Kitab Dewa Naga, dan mereka harus mendapatkannya, apa pun risikonya."Serahkan saja elemen itu
Malam mulai menyelimuti perbukitan, namun Ling, Lengkukup, dan En Jio terus melangkah. Suasana semakin mencekam saat kabut tipis mulai muncul, menyelimuti jalanan setapak yang semakin sempit. Hutan lebat di kiri dan kanan mereka seolah menjadi dinding kegelapan yang tak tertembus. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di tengah keheningan itu."Kita semakin dekat," kata Lengkukup, matanya terus mengawasi setiap gerakan di sekitar. "Aku bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tidak biasa di sini."Ling mengangguk setuju. Dari kitab Dewa Naga yang berada dalam genggamannya, ia bisa merasakan energi yang semakin kuat. "Lembah itu tak jauh lagi. Energi dari elemen berikutnya sangat jelas terpancar dari sana."En Jio, yang biasanya penuh semangat, kali ini tampak lebih tenang. "Apa kalian sudah siap? Kalau pasukan hitam benar-benar menunggu di sana, ini akan menjadi pertempuran yang sulit."
Setelah berhasil mengalahkan Pengawal Bayangan dan mengamankan elemen es, Ling, Lengkukup, dan En Jio melanjutkan perjalanan mereka menuju perbukitan yang lebih rendah, meninggalkan puncak es yang mencekam di belakang. Udara di sini lebih hangat, tapi suasana tegang masih melingkupi mereka. Masing-masing terdiam, merenungkan pertempuran yang baru saja mereka lalui.“Kita sekarang memiliki dua elemen,” kata Lengkukup, memecah keheningan. “Tapi musuh kita pasti semakin sadar dengan keberadaan kita.”Ling mengangguk. “Kita harus bergerak cepat. Mereka tidak akan tinggal diam dan membiarkan kita mengambil semua elemen begitu saja.”En Jio, yang biasanya ceria, kali ini terlihat lebih serius. “Kalau mereka sudah mengirim Pengawal Bayangan, berarti kekuatan besar sedang memantau kita. Kita harus siap menghadapi mereka, kapan pun mereka menyerang.”
Setelah berhasil mendapatkan elemen es dari Puncak Es, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak bisa beristirahat lama. Meski mereka baru saja mengalahkan serigala es yang menjaga elemen tersebut, perasaan cemas tidak pernah benar-benar pergi. Keheningan yang melingkupi pegunungan bersalju seolah menyembunyikan ancaman yang belum terungkap.“Ling,” kata Lengkukup tiba-tiba, matanya tajam menatap ke kejauhan. “Kita sedang diawasi.”Ling yang sedang mengatur napas setelah pertempuran, langsung siaga. Dia mengeluarkan pedangnya dengan gerakan cepat, memfokuskan seluruh indranya untuk mendeteksi ancaman yang disampaikan Lengkukup. Seiring angin dingin yang menusuk, bayangan mulai terlihat di balik kabut tebal.En Jio, yang sebelumnya sedang bercanda untuk menghilangkan ketegangan, kini mengalihkan pandangannya dengan wajah serius. “Sepertinya, penjaga elemen es bukan satu-satunya yang harus kita hadapi.”Dari kabut yang semakin pekat, muncul sosok-sosok berpakaian hitam. Mereka bergerak dengan k
Setelah berhasil mendapatkan elemen api dari Gunung Berapi Hitam, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak memiliki banyak waktu untuk merayakan keberhasilan mereka. Tantangan berikutnya, elemen es, menanti mereka di ujung dunia yang berlawanan, di Puncak Es yang dilapisi salju abadi.“Kita tidak bisa berlama-lama di sini,” ujar Ling, napasnya masih terengah-engah setelah pertarungan yang menegangkan. “Puncak Es jauh, dan kita tidak tahu apa yang menanti kita di sana.”Lengkukup menyetujui, mengangkat elemen api dengan hati-hati. Cahaya merah yang menyala dari elemen itu berdenyut lembut, memberikan rasa hangat yang kontras dengan suhu yang akan mereka hadapi di perjalanan berikutnya.“Kau benar, Ling,” katanya. “Kita harus segera bergerak. Semakin lama kita menunda, semakin besar kemungkinan musuh kita mengetahui keberadaan elemen ini.”En Jio, yang telah berhasil mengalihkan perhatian naga api, berjalan mendekat. Dia tersenyum puas, meskipun wajahnya dipenuhi keringat. “Aku tidak sabar unt
Dengan hati yang penuh semangat dan ketegangan yang meningkat, Ling, Lengkukup, dan En Jio meninggalkan pasar malam. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan menjadi salah satu yang paling menantang yang pernah mereka hadapi. Mereka harus mendapatkan dua elemen yang berlawanan, dan langkah pertama adalah menuju Gunung Berapi Hitam.Di jalan, Ling merenungkan kata-kata lelaki tua itu. Kekuatan tidak hanya datang dari kemampuan fisik, tetapi juga dari keputusan yang mereka buat. Perjalanan ini bukan hanya tentang mencari kunci, tetapi juga tentang menemukan diri mereka sendiri dan menguji batasan mereka.Sesampainya di tepi hutan, mereka berhenti sejenak. Ling bisa merasakan perubahan udara, dari segar menjadi panas dan berbau sulfur. “Kita sudah dekat dengan gunung,” ujarnya.“Kau yakin kita siap menghadapi makhluk yang menjaga elemen api?” Lengkukup bertanya, merasakan ketegangan di udara.“Kita harus percaya satu sama lain,” jawab Ling. “Kita sudah melalui banyak hal bersama. Ini hanya